Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Showing posts with label CULTURE. Show all posts
Showing posts with label CULTURE. Show all posts

Thursday 14 May 2009

DISTORSI BUDAYA. " -Dari Kesenian Merdeka Menjadi Kesenian Budak-"

Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa perkembangan sejarah bukan hanya ditentukan oleh kemajuan intelektual maupun progresifitas teknologi. Gerak kesenian sebagai budaya rakyat juga turut serta memberi andil pada gerak laju sejarah. Item-item estetika murni sangat mempengaruhi manusia menemukan arah kemanusiaannya. Diruang itu, rakyat sebagai individu merdeka mengembangkan kreatifitasnya, mengekspresikan diri sebagai manusia bebas lalu berinteraksi dengan otoritas diluar dirinya baik itu individu lain, lingkungan sosialnya maupun dunia sebagai kosmos yang menaunginya.
Kesenian sebagai wahana yang menjembatani rakyat dalam hubungan social tanpa fragmentasi yang kemudian bermetamorfosa sebagai sebuah media yang menerangkan visi dan misi kehidupan bermasyarakat yang didalamnya, setiap individu berhak mengapresiasikan dirinya dalam kerangka moral yang disepakati bersama secara spontan, tanpa intervensi maupun represi dari hirarki kekuasaan. Seni rakyat merupakan pranata rakyat yang otonom karena lahir dari bawah, taman indah rakyat yang terlindung dari tatanan resmi para elite, baik itu raja, negara, pemilik modal atau kepentingan-kepentingan lain. Lebih dari itu, Kesenian juga mampu memanifestasikan kondisi sosio histories suatu masyarakat dalam arti bahwa masyarakat yang sakit akan menghasilkan kesenian yang bersifat desktruktif pun sebaliknya.


Kesadaran murni rakyat dalam melihat budayanya sendiri menjadi ambivalen ketika kepentingan-kepentingan modal masuk dan mendistorsi ruang kesenian dalam kubangan lumpur kotor komersialisasi. Dititik inilah, kesenian rakyat direduksi menjadi budaya popular yang diproduksi massal dengan tujuan-tujuan profit. Dengan fakta tersebut, rakyat tidak lagi menjadi individu merdeka tapi hanya dijadikan sekedar komoditi, sebatas fungsi semata dalam proses produksi. Ketika seni rakyat dirampok dalam hitungan-hitungan laba-rugi, seni itu tidak lagi otonom tapi berubah wajah menjadi kekuatan represi yang mengintegrasikan kepentingan modal juga politik kedalam seni rakyat.
Berbanding terbalik dengan seni rakyat yang mengakar dari bawah, Budaya popular (seni popular) justru berasal dari atas karena dibentuk oleh usahawan (pemilik modal) dengan memanfaatkan para ahli (seniman). Khalayaknya adalah konsumen pasif yang bernapas dalam kesadaran palsu. Individu yang awalnya merdeka dalam mengejawantahkan ekspresi keseniannya kini dirampok hingga terisolasi, teralienasi karena peran mereka sebatas membeli atw tidak membeli…. Ironis!!


Industrialisasi kesenian kemudian melahirkan perangkat-perangkatnya yang berdiri untuk mendukung dominasi pemodal dalam memanipulasi watak seni rakyat. Munculah media massa popular yang kelahirannya merupakan konspirasi terselubung pemilik modal yang bertujuan membantu memaksakan produk-produknya ketenggorokan rakyat. (harap dibedakan antara pers popular dan media massa ideologist yang berpihak pada seni rakyat, atw antara jurnalis popular yang jelas berorientasi uang dan jurnalis ideologist). Kehadiran media massa popular semakin mereduksi nilai-nilai seni rakyat kedalam struktur kekuasaan. Karya seni kini mulai dipertanyakan orisinalitasnya juga keberpihakannya. Kegeniusan sang seniman yang awalnya berkarya diluar batas pasar komersial kini dipaksa masuk dalam jaring konsumerisme. Seni rakyat akhirnya ternegasi dalam oposisi biner antara criteria komersial melawan kemegahan artistic, atw antara rangsangan intelektual melawan kesenangan popular. Media massa popular sebagai alat pemodal juga berperan aktif dalam menebarkan kesadaran palsu bagi rakyat. Dengan kekuatan iklan, promosi yang gencar yang menghapus batas wilayah, media massa tersebut berhasil membentuk opini public. Realitas yang terbangun tidak lagi murni dari rakyat tapi turun karena instruksi dari atas. Media massa kemudian menggiring rakyat yang tadinya bertindak sebagai seniman bebas masuk kedalam kesadaran palsu yang abstrak karena hanya berdasarkan kontrak keuntungan. Sekali lagi, rakyat hanya dilihat perannya sebagai komoditi!!


Gambaran yang terbangun adalah sebuah kerumunan massa yang mengkonsumsi nilai estetika tanpa berpikir, tanpa merenung, menangguhkan segala pemahaman kritis dengan mengadopsi semuanya sebatas dipermukaan luar hanya karena gencarnya tawaran iklan. Bujukan manipulatif media massa popular ini akhirnya membawa rakyat menuju jurang ketidaksadaran. Semua yang nampak hanya kesadaran palsu hasil kolaborasi media massa dan pemilik modal. Maka terjadilah penyeragaman selera, dimana setiap individu tidak lagi memiliki batas utk subjektifitasnya. Semua dilihat dari persepsi umum. Budaya tinggi pun akhirnya hadir membentuk watak dan moralitas budak bagi individu-individu yang awalnya merdeka. Penyeragaman selera tersebut lalu meminta konsekwensi pemodal melakukan recovery technology untuk memproduksi secara massal budaya (seni) dengan melihat rakyat sebagai massa yang berkerumun bukan lagi individu yang merdeka. Semua produk budaya kesenian akhirnya diproduksi besar-besaran dengan mengembangkan formula yang lembut, standar untuk menarik setiap orang karena rakyat dilihat sebagai massa yang berkerumun dan terbuka untuk dimanipulasi. (lihat genre musik popular yang saat ini berjaya di industri musik Indonesia, semuanya seragam, sama dan monoton). Selama individu diorganisir sebagai massa berkerumun, selama itu pula identitas dan kualitas kemanusiaannya juga hilang. Dengan demikian, tidak perlu lagi diragukan bahwasanya industrialisasi produksi massal tersebut tidak bisa diharapkan menjadi budaya (seni) yang otentik, merdeka atau partisipasi kebebasan sebagaimana yang bisa dilakukan oleh budaya (seni) rakyat. Budaya (seni) popular hanya datang berdasarkan kebutuhan pemodal.

Media massa sebagai kacung pemodal juga sangat bertanggung jawab dalam menebarkan racun tersebut. Rakyat yang direduksi menjadi massa semakin abstrak dalam kesadaran palsu. Individu merdeka yang menjadi massa ini, menikmati kesenian popular dengan emosi dan kepekaannya yang dimanipulasi, kebutuhan dan hasratnya didistorsi agar harapan dan cita-citanya dieksploitasi demi kepentingan konsumsi. Media massa popular melakukannya melalui dramatisasi ditingkat permukaan, fantasi-fantasi, impian-impian yang menyesatkan arah dan kekritisan individu merdeka yang sebenarnya merendahkan martabat kebebasan. Ironisnya rakyat sebagai otonom pembuat, penikmat seni tersebut masih asyik beronani dalam kesadaran yang termanipulasi!!.


Perkembangan selanjutnya adalah ketika Negara, elite-elite kekuasaan bersetubuh dengan pemodal dalam memanfaatkan media massa popular untuk melanggengkan kekuasaanya. Budaya dan seni rakyat yang telah tersubversi menjadi budaya massa lalu digunakan sebagai alat kontrol kesadaran. Diatas sudah gw singgung bahwa kesadaran kritis rakyat sudah tidak bisa diharapkan lagi akibat racun budaya popular yang menghancurkan otonomi individu. Dititik ini, Negara dengan mudah menjejalkan doktrin-doktrinnya kedalam mulut massa. Propaganda kedalam budaya popular menunjukan potensi bagi kaum elite memanfaatkan media massa popular untuk mempersuasi, menjajah, mengeksploitasi rakyat lebih systematis. Dengan mengendalikan lembaga-lembaga kekuasaan, mereka kemudian juga ikut mengontrol kesadaran yaitu selera rakyat demi memastikan dominasinya yang terus menerus. Seni yang awalnya merdeka kini menjadi budak yang menghamba pada kekuasaan dan pemodal. Kerangka moral seni rakyat (moral yang gw maksud adalah pranata merdeka yang disepakati bersama) akhirnya tercerai berai dengan hanya berpihak pada hirarki kelas dan status social. Selera yang seragam tersebut berhasil menghancurkan hubungan antara individu. Dimana individu mandiri dibentuk menjadi kekuatan massa dengan control terpusat. Disini, individu terbuka dalam menerima kekuasaan persuasif, manipulatif dan represif!! Kekuasaan, hirarki dan pemodal akhirnya merayakan kematian seni rakyat dengan suka cita.


Atas semua argumen-argumen yang singkat ini, siapakah yang bisa menyangkal bahwa ternyata budaya popular termasuk didalamnya musik top forty memang diperuntukkan untuk indoktrinasi terhadap individu merdeka menjadi kumpulan massa selayaknya kambing dipadang rumput. Elite-elite kekuasaan bersama kolega abadinya yaitu kapitalis (pemodal) memanfaatkan budaya popular demi untuk tujuan control agar rakyat yang jadi massa itu mengikuti gagasan, nilai-nilai untuk memastikan dominasi mereka, penjajahan mereka, eksploitasi mereka atas rakyat merdeka. Budaya popular mereduksi kesadaran kritis menuju moralitas budak.

Atau dengan kata lain......................
......................................................
..........Budaya Popular Mencakup didlmnya Industrialisasi Kesenian, -Musik Top Forty, Film2 popular diTwenty One juga Media Massa Hiburan… Merupakan satu Bentuk Indoktrinasi kaum Kapitalis dan Kolega Abadinya (elite kekuasaan) utk memaksakan Gagasan, Nilai2 atw Hegemony mereka didlm Kesadaran kita, sebagai Kekuatan Kontrol yg Memastikan Dominasi mereka yg terus menerus atas kita. Penjajahan mereka atas kita. PERBUDAKAN MEREKA Atas KITA!!....................
.........
Generasiku meminum racun budaya popular lewat media massa.
Selamat dan sukses buat pemodal dan hirarki kekuasaan atas tragedy kematian seni rakyat!!!
TEPUK TANGANNNNNN ……………………………………….




SEKILAS SCENE MUSIK UNDERGROUND JAKARTA.. dari MASA ke MASA (Based On My Book)


--------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------

Sebuah Resume

Tidak bisa disangkal bahwa Indonesia juga secara langsung menerima imbas dari inovasi baru musik kontemporer. Wacana movement musik underground di negeri ini menemukan establishednya di pertengahan tahun 90-an. Progresifitas musik underground era itu merupakan titik paling mencerahkan. Perkembangannya bukan saja di Jakarta namun hampir merata diseluruh Indonesia. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, Underground era 90-an lebih variatif dan jelas. Konsepnya semakin matang, beragam (multi genre) dan sporadis. Gerak lajunya cukup signifikan.
Beberapa kalangan bahkan menilai bahwa era 90-an adalah batu loncatan bagi scene underground secara umum. Era 90-anlah yang meletakan pijakan paling kuat bagi perkembangan scene underground hingga hari ini. Jika mau jujur, scene bawah tanah di Indonesia mulai ada justru diera itu. Ditahun-tahun sebelumnya underground/independent bisa dikatakan absurd. Belum ada pembatasan rinci antara arus utama dan bawah tanah. Meski demikian ada baiknya kita menengok sebentar kebelakang pada decade tahun 70-an dan 80-an. Menimbang ada beberapa catatan kecil peristiwa diera itu yang sedikit banyak mempengaruhi perjalanan sejarah underground 90-an ditanah air khususnya di Jakarta.


A. ERA 70-an


Sebuah artikel dimajalah gaya hidup populer waktu itu “Aktuil” (dari Bandung) terbitan 1971, memberitakan bahwa ada sebuah kompetisi antar band yang diselenggarakan di-Surabaya. Nama event itu adalah “Underground musik Festival” dan diikuti oleh band-band seperti: Godbless, Gang Pegangsaan, Gypsy dari Jakarta, Giant Step, Super Kid dari Bandung, AKA/SAS (Surabaya), Terncem (Solo), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Penggunaan istilah underground pada event itu hanya untuk menjelaskan bahwa mereka inilah pioner-pioner awal generasi rocker di Indonesia. Karena konteks underground pada masa itu belum seperti pemahaman hari ini. Majalah Aktuil hanya sekedar menuliskan sebuah kata “Underground” tapi pengertiannya jelas berbeda dengan konteks underground yang dipahami hari ini. Di Indonesia pergerakan musik underground era tahun 70-an belum ada bahkan bentuknya-pun belum jelas. Bagaimana ada underground, bahkan diluar Indonesia eksistensi underground baru dalam tahap pertumbuhan. Gelombang besar ideology Punk yang anti kemapanan baru menggeliat dari penolakan terhadap perang Vietnam hingga antitesis bagi band-band seperti The Rolling Stones, The Beatles dsb, yang merajai radio-radio seluruh dunia. Sedikit riskan, jika di tahun 70-an mutasi underground sudah menyebar di negeri ini dimana technology dan informasi masih sangat terbatas (disini Underground dimaknai sebagai sebuah movement bukan aliran musik). Kondisi politik dan ekonomi di Indonesia waktu itu juga tidak bisa melapangkan gerak sejarah underground. Terlepas dari semua itu, majalah aktuil adalah salah satu majalah gaya hidup “Mainstream/Popular” yang menjadi trendsetter dan corong utama kaum muda. Majalah aktuil hanya bermaksud mengidentikkan musik rock dengan kata underground walaupun kemudian pemahaman underground ternyata berubah dan menjadi bias.

Diruang mainstream arus persaingan juga tidaklah sekompetitif hari ini. Ruang untuk mengeksplorasi bakat dan impian cukup terbuka lebar. Meski demikian tantangannya justru lebih keras diera itu dibanding masa kini. Band-band yang eksis pada era 70-an adalah band-band yang terbukti kompeten secara musikalitas. Mereka selain dituntut bermental kuat juga diharuskan memiliki kecakapan skill yang berkualitas. Hal itu bisa dimaklumi mengingat teknologi yang mendukung masih jauh dari memadai. Tidak seperti sekarang dengan mewabahnya studio home digital untuk memudahkan perilisan album juga perkembangan sarana informasi/internet. Hingga, walaupun musik dan liriknya hanya sekedar cuap-cuap namun bisa menjadi trendsetter baru (lihat wajah industri musik hari ini yang kebanjiran band-band seragam). Zaman itu jangankan berpikir untuk merilis album, untuk bisa manggung saja mereka sudah cukup puas. Era 70-an, ulasan musikologi lebih banyak dikaji pada ruang mainstream. Band-band diera ini, meskipun tidak frontal berada discene underground namun eksistensi mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Band-band seperti Godbless, Aka/Sas, Koes Plus, Pamber’s, The Rollies dkk adalah legenda hidup bagi musik Indonesia. Kemampuan mereka diatas panggung bahkan lebih berkelas dibanding band-band mainstream mapan hari ini. AKA/SAS misalnya, Band asal kota Pahlawan ini sebelum merilis album pada label “Indra Record” juga sempat berkelana di-Singapura. Band yang salah satu lagunya “Crazy Joe” sempat menduduki tangga teratas diradio Australia selama tiga minggu ini dikenal dengan aksi panggungnya yang aktraktif. Koes Plus yang dimotori Koeswoyo bersaudara adalah band yang pernah mengalami ketidakadilan penguasa. Band ini pernah merasakan pahitnya penjara rezim orde lama. Godbless, band kugiran yang eksitensinya sedemikian luar biasa hingga mengilhami musisi-musisi hari ini. Meskipun usia mereka sudah tidak muda lagi namun kiprah dan jasa-jasanya sudah sepantasnya dicatat dalam bingkai emas sejarah. Konflik-konflik yang kemudian mewarnai perjalanan hidup para maestro ini bukanlah acuan untuk menyepelekan peran mereka. Walaupun beberapa dari mereka ada yang terjebak dalam persoalan hukum namun itu bukanlah alasan menyingkirkan apalagi menghapus nama maestro-maestro itu dialtar sejarah musik negeri ini.

Kemajuan teknologi merupakan hal yang sangat urgent menyangkut seluruh lini kehidupan. Peradaban manusia juga ditentukan oleh perkembangan teknologi. Band-band era 70-an adalah band yang lahir sebelum booming teknologi digital dalam industri musik. Sistim recording pada masa ini masih menggunakan pita (analog) tentu saja proses recording masih sangat sulit dibanding sekarang dengan kemudahan digital (computer). Zaman itu didalam proses recording selain membutuhkan biaya mahal, teknis musikalitas juga harus mumpuni. Studio rekaman 16 track pertama diIndonesia adalah Laboratorium pengembangan dan penelitian Audiovisual “Tri Angkasa” didaerah Jakarta Selatan. Studio ini adalah satu-satunya studio yang paling canggih untuk decade tahun 70-an. Sebelumnya dibilangan Bandengan Jakarta Barat juga pernah ada studio recording bernama “Dimita studio” (studio ini pernah dipakai Koes Plus) namun hanya memiliki fasilitas 8 track. Terbatasnya infrastruktur adalah tantangan paling besar yang dirasakan oleh para pekerja musik. Makanya, scene underground era 70-an terbilang absurd, mengingat event-event yang mendukung pertunjukan musik masih belum sebanyak sekarang. Pertunjukan musik yang kira-kira bisa dikategorikan underground (bukan defenisi underground hari ini) hanyalah sebatas festival-festival musik yang memang berjasa dalam melahirkan darah-darah baru musisi Indonesia. Festival-festival musik era 70-an dijakarta yang cukup spektakuler adalah “Summer 28”. Pentas musik fenomenal ini mirip seperti “Woodstock” (dengan sajian musik dari beragam genre). Diadakan pada tahun 1972 dikebon binatang Ragunan. Pada Summer festival ini, band-band yang unjuk gigi selain maestro dalam negeri seperti Godbless, AKA/ SAS, Panber’s, Koes Plus juga diikuti oleh beberapa band dari Malaysia dan Filipina.(Wawancara dengan Iwan Xaverius, Jet Liar) Festival Summer 28 adalah pentas musik untuk “Memperingati 28 tahun Hari Proklamasi. Konon kabarnya disaksikan hampir 50.000 penonton.

Seperti yang sudah pernah disinggung diatas bahwa istilah underground pada masa itu hanya untuk mengidentifikasikan band-band yang ekstrem dengan gaya yang lebih liar untuk ukuran zamannya. Tepatnya, istilah underground lebih diidentikan dengan musik keras (musik Rock). Pada era 70-an perkembangan musik rock walau tidak begitu sebesar sekarang namun geliat-nya tidak tepat dikatakan stagnasi. Selain eksistensi band-band pria dengan segala macam kemaskulinan-nya, ada juga band-band rock wanita. Jika dibarat ada Jannis Joplin, Lita Ford, Emily Evanesence, Gwen Stefany atau Joan Jet, maka di Indonesia (Jakarta) ada band-band yang personilnya juga rata-rata perempuan. Sebut saja The Beach Girl, duo Pretty Sister, Dara Puspita atau Aria band (untuk band terakhir, hanya drumernya saja lelaki) luar biasanya band-band wanita ini juga terinfluence bahkan mencover musik rock ala Deep Purple, Led Zeppelin juga Black Sabath. Mereka juga bergerak dari bawah tanah (manggung dipentas-pentas kecil hingga venue besar) sebelum dikontrak oleh pihak label, tentu saja setelah itu gaya bermusiknya-pun sudah harus menyesuaikan dengan kemauan label. The Beach Girl misalnya, band yang dimotori oleh alm Hj Veronica (istri pertama raja dangdut H. Rhoma Irama) adalah band yang sering malang melintang bahkan sampai keluar Jakarta. Hingga kemudian dikontrak oleh Label Remaco. (Wawancara dengan Iwan Xaverius, Jet Liar)

Secara umum, progresifitas scene underground di era 70-an belum bergerak dalam konsistensi yang pasti. Di diluar negeri sendiri, band-band yang menjadi tolak ukur pergerakan subculture itu juga baru menggeliat. Kondisi ekonomi politik dalam negeri juga turut mempengaruhi lambatnya evolusi itu. Era ini, scene underground tidak ada dalam arti yang real. Jika pengertian underground adalah band-band yang tidak perduli terhadap arus popular, band-band yang tidak berada dalam sebuah major label maka kesimpulannya, musik rock pada era 70-an hanyalah cover version dari band-band luar. Orientasi bermusik pada masa itu hanyalah sekedar sebuah penegasan diri, bermusik untuk mengeksplore kreativitas tanpa tendensi apapun. Pada masa itu, musik sulit untuk dijadikan sandaran hidup. Kalaupun ada yang perlu dicatat pada periode 70-an adalah album Guruh Gipsy yang direkam secara independent ditahun 1976, barangkali itulah album indie pertama dinegeri ini. (data tentang ini masih beragam). Album yang memadukan musik tradisional Bali dan musik modern itu direkam dari bulan juni 1975 hingga November 1976 distudio Tri angkasa (ada pendapat yang mengklaim album ini diedarkan oleh PT Pramaqua) namun saat wawancara dengan Denie Sakrie (Ex wartawan Majalah Aktuil) pendapat itu terbantahkan. Menurut beliau, album tersebut murni album indie pertama karena diedarkan bukan ditoko-toko kaset dan menggunakan pola kerja Do It Your Self. (Wawancara dengan Denie Sakrie via telepon)


B. ERA 80-an


Pada awal-awal tahun 80-an, dunia dikejutkan oleh munculnya genre Hair metal/Glam rock, sebuah gaya bermusik yang sebenarnya reinkarnasi dari rocknroll, perbedaan-nya hanya pada style perfomanche. Euphoria arus utama glam rock juga mempengaruhi wajah musik Indonesia. Band-band seperti Quiet Riot, Montley Crue, Van Hallen, Poison, Kiss, W.A.S.P hingga Guns’n roses menjadi trend baru bagi anak muda negeri ini. Glam rock kemudian menjadi mainstream. Sampai ternegasi oleh munculnya wabah Trash metal, Grind Core, Death Metal dan varian-varian Metal lainnya diakhir periode 80-an. Efek dari arus utama glam rock/hair metal adalah munculnya band-band di Indonesia yang terinfluence oleh genre ini.

Pertengahan 80-an, tepatnya pada tahun 1984. Seorang pengusaha asal Surabaya bernama “Log Zhelebour” sukses menggelar festival rock Indonesia yang selanjutnya diadakan secara berkala sampai saat ini. Tokoh ini sedikit banyak telah memberi andil terhadap perkembangan rock era 80-an. Festival musik yang juga terselenggara berkat bantuan perusahaan rokok ternama ini finalnya kerap diadakan di kota Surabaya. Hingga menciptakan stigma bahwa Surabaya adalah barometer rock Indonesia. Festival musik ini banyak melahirkan band-band kugiran yang sempat mewarnai perjalanan sejarah musik rock diIndoensia. Band-band seperti, Roxx, Jet Liar (Jakarta), El Pamas, Grass Rock (Malang), Adi Metal Rock (Solo), Power Metal, Andromeda, Red Spider, Kamikaze, Kaisar (Surabaya) hingga Val Halla (Medan). Tokoh Log Zhelebour ini jugalah yang membidani lahirnya label rock pertama diIndonesia. Logiss record (Log Zhelebour Indo Semar Sakti) sebuah label yang berfusi dengan PT Indo Semar Sakti. Perusahaan yang juga membawahi label-label seperti Perina Record, King’s Record, Bilbord Record, Bulletin Record, Broadway Record, Granada Record hingga Aruna Bhaswara Record. Meski label Logiss ini adalah label yang khusus memproduksi album rock namun untuk mengkategorikan label ini sebagai label indie masih terlalu jauh. Produksi pertama logiss record adalah album ketiga milik Godbless “ Semut-semut hitam” yang dirilis tahun 1988 dan terjual 400.000 ribu keping diseluruh Indonesia.
Scene underground di era 80-an secara umum tidak mengalami perkembangan yang signifikan dibanding masa sebelumnya. Geliat arus utama juga tidak begitu berubah. Masih menampilkan band-band klasik 70-an.
Tidak adanya album indie (dalam pengertian direkam diluar major label) di era ini adalah bukti bahwa scene underground era 80-an belum menemukan identitasnya. Subculture-subculture yang sebenarnya identik dengan gerakan bawah tanah malah dikapitalisasi. Era 80-an juga menandai bagaimana bergeraknya subculture itu kearah industri. Venue musik juga hanya sebatas festival-festival, sama seperti era sebelumnya. Venue-venue itu antara lain “Festival Rock Merah Putih” yang diadakan sekitar awal tahun 80-an diparkit timur Senayan Jakarta. Festival inilah yang berjasa melahirkan nama Bharata band (Jelly Tobing), selain itu ada juga “Future Rock Festival” yang diselenggarakan di lapangan menteng. Tradisi lama yang perlu dicatat adalah kekeliruan mendasar dalam diri para musisi yaitu bangga menjadi band cover. Kemandirian bermusik mereka hanyalah epigon dari band-band luar negeri. Tradisi yang sebenarnya turunan dari maestro-maestro 70-an.
Pada periode ini sedikit sekali album yang dirillis. Era 80-an lebih tepat dikatakan sebagai masa transisi menuju scene underground yang sesungguhnya. Munculnya komunitas-komunitas dengan latar belakang genre musik diakhir tahun 80-an merupakan secercah cahaya bagi gerakan bawah tanah periode selanjutnya. IRC “Indonesian Rock Club” yang bermarkas didaerah Sunter barangkali komunitas musik pertama dijakarta. IRC mengadakan festival musik sekitar tahun 1982 dilapangan Golf Ancol. (Wawancara dengan Iwan Xaverius, Jet Liar)

C. ERA 90-an


Menjelang akhir 80-an, pengaruh Hair metal/Glam rock memudar. Arus utama yang pada awal melejitnya ini dikritik oleh para kritikus musik sebagai genre yang hanya mengedepankan penampilan mulai kehilangan ruang. Seperti yang sudah diramalkan Friedrich Wilhem Hegel bahwa sejarah adalah proses dialektika, saling bernegasi hingga melahirkan sintesis. Heavy metal, genre musik yang dipelopori oleh Led Zeppelin, Black Sabath, Deep Purple dan didekontruksi ulang oleh Rush, Judas priest, Kreator, Slayer, Metallica hingga Sepultura akhirnya mencapai titik menggembirakan didekade akhir 80-an. Heavy metal yang berkibar ditahun 70-an ini ternyata melahirkan varian-varian baru didalam dirinya. Trash metal, Death metal, Black Metal, Gothic hingga Grindcore menjadi kegilaan baru bagi anak muda seluruh dunia termasuk Indonesia. Dirilis-nya album dari beberapa band varian-varian metal dunia dipenghujung 80-an memberi nuansa baru bagi perkembangan musik ekstreem hingga kemudian menjadi fondasi underground ditanah air. Hal inilah yang membentuk “self character” didalam scene underground Indonesia era 90-an. Hingga menciptakan stigma bahwa underground Indonesia era 90-an identik dengan subculture metal dan varmet (varian metal) lainnya. Sekitar Tahun 1989, Radio Mustang FM mengadakan sebuah acara musik yang mulai menampilkan band-band ekstreem. Acara tersebut digelar didaerah Bulungan Blok M, dengan nama "Mustang Rock ’N Rhytem". Roxx, Suckerhead, Razzel, Toilet, Brawijaya adalah band-band yang unjuk gigi diacara tersebut. Pada masa ini, progresifitas musik ekstreem memasuki tahapan yang cukup menggembirakan. Bukan saja Jakarta, namun merata hampir disetiap kota-kota besar Indonesia. Selain Surabaya, Bandung juga mencatat sejarah, sebagai salah satu kota dengan geliat underground yang signifikan di tanah air. Pada tahun 1993, PAS band, band yang tumbuh besar dibumi parahiyangan itu membukukan namanya sebagai band Bandung pertama yang sukses merilis album indie dan terjual lebih dari 5000 keping. Album indie PAS band “Four Through The S.A.P” itu diedarkan dengan system distribusi titipan kebeberapa radio di-Bandung dan Jakarta. Ironisnya, Pas band sendiri kemudian menuai kritik setelah menjalin kontrak bersama PT. Aquarius Musikindo, label besar yang berkantor didaerah Pondok Indah Jakarta. Beberapa kalangan menganggap band ini “sell out” akibat dicap merubah style bermusiknya setelah berada dalam major label. (kontroversi itu tidak akan dibahas disini).

Seperti yang sudah disinggung diatas bahwa diakhir tahun 80-an komunitas-komunitas dengan background genre musik mulai bermunculan. Komunitas-komunitas ini merupakan landasan paling kuat bagi terciptanya scene underground era selanjutnya . Kehadiran komunitas ini memberi andil besar bagi perkembangan scene underground. Mereka menyebar hampir disetiap sudut kota. Selain factor kesamaan selera musik, komunitas ini juga disatukan oleh kondisi wilayah (berada disatu tempat tinggal yang sama, satu tempat nongkrong dll). Tidak bisa disangkal bahwa dari komunitas-komunitas inilah pergerakan underground menemukan bentuknya yang paling real. General-nya, banyak band-band dengan konsep dan idealisme yang kokoh lahir dan tumbuh besar dari sebuah komunitas. Mereka bergerak dalam konsep yang mereka ciptakan sendiri. Merilis album dan mengedarkan secara partikular dikomunitas mereka. Selain itu, komunitas-komunitas itu juga kerap mengadakan venue-venue musik. Membuat fanzine, news letter, website dan lain-lain, yang tujuannya untuk membesarkan pergerakan mereka. Karena begitu menjamurnya komunitas dengan background genre musik di Jakarta baik Metal, Punk, Jazz dan beragam lainnya. Demi untuk mempersempit ruang, maka hanya komunitas Metal dan Punk saja yang akan diulas secara umum disini. Bukan mengindahkan komunitas lain diluar dua genre tadi. Secara umum, dua komunitas genre itulah yang signifikan meletakan dasar bagi progresifitas scene underground ditanah air. Pengaruh dua komunitas itu sulit untuk disangkal. Kelahiran scene underground musik diIndonesia bahkan bermula dari dua komunitas genre tersebut.


a. Komunitas Metal


Di Jakarta, komunitas Metal pertama kali muncul pada tahun 1988. komunitas ini biasa berkumpul di “Pid Pub”, sebuah pub kecil dikawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Setiap malam minggu biasanya ada live show yang menampilkan band-band dari komunitas itu dan secara kebetulan dunia lagi dilanda euphoria metal maka live show dipub itu cenderung menampilkan band-band varmet (varian metal). Dari pub tersebut lahir band-band metal klasik Indonesia yang sesungguhnya (waktu itu istilah underground belum begitu popular). Sebut saja Rotor, Sucker Head, Roxx, Mortus, Parau dan lain-lain. Banyak dari band-band ini kemudian membelah diri menjadi band-band baru dan cukup eksis diblantika musik tanah air. Selain Pid Pub, tempat lain yang biasa jadi tempat nongkrong anak-anak metal adalah pelataran “Apotik Ratna” dikawasan Cilandak Jakarta selatan. Tak begitu jauh dari apotik Ratna ada sebuah studio bernama “Studio One Feel”, studio ini banyak menyimpan sejarah bagi scene underground 90-an khususnya untuk genre metal ibukota. Pada bulan juni 1992, Sepultura sukses menggelar konser di Jakarta. Setahun berikutnya Metallica juga ikut membakar Jakarta. Kedatangan dua grup metal dunia ini semakin mempertegas identitas scene underground tanah air khususnya komunitas metal. Kontribusi kedatangan dua grup metal dunia ini berpengaruh besar pada dunia musik Indonesia. Imbasnya, setelah sukses sebagai band pembuka Metallica. Rotor berhasil merillis album “Behind The 8th Ball” dibawah major label AIRO, label yang dimiliki pengusaha “Setiawan Jody” album ini merupakan hasil dari honor dua kali sukses membuka konser group dengan vokalis James Hetfield itu. Selain Rotor, band-band metal klasik lainnya yang juga telah merilis album adalah para finalis festival rock Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Roxx dengan self title “Roxx”. Album ini merupakan album speed metal klasik yang dirilis oleh major label Blackboard. Band lain yang kemudian mendapat kontrak dari major label adalah Sucker Head. Dibawah major label Aquarius Musikindo pada tahun 1995 tercatat dengan debut albumnya “The Head Sucker”. Sukses ketiga band tersebut dalam merilis album semakin membakar spirit anak-anak metal Jakarta. Meski album mereka dirilis dibawah bendera major label tapi bagi komunitas metal hal itu merupakan langkah maju. Mengingat sulitnya band-band dari genre varmet mendapat kepercayaan dari perusahaan rekaman.
Pertengahan tahun 90-an, komunitas metal semakin bergerak keselatan Jakarta. Konsentrasi mereka berpusat diblok M hingga menyebar kesudut-sudut ibukota. Komunitas ini tidak memiliki nama secara formal. Beberapa kalangan hanya menyebut “Komunitas Metal Blok M/Jakarta”. Sebagian besar anak-anak metal terlihat nongkrong dilantai 6 game center Blok M Plaza. Sebagian lagi memilih nongkrong di basement mall, jalur 6 Terminal Blok M (grindja, “grindcore jalur”). Selain hang out mereka juga saling bertukar informasi tentang band-band local maupun internasional, barter flyer/kontak person label Indie luar negeri, barter CD, jual beli T shirt, pertandingan sepakbola antara band-band metal yang diadakan di “Lapangan Pasir ABC Senayan” hingga pengorganisiran konser-konser. Waktu itu perkembangan teknologi internet meskipun sudah ada namun masih belum familiar. Medio tahun 1995-1996 merupakan era paling cerah bagi komunitas metal ibukota. Beberapa band yang tumbuh dan semakin bersinar adalah, Tengkorak, Trauma, Grausig, Adaptor, Betrayer, Purgatory, Commotion of Resourches, Godzilla, Corporation of Bleeding, Sadistis dsb. Pada medio ini, Tengkorak berhasil mencatatkan namanya sebagai band varmet (varian metal) Grindcore pertama diibukota yang merilis mini album secara independent berjudul “It’s A Proud To Vomit Him”. Album ini direkam secara professional distudio Triple M Jakarta. Album yang murni “Do It Your Self” ini, direkam dengan penuh perjuangan dan kerja keras. Bertindak sebagai sound engineer Harry Widodo (beliau ini juga pernah ikut ambil bagian dalam album Rotor).

Obsesi untuk mendapat kontrak rekaman dari major label adalah sesuatu yang begitu muluk pada saat itu apalagi bagi band yang mengusung musik ekstreem. Meski beberapa band metal dan varmet lainnya telah berhasil meyakinkan major label namun itu tidak bisa digeneralkan bagi semua band-band metal. Setelah demo Tengkorak secara “dramatis” dibuang oleh beberapa major label. Album It’s Proud To Vomit Him adalah album pembuktian bahwa scene underground khususnya komunitas metal mampu untuk berbuat tanpa harus berdiri dibawah major label. Album ini adalah satu-satunya album diparuh 90-an dijakarta yang direkam dan didistribusikan secara independent. Beberapa orang malah menilai album ini merupakan “Album Underground Pertama yang Sesungguhnya”. Mengingat band-band metal dan varmet lainnya diibukota merilis album dibawah major label. Sulit untuk mencari pembenaran atas pernyataan itu. Menimbang batas tipis antara mainstream dan non mainstream sangat transparan. Bahwa genre metal dan varmet lainnya merupakan genre musik yang diklaim “tidak menguntungkan secara bisnis” namun ternyata masih ada juga label besar yang berani gambling. Satu hal yang pasti, album pertama dari Tengkorak ini ternyata beredar hingga “keluar negeri” dan terjual diatas 5000 keping. Album It’s A Proud To Vomit Him diedarkan secara konvensional tanpa bantuan media massa (baik cetak maupun elektronik). Beredarnya album Tengkorak hingga keluar Indonesia merupakan prestasi yang luar biasa dan cukup mengilhami band-band underground tanah air.
Kondisi yang tercipta setelah album Tengkorak tersebut mempercepat pergerakan underground keseluruh Indonesia. Album yang dirilis ditahun 1996 tersebut menginspirasikan semua orang bahwa tidak selamanya label besar itu bisa dijadikan acuan. Tengkorak berhasil menulis sejarah sebagai band underground varmet pertama diindonesia yang merilis album dengan system distribusi konvensional tetapi mampu menembus segmend diluar indonesia. Pencapaian yang begitu mengagumkan untuk ukuran underground masa itu.




b. Komunitas Punk


Berbeda dengan komunitas Metal, anak-anak Punk ibukota jauh lebih sporadis. Dilihat secara historis, punk merupakan genre musik yang memiliki nilai ideology yang mapan. Pemberontakan mereka bukan dalam resensi nada. Jika bertolak dari elemen bebunyian, punk bisa jadi kemunduran. Bagi anak-anak punk segala sesuatunya itu lebih didasarkan pada pemberontakan dalam arti fisial. Umumnya mereka tidak perduli musiknya disukai atau tidak. (HAI klip Februari 1996). Hal itulah barangkali yang jadi pegangan anak-anak punk termasuk di Indonesia. Identifikasi media massa terhadap komunitas punk seakan-akan mereka adalah “penyakit social” merupakan kekeliruan paling parah. Anak-anak punk sering asosiasikan dengan anarkisme. Ironisnya, sebagian kalangan kerap memahami kata anarkis sebagai tindakan kekerasan, perkelahian bahkan kriminalitas. Sungguh jauh dari apa yang coba ditawarkan para pencetusnya. Padahal para pencetus awal anarkisme seperti “Proudhon” atau “Bakunin” mendefenisikan anarkisme sebagai sebuah pemahaman yang menolak eksitensi negara. Karena bagi kaum anarkis, negara merupakan penindasan sistematis terselubung.. Misrepresentasi media dengan memberikan citra buruk bagi gerakan Punk, seakan-akan punk itu identik dengan drugs, berorientasi kekerasan dan merusak tatanan peradaban merupakan sebuah manipulasi opini. (Craig O’Hara “The Philosophy Of Punk” More Than Moise) Padahal dibanding genre musik lain, Punk merupakan genre musik dengan landasan ideologi yang matang. Bahkan dari merekalah underground yang awalnya hanya sebuah subculture berubah menjadi kritis dan berideology. Tidak bisa dipungkiri bahwa etos Do It Your Self adalah manifestasi kaum Punk dalam menentang kemapanan, ekspresi kelas pekerja untuk menolak eksploitasi dan gaya hidup kaum borjuis. Bahkan sebelum Sex Pistol, band-band Punk klasik telah mennyebarkan bibit-bibit pemberontakannya. Banyaknya faksi-faksi ditubuh gerakan punk (Skin head Punk, Anarcho Punk, Crusty Punk, Nazi Punk, Ska Punk, Scum Punk dll) merupakan keragaman dari konsep ideology tersebut. Selain itu, gerakan Punk juga kerap menyuarakan isu-isu sosial yang selalu bertentangan dengan public seperti isu gender, feminisme, open homesexuality, lesbian dan lain sebagainya.
Periode 90-an awal, komunitas punk ibukota juga mulai menunjukan taringnya. Komunitas punk ini berdiaspora dengan tidak berpusat pada satu titik. Berbeda dengan komunitas metal yang secara masif terkonsentrasi di Blok M. Sejak akhir tahun 80-an band-band punk sudah mulai eksis, Anti Septic barangkali cukup fenomenal. Band punk/hardcore yang selain sering manggung dijakarta juga memiliki jam terbang hingga diluar ibukota bisa dibilang sebagai band pioneer punk pertama dijakarta. Meski albumnya “finally” justru baru dirilis tahun 1997 namun kiprah band ini sudah eksis sejak tahun 1989. Selain Anti Septic, Jakarta juga mencetak band punk The Idiots yang sering mengcover lagu-lagu The Exploited. Band ini juga terbilang telat merilis album. Album mereka secara full berjudul “Living Comfort In Anarchy” dirilis oleh “Movement Record”. The Idiots berasal dari South Sex (SS), komunitas dibilangan Radio dalam Jakarta selatan. Selain itu juga tercatat band “Army Style”, band Punk yang terbentuk sejak tahun 1993 ini merupakan band punk dengan kekuatan ideology yang tercermin disetiap lagu-lagunya. Seperti pendahulunya band ini juga telat merilis album, band yang berasal dari komunitas Subnormal Kelapa Gading ini sangat kritis dalam merespon isu-isu sosial. Para pionernya bahkan terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi mahasiswa 98. Army Style pernah tercatat dalam album kompilasi “Punk Klinik Rotor Corp” pada tahun 2000 dengan menyumbangkan lagunya berjudul “Revolusi” dan pada tahun ini band yang juga awal terbentuknya mengcover lagu-lagu The Exploited ini terlibat dalam kompilasi “Sub Normal One Soul” yang sudah rillis. Konon kabarnya, Army Style akan lauching album fullnya berbarengan dengan band punk lawas Ibukota “Anti Septic”. Kiprah Army Style cukup signifikan dalam event-event underground dipertengahan 90-an. Selain itu, komunitas Punk juga menyebar ditempat-tempat lain dan melahirkan band-band punk dengan segala atributnya. Selain komunitas Young Offender yang melahirkan Pestoel Aer, komunitas punk juga terkonsentrasi diutara Jakarta. Sub Normal di-Kelapa Gading dengan band-band seperti Army Style, Klinik Jiwa, Hellcops, Dischord, Burning Inside dkk. Komunitas Sid Gank di-Rawamangun. Didaerah Kemayoran tumbuh komunitas Midle Side Crue dengan band semacam Trafic Lights, Captain Hook dll. Komunitas Semi Product (Semi People) di-Duren sawit, Brotherhood di-Slipi hingga komunitas Locos dan komunitas Blok M Street Punk di Blok M dengan band-band seperti Septictank, Sexy Pig, ada juga komunitas Meruya Barmy Army di daerah Meruya dengan membesarkan band-band seperti Neo Epilepsion, Civil Disorder dsb. Pada dasarnya komunitas-komunitas ini berkembang secara natural. Seperti anak-anak metal, mereka juga memiliki tendensi yang sama terhadap musik mainstream. Rillisan album Punk klasik antara lain “Walk Together, Rock Together” album kompilasi dari Locos enterprise yang menampilkan band-band seperti Anti Septic, Youth Against Fascism, Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Selain itu, Movement records juga merilis album kompilasi “Still one, Still Proud” dengan single dari The Idiots, Sexy Pig, Cryptical Death, Out Of Control dan lain-lain. Pergerakan komunitas punk makin mengkilap dipertengahan 90-an. Venue-venue alternative juga semakin banyak dan memberi ruang yang lebar bagi kiprah gerakan punk. Seperti umumnya underground, venue-venue itu kebanyakan diorganisir sendiri. Secara umum, perkembangan komunitas punk diibukota cukup signifikan sejak akhir 80-an. Komunitas ini bergerak cepat seperti air bah dan mewabah hingga saat ini. Catatan tersendiri bagi Komunitas Sub normal, Pada tahun 1994, Dischord’ band Ska-Punk dari komunitas yang juga memiliki pengikut hingga di luar Jakarta ini sempat mengukir sejarah sebagai band Ska pertama di-Indonesia yang merilis mini album VHS berjudul “Let’s Pogo”. Album dengan 4 buah lagu itu hanya diedarkan 100 keping dan sedikit sekali yang mengetahui keberadaannya. Adanya mini album itu menegaskan bahwa komunitas Subnormal adalah komunitas underground pertama dinegeri ini yang merilis album dengan pola kerja DIY.

*dari berbagai sumber-