Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Sunday 30 January 2011

waktu kau marah, bahkan iblis pun tak ingin berteman denganku!


Betapa maha genit-nya tuhan karena pernah mempertemukan kita lalu membuat jarak, padahal hidup masih panjang, Dia akan menciptakan banyak cara untuk kita saling melupakan..

andai saja besok kiamat, pasti ku culik kau skrg!

aku takan perduli jika itu menjadi dosa terakhir yang ku buat didunia…






Ini kota getir..

Berkabut jika malam tiba, pekatnya menganga seperti sisa kayu di api unggun. Sudut-sudutnya ditenun oleh bayangan kota dalam taman, gedung-gedung setengah tidur berdampingan dengan pabrik, sawah dan tanah kosong, berserakan seperti jala-jala nelayan.

Bila siang...

Mereka bilang ini kota apologia, didalamnya penuh dengan bocah tua nakal berdampingan dengan perempuan muda. Para pekerja, guru, buruh, tukang ojek dan orang kaya baru, mereka mengenakan kalung yang digantung di leher dekil dari lekuk tubuh yang bersesakan diatas mesin pabrik. Dijaga pak satpam yang celananya bermerek impor.

Disini tak perlu kau cari bayangan Lafargue, tak ada jejak Guy Debord disini, alih-alih mbah berjenggot tebal, Adam smith sedikit lagi akan menguasai kota ini dan yang kutemui hanya ruang berbinar hampa dan kosong, hampir setengah dari ruangan itu memutar musik, tak ada Jim Morrison disini apalagi AC/DC, tak perlu distorsi untuk menunjukkan kemewahan. normatif!


Aku disini na!

Berada diantara mereka, terengah-engah layaknya manusia dari planet lain setengah sekarat dalam pertentangan ide-ide.

Meskipun begitu, bagiku ini adalah kota imaji, tempatku menikmati keterasingan dan pelarianku dari jerit klakson yang memperkosa jalanan, memuaskan kegilaan petualanganku di deretan rumah yang tidak bersesakkan. Aku menemukan adrenalinku bergejolak di distrik bersawah yang masih juga diselipi pengendara slengean. Bagiku, kota ini lubang perlindungan dari bom bernama ideal-ideal, dari mimpi masa remajaku juga tempatku sembunyi………………………………… dari mu!

Ada banyak cerita yang ingin kuceritakan padamu na...

Kisah yang kudengar dari obrolan orang-orang yang duduk mengelilingi meja disudut ruangan berjuluk kantor. Cerita dari kota yang berselimut sunyi, dari negeri berawan biru muda, terletak di sudut timur tempat jakarta duduk sombong di tahta joroknya. Jauh dari tempatmu menidurkan ponakanmu, telanjang, tertatih-tatih, mengigau dan mandi, sampai rendezvous di lelehan macet.


Cikarang! Na… bila hari selesai datanglah kemari demi segelas jahe dan separuh kisah manis!


Jangan tanyakan apa-apa disini,

hujan gerimis dan matahari selalu bersahabat disaat malam, menggigil seperti bayi tanpa selimut. Bau harum tanah masih menempel dikorden jendela meski dibeberapa tempat separuh bahu jalan mulai ditutupi semen. Sudah dua hari mendung bermain-main diatas awan, daun-daun rontok dan serpihannya kadang masih melayang-layang dipinggir jalan. aku meraba jejakmu dihamparan sawah persis dimulut kantor, masih ada sisa sisa keramahanmu diantara debur angin yang menderu. Pepohonan, harum udara dan awan putih selalu membawaku pada ingatan tentangmu! Aku melihatmu berlari di sela hembusan angin menyapa mentari dan menjadikannya hangat.




Di lorong itu..

di antara kejenuhan kerja yang membongkar kegelisahan gedung-gedung dan manusia, diantara mirisnya slogan perubahan yang masih jijik pada keringat kaum buruh, aku menemukan secuil keindahan yang tidak dapat diilhami oleh seni mana pun, berkelebat di antara segala yang bernama dan tidak bernama, di antara segala yang nyata dan tidak nyata. Seorang gadis yang mencintai hidup dengan cara yang biasa, seseorang yang merindukan daun hijau meski separuh hari-harinya terpenjara dalam etalase kaca kantor. Seketika itu kami dekat dan setiap malam menciptakan ruang, adegan dan merancang obrolan yang kadang aneh.... Berpura-pura seperti kanak-kanak, pada rencana mengelilingi dunia, swiss, nederland, roma, mesir, kanada, denmark, jepang, cape town, atau mungkin ke bromo, merapi, sumbing atau kemana saja angin berhembus. Kita akan berangkat bersama-sama, lalu menghilang bersama-sama. Menembus seribu tangga pelangi, bertahta di spektrum warna yang sempurna sampai membeku terbungkus salju di kiliminjaro.

aku luruh pada caranya memandang hidup, pada kesederhanaanya, tutur katanya minus basa-basi, apa adanya, Karena begitu sangat ‘biasa’ dia lalu menjadi begitu luarbiasa bagiku! Mengenalnya, aku pecah menjadi partikel kecil.


“gw lebih bahagia bisa bicara sama lo daripada ngobrol sama presiden” ujarku.

“ampun deh gw”


Daun-daun pun runduk dalam bisu, seperti sedang memikirkan segala peristiwa dunia.




“Bagaimana hidup yang sesungguhnya?” tanyamu.


“Hidup yang manis hanyalah ketika kita bisa bercocok tanam dipagi hari, disiang hari kita bisa membaca buku, sorenya kita bebas menjala ikan dan pada saat malam, kita dapat menulis lagu. Ouh.. kita akan mati dalam keadaan bahagia, semua hal itu bisa kita lakukan tanpa perlu berprofesi Petani, tanpa harus menjadi intelektual, tanpa perlu jadi nelayan dan tak penting lagi menjadi seorang seniman”



“Bagaimana dengan kota ini?” tanyamu lagi yang membuat iblis disekitar kita ikut tertawa.

Jakarta itu pengap, sesak, macet, kota yang membuat kita mati tua dijalanan, tapi disana ada kau’ dan itulah satu-satunya alasan Jakarta begitu kurindukan…







Dedication to nayang, someone not named that because of its simplicity shines!

Kenangan itu na… Membuat kita semakin tua dan fana, seperti hujan pertama yang basah dari ujung tertinggi hingga ke titik terendahnya, lalu menjadikanmu air- mengalir kesemua arah hingga saat kau kembali menjadi awan lalu menghilang, tak terkejar, tak terlihat, tak terdeteksi..





Cikarang, Akhir Januari 2011

Artikel Terkait

0 komentar: