Di Indonesia, sejarah kesenian (musik) dalam menjadi mesin propaganda telah berkembang sejak masa kolonial. Ketika Belanda berkuasa dibumi pertiwi, lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dilarang beredar. Rekaman lagu itu dibuat sangat terbatas dan judulnya pun dirubah menjadi “Indoness Indoness karena lagu tersebut dapat mengugugah jiwa patriotisme anak-anak muda. Zaman pendudukan Jepang, situasi mulai sedikit berubah. Pemerintah fasis Jepang memanfaatkan seniman-seniman pribumi untuk kepentingan propaganda “Negara Asia Timur Raya”. Pada Maret 1942 Jepang mendirikan “Radio Hosyo Kanri Kyoku” yang disiarkan dari Tokyo dan untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya (versi 3 stanza) dikumandangkan secara luas dengan iringan Orkes Simponi “Nippon Kosyo Kanri”. Ironisnya dibulan April tahun 1942, secara sepihak Perdana Menteri Jenderal Tojo Hideki mengeluarkan pengumuman melalui radio Hosyo Kanri Kyoku melarang pemutaran lagu Indonesia Raya dan upacara pengibaran bendera Merah Putih. Pemerintah Jepang lalu mengeluarkan Undang-Undang no 4 yang mewajibkan rakyat Indonesia mendengarkan lagu kebangsaan Jepang “Kimigayo” dan melaksanakan upacara pengibaran bendera “Himomaru”. Setelah itu, Jepang mendirikan Badan Pusat Kesenian Indonesia (BPKI) diketuai oleh Sanusi Pane. Organisasi itu didirikan pada bulan Oktober ditahun yang sama. Tujuan pendirian BPKI tersebut dimaksudkan sebagai siasat untuk memanfaatkan para seniman Indonesia agar mau ikut mensukseskan Negara Kesatuan Asia Timur Raya. Dimasa itulah “Cornell Simandjuntak” menciptakan lagu“Hancurkanlah Musuh Kita, Itulah Inggris dan Amerika”yang menjadi slogan perjuangan dan sangat populer pada masa itu. Di tahun 1943, Jepang kembali merekrut seniman Indonesia dibawah bimbingan komponis “Nobuo Lida” untuk mensosialisasikan lagu-lagu propaganda Jepang (Nippon Seishin). Seniman-seniman yang tergabung diantaranya antara lain, Cornell Simandjuntak, Kusbini, Bintang Sudibyo dan Ismail Marzuki. Lagu-lagu yang berhasil diciptakan contohnya adalah, Menanam Kapas, Bikin Kapal, Bekerja, Menabung, bersatu, Buta Huruf, Fajar, Kereta Apiku, Sayang, Asia Sudah Bangun, Bagimu Negri, Maju Putra-Putri Indonesia (setelah merdeka, lagu ini dirubah menjadi Maju Tak Gentar), Menanam Jagung, dan lain-lain. Keseluruhan dari lagu itu seakan-akan merepresentasikan dukungan rakyat Indonesia terhadap perjuangan Jepang melawan sekutu. Propaganda Jepang ini tidak berlangsung lama. Pasca kekalahannya oleh Sekutu, seniman-seniman Indonesia merubah ulang lagu-lagu tersebut demi kepentingan perjuangan. Pada tahun 1946 para alumni “Hollandsch Inlandsche Kweekschool” (HIK) membentuk paduan suara Pemuda Nusantara yang secara rutin menyanyikan lagu-lagu perjuangan di RRI Kotabaru, Yogyakarta. Mereka cukup sukses mengobarkan semangat kebangsaan didada para anak-anak muda untuk ikut berjuang demi kemerdekaan.
Pasca proklamasi 17 agustus, seni kembali dihadapkan pada kepentingan politik. Berawal dari sikap politik Soekarno yang anti barat hingga pelarangan segala hal yang berbau western. Baik produk ekonomi hingga menyentuh ruang estetika. Dengan kebijakan itulah maka personil ”Koeswoyo Bersaudara” ditangkap karena dianggap memainkan musik yang bertentangan dengan budaya Indonesia. Disini estetika dimaknai sebagai sesuatu yang bisa bermuatan politik. Presiden Soekarno mencanangkan irama lenso sebagai musik yang sesuai dengan budaya bangsa dan didukung oleh Jack Lesmana, Titiek Puspa, Lilis Suryani, dan Bing Slamet. Presiden RI pertama itu juga merangkul beberapa seniman untuk kepentingan propaganda. Lilis Suryani, penyanyi yang dekat dengan Sukarno menciptakan lagu berjudul “Oentoek Paduka Jang Moelia” lagu itu berorientasi untuk mengkultuskan figur Bung Karno. Beberapa lagu juga berhasil diciptakan untuk kepentingan politik semisal propaganda “Pergi Pedjoeang” dalam konfrontasi Indonesia dan Malaysia.
Diera Orde Baru Soeharto, musik lebih banyak digunakan untuk kampanye dalam mensukseskan program-program pemerintah. Seperti Mars Pemilu, Mars Keluarga Berencana, ACI (aku cinta Indonesia) dan lain sebagainya. Titik Puspa menciptakan lagu berjudul “Bapak Pembangunan”. Lagu itu didedikasikannya untuk pimpinan Orde Baru.
Pada perkembangan selanjutnya, kesenian (musik) terus bermutasi dalam panggung-panggung politik. Era Reformasi, para penguasa silih berganti menggunakan musik demi kepentingan agitasi. Para politikus kerap menghadirkan seniman dalam kampanye-kampanye mencari dukungan. Ada juga yang menggunakan musik untuk sosialisasi. Lihat, beberapa pemimpin partai politik belakangan ini sering membuat album musik. Dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan album “Rinduku Padamu” hingga Soetiyoso mantan Gubernur DKI Jakarta dengan album Campur Sari berjudul “Adem Panas”. Pada album ini, Sutiyoso, menyumbangkan suaranya pada lagu “Yeng Ing Tawang Ono Lintang”. Lain halnya dengan Amien Rais, capres yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) pada pilpres 2004. Meminta “Nomo Koeswoyo” untuk dibuatkan lagu. Hasilnya lagu “Putra Nusantara” pun diciptakan sesuai pesanan Mantan Ketua MPR itu. Selain itu, contoh yang lebih jelas adalah saat kampanye baik pilkada maupun pemilu. Partai-partai selalu menghadirkan seniman (artis Musik, Film, Sinetron) dalam mengambil perhatian massa. Disini seni menunjukan dirinya sebagai titik sentral agitasi dan propaganda.
berapa banyak hutang negeri ini pada kesenian, seni musik menopang berdirinya republik ini -
*tulisan ini adalah tulisan yg objektif tanpa bermaksud turut campur antara dukung mendukung atau antara sepakat dan tidak sepakat pada adanya negara, hanya sebuah tinjauan historis!
Thursday, 7 January 2010
SEJARAH SENI MUSIK SEBAGAI MEDIA PROPAGANDA DI INDONESIA *sebuah catatan singkat -
20:55
EL Hendrie
Artikel Terkait
0 komentar:
Post a Comment