Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Saturday, 26 December 2015

Ketika Jack Sparrow dikalahkan lapak DVD bajakan


Film The Hateful Eight-nya Quentin Tarantino dan The Revenant-nya Leonardo Di Caprio sudah beredar di lapak2 DVD bajakan dan di situs2 free download. Luar biasa ini para pembajak, film-film itu bahkan poster-nya di Coming Soon XX1 aja belum ada. Saya pun ikut menikmatinya. Salute! :D




Wednesday, 11 November 2015

Reviews Film The Stanford Prison Experiment: Ketika Prilaku Manusia Diubah Oleh Kekuasaan


Sutradara: Kyle Patrick Alvarez

Produksi  : IFC Film









If you want total security, go to prison. There you're fed, clothed, given medical care and so on. The only thing lacking... is freedom.

-D. D. Eisenhower-












Institusi dimana kita berada secara nyata memberi efek para prilaku kita. Berbagai macam penelitian membuktikan hal tersebut. Seperti yang terjadi difilm ini, sebuah studi klasik tentang psikologi didalam penjara dimana topik itu sering dibahas dalam pengantar psikologi. Film ini diambil dari buku berjudul Lucifer Efffect yang didasarkan oleh kisah nyata. Buku itu ditulis sendiri oleh pelaku-nya Dr Philip Zimbardo seorang Profesor psikology dari Stanford University.
The Stanford Prison Experiment diputar perdana pada bulan Januari 2015 di Sundance Film Festival. Disutradari oleh Kyle Patrick Alvarez dengan beberapa aktor ternama semisal Billy Crudup, Ezra Miller dan Michael Angarano. Pada film ini, Dr Philip Zimbardo yang diperankan Billy Crudup dengan beberapa koleganya melakukan sebuah eksperimen simulasi penjara dengan menempatkan para tahanan dan sipir selama dua minggu. Eksperimen tersebut dilakukan di kampus Stanford pada musim panas ditahun 1971. Dimana ruangan dalam kampus dibuat semacam penjara lengkap dengan lorong-lorongnya. Sel-sel penjara tiruan kecil dibentuk, ada ruang kecil untuk halaman penjara, kurungan, dan ruang yang besar untuk para sipir. Para tahanan tinggal di sel mereka sampai akhir penelitian. Para peneliti mengadakan sesi orientasi sebelum masa eksperimen, mereka memerintahkan para sipir untuk tidak secara fisik membahayakan para tahanan. Para sipir disediakan tongkat kayu untuk membangun status mereka, pakaian yang mirip dengan sipir penjara yang sebenarnya dan kacamata hitam untuk menghindari kontak mata. Tahanan mengenakan pakaian yang tidak nyaman, dengan stocking topi, serta rantai di salah satu pergelangan kaki. Sipir telah diperintahkan untuk memanggil para tahanan dengan nomor yang ditetapkan, bukan dengan nama.

"Kalian bisa membuat para tahanan untuk merasa bosan juga takut, kalian dapat membuat ide sewenang-wenang bahwa hidup mereka benar-benar dikontrol oleh kita, oleh anda, saya, oleh sistem! Dan mereka tidak akan memiliki privasi. Artinya, dalam situasi ini kita memiliki kekuasaan dan mereka tidak.”


Pada awalnya, Zimbardo dan timnya bertujuan untuk menguji hipotesis bahwa ciri-ciri kepribadian yang melekat dari tahanan dan sipir merupakan penyebab utama perilaku kasar di penjara. Peserta direkrut melalui iklan di surat kabar dan dari  75 responden mereka memilih 24 laki-laki yang dianggap yang paling stabil dan sehat secara psikologis. Para pesertanya rata rata dari kelas menengah. Film ini hampir mirip semi dokumenter, tentu sedikit membosankan dengan latar yang berputar ditempat yang sama. Konflik yang terjadi difilm ini seputar pertentangan antara sipir penjara dan tahanan dan diluar dari itu hanya perenungan batin Dr Philip Zombardo karena secara tidak langsung dia mulai  terlibat secara emosi dalam simulasi yang dibuat-nya sendiri. Ketika beberapa koleganya tidak tahan lalu memilih berhenti, Zombardo pun sadar bahwa eksperimen itu tidak akan selesai dari waktu yang direncanakan. Lihat, bagaimana dalam simulasi itu para sipir penjara yang dihari pertama masih normal hingga menjadi berubah kejam dalam prosesnya. Ironisnya, para tahanan lambat laun mulai merasa bahwa apa yang terjadi para mereka bukan lagi simulasi tapi sebuah kenyataan. Intimidasi yang mereka rasakan memperlemah daya juang mereka. Percobaan tersebut hanya berlangsung 6 hari dari dua minggu yang direncanakan. Bahkan dua diantara 9 tahanan memilih keluar padahal simulasi belum juga seminggu.
Saya melihat film ini sebagai studi psikology, dimana prilaku akan berubah drastis ketika orang memiliki resourche of power. Setiap orang yang memiliki kekuasaan akan cenderung intimidatif, karena mereka merasa memiliki legitimasi untuk itu. Perubahan prilaku bisa disebabkan oleh sebab-sebab alamiah namun keadaan disekitar, institusi dimana kita berada sangat berperan dalam menentukan perubahan prilaku kita.
Film ini cocok bagi mereka yang belajar psikology. Sutradara Kyle Patrick Alvarez memang tidak menawarkan banyak drama sebagaimana  adanya film film dokumenter  tapi setiap adegan dalam film menarik untuk ditunggui. Bagaimana orang-orang yang awalnya baik kemudian bisa berubah drastis akibat legitimasi kekuasaan ditangannya. Film ini bagi saya adalah sebuah kritik terhadap kehidupan penjara.





Friday, 6 November 2015

Dunia bisa saja terlihat indah saat kita online, namun belum tentu sama saat kita offline!



"Barangkali, status-status menyenangkan dan emoticon smile atau like yang kau tulis di media sosial hanyalah topeng untuk menutupi karaktermu yang membosankan didunia nyata"


Hari ini,
Kita begitu gegap gempita dengan kemajuan zaman. Dunia memasuki babak baru dimana revolusi teknologi menjadi konsekuensi logis dari masyarakat konsumtif. Gadget, handphone pintar, laptop dengan layar sentuh atau televisi super canggih dengan koneksi internet yang mampu menjelajah melebihi kecepatan pesawat. Teknologi telegram sudah usang, pita kaset jadi sejarah, film film hitam putih dimuseumkan. Wartel tidak di-ingat lagi, dan telepon koin? Sudah mati.
Kita disuguhkan pada pemandangan delutif tentang bagaimana berkomunikasi yang lebih efisien. Menjalin konektifitas, bersosialisasi hanya bermodalkan layar sentuh. Semuanya mudah, nyaman, langsung dan cepat.

Media sosial menjadi bagian tak terhindari dari perilaku keseharian kita. Ditengah kompetisi hidup dengan pressure tinggi. Tentu saja, hampir sudah tidak ada waktu untuk bersosialisasi sekedar menyapa tetangga, teman, atau bersua dengan kerabat bahkan bercinta dengan kekasih. Pekerjaan telah merampas lebih dari sebagian waktu yang dimiliki para pekerjanya. Media sosial adalah penemuan paling fenomenal di-era ini. Geger-nya melampaui kegegeran dunia ketika Alessandro Volta menemukan listrik dipermulaan abad 18. Media sosial adalah obat mujarab bagi penyakit keterasingan dunia modern. Pelipur lara bagi kesepian manusia manusia robotic. Tentu saja, itu adalah sebuah terobosan super hebat.
Kita bisa menjalin pertemanan erat dimedia sosial, gadis-gadis bisa arisan hanya lewat facebook, kita bisa mengkritisi pejabat di twitter, melihat trailer film baru di youtube. Mendownload musik dari dailymotion, torrent, ganool dan sebagainya. Mengupload foto makanan di Instagram, path, pinterest, mencari informasi tentang Tuhan di Google, Bing, Yahoo. Mendengarkan khutbah tentang kitabsuci dengan live streaming. Kita juga bisa bercinta lewat chating di whatsapp, di-snapchat, BBM dan aplikasi yang bertebaran dihandphone pintar.
Semua aktifitas itu bisa kita lakukan dimana saja. Di-kantor, di rumah, di halte, di dalam taxy, dalam bus, didalam bajaj, bahkan diatas motor ojek yang sedang melaju. Sambil nyetir, sambil tiduran, sambil makan, sambil buang air pun kita bisa membalas komentar kenalan dimedia sosial. Saat sedang meeting pun kita bisa sambil meretwit banyolan Mario Teguh. Dalam perjalanan pulang kerja kita bisa update status atau membalas chat kawan di-Eropa meski kita lagi nangkring ditoilet umum. Kita juga bisa menunjukan diri lewat skype untuk kekasih jauh (yang tidak percaya bahwa kita sedang beribadah di masjid, gereja atau di pura). Hebatnya lagi, kita-pun bisa orgasme hanya dengan video call.


Yeah, karena begitu mudahnya... maka Teknologi tidak saja mengubah cara manusia berkomunikasi tapi merevolusi bagaimana manusia bercinta. 



Kemajuan teknologi komunikasi dan perkembangan media sosial berhasil membebaskan kita dari keterbatasan waktu. Mengubah rutinitas monoton menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Bayangkan, kita tidak perlu membuang-buang waktu untuk mengunjungi handai taulan yang sedang hajatan. Sekedar mengucapkan selamat ulang tahun atau belasungkawa bisa dilakukan dimedia sosial. Bukan hal yang aneh jika kita melihat orang senyum-senyum sendiri sambil memandangi handphone-nya atau orang yang ngamuk-ngamuk dengan memelototi gadget. Bukan hal lucu lagi jika permusuhan terjadi karena komentar-komentar di media sosial. Lihat? Semua realitas terserap dilayar sentuh itu. Apakah itu benar-benar membebaskan kita? Iya! Awalnya. Hingga kemudian dunia pun menjadi autis dengan sendirinya. Keramaian disekitar kita tak ada artinya, semua itu tak pernah terjadi jika orang lain tidak melihatnya berupa foto atau video dimedia sosial. No pict itu hoax. Orang orang tak lagi diam,semua punya aktifitas masing masing dengan kybord berukuran mini di handphone-nya. Seorang pertapa didalam goa yang hanya berteman bau dupa dan anjing kecil pun tidak akan merasa sunyi jika memiliki koneksi internet. Siapa yang tahu? Jika didalam goa itu dia sedang sibuk twitwar di twitter? Atau sedang asyik masyuk membalas komentar di foto-nya yang baru di upload di-facebook. Atau bisa saja di goa itu, sekedar untuk selfie atau update status lokasi-nya di Path?  Coba tanyakan itu pada anjing kecilnya.
Media sosial telah mengobati kesepian, menyelamatkan kebosanan, menyelamatkan banyak hal. Lihat saja, beberapa dinasti politik di Timur tengah luluh-lantah? dari Tunisia, Kairo, Libia hingga Suriah bergolak karena pesan berantai dimedia sosial.
Kerennya lagi, media sosial adalah tempat sembunyi paling rahasia dari kenyataan hidup yang pahit. Kita bisa berpura-pura baik di twitter untuk menyembunyikan karakter kita yang pendendam. Kita juga bisa berperan sebagai manusia bijaksana difacebook untuk menyembunyikan prilaku kita yang koruptif. Barangkali, kita adalah pribadi yang sangat membosankan didunia nyata tapi dimedia sosial kita bisa jadi apa saja. Kita bisa menjadi pribadi yang menyenangkan, terlihat begitu ceria, bahagia dan bersahabat. Walau saat kita offline, bahkan tetangga-pun tidak tahu siapa kita. Hey bukankah dunia ini begitu manis saat kita online?


Hari ini, kualitas hidup tidak ditentukan dari berapa banyak orang yang berkunjung kerumah kita, atau berapa orang kawan yang datang saat kita terbaring dirumah sakit. Kualitas hidup kita dinilai berdasarkan berapa banyak teman di facebook, berapa ‘like’ dialbum foto virtual,  berapa followers kita di instagram, di twitter atau dari berapa banyak emoticon smile di path saat kita update status. Itulah kualitas hidup kita.


Jelas, keterasingan sudah dibebaskan oleh perkembangan media sosial namun pada akhirnya semua itu segera memunculkan keterasingan lain yang lebih mengerikan, lebih terkutuk. Keterasingan yang lebih menggigil dari dingin kutub utara. Kita sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang virtual, mana yang real. Dunia menjadi delusional. Orang orang sibuk menghitung statistik pertemanan bukan diruang nyata. Para laki-laki robotic jumawa dengan twit-twitnya yang diretwit ratusan orang dan para wanitanya terbuai oleh berapa banyak ‘Like’ dialbum virtualnya. Ke-maya-an yang bermetamorfosis menjadi hyperrealitas. Ironisnya, bukan hal yang aneh jika portal berita memberitakan trending topik di twitter dan apa yang sedang ramai di facebook atau di youtube. Karena apa yang sedang jadi viral dimedia sosial lebih dibaca orang daripada harga cabe yang melambung tinggi.


Kau bisa mengupload foto atau video apa saja dimedia sosial tapi kau tidak akan pernah bisa mengupload cinta. Kau bisa menemukan siapa saja yang ingin kau temukan, mendownload lagu atau video-video yang membuatmu senang tapi kau tidak akan pernah bisa mendownload kebahagiaan.


Kita bisa jadi apapun yang kita mau diruang virtual, mencitrakan diri sebebas-bebasnya. Memenangkan kompetisi ke-maya-an, Kita bisa menciptakan realitas sesuai keinginan kita tapi realitas itu hanya eksis ketika kita online karena pertempuran hidup yang sesungguhnya adalah saat semua gadget, handphone atau laptop berubah offline. Lalu suara disekitar kita berbisik " Hey, sudah makan belum" Itulah hidup yang sesungguhnya.
Karena didunia yang begini sulit, apakah ada yang lebih menyenangkan dari jabat tangan seorang kawan? Apakah ada yang lebih membahagiakan selain pelukan seorang kekasih? Dan semua itu tidak ada dimedia sosial.
Dan sebagaimana layaknya media, jadikanlah media sosial sekedar media yang hanya eksis sebagai media. Bukan sebuah realitas utuh


Jakarta, November 2015

note: source gbr .kompasiana.com


Thursday, 5 November 2015

Quavadis Ateisme




We need to find God, and he cannot be found in noise and restlessness. God is the friend of silence. See how nature - trees, flowers, grass- grows in silence; see the stars, the moon and the sun, how they move in silence. We need silence to be able to touch souls 
"Mother Teresa"


                          Silence is the language of god, all else is poor translation.-Jalalludin Rumi-

Pada abad 18 dan 19, Ateisme dianggap sebagai pandangan yang baik dan memberikan kebebasan bagi ilmu pengetahuan untuk menentukan masa depan umat manusia. Pemikiran ini banyak dipegang para pemikir modern. Sejak nubuat Niezctche ttg “Kematian Tuhan” dan kemudian diikuti Heideger, para pemikir Modern mengganggap semua nilai transenden hilang secara pasti dan kemanusiaan dianggap sebagai hal yang utama dari nilai-nilai diluar alam. Mereka percaya bahwa hanya dengan “kehilangan Tuhan” maka segalanya akan menjadi mungkin. Dalam pandangan itu, pemikir modern menekankan bahwa tidak ada standar objektif bagi keseluruhan kesadaran manusia.
Menjelang millennium, dengan Metode dekontruksi “Derida” hingga munculnya pemikiran Postmodern yang menggugat materialisme modern dan kerinduan akan nilai-nilai religiutas hingga mengambil kembali metafisika yang di era modern dikalahkan oleh materialisme mekanik. Para pemikir postmodern mulai mengkaji konsekwensi negative Ateisme!! Dengan berlatar pada munculnya dekadensi moral, genocide, perang dunia 11 dan ancaman global warm serta perang nuklir yang mengubah wajah dunia dalam penderitaan yg panjang. Bagi pemikir postmodern, Materialisme mekanik modern sudah selayaknya ditinggalkan karena terbukti tidak bisa dijadikan acuan bagi berlangsungnya kehidupan dunia. konsekwensi negative ATEISME antara lain.
1. “Nihilisme”
Pandangan ini menekankan bahwa bagaimana menjalani hidup dan termasuk cara kita memperlakukan org lain akhirnya sudah tidak penting lagi. (scr pribadi saya berasumsi pemikiran ini juga melanda kaum eksitensial yang menggugat ketidakbermaknaan hidup) pandangan ini bisa mengakibatkan keputus-asaan yang panjang, bunuh diri, hingga kejatuhan moral. Jika pandagan seperti ini dipegang oleh manusia dgn kekuatan penghancur ditangannya akan menghasilkan dunia yg sangat berbahaya.
2. “Materialisme ateistik”
Pandangan ini menekankan bahwa manusia tidak berhenti menjadi religius tanpa beriman pada satu objek religius tradisional. Materi adalah realitas tertinggi alam semesta. Pandangan ini, bisa mengakibatkan nafsu tak terpuaskan dalam mengejar bentuk-bentuk materi. Pemikiran ini melahirkan “Darwinisme sosial” dengan etika “Survival for the Fittest”. Persaingan tak terkendali dan menciptakan dunia dgn menyisihkan semua yang gagal bersaing. Bayangkan akan seperti apa dunia?
3. “Militerisme dan Nuklirisme”
Pandangan yang menganggap bahwa hanya mahluk-mahluk fisik saja yang memiliki pengalaman indrawi. Sehingga tak ada norma objektif yg mempengaruhi tindakan manusia. Pemikiran ini menghasilkan kesimpulan bahwa hanya kekuatan pemaksa satu-satunya cara untuk mempengaruhi org lain. Realpolitik “Machiavellian” akhirnya menjadi ciri dunia hari ini. bayangkan??
4. “ Neotribalisme”
Pandangan yang menekankan perbedaan antara “kita” dan “mereka”dan menyatakan bahwa norma-norma moral yg berlaku pada kita tidak berlaku bagi mereka. Rasisme akhirnya menjadi pola dasar dalam keseluruhan kesadaran.
Akhirnya,,
Manusia menjadi tenaga penghancur kehidupan tata surya, nilai Transendensi mungkin akan menjadi medan perdebatan paling sengit dewasa ini. Tapi apapun itu harus disadari bahwa kemanusiaan manusia tidak bisa menjamin kehidupan sosial yang baik. Manusia cenderung lemah ketika berhadapan dgn hukum-hukum alam. Dan bagi kaum postmodernis hanya Percaya pada Tuhan-lah yang bisa menyelamatkan dunia dari ancaman dehumanisasi.

Zat tertinggi tidak harus diperdebatkan sebagai mahluk ber-pribadi, memiliki karakter atau berjenis kelamin, Namun bagi postmo percaya pada Tuhan adalah satu-satunya penolong manusia dari keruntuhan moral. Tanpa terjebak pada antroposentrisme yg menganggap mahluk lain hanya untuk kepentingan manusia. Bagi Postmo, hukum-hukum moral adalah nilai tertinggi bagi ilmu pengetahuan. Tanpa itu, kecerdasan manusia hilang bersama keniscayaan kejatuhan tata surya.


Tiba tiba, pengusung modernis bertanya?


Mengapa atas nama Tuhan kita justru menindas orang lain? mengapa dengan mengatasnamakan Tuhan, kita kehilangan kemanusiaan kita? 


Ber-Tuhan-
Tanpa harus memikirkan Tuhan orang lain, tanpa harus mencurigai kepercayaan orang lain. Menghormati tanpa mereduksi, Toleransi tanpa prasangka karena Tuhan adalah Tuhan yang tidak pernah menindas.