Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Showing posts with label CULTURE. Show all posts
Showing posts with label CULTURE. Show all posts

Saturday 22 December 2018

Review Film: Bumblebee: Sebuah Anomali dari delusi futuristic menjadi Human Psikologic

“Sebuah malam yang gelap pun akan menghasilkan bintang yg paling terang” kata Memo mengulang kutipan ibunya di film ini




Mari kita lupakan dulu perang antara Marvel Cinematik Universe dan DC Extended Universe. Paramount seharusnya sudah bisa memunculkan bintangnya sendiri sejak eksitensi Transformer non animasi ditahun 2007. Bumblebee adalah spin off yang mungkin berbeda dari semua film film spin off yang ada, meski Michael Bay masih terlibat namun unsur unsurnya hampir semuanya dieliminasi oleh Travis Knight.

Travis telah menjadi sutradara penting didunia animasi selama lebih dari 10 tahun, bumblebee adalah pembuktian bahwa dia sanggup mengemas film selain kartun, dan hasilnya? Tidak terlalu buruk.
Travis bahkan mampu membawa Bumblebee keluar dari induknya: Transformer, penunjukan dirinya sebagai Sutradara sukses membuat salah satu pemberontak Autobots ini lebih hidup dan manusiawi.
Disadari atau tidak, Bumblebee sangat berbeda dari semua edisi Transformer sebelumnya.  Fakta bahwa Michael Bay tak lagi bersama Transformer dan beberapa penulis naskahnya sudah banyak yang minggat dari Paramount menjadikan Bumblebee sebagai film bias yang membuat penasaran.
Kehadiran Christina Hodson sebagai penulis naskah semakin menegaskan bahwa bumblebee adalah anomali positif dengan kedalaman karakter yang justru jauh lebih kuat. Christina Hodson memberi polesan psikotik kepada karakter bumblebee. Dua film Hodson sebelumnya Shut In dan Unforgettable sangat gelap dengan kekuatan thriller psikologi. Dan ini yang menarik.. lihat saja, di Shut ini, Hudson sanggup membuat Charlie Heaton sebagai Oedipus yang pemarah. Dan Katherina Heighl menjadi mantan istri yg berkepribadian ganda di unforgettable.

Hasilnya? Dalam satu adegan ketika Charlie Watson sedang terancam membuat Bumblebee sangat murka dan kehilangan kontrol hingga hampir membumihanguskan markas militer Amerika yang dimotori John Cena. Cukup puitis untuk seorang robot.
Yang menarik adalah karakter tokoh utama Charlie Watson yang diperankan sangat baik oleh Hailee Steinfeld. Karakter gadis remaja yang masih belum mau move on dari kematian ayah kandungnya. Sekilas, karakternya di film ini hampir tidak jauh berbeda dengan karakternya yang juga ciamik di film The Edge of Seventeen. Seorang gadis yang memiliki dunianya sendiri dan antisosial bahkan merasa jauh dari keluarganya sendiri. Kesenangan pada mobil membuatnya berkenalan dengan Bumblebee, VW berwarna kuning yang diambil dari bengkel pamannya.
Film dibuka dengan hari hari terakhir pelarian para pemberontak Autobots dari Deception hingga membawa mereka ke bumi ditahun 1987.  Bumblebee secara tak sengaja jatuh di hutan dimana John Cena sedang latihan militer bersama kawan-kawannya.  Untuk nama terakhir, topeng anonym memberi preseden buruk karena perannya yang sangat ringan dan tidak bertanggungjawab.  John cena adalah kesalahan utama di film ini. Meski bukan sebagai tokoh utama namun seharusnya, Cena bisa menghidupkan karakternya. Entah kenapa para pembesar paramount bisa memepercayakan karakter agent Burns kepada laki2 Smackdown ini. John Cena tidak memiliki riwayat yang patut diingat, wajahnya yg datar tanpa ekspresi membuat perannya hanya bagus sekedar pelengkap.
Well.. Bumblebee adalah bagian dari Transformer, ikon dengan penggemar yang kini beranjak remaja. Dongeng robot futuristic yang hidup bersama manusia itu telah mengalami evolusi sejak kehadirannya 11 tahun lalu. Karena itu maka film ini sangat dinantikan oleh jutaan penggemarnya.
Bumblebee pada akhirnya menemukan tempat perlindungan di tempat barang rongsokan di kota California yang kecil. Charlie (Hailee Steinfeld), yang sedang titik balik menuju usia 18 tahun juga sedang berupaya mencapai eksistensinya, hingga dia menemukan Bumblebee,  remaja itu dengan cepat menyadari bahwa ini bukan VW kuning biasa.

Apa yang terbaik dari Bumblebee adalah, film ini sukses merangkul episode indah ditahun 80an, tanpa rasa sungkan pada dandanan punk dan musik disko sembari tetap berada pada jalur fantasi derivative.  Tidak ada ilusi patriotisme optimus prime terhadap mitos cybertron. Bumblebee justru menarik karena menyederhanakan narasi pada lingkup keluarga.  itu mungkin satu-satunya film Transformers yang ditonton tanpa peringatan karena bebas untuk semua umur.
Meski demikian, film masih terlalu rendah disandingkan dengan film film bergenre sama. Ini film yang ringan dan bagus untuk sekedar hiburan. Namun untuk mencapai Oscar itu tentu masih butuh kreatifitas yang lebih. Paramount mungkin sukses mengubah template Michael Bay di film ini, tapi itu bukan prestasi. Sekali lagi, film ini keren sebagai film hiburan tapi bukan untuk film Oscar.

Wednesday 12 December 2018

Review Film: Widows 2018: Tamparan pada Kesombongan politik kulit putih lewat nyanyian para wanita teraniaya




Sejarah manusia adalah sejarah penindasan perempuan, era feodal, para raja menjadikan perempuan sebagai legitimasi kekuasaaan. Semakin banyak selir semakin berkuasa, hari ini.. para laki laki mengadaptasi itu.. semakin banyak istri, semakin jantan..


.
Sutradara film 12 Years A Slave  Steve Mcqueen, hadir dengan karya terbarunya berjudul Widows. Yg diadaptasi dari serial TV berjudul sama di tahun 1983. Difilm ini, dia juga mengajak Gillian Flynn, penulis Gone Girl untuk menggarap naskahnya. Kolaborasi yang terbukti menghadirkan film yang menghibur.
Kebanyakan film sejenis dibangun di atas kejeniusan para pelaku, didalangi oleh sekelompok orang yang biasanya memiliki perencanaan dan kemampuan untuk melancarkan perampokan. Namun Widows berbeda. Sebuah plot perampokan yang dilakukan para janda teraniaya tanpa kemampuan heroistik.

Para janda itu digerakan oleh Arus emosi yang kuat— ketimpangan sosial, kemuakkan pada korupsi, dan serangan langsung pada sistem omong kosong yang mencuri dari orang miskin juga pesan kemarahan para wanita yang diperlakukan semena-mena.

Film ini bekerja secara bersamaan— Murni sebagai hiburan, juga sebagai warning bahwa pada level yang tak tertahankan, perempuan yang teraniaya mampu melakukan hal2 yang tidak terduga.



McQueen membuka filmnya dengan hentakan adrenalin, ketika sekelompok penjahat yg dipimpin oleh Harry Rawlings diperankan Liam Neeson, terjebak dalam perampokan yang gagal. Mereka terbunuh dalam sebuah mobil yang meledak. Sekelompok penjahat ini, meninggalkan istri istri yang harus menghadapi berbagai persoalan yang ditinggalkann suaminya.

Disaat bersamaan, kampanye untuk pemilihan walikota berlangsung di Kota Chicago. Kontestasi yang mempertemukan dua penjahat lokal. Dititik ini, Colin Farrell dan  Brian Tyree Henry berhasil menggambarkan perseteruan politik.yang kotor dan penuh intrik.

Veronica istri mendiang Harry harus menghadapi Jamal Maning, penjahat yang memintanya bertanggung jawab atas uang yang dicuri suaminya. Dia pun mengumpulkan mantan istri kru suaminya untuk melakukan perampokan. Detil perampokan itu dia ambil dari buku catatan yang ditulis oleh suaminya.

McQueen menyatukan banyak kepribadiaan dalam satu atap, karakteristik para janda yang ditinggal mati suaminya. Veronica memainkan peran sebagai leader, seorang wanita Afro Amerika yang menikahi laki laki kulit putih. Kematian suaminya menyadarkannya bahwa hidupnya sebenarnya sudah lama hilang ketika anak mereka terbunuh secara tak sengaja oleh polisi.
Kita juga akan bertemu Alice, seorang wanita yang rapuh dan dilecehkan ibunya ( Jacki Weaver ), seorang ibu yang hampir tidak memperlakukannya lebih baik daripada suaminya yang juga mengerikan. Ada juga Linda, seorang ibu dua anak yang baru saja membuka tokonya sendiri.  dan Amanda, yang memiliki seorang anak berusia 4 bulan. Amanda tidak terlalu sering dimunculkan namun skenario bahwa Harry ternyata masih hidup dan memiliki affair bersama Amanda cukup mengejutkan.

Well.. Bahkan ketika kita harus berpikir keras, lalu menganggap bahwa ini cuma kebetulan..
Alice, Linda, dan Veronica masing-masing adalah Polandia, Latin, dan Afro, tidak peduli perbedaan ekonomi mereka. Jelas sekali, McQueen memunculkan ragam karakter yang tidak dipaksakan.

Ketika Tom Mulligan mengatakan, "Satu-satunya hal yang penting adalah kita bertahan hidup," statemen yang secara tak sadar menyatukan para janda ini untuk bertahan dari persoalan2 yg mereka hadapi.
Ada pesan rasial disini, bagaimana ketika Veronica berteriak kepada Harry.. silahkan pergi kepada wanita kulit putihmu itu, juga kritik pada polisi yang seenaknya menembak pemuda kulit hitam. Kepiluan wanita afro amerika yang meratapi kematian putra satu satunya dan penghianatan suaminya.

McQueen dan Flynn berhati-hati untuk tidak pernah membiarkan film mereka tercebur dalam perdebatan politik. Walau drama nya menghibur tapi film ini juga menyelipkan kritikan pada kesombongan dalam mempertahankan warisan politik kulit putih, tamparan itu lewat nyanyian para janda teraniaya.

Dengan layar bertabur bintang, Widows menjadi film yang sangat layak untuk ditonton. Viola Davis, Michelle Rodriguez, Elizabeth Debicki, dan Cynthia Erivo memainkan karakter para janda dengan berbagai persoalannya. Dibantu oleh Liam Neeson, Collin Farrel, john Bernthal, Manuel Garcia-Rulfo, Coburn Goss, Brian Tyree Henry. Kemunculan Daniel Kaluuya semakin mempertegas bahwa Widows adalah kumpulan para peraih piala, dan nominasi academy awards. Berjalan ringan dengan plot yang berliku namun sangat mudah dicerna.



Thursday 5 November 2015

Quavadis Ateisme




We need to find God, and he cannot be found in noise and restlessness. God is the friend of silence. See how nature - trees, flowers, grass- grows in silence; see the stars, the moon and the sun, how they move in silence. We need silence to be able to touch souls 
"Mother Teresa"


                          Silence is the language of god, all else is poor translation.-Jalalludin Rumi-

Pada abad 18 dan 19, Ateisme dianggap sebagai pandangan yang baik dan memberikan kebebasan bagi ilmu pengetahuan untuk menentukan masa depan umat manusia. Pemikiran ini banyak dipegang para pemikir modern. Sejak nubuat Niezctche ttg “Kematian Tuhan” dan kemudian diikuti Heideger, para pemikir Modern mengganggap semua nilai transenden hilang secara pasti dan kemanusiaan dianggap sebagai hal yang utama dari nilai-nilai diluar alam. Mereka percaya bahwa hanya dengan “kehilangan Tuhan” maka segalanya akan menjadi mungkin. Dalam pandangan itu, pemikir modern menekankan bahwa tidak ada standar objektif bagi keseluruhan kesadaran manusia.
Menjelang millennium, dengan Metode dekontruksi “Derida” hingga munculnya pemikiran Postmodern yang menggugat materialisme modern dan kerinduan akan nilai-nilai religiutas hingga mengambil kembali metafisika yang di era modern dikalahkan oleh materialisme mekanik. Para pemikir postmodern mulai mengkaji konsekwensi negative Ateisme!! Dengan berlatar pada munculnya dekadensi moral, genocide, perang dunia 11 dan ancaman global warm serta perang nuklir yang mengubah wajah dunia dalam penderitaan yg panjang. Bagi pemikir postmodern, Materialisme mekanik modern sudah selayaknya ditinggalkan karena terbukti tidak bisa dijadikan acuan bagi berlangsungnya kehidupan dunia. konsekwensi negative ATEISME antara lain.
1. “Nihilisme”
Pandangan ini menekankan bahwa bagaimana menjalani hidup dan termasuk cara kita memperlakukan org lain akhirnya sudah tidak penting lagi. (scr pribadi saya berasumsi pemikiran ini juga melanda kaum eksitensial yang menggugat ketidakbermaknaan hidup) pandangan ini bisa mengakibatkan keputus-asaan yang panjang, bunuh diri, hingga kejatuhan moral. Jika pandagan seperti ini dipegang oleh manusia dgn kekuatan penghancur ditangannya akan menghasilkan dunia yg sangat berbahaya.
2. “Materialisme ateistik”
Pandangan ini menekankan bahwa manusia tidak berhenti menjadi religius tanpa beriman pada satu objek religius tradisional. Materi adalah realitas tertinggi alam semesta. Pandangan ini, bisa mengakibatkan nafsu tak terpuaskan dalam mengejar bentuk-bentuk materi. Pemikiran ini melahirkan “Darwinisme sosial” dengan etika “Survival for the Fittest”. Persaingan tak terkendali dan menciptakan dunia dgn menyisihkan semua yang gagal bersaing. Bayangkan akan seperti apa dunia?
3. “Militerisme dan Nuklirisme”
Pandangan yang menganggap bahwa hanya mahluk-mahluk fisik saja yang memiliki pengalaman indrawi. Sehingga tak ada norma objektif yg mempengaruhi tindakan manusia. Pemikiran ini menghasilkan kesimpulan bahwa hanya kekuatan pemaksa satu-satunya cara untuk mempengaruhi org lain. Realpolitik “Machiavellian” akhirnya menjadi ciri dunia hari ini. bayangkan??
4. “ Neotribalisme”
Pandangan yang menekankan perbedaan antara “kita” dan “mereka”dan menyatakan bahwa norma-norma moral yg berlaku pada kita tidak berlaku bagi mereka. Rasisme akhirnya menjadi pola dasar dalam keseluruhan kesadaran.
Akhirnya,,
Manusia menjadi tenaga penghancur kehidupan tata surya, nilai Transendensi mungkin akan menjadi medan perdebatan paling sengit dewasa ini. Tapi apapun itu harus disadari bahwa kemanusiaan manusia tidak bisa menjamin kehidupan sosial yang baik. Manusia cenderung lemah ketika berhadapan dgn hukum-hukum alam. Dan bagi kaum postmodernis hanya Percaya pada Tuhan-lah yang bisa menyelamatkan dunia dari ancaman dehumanisasi.

Zat tertinggi tidak harus diperdebatkan sebagai mahluk ber-pribadi, memiliki karakter atau berjenis kelamin, Namun bagi postmo percaya pada Tuhan adalah satu-satunya penolong manusia dari keruntuhan moral. Tanpa terjebak pada antroposentrisme yg menganggap mahluk lain hanya untuk kepentingan manusia. Bagi Postmo, hukum-hukum moral adalah nilai tertinggi bagi ilmu pengetahuan. Tanpa itu, kecerdasan manusia hilang bersama keniscayaan kejatuhan tata surya.


Tiba tiba, pengusung modernis bertanya?


Mengapa atas nama Tuhan kita justru menindas orang lain? mengapa dengan mengatasnamakan Tuhan, kita kehilangan kemanusiaan kita? 


Ber-Tuhan-
Tanpa harus memikirkan Tuhan orang lain, tanpa harus mencurigai kepercayaan orang lain. Menghormati tanpa mereduksi, Toleransi tanpa prasangka karena Tuhan adalah Tuhan yang tidak pernah menindas.




Friday 1 May 2015

Apakah Negara telah begitu perkasa hingga menjadi Tuhan dan berhak menentukan hidup-mati manusia?

Tinjauan Politis terhadap Eksekusi Mati dan Hubungan Indonesia-Australia ditengah kritik Internasional


Perampasan hak hidup secara paksa atau penghilangan nyawa manusia adalah anomali dalam peradaban begitu juga hukuman mati merupakan hal yang sangat mengerikan. Meski sejarah hukuman mati hampir seumur dengan sejarah terbentuknya masyarakat namun dalam tatanan masyarakat modern yang menghargai kemanusiaan, hukuman mati seperti iblis yang keji. Bayangkan, hak hidup dirampas, tangis keluarga yang ditinggalkan, kesunyian didetik detik terakhir, lalu tembakan yang memecah sunyi. Kesedihan apalagi yang paling sentimentil dari itu?

Eksekusi mati Andrew Chan, Sukumaran, Zainal Abidin, dan yang lainnya hanya menyisakan kisah duka. Mereka sudah pergi, apapun yang kita lakukan untuk protes, tidak akan bisa mengembalikan hidup mereka. Semua orang turut berduka. Ini tragis! Mengatakan ini, bukan berarti kita mendukung peredaran narkoba. Tapi pemberian hukuman mati untuk kasus narkoba adalah hal yang perlu ditinjau ulang. Beda jawaban, jika pertanyaannya bagaimana dengan bandarbesar? pembunuhan berencana? pemerkosaan anak dibawah umur dan tentu saja, korupsi! Kita bisa berdebat panjang soal itu. Persoalan narkoba adalah persoalan kemiskinan. Ketika Negara gagal memberi jaminan kesejahteraan bagi warganya maka akan muncul para pengedar. Kroco kroco yang hanya punya pilihan sedikit dan jadi pengedar merupakan cara paling mudah untuk mendapatkan uang. Ditingkat paling bawah, Ini tentang kesejahteraan.

Lihat Mary Jane Veloso? Apa dia Bandar besar? Lihat mukanya? Lihat gesturnya? Lihat historinya? Sungguh konyol, jika kita mengatakan dia bandar besar. Mary Jane adalah potret kemiskinan di Filipina dan juga di Indonesia. Mary Jane seorang buruh migran, PRT yang nasibnya sama seperti TKI di Arab Saudi dan Malaysia. Vonis mati pada Mary Jane adalah kekeliruan terbesar. Sungguh menyenangkan eksekusinya ditunda meski untuk waktu yang tidak ditentukan. Paling tidak, mari kita berharap ada ampunan dari pemerintah Indonesia dan semoga lobi pemerintah Filipina mujarab.

Substansi dari hukuman adalah pertanggungjawaban. Ia kan? Sekarang pertanyaannya, apakah tepat hukuman mati dinegara ini? Ditengah system peradilan yang awut-awutan dan hukum yang rentan diperjualbelikan. Saya tidak bisa membayangkan jika seseorang yang tidak tahu apa-apa tapi dilibatkan dalam konspirasi, dikondisikan, dikriminalisasi atau dijebak seperti dalam film-film. Itu bukan mendramatisir tapi beberapa kasus seperti itu nyata didepan mata kita. System hukum kita belum bagus. Itu sudah jadi rahasia umum. Dengan system hukum yang seperti itu, apa kita bisa percaya pada hukuman mati? Ini tentang nyawa manusia. Berani main main dengan itu?
Hubungan indonesia dan Australia kembali memanas pasca eksekusi Chan dan Sukumaran namun ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya pada pemerintah Indonesia. Kegagalan diplomasi yang dilakukan Perdana Menteri Tony Abbott juga harus dikritisi. Saya tidak melihat keseriusan Abbott untuk menyelamatkan warganya. Pun jika Abbott serius, langkah diplomasi yang dia lakukan terlalu gegabah. Siapapun penasehat politik Abbott tentang Indonesia jelas sangat tidak memahami geopolitik di Indonesia. Apa Menlu Julia Bishop tidak punya pilihan lain selain mengungkit bantuan Aussy di Aceh? Itu konyol. Ketika Chan dan Sukumaran mulai mendapat simpati dari dalam negeri Indonesia. Langkah diplomasi yang dilakukan pemerintah Australia malah jadi boomerang. Barangkali, its a just politics. Semua orang tahu, popularitas Perdana Menteri Tony Abbott di Aussy menurun. Beberapa waktu lalu, Tony Abbot bahkan terancam di Impeachment akibat dituduh melakukan diskoneksi dalam pemberian gelar kebangsawanan tertinggi Australia terhadap Pangeran Philip dari Inggris. Parlemen Australia menghembuskan isu mosi tidak percaya pada Abbott.  Penyelamatan Chan dan Sukumaran seharusnya bisa menjadi momentum untuk mendongkrak popularitasnya. Tapi beliau gagal menjadikan itu sebagai senjatanya. Sebaliknya, justru membuktikan ketidakpiawaiannya.

Di indonesia sendiri, manuver pemerintah Australia demi menyelamatkan Chan dan Sukumaran mendapat reaksi negatif karena dianggap terlalu berlebihan. Ini yang menarik, Australia tidak melakukan pendekatan yang persuasif malah membuat gemas Indonesia dengan pernyataan yang terdengar kekanak-kanakan. Tidak ada upaya yang ‘dalam dan intens’ yang bisa mereka lakukan. Apalagi ketika Sekjen PBB Ban Ki Moon dilibatkan dengan pernyataannya yang sebenarnya tidak punya legalitas formal dalam mencampuri yuridiksi satu negara. Juga beberapa komentar sinis para pesohor dunia dari vokalis legendaris Guns N Roses hingga band metal Carcass malah membuat isu ini menjadi bias. Jelas tidak membantu apa-apa bahkan makin runyam.

Mengapa jadi runyam?  Well..  Pemerintah Indonesia sudah show off ketika eksekusi gelombang pertama. Jika Jokowi membatalkan eksekusi tahap kedua hanya karena tekanan dari luar. Itu tidak mungkin. Taruhan politiknya besar. Harus diingat, ketika pilpres Jokowi dihembus isu sebagai antek asing dan diprediksi ‘lembek’ dalam diplomasi luar negeri. Bagi masyarakat indonesia rival Jokowi ketika pilpres yaitu Prabowo dianggap jauh lebih tegas. Adalah hal yang bodoh bila Jokowi mempertaruhkan itu. Eksekusi para terpidana narkoba ini menjadi langkah strategisnya demi memperlihatkan kepada masyarakat indonesia bahwa dia berani, dia tidak selembek yang orang pikir. Gokilnya, momentumnya tepat sekali selepas hajatan Konfrensi Asia Afrika dimana pidatonya yang mengobok-obok PBB, Bank Dunia dan ADB.

“Saya  tidak setuju atas pemberlakuan hukuman mati di Indonesia tapi saya juga tidak suka pada kecaman dunia luar atas yuridiksi dinegara ini” kata seorang teman. Astaga. Isunya bergeser kesoal nasionalisme. Tepuk tangan! Presiden Jokowi itu politikus handal dan harus diakui dia berani ambil resiko. Kecaman dunia internasional justru membantu dia secara politis karena menambah dukungan pelaksanaan eksekusi. Didalam negeri indonesia, masyarakat yang awalnya menolak eksekusi mulai pasif dan bahkan diam. Ini berbahaya! Padahal penolakan hukuman mati itulah substansinya.

Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi besar didunia, tentu bukan satu-satunya negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Amerika yang diklaim sebagai penjaga demokrasi hingga hari ini juga memasukkan hukuman mati dalam kaidah hukumnya.
Pertanyaan, apa ada negara yang bisa mengobok-obok itu? Tentu saja, ini soal posisi tawar. Semua orang dikolong langit tahu, sesuper power apa amerika. Itu lelucon! Anda tidak akan berani mengkritisi sesuatu yang lebih kuat daripada anda, apalagi jika anda punya kepentingan besar terhadapnya, benar kan? Dan jika Aussy berani sama Indonesia, atau Brazil atau Perancis yang terang terangan bereaksi keras, nah itu tadi. Ini bicara soal posisi tawar. Bisa dibayangkan posisi Indonesia dimata mereka?
Sekarang mari kita kembali soal Australia dan Indonesia.

Australia menarik untuk dibicarakan karena selain warganya yang tersandera dalam kasus hukum di Indonesia, Aussy adalah tetangga yang strategis dan menjadi pintu gerbang indonesia kebarat. Dalam soal ini, saya membayangkan Perdana menteri Tony Abbott lebih rendah hati dalam melakukan lobi-lobi diplomatik. Jika itu terjadi, mungkin hasilnya akan berbeda. Catatan untuk Abbott, cara orang Indonesia melihat Australia itu beda dengan cara orang Indonesia melihat Filipina. Protes di Filipina tidak terlalu banyak mendapat sorotan dimedia media Indonesia. Beda dengan Australia, sekecil apapun protes yang orang Australia lakukan akan selalu menjadi santapan media Indonesia. Indonesia melihat Australia itu sebagai negara besar yang bisa menjadi gangguan begitu juga sebaliknya. Isu penyadapan tempo hari masih membekas bagi Indonesia. Seharusnya Abbott lebih sensitive. Penarikan dubes Australia dari jakarta hanya memperkeruh suasana. Hubungan Australia dan Indonesia mengalami pasang surut dan sejauh ini pemerintah kedua negara belum bisa dikatakan akur. Tidak usah kita menulis detil tentang hubungan perdagangan kedua negara. Itu beda, karena urusannya untung rugi. Ini soal Trust, mau akui atau tidak? pemerintah Indonesia dan Australia belum bisa saling percaya.

Tapi sudahlah.. Australia adalah negara yang indah. Saya sangat menyukai Australia. Tentu saja saya menghormati negara itu. Saya punya beberapa teman di Australia. They are such a wonderful people. Kritikan saya diatas hanya soal diplomasi luar negeri Austalia yang tergesa-gesa. Diplomasi arogan Tony Abbott yang membuat gejolak di indonesia. Sungguh disesalkan karena pada akhirnya isu penolakan hukuman mati menjadi bias lalu bergeser kepersoalan nasionalisme.

Beralih kedalam negeri.
Saya tidak bangga dengan apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi dengan hukuman mati. Tapi mari kita lihat kebelakang sejenak, karena kita harus memberi applause kepada rezim sebelumnya, mengapa? Beberapa kasus hukuman mati terjadi sejak era pemerintahan SBY, ini PR dari pemerintahan beliau. Politik pencitraan yang dilakukan rezim sebelumnya dengan tidak berani ambil resiko secara tidak langsung membuat nasib para terpidana hukuman mati terkatung-katung. Ketika terjadi suksesi  di indonesia dan pemerintahan berganti kepresiden Jokowi, yang diasumsikan akan ‘main aman’ malah terbalik 180 derajat.  Banyak orang tidak menyangka presiden Jokowi berani melakukan eksekusi bahkan ditengah kritik dunia internasional. Hal yang tidak mungkin dilakukan rezim sebelumnya.

Tapi ini tidak sesederhana itu! saya tidak melihat ini sebagai persoalan hukum semata. Ini juga punya hitung-hitungan politis. Presiden Jokowi melakukan gambling. Beliau jelas lebih memperhatikan kondisi politik dalam negeri dari pada peduli dengan kritikan dunia internasional. Seperti kita ketahui bersama, parlemen kita dikuasai oleh KIH, dan dinegara ini tidak ada partai atau orang diparlemen yang terang-terangan mengaku menolak hukuman mati. Hanya LSM-LSM yang itupun menjadi ambigu karena dicurigai dibiayai asing. Banyak pemikiran konservatif bercokol diparlemen. Oleh karena partai partai yang berkuasa diparlemen adalah oposisi pemerintah maka dengan eksekusi ini, PKS, PPP, PAN dan lain sebagainya akan mendukung karena sejalan dengan garis partai mereka. Mengingat PDIP, partai asal presiden Jokowi berkesan ‘menjauh’ maka Jokowi membutuhkan dukungan oposisi demi menciptakan stabilitas politik dalam negeri. Itu penting demi memuluskan  program dipemerintahanya. Oposisi sudah tidak bisa lagi menghembuskan isu bahwa Jokowi antek asing. Para haters Jokowi ditingkat bawah tidak bisa lagi menuduh dia lembek, lemah atau yang sejenisnya. Dan yang paling penting bagi presiden Jokowi, dia menunjukan bahwa dia lebih berani dari rezim SBY.

Kesimpulannya, secara politis isu hukuman mati telah dimenangkan oleh presiden Jokowi tapi gagal dimainkan dengan baik oleh Tony Abbott. This is politics. Tidak ada batasan didalamnya, didalam negeri maupun didunia internasional semua kasus, semua peristiwa punya hitung-hitungan. Dan akhirnya muncul pertanyaaan. Apakah eksekusi mati terpidana narkoba telah dijadikan komoditi politik atau tidak? Silahkan simpulkan sendiri.

*noted, maaf jika ini jadi berbeda dari tulisan - tulisan sebelumnya. ini pertama kali saya menulis soal politik dan hubungan internasional

Wednesday 18 May 2011

Itu Dongeng kalian, Bukan Dongeng kami.


It is amazing how complete is the delusion that beauty is goodness -Leo Tolstoy-



Sebuah romansa di praktekan dihadapan kita, iring-iringan kendaraan bergerak menuju Gereja Westminster Abbey Inggris dan jutaan pasang mata menyaksikan hampir tanpa kedip. Lebih dari setengah penghuni kolong langit berdecak kagum, ketika Kate Middleton melintasi jalan itu, anggun dan begitu mempesona di atas mobil Rolls Royce Phantom VI. Ratusan kamera tampak di sudut-sudut jalan, menimbulkan ribuan kilat cahaya, belum lagi heboh media televisi yang menyiarkannya secara langsung keseluruh pelosok bumi. Semua kawasan yang memiliki koneksi TV dan internet terkonsentrasi pada prosesi tersebut, pernikahan Prince Wiliam, pewaris tahta ke II Kerajaan Inggris yang begitu menakjubkan.




Sekelebat ilusi melayang menghinggapi para penonton, tentu saja selain kekaguman ada juga sentilan obsesi yang menyelinap. Bagaimana tidak, prosesi pernikahan tersebut bagai dongeng 1001 malam. Tontonan sekaligus doping ditengah kondisi timur tengah yang tak menentu, Jepang yang porakporanda, ekonomi Portugal yang defisit, Somalia yang kacaubalau, kisruh Kamboja dan Thailand atau Indonesia yang terancam isu separatis. Lupakan sejenak kekacauan itu dan mari berilusi dalam drama yang disutradarai oleh salah satu dinasti paling tua di muka bumi.


Pernikahan Wiliam - Kate menjadi trend topic di mana-mana, bahkan di Indonesia yang berada ribuan mil dari inggris, dihampir semua situs jejaring social turut merespon prosesi tersebut, mereka hanyut, mereka histeris.

Sebuah berita mengabarkan bahwa ada sekelompok orang yang memakai topeng berdemonstrasi saat perayaan pernikahan itu. Meski polisi dan media di inggris mengatakan bahwa demonstrasi tersebut tidak besar dan berhasil dikondisikan namun demonstrasi itu mampu berkata lain ditengah dunia yang sama, tuntutan mereka sederhana, menolak monarki!





Kau tidak akan menghancurkan gagasan dengan menindasnya, kau hanya bisa menghancurkan mereka dengan mengabaikannya, dengan menolak berpikir, menolak berubah – Le Guin, The Dispossessed-




Sebuah taman kecil di komplek perumahan elite.


Darmin baru saja kelar kerja, masih siang namun bangunan gedung tempatnya bekerja sebagai kuli harian itu tinggal pengecatan. Mandor bilang, dia sudah boleh pulang. Darmin senang bukan kepalang, janji kencan dengan munaroh bisa terlaksana setelah berhari-hari gagal. Kencan disiang hari ditengah taman kompleks, sebuah hal yang menyenangkan bagi darmin dan munaroh.

Mereka belum lama kenal, munaroh adalah babu yang bekerja disebuah rumah persis berdampingan dengan rumah yang sedang dibangun darmin dan kawan-kawannya sesama kuli, wanita asal jawa barat itu hampir setahun bekerja disana. Mereka jatuhcinta pada pandangan pertama, saat munaroh dibentak karena lalai membeli belanjaan dan lupa menceboki si kecil, saat darmin lelah berkeringat usai mengayak semen, Diterik matahari, ditengah himpitan rumah-rumah besar dan jam kerja yang tak berperikemanusiaan, cinta mereka bersemi!

“jika aku udah dapat bayaran, aku akan lamar kamu” ujar Darmin sambil membelai rambut munaroh yang berketombe akibat jarang shampooan. Mendengar itu Munaroh tersipu, sambil menggenggam jemari darmin yang berdaki tebal, ia bahagia.

Langit luas tak berbatas angkasa. Ditingkahi semilir angin dari balik pohon mahoni seakan berlomba menerbangkan ujung rok munaroh, hingga menggelitik kaki darmin yang beralas sandal jepit. Kata-kata gombal yang terucap mungkin tak semanis mereka yang suka baca Shakespeare namun bagi munaroh itu sudah lebih dari cukup. Cinta mereka memang tidak terbang di atas hamparan taman eden, tidak juga berbalut decak kagum, hanya sebuah cinta biasa yang tegar melawan keadaan

“kamu pernah melihat kabut? “ kata Darmin.

“dikampung, setiap pagi selalu berkabut, aku sering menghabiskan waktu bersama adik dan ibuku waktu kecil menari-nari didalam kabut, mencari batu untuk dijual pada juragan sarmin” ujar Munaroh. Tatapannya sayu mengenang ibunya yang kini sudah tak ada kabar lagi sejak berangkat jadi TKW ke arab. Darmin menatap wajah kekasihnya, sambil tersenyum dia berucap.“kita adalah kabut, kumpulan tetes-tetes air kecil yang melayang-layang di udara. Kabut mirip dengan awan tapi kita bukan awan karena awan tidak menyentuh bumi, sedangkan kabut menyentuh bumi bahkan sampai kedasar tanah”

Munaroh sadar, ucapan darmin hanyalah penawar rasa diantara sengsaranya hidup, meski begitu selalu cukup membuat rona merah dipipinya yang kusam.



Hukum gravitasi tidak berlaku bagi mereka yang sedang jauh cinta - Albert Einstein-




Kisah darmin-munaroh jelas jauh berbeda dengan william-kate. Darmin bukanlah pemilik istana, dia hanya kuli upahan yang dibayar untuk membangun istana-istana William, munaroh adalah babu kasar yang menyiapkan makan malam bagi kate-kate yang lain. Ketika ribuan orang lupadiri berkumpul disekitar istana Buckingham dan meneriakan yel-yel bagi pernikahan agung itu, ketika miliaran tatapan mata tertuju digereja Westminster Abbey Inggris, darmin dan munaroh justru tidak perduli. Darmin sedang gundah karena kata mandornya, subsidi BBM akan dihapus dalam waktu dekat yang otomatis harga-harga akan semakin tinggi, biaya hidup semakin melambung. Munaroh juga terancam PHK karena majikannya akan memangkas pegawai. Kemaren sore, sopir pribadi rumah tempatnya bekerja bilang bahwa hanya akan ada tiga pembantu dirumah itu. Otomatis munaroh harus tersisih mengingat dirinya adalah pembantu ke empat. Kata sang sopir, majikan mereka sedang gundah akibat perusahaan industry tekstilnya merugi oleh banjirnya produk-produk china.


Tapi siapa yang perduli? Hari ini kemiskinan hanyalah hitung-hitungan diatas kertas, tak sesemarak warna-warni partai dihari pencoblosan.



Tujuan lelucon bukan untuk menurunkan manusia, tetapi untuk mengingatkan bahwa dia sudah terdegradasi -George Orwell-






Kencan mereka berikutnya, munaroh menggenggam erat jemari darmin.


“kita harus tetap berdoa” katanya lirih demi membesarkan hati darmin.

“doa saja tidak cukup” jawab laki-laki itu.

“tuhan pasti punya alasan, dan apapun itu tuhan selalu punya cinta kasih untuk kita” desis munaroh.

“ apa tuhan mencintai kita” Tanya darmin. Munaroh tertawa.

“tentu saja” jawabnya.

“tapi tuhan lebih cinta juragan sarmin”

“ apa maksudmu?” kening munaroh mendadak tegang,

“tidak apa-apa, tuhan selalu bersama mereka yang punya kuasa, tuhan selalu bersama mereka yang punya uang”

Darmin tidak beralasan, pada setiap kawasan yang dihuni manusia hampir pasti akan selalu ada rumah yang diakui sebagai tempat memuja tuhan dan selalu bergemuruh saat ritual tak perduli apa nama nabinya. Namun dari banyaknya agama yang diciptakan dimuka bumi belum ada satupun berhasil menghapus kemiskinan. Atau kah mungkin kemiskinan itu adalah sesuatu hal wajar, sebuah hal yang biasa. Sebuah kebenaran yang menyejarah, bukankah kemiskinan sudah ada sejak berabad-abad lampau?

Barangkali darmin sedang mengigau, bagaimana mungkin dia harus menolak kebenaran! Bukanlah kemiskinan sudah ada bahkan jauh sebelum agama muncul. Kemiskinan sudah merajalela jauh sekali bahkan sebelum fasisme lahir. Kemiskinan sudah nyata jauh sebelum partai kiri menjual ilusi konyol persamaan.

"In the name of God, stop a moment, cease your work, look around you" -Leo Tolstoy-

Hey darmin..

Kemiskinan itu wajar… sama wajarnya dengan kekayaan yang hanya dimiliki segelintir orang.

Bukankah wajar kita melihat pengemis yang berdiri disetiap lampu merah?





Seluruh toko dan caf̩ memajang pengumuman bahwa mereka dikolektivisasi, bahkan semir sepatu pun dikolektivisasi. Pelayan dan penjaga toko memandang wajahmu dan memperlakukanmu sederajat. Sikap merendahkan diri bahkan ucapan basa-basi sementara menghilang. Yang terpenting terdapat keyakinan pada masadepan, sebuah perasaan mendadak tumbuh diera kesetaraan dan kebebasan. Ditempat-tempat pangkas rambut terpampang pengumuman yang dengan khidmat memaklumkan bahwa tukang cukur bukan lagi budak РGeorge Orwell, Homage To Catalonia-








Darmin berhasil memboyong munaroh dalam pernikahan, jelas tidak seheboh William – Kate. Pernikahan mereka biasa hanya dihadiri oleh mandor darmin dan seorang paman munaroh.


“Tidak mudah bagi kita untuk bisa berdiri hingga dititik ini” kata darmin setelah mengucap janji pernikahan. Disisinya munaroh tersenyum malu-malu dengan mengenakan kebaya yang dipinjam dari istri muda majikannya.



“kau memang wanita kuat, ku akui itu. Tidak semua perempuan mampu untuk bertahan pada masalah-masalah suram yang menohok hidupnya”


Hari itu mereka sepakat berikrar dengan sepotong puisi sakral, tanpa apa-apa, untuk semua alasan yang paling masuk akal, mereka hanya punya kata- cinta.





Ku berikan padamu setangkai kembang pete, Tanda cinta abadi namun kere


Buang jauh-jauh impian mulukmu, Sebab kita tak boleh bikin uang palsu

Kalau diantara kita jatuh sakit, Lebih baik tak usah kedokter

Sebab ongkos dokter disini, Terkait di awan tinggi

Cinta kita, cinta jalanan Yang tegar,.,mabuk di persimpangan

Cinta kita cinta jalanan Yang sombong menghadang keadaan

semoga hidup kita,.,. bahagia,.,., semoga hidup kita,.,. sejahtera

Ku berikan untukmu sebuah batu akik

Tanda sayang batin yang tercekik

Rawat baik-baik walau kita terjepit

Dari kesempatan yang semakin,.,.,sempit..

– Kembang Pete, Iwan Fals –







Ketika hampir semua mata tertuju pada pernikahan akbar di inggris, hal itu cukup menjadi dongeng yang meninabobokan.. “andai aku jadi kate, andai aku jadi william”


Disini… dongeng itu sedikit lagi mampu membuat lupa bahwa sebentar lagi pemerintah akan menghapus subsidi BBM. Usaha kecil dan menengah terancam oleh banjirnya produk-produk china akibat ACFTA, mereka mungkin lupa bahwa menteri tenaga kerja gagal memperbaiki nasib buruh.

Ketika seluruh penduduk bumi bertepuk tangan pada saat William dan Kate berciuman dibalkon istana mereka juga sebenarnya bertepuk tangan untuk melegitimasi kebenaran monarki. Mereka mungkin lupa,Tapi darmin tidak!



Most people are other people. Their thoughts are someone elses opinions, their lives a mimicry, their passions a quotation -Oscar Wilde-




Fakta yang paling benar yang menyamakan Darmin dan William adalah mereka sama-sama pewaris, jika william adalah pewaris syah kerajaan moyangnya maka darmin merupakan pewaris syah kemiskinan bapaknya.






Selamat hari kuli darmin, mayday, mayday…


maaf, seperti yang lain saya juga tidak perduli dengan penderitaanmu..





"Semua orang berpikir mengubah dunia, tapi tidak ada yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri - Leo Tolstoy-






Bogor, 1 Mei 2011


Thursday 20 January 2011

Perempuan-Perempuan Dalam Kerajaan Rock


Introduction!

*catatan ini merupakan catatan pembuka pada artikel berjudul sama yang saya tulis dan terbit majalah urgensi.

Ketika telinga publik terlelap dalam nina-bobo musik dominan, kecenderungan yang terlahir dari industri musik kita yang sekarat, semakin hari semakin seragam. Lalu terbesit kegelisahan banyak orang yang miris melihat perkembangan musik dalam negeri. Helaan napas sinis muncul dari ruang-ruang gelap, serupa jeritan hingga berubah menjadi keputus-asaan dan itu lebih menakutkan dari sikap pesimis. Musik rock mati suri!! Silogisme itu lebih mirip pernyataan bukan lagi pertanyaan, hal yang akan di iyakan oleh banyak kalangan, tentu saja dengan alibi masing-masing. Tiba-tiba muncul bayangan seorang laki-laki macho dengan rambut panjang, sepatu boot, jeans ketat tanpa baju, tatto, pierching juga gelang dan kalung besi lalu meraungkan gitarnya dan sang vokalis berteriak sambil menunjukan jari tengahnya di iringi pedal drum yang supercepat menghentak-hentak diatas panggung. Inilah musik rock dalam kacamata mainstream, begitu liar, begitu maskulin. Image itu dikontruksikan selama berabad-abad merasuk dalam kesadaraan lalu melahirkan persepsi meski kadangkala muncul pengecualian tetapi itu tak selalu bisa di terima khususnya di negeri ini, dimana laki-laki hampir menjadi segalanya, lalu bagaimana dengan para wanita? layakkah mereka ikut meramaikan kerajaan musik rock yang hingar bingar, masih pantaskan mereka ada di ruang pengap penuh asap dan ramai orang bermoshing ria. Apa mereka cukup kuat berdiri menunjukan eksitensinya yang bisa saja justru lebih gahar dari distorsi gitar jutaan watt. Tanda tanya ini telah lahir dari panggung yang lelah, buku sejarah bisa saja hilang dan terbakar namun kenyataan tak bisa dipungkiri walau kematian mengintip di balik pintu.
Kisah ini bermula nun jauh disana, sebelum Amy Evanescence menguasai panggung musik era milenium, sebelum album Avril Lavigne membuat laki-laki diseluruh dunia tergila-gila, jauh sekali bahkan jauh sebelum rekaman rock pertama milik Chuck Berry dirillis oleh Chess Record. Adalah sesuatu yang pasti bahwa bintang-bintang blues awal ternyata di kuasai oleh para wanita. Hal ini bukan rahasia yang di ungkap oleh Richie Utenberger dalam tulisannya yang berjudul “Classic Female Blues Singers”, ini seperti kotak pandora yang lapuk di makan usia dan yang jauh lebih pasti kiranya lagu Crazy Blues yang direkam oleh penyanyi wanita Mamie Smith pada tahun 1920 adalah rekaman komersial pertama dari apa yang kemudian dikenal dengan nama blues sebagai akar musik kontemporer. Rekaman yang terjual 75.000 eksemplar di bulan pertama itu ternyata rillis sebelum Elvis Presley menggoncang dunia. Sukses Mamie Smith membuka pintu bagi perempuan lain, sebut saja: Ida Cox, Sippie Wallace, Victoria Spivey, Lucille Bogan, Bessie Smith, Ethel Waters dan Alberta Hunter adalah beberapa nama yang cukup terkenal, hingga memuncak pada Janis Joplin dan Tracy Nelson yang menggemparkan dunia di dekade tahun 60-an. Ritchie Utenberger dalam tulisannya malah berani menyebutkan nama-nama perempuan di dekade tahun 40-an dan 50-an yang bernyanyi dengan gaya yang mendekati atau memasuki rock & roll, penyanyi R & B seperti Faye Adams, Big Mama Thornton, dan Big Maybelle, beberapa lainnya memainkan piano boogie, seperti Camille Howard, Ruth Brown dan Laverne Baker yang direkam oleh label Atlantik, mereka dianggap sebagai penyanyi perempuan paling penting yang berpartisipasi dalam transisi R & B menuju rock & roll. Wanita di rockabilly relatif jarang -Sparkle Moore dan Janis Martin adalah nama-nama yang hanya diketahui sedikit sekali orang. Wanda Jackson bisa dibilang sebagai penyanyi rockabilly terbaik dengan suaranya yang serak, agresif dan liar. Era British Invasion juga mencatat nama-nama penyanyi perempuan yang turut berpengaruh seperti; Shirelles, Little Eva, Dusty Springfield, Lulu, Marianne Faithfull dan sebagainya.
Selain Janis Joplin dalam The Big Brothers & Holding Company, tercatat beberapa nama perempuan hebat yang tergabung dalam band laki-laki seperti Maureen Tucker drumer Velvet Underground, Honey Lantree dari The Honeycombs, Grace Slick vokalis Jefferson Airplane lalu kita bisa menemukan beberapa nama lain yang berdiri sendiri seperti Suzi Quatro, Lita Ford, Patti Smith, Deborah Harry, Siouxsie Sioux, Joan Jet, Bjork, Sinead O conner, Hanin Elias dan masih banyak lagi dari generasi mereka yang pantas untuk di bingkai dengan emas padahal era kegemilangan Motown dengan The Supremes, The Marvelettes, Martha & The Vandellas belum juga padam. Barangkali Mamie Smith tidak sempat membaca buku The Second Sex milik Simone de Beauvouir namun rekaman komersialnya sangat berharga karena memberi warna pada sejarah kemegahan perempuan yang secara tak langsung menunjukan tanda bahwa perempuan sebagai pioner ternyata sudah ada dalam ranah musik justru sebelum buku The Second Sex yang fenomenal itu terbit ditahun 1949. Persoalan feminisme jelas akan membuka ladang ranjau perdebatan pun dalam ranah musik. Beberapa kritikus dan pendengar bersikeras bahwa wanita tidak boleh dihakimi hanya karena jenis kelamin semata tetapi harus di lihat dari kualitas musikalitasnya karena itu yang terpenting. Lainnya menyatakan bahwa apresiasi unsur feminin dari musik mereka perlu diperhitungkan terutama bila mengingat peran perempuan baik dalam industri musik maupun dalam struktur masyarakat telah sering ditindas dan kurang terwakili. Ini tak diragukan lagi padahal fakta jelas menunjukan bahwa perempuan telah mengambil peran yang cukup besar terhadap progresifitas musik dunia.

Merespon semua kenyataan tersebut tentu akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan di Indonesia?? Apakah kisah emas sejarah musik kita hanya di kuasai oleh para laki-laki, sebut saja Godbless, AKA SAS, The Rollies, Giant Step, Grass Rock, Andromeda, Slank, Jet Liar, Edane dan lain sebagainya yang melukiskan gegap gempita musik rock negeri ini dan di ruangan lain kita juga bisa menemukan Alien Scream, Sucker Head, Rotor, Roxx, Grausig, Tengkorak, The Idiots, Anti Septic, Trauma, Ritual Doom, Betrayer, Adaptor dan lainnya. Dapat dipastikan bahwa nama-nama itu tercatat dalam tinta emas ensiklopedia musik dalam negeri, petualangan musik mereka serupa bara api yang membara sepanjang zaman ini berjalan. Eksitensi mereka mau tidak mau semakin memperteguh kemaskulinan laki-laki dalam kerajaan musik rock.
Sedikit sekali dari generasi ini yang mencium fakta bahwa sejarah musik indonesia tak hanya tentang para laki-laki Didekade tahun 60-an, pernah ada Dara Puspita yang agresif berjingkrak-jingkrak di atas panggung, di era yang sama saat Led Zeppelin dan Deep Purple mentransformasikan rocknroll kedalam bentuk yang saat ini di kenal dengan Heavy Metal. Sebelum musik metal melahirkan beragam varian. Dara Puspita sudah duluan berkibar bahkan sebelum Steppenwolf band dari Kanada menulis kata Heavy Metal dalam lagunya Born To Be Wild. Dara Puspita merupakan band yang tepat dikatakan sebagai pelopor eksitensi band-band perempuan di Indonesia selain fakta bahwa show 3,5 tahun mereka di Eropa menjadi catatan sejarah paling fenomenal dalam ranah musik negeri ini. Selain Dara Puspita kita bisa menemukan The female, Yanti bersaudara, The Beach Girls. Medio tahun 70 hingga 80an juga pernah mencatat The Orchid yang melambungkan nama Silvia Saartje, ada juga Aria Yunior, Antiq Clique band, beberapa nama seperti: Nicky Astria, Atick CB, Reny Jayusman, Mel Shandy dan masih banyak lagi. Mereka adalah gambaran perempuan Indonesia dalam musik rock walau mungkin pengkategorian rock zaman itu tak lagi bisa didefenisikan sama untuk hari ini dan ketika musik rock mengalami pancaroba dengan beragam genre serta varian-variannya, negeri ini juga melahirkan generasi rocker perempuan yang memainkan musik extreem, dari death metal, thrash metal, hardcore, punk rock dan sejenisnya, tercatat pada medio tahun 90, beberapa band yang digawangi perempuan seperti Toilet den band yang sering mencover lagu-lagu The Misfits ini kemudian diklaim sebagai band perempuan pertama dalam scene musik underground pada paruh 90-an, kemudian ada Joystik, band ini diperkuat Acir Lazuardi sebagai gitaris sekaligus vokal, didampingi Kristin dan Indah. Lalu ada Toxic, Scrath, Wondergel, Punktat dan beberapa lainnya hingga kemudian banyak dari band-band itu membelah diri lalu memunculkan nama-nama seperti Viska Vivi Selviana yang menjadi gitaris Ritual Doom bersama tandemnya Yuli, ada Niken yang menjadi Guitaris Adaptor, Jill dari Stepforward, Rince dari band Gelap, Ferika Orchid vokalis Hidden, Hooker dan Es Coret, Rika Dreamer, Cindy Fatikasari Galery, Belakangan terbit Prissa Adinda gitaris muda dari Vandetta, Tashea Nicole Delaney vokalis sekaligus gitaris Painkiller. Begitu banyak nama yang akan terbit serupa matahari pagi lalu sejarah pun tercipta!
Perdebatan feminisme jelas akan menimbulkan banyak perpektif namun penegasan bahwa perempuan dalam musik rock bukan sesuatu yang tabu, sebaliknya merupakan keragaman yang harus di beri ruang yang sama dengan laki-laki. Agresifitas, keliaran di atas panggung adalah salah satu cara mengapresiasikan diri dan hal tersebut berlaku sama karena teory apapun sulit menyangkal bahwasanya musik rock tidak mengenal perbedaan!



*lebih lengkapnya ada di majalah urgensi

Monday 29 March 2010

Changing The World “Rock’n'Roll - Culture And Ideology- Oleh David N Townsend


Diterjemahkan oleh Leodet, dari Komunitas Debanner, Jkt-2006





Pengantar

Tulisan ini berusaha untuk mengeksplorasi akar Rock ‘N Roll seperti sebuah jalan untuk menerangkan kemajuan alamiah gaya-gaya musikal. Terlalu sering pembelajaran Rock ‘N Roll dimulai dari Bill Halley And His Comets dan memasukkan informasi yang tidak
cukup tentang Blues dan perekaman irama musik yang Bill Haley – dan kawan-kawan – gunakan sebagai suatu model. Aliran musikal tidaklah dengan mudah terlihat, hal itu secara bertahap meningkat pada suatu titik dalam masa ketika beberapa kejadian pertunjukan (konser), publikasi, atau juga perekaman mengijinkan para pendengar untuk merasakan kualitas uniknya serta menggunakan perusahaan rekamannya. Lagu “Good Rockin’ Tonight” dari Wyonnie Harris (1947) merupakan salah satu dari banyak “perekaman irama” yang dibuat selama akhir era 1940-an, bagaimanapun
ketika perekaman irama ini dilakukan Elvis Presley di tahun 1954 kelihatannya seperti sebuah pendekatan yang baru dan berbeda. Apa yang membuatnya kelihatan baru dan berbeda adalah konteksnya. Tanpa menggali sejarah musik populer kulit hitam, musik Country dan Western, serta hubungannya dengan ras, perkembangan teknologi, dan bisnis dalam musik, dapat disimpulkan dengan mudah bahwa Rock ‘N Roll merupakan suatu musik yang baru dan berbeda yang mana muncul tiba-tiba.

Tulisan ini dimulai dengan ciri-ciri musikal Afrika yang dibawa ke Amerika awalnya sejak tahun 1619 dan berusaha untuk melacak peleburan mereka dengan musik a-la Eropa yang dibawa oleh kolonial. Interaksi musikal dalam cerita ini juga merupakan riwayat dari musik popular Amerika dengan memasukkan lagu-lagu “perkebunan”-nya Stephen Foster, gaya Ragtime-nya Scott Joplin, Blues-nya Bessie Smith, Jazz-nya Count Basie, serta lompatan band-nya Louis Jordan. Pengetahuan dari arus musik populer Amerika mengijinkan seseorang dalam pengertiannya bahwa Rock ‘N Roll merupakan hasil alami dari beragam kekuatan yang mempengaruhi musik.



Sekapur Sirih

Dasar pemikiran penulisan buku ini adalah terfokus pada persoalan Rock ‘N Roll, dan bahwa hal itu bermakna seperti apa yang terdengar. Kelihatannya musik Rock ‘N Roll telah sering memberi haknya sebagai suatu bentuk kesenian, bahwa bagaimanapun hal ini dipindahkan pada kategori lebih sedikit pada pengejaran artistik yang “dewasa” atau “serius”
oleh media serta perkumpulan intelektual (apapun itu). Beberapa ulasan menggunakan isitlah umum “Pop” untuk mengacu pada apapun musik yang populer, termasuk seluruh musisi rock masa kini, seolah-olah pada kenyataannya kesuksesan komersial yang sangat besar dari Rock ‘N Roll menyatakan secara tidak langsung bahwa musik populer tidak dapat dengan sungguh-sungguh diambil secara serius dan disamakan dengan – katakanlah – musik klasik atau bahkan juga Jazz. Melewati lingkaran-lingkaran artistik, Rock ‘N Roll biasanya diberikan kredibilitas yang sangat sedikit; gagasan, perasaan, dan kepercayaan yang dinyatakan serta direfleksikan dalam lagu-lagu Rock cenderung menjadi dibebaskan oleh mereka yang bukan pecinta musik Rock, oleh kemapanan secara keseluruhan, sebagai keanehan yang tidak dibuat-buat pada keadaan terbaiknya, kekanak-kanakan serta tidak berhubungan pada keadaan terburuknya. Apa yang lebih lagi diganggu-gugat adalah bahwa sikap ini kelihatannya sering dipegang oleh para pecinta musik Rock itu sendiri. Kita boleh masih mendengarkan siaran radio, menari dan menyanyikan lagu-lagu lama yang kita gemari atau lagu-lagu baru yang sedang ngetop, tapi ketika kita berkumpul di dalam suatu forum intelektual maupun politik yang sifatnya serius, untuk berbagi pandangan, topik, dan gagasan kita perihal masa sekarang, kita menanggalkan Rock ‘N Roll, di belakang kamar kecil di mana sarung tangan baseball tua dan boneka Barbie teronggok penuh debu. Terutama bagi generasi Baby Boom, yang tumbuh pada Rock ‘N Roll, dan tentu saja mengambilnya dengan serius dalam masa muda, desersi (pembangkangan) ini, atau keadaan memalukan, atau keragu-raguan, atau apapun itu, menempatkan kebosanan yang menyedihkan atas kedatangan usia paruh baya: yakinlah, dalam masa muda kita, kita percaya pada semua keidealan yang baik tersebut, tapi itu ketika kita muda dan penuh kebebasan; sekarang kita mendapatkan beban tanggung jawab, dan hal ini tidak sesederhana hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya.

Dalam tantangan atas kecenderungan ini, dan dalam sudut pandang tempat pengasingan yang nyata dari idealisme yang telah menembus satu atau dua dekade yang telah berlalu, buku ini “merayakan” Rock ‘N Roll sebagai suatu bentuk kesenian yang absah, dan lebih banyak, sebagai suatu keakuratan yang kuat dalam kebudayaan orang Amerika dan dunia, yang mana berisi suatu pusat ideologi yang masuk akal, serupa semangatnya dengan ideologi manapun lainnya yang bersaing demi keunggulan dalam panggung intelektual dunia. Penulis mempersembahkan tema-tema ini sebagai penghakiman, dan alasan, untuk memeriksa musik Rock ‘N Roll, sejarah, kepribadian, dan gagasan dari titik utama atas bersatunya gagasan-gagasan dan kecenderungan-kecenderungan yang telah tinggal di dalam Rock sejak awal. Rock ‘N Roll dapat digambarkan dalam semacam istilah-istilah yang berpadu hanya jika hal itu lebih dari sekedar pengguna media hiburan populer: haruslah menjadi suatu “gerakan” menahan diri, yang mana para penganutnya memilih untuk “bergabung” dan karena pilihannya maka menerima istilah-istilah tersebut. Dalam perubahannya, Rock ‘N Roll hanya dapat menjadi suatu gerakan jika semua tegangan yang berlainan secara luas dan cabangnya berada dalam beberapa cara yang berhubungan dengan asal-muasal yang umum dan menyatu. Hal ini pada kenyataannya adalah benar; setiap musisi Rock masa kini, dari Alabama hingga Australia, dari Sinead O’Connor hingga Axl Rose, dapat mengikuti jejak akarnya secara langsung pada suatu kejadian tertentu dalam sejarah, batu loncatan semua budaya dan musik Rock, kejadian-kejadian yang “menggelegar” pada pertengahan 1950-an yang pertama kali memperkenalkan gagasan Rock ‘N Roll kepada dunia. Adalah tema-tema serta gaya-gaya artistik dari waktu yang khusus dan singkat itu, yang melahirkan suatu pergerakan, dan bagi artis-artis berikutnya, dari Bob Dylan dan The Beatles melalui Midnight Oil dan Public Enemy, telah melulu diperbaiki dan diperbaharui. Era 1950-an terhitung aman dan tak bercela, dan Rock ‘N Roll memapankan pondasi bagi beberapa keidealan yang mana kaum muda dapat mengejarnya dalam – katakanlah – suatu lingkungan. Ketika topik-topik yang berhubungan dengan ras, perang, seksualitas, narkotika, ekologi, serta dunia yang lapar bangkit dalam beberapa tahun terakhir, Rock ‘N Roll dipaksa, seperti setiap ideologi lainnya, untuk menanggapi topik-topik tersebut. Bahwa banyaknya keterkaitan ini merupakan pokok penting bagi anak-anak yang tumbuh dan bersuka ria dalam Rock ‘N Roll sebagai gaya hidup yang hanya mempertinggi makna dari tanggapan umum mereka, sebagai sesuatu yang diungkapkan dan melalui musik. Apa yang menjadi kekurangan kita sebagai generasi-generasi Rock, kemudian, bukanlah suatu sistem kepercayaan, atau dasar-dasar politik, sosial, maupun ekspresi kreatif serius, tapi secara sederhana suatu kesediaan hati untuk menerima bahwa yang kita miliki sudahlah cukup. Orang-orang yang percaya pada Sosialisme atau Konservatisme atau Budhisme tidak lagi memiliki sistem konseptual tentang bagaimana manusia harus berinteraksi, harus menanggapi persoalan-persoalan dan pemenuhan atas kebutuhan umum, serta harus mengerti tempat mereka di alam raya yang lebih relevan, masuk akal, dan berpengalaman dalam hal-hal duniawi. Hal tersebut hanyalah bahwa ada banyak kekhidmatan, tertulis dalam buku-buku membosankan tentang ideologi-ideologi tersebut, dan promotor mereka bukanlah tipikal yangberpenghasilan 15 juta dollar Amerika dalam suatu tur keliling dunia. Jadi buku ini mencoba menjadi jenis yang sedikit lebih khidmat, meskipun tidak membosankan, dan tentu saja menghibur, dalam tradisi aliran, walaupun bermaksud serius. Buku ini melacak beberapa sumber makna Rock ‘N Roll, jalan yang mana makna telah diambil melewati waktu dan para penyaji pertunjukan serta kejadian-kejadian yang telah membentuknya, serta bagaimana Rock ‘N Roll telah melawan banyak tantangan yang keras yang telah dihadapi oleh jutaan pengikutnya melampaui empat dekade terakhir.

Dalam usaha untuk melukiskan gambar-gambar yang disatukan ini, penulis menanggapi kebutuhan yang dirasakannya, suatu kebutuhan dalam dirinya sendiri sebanyak pecinta Rock ‘N Roll lainnya. Ketika mendengarkan lagu-lagu Rock “perasaan hati”: lagu kebangsaan, balada, protes, cinta; penulis membagikan perasaan akan tujuan serta harapan yang terkandung di sana. Kemudian, ketika melihat dunia luar, penulis telah menyaksikan keputus-asaan, kemunafikan, frustrasi yang secara teratur mendominasi banyak berita utama dan kejadian-kejadian, dan selalu nampak terlihat bahwa Rock ‘N Roll sangat jauh dari semua kenyataan yang menyedihkan ini. Para politikus dan penguasa – orang-orang mapan – hampir selalu begitu tidak hidup, begitu jauh telah dipindahkan dari kesederhanaan, perasaan yang tulus dari musik. Jika kita mendengar kesinisan, kemudian hal ini dikarenakan Rock ‘N Roll adalah barang anak-anak, dan tak ada tempat di meja-meja negosiasi ataupun meja para pembuat keputusan. Penulis lebih suka untuk tidak menerima pandangan ini, untuk tinggal dalam idealismenya secara alamiah dan menentang (pandangan itu). Penulis lebih suka menegaskan bahwa ideologi Rock ‘N Roll tidak hanya nyata dan hidup terus, tetapi mungkin memang sudah saatnya bagi Rock ‘N Roll untuk datang. Di dalam lapisan ini, Merubah Dunia: Ideologi dan Budaya Rock ‘N Roll memulai dengan kasar sepanjang garis bersejarah, membicarakan proses perubahan musik dan kebudayaan, menghentikan sementara pada tiap-tiap waktu bertemunya suatu topik dengan yang mana telah memiliki keterkaitan dengan Rock ‘N Roll secara khusus. Hal itu memimpin menuju suatu pemikiran, walaupun dinamis, konsepsi ideologi budaya, dan dari maknanya bagi kita semua, yang, dengan cara kita sendiri “percaya” pada Rock ‘N Roll.



1. Akar.

Bagian ini meliputi masa pra-sejarah Rock ‘N Roll dari suatu keadaan sosial yang sama baiknya dengan pendirian musikal. Dimulai dengan suatu penyelidikan tentang setiap fenomena penting yang akhirnya menyusun “penyebab” Rock yaitu perbudakan. Yang mana secara tidak alamiah, dibawa bersama seluruh kebudayaan yang berbeda. Bagian ini bergerak membicarakan ramuan-ramuan bersejarah lainnya yang utama: teknologi komunikasi radio dan perang dunia II, dan secara keseluruhan melingkupi Amerika, terutama di antara kaum muda pada awal 1950-an.

2. Permulaan.

Memperkenalkan Rock ‘N Roll sebagai hebatnya intensitas kedatangan yang tiba-tiba dari suatu revolusi budaya pada pertengahan 1950-an. Tema-tema penting yang berkembang adalah begitu mendadaknya kedatangan Rock ‘N Roll melalui bintang-bintang aslinya (Chuck Berry, Elvis Presley, Little Richard, dan lain-lain), dan bagaimana dengan lengkap hal itu menjadi suatu gaya hidup bagi jutaan anak muda. Bentuknya dimulai dengan suatu ringkasan esai, kemudian bergerak menuju penggambaran kronologis lagu demi lagu dari 30 lagu-lagu hits utama dari tahun 1955 hingga 1957, menekan kekuatan musik dan perkembangannya yang mendominasi budaya Rock ‘N Roll.

3. Masa Peralihan.

Dimulai dengan suatu ringkasan atas kemunduran Rock ‘N Roll pada awal 1960-an, bagian ini kemudian bergerak secara khusus pada kedatangan Bob Dylan, dan musik rakyat serta musik yang bersyair protes pada umumnya. Bagian ini mempertimbangakan pada inspirasi alamiah dan kepemimpinan, sebagaimana diwujudkan oleh Dylan, dan pada penyebab-penyebab individual atas menebar-luasnya kebangkitan politik.

4. Gejolak di Luar Amerika.

Pergeseran fokus, bagian ini membicarakan keberadaan mutakhir sisi musikal dan sosial. Di Inggris pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an, menuju pad perkembangan ketegangan jiwa yang berontak dan segera menemukan jalannya menuju Amerika dalam bangkitnya The Beatles. Diskusi ini menunjukkannya melalui contoh-contoh dari The Rolling Stones, Kinks, dan The Who, di antara beberapa lainnya, serta sikap keras terhadap anti kemapanan yang waktu itu sedang tumbuh secara cepat, serta memperoleh kekuatan baik itu di Eropa maupun Amerika.

5. “Oh Yeah”.

Seksi ini terkonsentrasi secara tunggal pada The Beatles, sebagai fenomena musikal, budaya, dan ideologi. Bagian ini dimulai dengan satu sudut pandang pribadi sang penulis pada keinginan khususnya untuk band ini, serta kesukaran untuk mewujudkan tercapainya keadilan. Hal ini diikuti renungan secara umum pada beberapa alasan bagi kesuksesan The Beatles, pengaruh mereka, dan makna karya mereka bagi dunia di masa kini, baik itu bagi Rock ‘N Roll maupun yang di luar Rock ‘N Roll.

6. Perang.

Penyimpangan agak sedikit dari lebih banyak atau sedikitnya garis-garis jalan bersejarah dari bagian-bagian sebelumnya, bagian ini dimulai dengan pembicaraan tentang gerakan anti perang era 1960-an sebagaimana dilambangkan lewat festival musik Woodstock, kemudian berpindah pada permenungan yang lebih umum atas hubungan antara musisi Rock dengan perang dari sudut pandang ideologi. Bagian ini menitik-beratkan pada tema-tema anti perang yang telah melingkupi musik bahkan pada waktu masa perdamaian, serta menunjukkan filosofi pasif yang telah mendominasi kebudayaan Rock pada keberadaannya yang paling utama. Bagian ini memerlukan revisi dalam kebangkitan kejadian-kejadian global yang baru saja terjadi; semacam revisi paling ideal seharusnya menunggu selama mungkin untuk memasukkan seluruh akibat dari perang terakhir pada Rock ‘N Roll serta sebaliknya.

7. Seks.

Bagian 5 di atas (“Oh Yeah”) telah mengambil salah satu kunci kontroversi yang telah membayangi musik Rock sejak lahirnya musik ini (dan sebelumnya), seksualitas yang melekat pada bentuknya serta eksploitasi seks yang menyolok (sebaik perlawanannya yang mendemam) selama bertahun-tahun. Bagian ini memperlihatkannya pada titik ini dalam kronologi kasar dari buku ini, dikarenakan “revolusi seksuil” di Amerika yang dimulai kurang lebih pada awal 1970-an, pada waktu yang bersamaan dengan bangkitnya industri pornografi. Bagaimanapun, pembicaraan ini mengikuti topik seks dalam Rock dari permulaannya hingga sekarang, termasuk yang baru-baru ini seperti PMRC, 2 Live Crew, dan kontroversi-kontroversi lainnya. Melampaui perincian kejadian-kejadian yang telah terjadi di wilayah ini, bagian ini menggambarkan filosofi sosial dengan melihat dalam media publik, terutama dalam musik Rock.

8. Obat Bius.

Dalam suatu arus utama yang mirip dengan fokus pada seks pada bagian sebelumnya, bagian ini menyoroti konflik yang cukup panjang antara penggunaan obat bius dengan Rock ‘N Roll. Agak sekedar kembali menyatakan sejarah panjang dari insiden, kepribadian, tragedi, bagaimanapun bagian ini berkonsentrasi pada memperjelas topik-topik kebudayaan dan filsafat sebagai pokok yang mendasar yang dicapai dengan penggunaan serta penyalahgunaan obat bius secara umum, serta bagaimana topik-topik tersebut telah (dan seharusnya) dilakukan oleh musisi Rock.

9. Seni.
Bagian ini berkompromi dengan dugaan atas “Seni” yang diterapkan dalam musik Rock, dalam keragaman konteksnya. Dimulai dengan sebuah penjelasan masa lalu atas apa yang disebut sebagai gerakan “Art Rock” era 1970-an. Memusatkan perhatian pada unsur-unsur eksperimental dari musik serta beberapa contoh utama dari para kontributor kuncinya. Bagian ini kemudian berpindah pada pemeriksaan yang lebih luas atas gagasan dari Seni itu sendiri, serta membicarakan bagaimana unsur-unsur lainnya dari lagu-lagu Rock yang mulai berkembang belakangan dalam dekade 1970-an menuju era 1980-an, termasuk di dalamnya Heavy Metal, Punk, New Wave, dan Rap, seluruh pernyataan tidak langsung tingginya inovasi dan kreatifitas yang “artistik”, di samping bentuk-bentuk yang berbeda dari jenis-jenis yang disebutkan terakhir serta sering berakibat pada komersialisme industri.

10. Hitungan Mundur

Detik-detik Terakhir dan Klasik. Era 1980-an merupakan masa pengurangan bagi kuatnya – pengaruh – Rock ‘N Roll, dalam yang mana musik hebat era 1960-an, secara khusus, mengalami kebangkitan, dan konsep dari “Klasik Rock” – sebutan untuk itu – ditemukan. Bagian ini mengambil kesempatan untuk merenungkan fenomena unik dari “hitungan mundur” dalam Rock ‘N Roll, yang mana mutu musikalnya disusun bertingkat secara hirarki, pada suatu basis mingguan (media cetak). Mengikuti permenungan umum pada topik ini, pengarang mengambil loncatan-loncatan dari daftar menurut versinya sendiri dari “10 Lagu-lagu Top Sepanjang Waktu” sebagaimana dihakimi oleh industri supaya menjadi konsumsi dengar publik (sebagaimana bertentangan dengan selera pribadi penulis buku ini) selama bertahun-tahun.

11. Merubah Dunia.

Meraih pada perikemanusiaan dan usaha-usaha politis dari musisi-musisi Rock ‘N Roll era pertengahan hingga akhir 1980-an, seperti pada konser Live Aid, Farm Aid, “We Are The World”; dan sepertinya, untuk mengkristalkan konsep Rock ‘N Roll sebagai suatu sub-kebudayaan yang masuk akal secara ideologis. Pusat dari seluruh gagasan Rock ‘N Roll sebagai sesuatu yang lebih luas daripada musik atau hiburan adalah tema-pembaharuan dari “merubah dunia”, nampaknya tidak dibuat-buat tetapi waktu yang sama ditemukan dan dugaan yang amat sangat penting menembus secara dekat dari seluruh tradisi dan sejarah Rock, bagian ini mencoba menerangkan konsep, dan menghakimi pemberlakuannya pada konteks sosial dan politik yang lebih luas.

12. Kesempatan dan Perasaan.

Bagian ini melayani sebagai suatu epilog, pembedaannya dari diskusi topik politik dan ideologi secara berat, mengembalikannya kepada hal-hal musikal yang paling mendasar: bagaimana musik mempengaruhi perasaan manusia. Sejak kelahiran masa Rock, musik ini telah mengambil peranan penting yang mungkin tidak ada penggantinya pada era modern; agama formal sebagai sumber inspirasi dan kedamaian telah banyak berkurang, terutama bagi kaum muda, dan banyak kehormatan Rock ‘N Roll yang serius telah mengisi kekosongan, menyediakan sebuah ruang untuk berbagi pengalaman yang mendekatnya spiritual yang melatih pemikiran-pemikiran yang lebih dalam serta pertanyaan-pertanyaan bahwa dunia yang materialistis kelihatannya bukan menjadi tujuan hidup. Apakah itu tentang cinta remaja atau pun keberadaan Tuhan, musik ini menawarkan para pengikutnya mungkin merupakan kesempatan terbaik bagi mereka untuk melihat ke dalam diri mereka sendiri ketika meraih jauh melampaui hal itu. Melalui contoh-contoh dari rekaman-rekaman serta permenungan pribadi, penulis buku ini berusaha untuk menyebarluaskan aspek yang sangat penting dari budaya dan musik Rock ‘N Roll.


1. Akar

Semua yang perlu anda ketahui tentang asal dari Rock ‘N Roll adalah, bahwa Rock ‘N Roll
dimulai dari perbudakan. Buku-buku sejarah dapat memberi anda secara terperinci; yang terpenting adalah bahwa Rock ‘N Roll dapat dilacak sepenuhnya
dalam sebuah garis langsung kepada suatu fenomena yang tidak alami: kekuatan
yang mengakar dari puluhan ribu orang Afrika dari tanah air dan kebudayaan
mereka yang asli, serta pencangkokan budaya mereka dengan dunia baru yang
berbeda dari apa yang mereka ketahui mengenai perbedaan antara kulit hitam
dengan kulit putih. Ditambah pula dengan kenyataan bahwa keluarga mereka
tercerai-berai, para budak dari suku bangsa yang berbeda dilempar bersamaan
pada lahan yang sama, dan, tentu saja para pengunjung yang “segan” ini
dirantai, dicambuk, dipenjara, dan dipaksa untuk menerima siksaan buruh kasar
demi makanan bagi kehidupan mereka, yang hampir tidak mungkin didapat. Terdapat
dalam suatu pemikiran, bahwa kondisi-kondisi ini terus dilanjutkan, di dunia
ini, selama lebih dari seabad, sampai tak kurang dari 150 tahun yang lalu.

Penulis menyadari bahwa hal ini diberitakan dengan berat, tapi terkadang nampaknya orang kulit putih di Amerika telah lupa, atau ingin melupakan, bahwa perbudakan memang pernah ada – baru-baru ini dilupakan seperti era 1860-an. Ada banyak jalan untuk meletakkan
hal itu di dalam pernyataan perspektif. Berpikir mengenai kondisi ini bahwa kebudayaan
Eropa pada pertengahan 1800-an telah mencapai: perkembangan seni Impresionisme,
novel-novel luar biasa dari Hugo, Flaubert, Tolstoy, dan Dickens; pencerahan
intelektual dari De Tocqueville dan Descartes; ragi revolusionernya Marx, serta
kebanyakan mahasiswa-mahasiswa seni yang liberal melawan perkembangan
kebudayaan yang besar ini pada beberapa tingkatan: inti dari peradaban Barat
modern dirumuskan ke dalam segala bidang kehidupan. Sementara itu, orang
Amerika masih didera keinginan untuk menjerumuskan manusia kepada perbudakan
yang menyedihkan, serta memperlakukan perbudakan itu secara legal seperti tak
lagi berarti daripada milik pribadi. Unsur yang tak terelakkan pada satu
sejarah bangsa diabaikan secara terus-menerus oleh suatu kesombongan ideologis
yang berseberangan dengan Pernyataan Perbudakan serta perundang-undangan
hak-hak sipil, yang mengutuk “kebalikan dari diskriminasi” dan mengakui hal itu
adalah “tidak adil” mencoba memaksakan untuk berintegrasi atau untuk membayar
kerugian Afro-Amerika atas biaya dari orang Amerika keturunan Eropa (maupun
Asia) yang tak berdosa. (“Hey, nenek-moyangku berimigrasi tahun 1912, Aku tak
bertanggung jawab atas perbudakan!”), bahwa tiap orang tidak dapat menemukan
dominasi kemiskinan dalam beberapa kumpulan orang kulit hitam di Amerika,
dengan melanjutkan warisan perbudakan atas manusia yang tidak bisa diduga, dan
sungguh mengerikan. Satu-satunya penjelasan yang dapat dimengerti adalah bahwa
beberapa orang tetap melupakan perbudakan:

“Mengapa kamu begitu
ringkih dan lemah?”

“Ya, aku telah menjadi
budak selama 40 tahun,

mereka memukuli saya dua kali seminggu.”

“Oh ya, benar. Saya
lupa.”

Mengapa begitu banyak
orang kulit hitam frustrasi, tanpa harapan dalam kehidupan kumpulan minoritas,
menggantungkan hidup mereka pada obat bius, kejahatan, dan kekerasan untuk
mengisi kekosongan eksistensi mereka? Karena nenek moyang mereka adalah budak,
bodoh dan buta huruf, tidak memiliki hak apapun dalam hidup, disenfranchised sharecroppers;
nenek moyang mereka adalah petani miskin yang malang, atau buruh yang pindah ke
Utara ketika Depresi menghapuskan banyak kesempatan yang amat kecil yang berada
di Selatan; kakek-nenek mereka dulunya sama dengan anak-anak malang dalam
kumpulan minoritas generasi pertama, tak punya pekerjaan dan tak berpendidikan,
dengan tak ada harapan untuk keluar; dan ayah-ibu mereka jarang menemukan
banyak kesempatan yang lebih baik di samping kemakmuran dalam masa perang,
harapan dari gerakan hak-hak sipil; dan secara perlahan bangkit pula rasa persatuan
di antara kaum Afro-Amerika sebagai suatu ras. Banyak dari orang muda kulit
hitam masa kini, tentu saja, tidak dapat melihat ke belakang melalui suatu
garis keturunan ayah, kakek, dan seterusnya, karena banyak “ayah” mereka
sendiri sering tak lebih daripada anak-anak, hilang sebelum atau setelah
keturunan mereka lahir. Semacam siklus perampasan, di mana harapan tidak
dikenal.

Politik umum dan
ketergantungan individu hanya telah mewariskan tragedi ini; bagi sebagian besar
orang Afro-Amerika masa kini, luka kejam dari perbudakan tetap tak terobati.
Kemapanan kaum kulit putih masih tetap melupakan perbudakan, melupakan kaum
kulit hitam. Suatu “Akar” tengah berlangsung dan dengan sangat pedih
menghidupkan kembali kenangan kolektif untuk sementara waktu, tetapi amnesia
segera datang. Ketika seorang Jesse Jackson memberlakukan dalam menggarisbawahi
ketidakadilan antar ras, kulit putih Amerika yang terkait, atau dibingungkan,
atau dihina, tapi ada kalanya hanya terinspirasi, cara yang seharusnya mereka
tempuh, yang diilhami oleh cara lainnya yang hanya membuat kulit hitam menjadi
putus asa. Negara-negara lainnya telah memikul perbudakan dan menebus dosa
mereka dengan cara mereka masing-masing. Di Amerika, perbudakan lebih dominan,
lebih integral bagi perekonomian negara dan struktur sosial daripada di
manapun, dan dalam negara-negara terkaya dan maju di dunia, harga perbudakan
adalah yang tertinggi dari segalanya – dan rekeningnya belumlah terbayar penuh.

Oleh karena itu, untuk
mengerti Rock ‘N Roll, kita harus mengerti apakah perbudakan itu, dan di mana
hal tersebut membuat putra-putri Afrika menjadi tidak mengerti perihal apapun
soal akar Eropa dalam kebudayaan Amerika. Perbudakan menyediakan rasionalitas
yang sempurna, penjelasan sempurna untuk mengapa Rock ‘N Roll seharusnya
berdiri terpisah dari bentuk-bentuk musikal yang lainnya, sebagai sebuah
revolusi budaya bagi musik itu sendiri. Setiap masyarakat, mempunyai musik
aslinya sendiri, yang mana dimainkan untuk sekedar hiburan, mengiringi ritual
atau pun upacara, kekuatan yang mengikat, pembaca cerita, pemelihara sejarah.
Diakui bahwa Rock ‘N Roll tentu saja merupakan musik rakyat Amerika modern,
pengganti bagi Stephen Foster dan Cole Porter, Tetapi itu hanya sebuah segi
kecil dalam posisi Rock ‘N Roll di Amerika, dan masyarakat dunia sejak 1955,
dan unsur-unsur yang lebih luas dari pengaruh Rock meraih jauh melampaui
kebudayaan tradisional sebagai perekat status dari musik rakyat lainnya. Untuk
menegaskan pengakuan ini dan menjelaskannya, kita dapat menitik-beratkan secara
langsung pada perbudakan, yang mana dengan kekuatannya menggabungkan
unsur-unsur radikal yang berbeda dari dua kebudayaan dalam suatu ketel uap
besar yang mendidih (menyerupai pot yang meleleh) dibawa kepada kulit putih
Amerika (pedesaan dan petani), beberapa rangkaian irama/ketukan dan tradisi
vokal yang asli pada sisi lainnya di wilayah Afrika, dan menambahkan melankoli
spiritual yang penting, hampir pada perasaan fatalistis yang tumbuh dalam
jiwa-jiwa terkekang para budak.

Ramuan terakhir ini sangatlah
rumit: mereka tidak bernyanyi Blues kembali ke Afrika. Rock ‘N Roll adalah
suatu hasil perkawinan unsur-unsur musikal Afrika-Amerika, tapi akarnya yang
lebih kuat adalah penderitaan, kerja keras, dan kerugian, dan alasan untuk
menyanyi Blues adalah untuk membebaskan mereka dari penyebab luka ini. Blues,
dengan kesederhanaannya – ketukan yang berulang, akord dan pengkalimatan yang
liris, menyampaikan pesan akan suatu kumpulan yang nyaman, baik itu pemusik
maupun penontonnya bisa saling berbagi, bercerita, sepanjang mereka tahu dari
mana datangnya si penyanyi itu. Tak ada pemikiran bahwa penyanyi Blues begitu
terkenal selama masa Depresi, terutama di daerah Selatan, di antara penonton
kulit putih maupun kulit hitam. Juga mudah dimengerti ikatan yang kuat antara
Blues (Selanjutnya lebih dikenal dengan R & B [Rhythm & Blues] dan Rock
‘N Roll) dengan musik Gospel: dari pandangan sekuler, bernyanyi tentang Tuhan
yang telah memberkati anda dan bernyanyi tentang Blues yang jatuh bagai hujan,
merupakan hasil dari perbuatan spiritual.

Jadi ketika
penemuan-penemuan musikal dibawa ke Amerika oleh orang-orang Afrika, unsur yang
dilibatkan terutama adalah irama/ketukan (rhythm),
diiringi dengan beberapa variasi baru dalam menggunakan suara manusia untuk
melodi dan irama, kontribusi yang lebih banyak serta mendasar dari mereka untuk
warisan yang menghasilkan Rock ‘N Roll, merupakan penggunaan musik itu sendiri
demi kepentingan emosional serta tujuan-tujuan spiritual. Irama-irama ini
terutama, tentu saja, digambarkan secara menyolok dalam penerapannya, karena
kerja yang menjemukan, selalu mengerjakan hal yang sama – memetik bungkus kapas
yang tiada habisnya, memotong kayu, dan lain-lain – sedikit banyak dapat
dibebaskan oleh suatu irama ketukan musikal yang berlapis-lapis. Dengan cara
ini, fungsi dan bentuk musik diperkuat oleh mereka sendiri. Ketika Blues
ditingkatkan ke dalam beberapa gaya umum dalam masa ini mengikuti emansipasi,
unsur pengulangan tetaplah utuh, secara terpisah karena hal itu membuat musik
mudah dipelajari bagi rakyat jelata yang tak punya jaringan masuk kepada
pembelajaran yang lebih baik (akademis) atau pun mahalnya harga-harga alat
musik. Fungsi spiritual juga tak hanya statis, tetapi ditingkatkan, sebagaimana
penindasan budak-budak menjelma kepada semata-mata hanya perampasan, kekosongan
harapan tumbuh semata-mata jadi tak bertujuan.

Tapi hal tersebut
tidaklah cukup secara berdekatan untuk mengidentifikasi warisan musikal kulit
hitam dari lagu-lagu karya budak melalui musik Ragtime, Blues, Jazz, Gospel,
dan R & B [Rhythm And Blues], dan sepertinya dengan sederhana meramalkan
kemungkinan garis lebih lanjut melewati Rock ‘N Roll. Rock ‘N Roll dimulai dari
dasar-dasar ini, tapi juga ditambahkan lebih, dan apa pun yang ditambahkan
secara prinsipil adalah unsur kulit putih Amerika, baik dalam musik, maupun
pendengarnya. Kulit putih Amerika secara perlahan menemukan kecintaan mereka,
mengilhami warisan musikal yang telah menjadi pusat dalam kehidupan
Afro-Amerika, serta memapankan suatu tradisi yang dilakukan hingga saat ini,
mulai meniru dan mengadaptasi musik kulit hitam. Demikianlah kedatangan
beberapa bentuk hasil persilangan; dari satu waktu ke waktu lainnya, Rock ‘N
Roll telah menyatukan musik Country dan Western, Swing, Klasik, Big Band, musik
rakyat, dan bahkan unsur-unsur musikal Tin Pan Alley, sebagaimana telah
disatukan Blues, R & B, dan keaslian gaya kulit hitam. Hal tersebut akan
salah, oleh karena itu diakui pula bahwa Rock ‘N Roll merupakan
ketidak-terpisahan dari musik “kulit hitam”, meskipun secara jelas tanpa
kehadiran budak-budak Afrika dan turunnya mereka, tak akan ada Rock ‘N Roll
yang kita bicarakan. Sulit mengatakan bahwa tanpa “kulit putih” tak akan ada
Rock ‘N Roll, secara terpisah karena begitu sulitnya membayangkan apa yang
dapat berarti dalam prakteknya – Apartheid Amerika, mungkin: tak ada kesempatan
untuk atau usaha pada suatu integrasi budaya. Tapi bagi kulit putih Amerika di
mana semua kekayaan dan kekuatan terletak, tak pernah ada pertanyaan bahwa
evolusi ekonomi alami dari musik kulit hitam – atau bidang seni lainnya, atau
bisnis, atau politik – akan menerima kebaikan hati dari kulit putih, walaupun
hanya untuk berbagi kue Pie. Kulit putih Amerika, pada sisi lainnya, haruslah
diambil untuk musik kulit hitam semata-mata karena dapat dinikmati, sejak tak
ada perangsang uang
dalam masa sebelum perjuangan hak-hak sipil untuk sebuah rangkulan yang secara
relatif terisoliasi, kebudayaan Afro-Amerika tidaklah dikenal. Dalam banyak
peristiwa, dua kelompok ini bertemu dan membentuk seni percampuran budaya yang
pertama dan sangat kuat di Amerika. Rock ‘N Roll merupakan milik hanya pada
warisan itu: bertemunya orang-orang hitam dan putih.

Di Amerika, suatu
pertemuan pada istilah praktek fisiknya menjadi begitu unik setelah Perang
Sipil. Meskipun dalam sejarah asimilasi dan keimigrasian internasional dalam
Dunia Baru membentuk perihal dari suatu teladan untuk belajar dari tradisi alien
di negara ini yang kemungkinan tak terdengar di manapun juga. Dalam
sepengetahuan penulis, tak ada negara lain secara umum mengetahui hari St.
Patrick, Tahun Baru China, Mardi Grass, Halloween, Hari Valentine, Hari Raya
kaum Yahudi, dan seluruh spektrum dari hari-hari libur Kristen pada apapun yang
mendekati tingkatan derajat tersebut seperti yang telah Amerika lakukan. Lebih
dari suatu tanda pengenalan dari kehidup-bersamaan internasional, bagaimanapun,
Rock ‘N Roll telah menjadi budayanya sendiri. Adalah nyata satu dari sedikit
unsur yang begitu unik dan dapat dikenali dari apa yang dijabarkan sebagai
kebudayaan “Amerika”: sesuatu tidak akan pernah ada di manapun juga di dunia
ini kecuali sebagaimana diperoleh dari akar budaya Amerika. Beberapa
unsur-unsur lainnya mungkin memasukkan keasyikan kita dengan televisi, tim
olahraga profesional, dan automobil, dan mungkin industri kapitalis Amerika
sangat mendesak (bukan bahwa kapitalisme yang dimulai di sini, tapi kita boleh
mengangkat hal itu pada suatu ekonomi industri lebih cepat dan lebih luas
daripada negara-negara lainnya). Teknologi tinggi – apapun artinya, dapat
diasumsikan bahwa penerapan industri pada riset ilmu pengetahuan setelah Perang
Dunia II, terutama dalam semi-penghantar dan dalam ilmu pengetahuan fisika dan
biologi – bisa juga sebagai bagian dari kebudayaan Amerika, dan hal itu
bergerak dan berubah begitu pesat ke seluruh dunia yang mana mungkin merupakan
salah satu dari beragam corak pertama kebudayaan Dunia. Bila demikian, mungkin
bersaing dengan Rock ‘N Roll setelah 1950-an (atau “Musik Rock” secara umum)
dalam kehormatan itu, sejak Rock telah secara lama bergerak dengan baik hampir
ke seluruh batas-batas nasional di negara manapun juga.

Marilah kita lupakan;
adalah perenungan berharga yang secara tertulis penting dalam kejadian
bersejarah lainnya antara emansipasi para budak dengan kelahiran bayi antar budaya pada
pertengahan 1950-an. Ada hal penting: Perang Dunia I dan II. Yang disebut
pertama (Perang Dunia I) sangat penting pada konteks ini, terutama karena
menjadi alasan-alasan tidak langsung yang membuat Perang Dunia II berlangsung.
Periode waktu itu serta keadaan-keadaan dari Perang Dunia I juga membawa
perkembangan yang sekiranya cepat dalam teknologi radio telekomunikasi. Yang
mana penerapan komersialnya (iklan) dimulai di tahun 1920-an meletakkan setiap
dasar-dasar industri yang paling pokok untuk Rock ‘N Roll yang muncul pada
akhirnya.

Agak sederhana,
terutama pada radio, hampir tak ada artinya untuk mendengarkan musik tanpa
mempresentasikan musik tersebut sebagai suatu pertunjukan. Pengecualian di sini
sekali-kali bagi keberuntungan beberapa pemilik gramafon, dan keberuntungan
lebih sedikit di antara para pemusik yang musiknya direkam. Tentu saja,
teknologi radio dan rekaman telah mendiaminya sejak penyiar-penyiar amatir era
awal memutar piringan hitam kuno ke dalam sinyal pengirim sementara dari
garasi-garasi mereka untuk didengar oleh para tetangga mereka. Perekaman
berusia lebih tua dibanding teknik penyiaran radio. Dan mendahulukan merekam
musik pada abad 20, tapi hanya dengan kedatangan radio yang merekam, memperoleh
sarana pengangkutan yang sungguh-sungguh menjadi suatu media massa. Mungkin
kebenaran yang paling tua dalam apa yang disebut “industri rekaman” adalah
bahwa orang-orang tidak akan membeli suatu hasil rekaman kecuali mereka pernah
mendengarkannya dulu untuk pertama kali (terutama rekaman-rekaman dari
pendatang baru). Radio memberikan arti bagi orang-orang untuk sebuah contoh
rekaman, dan demikianlah kesempatan bagi penjualan rekaman untuk menghasilkan
keuntungan yang penting – cukup penting pada pertengahan abad untuk menghasilkan
jutawan-jutawan baru yang dikenal sebagai “artis rekaman”, dan untuk
menciptakan uang bagi enterpreneur dalam sedikit waktu yang tak terhitung untuk
masuk kepada bisnis menemukan bakat, pengembangannya, serta pemasaran
artis-artis pada label independen rekaman mereka.

Radio merupakan tulang
punggung dalam sistem industri yang gelisah ini secara adil jelas nyata pada
masa kini; apa yang merupakan peringatan berharga adalah seberapa relatifnya
radio baru pada sejarah musik. Kebangkitan dramatisnya sebagai suatu media
hiburan pada akhir tahun 1920-an dan dominasi kebudayaan Amerika dalam dua
dekade berikutnya – naiknya televisi, secara langsung dan rumitnya merangkai
perubahan bentuk dan penyerbukan silang dari gaya-gaya musikal yang akhirnya
menjadi menjadi Rock ‘N Roll. Dalam suatu jalan, meskipun kenangan-kenangan
yang paling nostalgik pada Hari-hari Keemasan radio terkonsentrasai pada tipe
drama televisi, komedi, berita-berita terkini, dan iklan, warisan radio yang
paling bisa dikatakan abadi boleh jadi pada metamorfosis musik yang dimulai
dengan permulaan teknologi radio dan meraih kedewasaan seperti radio memberikan
jalan pada televisi dalam ruang lingkup teknologi di Amerika. Tentu saja,
meskipun secara relatif radio jatuh dari keunggulannya sebagai suatu
multi-tahap sumber hiburan universal yang telah menghimbau kesuksesan Rock ‘N
Roll, karena dengan televisi mengambil alih seluruh seri dan banyak program
yang bervariasi, ada banyak penghabisan waktu siaran perlu diisi, dan merekam
musik adalah ideal serta pilihan yang murah. Sepanjang waktu siaran radio,
bagaimanapun, musik hanyalah satu-satunya dari suatu bunga rampai dari beberapa
seleksi yang tersedia sepanjang angka-angka (seperti pada nomer telepon) – tapi
keberagaman dalam pemrograman yang membuat musik itu sendiri menjadi meningkat.
Sebelumnya tidak pernah hal itu menjadi mungkin bagi ras dan populasi regional
yang berbeda untuk memasuki gaya musikal asli sesamanya yang berbeda pula tanpa
benar-benar berspekulasi keluar pada suatu pertunjukan, yang mana dalam kasus
Blues mungkin telah berarti suatu improvisasi boogie-session pada halaman belakang suatu
rumah, atau hanya semacam suatu “perkumpulan roh” di belakang dinding-dinding
penjara kota; atau dalam kasus musik Country kulit putih, rodeo di pertanian,
dalam kejadian yang sama, pecinta musik kulit putih dan kulit hitam terutama
sekali tidak akan merasa nyaman di dalam lingkungan lainnya.

Dengan jalan masuk pada
jaringan pemancar dari radio yang tidak memandang diskriminasi ras, dari
manapun dengan sekitarnya – yang mana pada satu malam yang cerah dapat
disebarkan sepanjang ratusan mil ke segala arah – secara luas,
kelompok-kelompok yang berbeda dapat saling bertemu dan belajar tanpa harus
mengadakan perjalanan, atau untuk sekedar keluar dari tempat tinggal mereka.
Bahkan mungkin untuk pertemuan yang menarik, musik yang tidak familiar di suatu
tempat tidak menyadari seberapa relatifnya suatu keterasingan. Itulah, maka tak
ada rahasia yang stasiun tertentu atau acara-acara tertentu, dimainkan mengutamakan
musik kulit hitam atau pun musik “ras”, dan lebih sering daripada yang bukan
pada pembedan lafal penyanyi itu sendiri akan mengungkapkan kesuku-bangsaan
seorang penyanyi, tetapi untuk mencatat pembedaan penyanyi tersebut telah
mempunyai kepedulian yang beralasan kepada kelompok lainnya pada tempat
pertama, dan lagipula penyanyi telah dipikirkan di dalam istilah akan perbedaan
rasial, daripada musiknya untuk tujuannya sendiri. Bagi banyak pendengar,
adalah cukup untuk menemukan sesuatu yang berbeda dan menarik pada radio;
mereka dapat menikmatinya tanpa merasa khawatir tentang arti sosial yang lebih
lebar. Dan ketika “pendengar” yang terdiri dari musisi itu sendiri –
orang-orang yang tertarik dalam perkembangan variasi-variasi gaya mereka
sendiri – yang rasial ataupun budaya yang berbeda sungguh-sungguh tidak relevan
dibandingkan dengan inspirasi-inspirasi yang diusahakan dengan bunyi baru.
Membayangkan bagaiamana ketukan aneh itu, atau penggunaan gitar atau horn,
atau pun goyangan liris yang menyenangkan atau suara yang “diangkat ke atas”,
pecah menyeberangi gelombang udara malam hari, haruslah bersuara kepada
enterpreneur musikal pada masa 1920-an dan 1930-an. Membayangkan bagaimana
mendengarkan para musisi Blues besar seperti Bessie Smith dan Robert Johnson,
untuk pertama kalinya calon-calon komposer yang berpengaruh ini, berjuang untuk
menyesuaikan lagu-lagu mereka pada selera jamannya. Bahkan raksasa-raksasa Jazz
pada era itu – Louis Armstrong, Count Basie, Duke Ellington, dan lain-lain –
memperluas pengaruh mereka melalui siaran radio dan penjualan rekaman, sama
baiknya dengan melalui film-film dan distribusi lembaran musik, untuk meraih
pendengar-pendengar yang jauh akan jalan masuk lainnya, dan akibat sikap
konsekwen mereka di atas pertumbuhan dari bentuk-bentuk percampuran musikal
seperti Swing a-la Western dan “lompatan” Blues kaum marjinal yang dapat
dipertimbangkan.

Hingga sekarang,
maraknya penggalian-penggalian musikal ini mengambil tempat jauh dari
kepedulian dari masyarakat umum, pada apa yang mungkin dipikirkan dari yang
disebut “pemotongan batas” dari perkembangan budaya Amerika. Kebanyakan orang
Amerika sedikit terkait dengan musik sama sekali, sebagaimana negara berjuang
untuk melawan kerusakan dari masa Depresi, dan sekali lagi dilukai oleh perang
di luar negara. Musik apa yang mereka indahkan terdiri dari kebanyakan dari
pertunjukan Hollywood dan Broadway, sejumlah Big Band, dan senandung beberapa
bintang yang sedang naik daun seperti Bing Crosby, Frank Sinatra, dan Andrew
Sisters. Musik itu sendiri meskipun selalu penting, secara sederhana tidak
merupakan sebagai pemusatan unsur dari rata-rata kehidupan sehari-hari orang
Amerika sebagaimana hal itu telah menjadi bagian dari kehidupan kita yang
tumbuh pada era Rock. Di sana, tentu saja tak ada “stereo” ataupun peralatan
lainnya yang mampu menunjang reproduksi musik pada suatu tingkatan kualitas
yang sedikit mendekati hasil bunyi
konser ataupun hasil bunyi dalam studio. Kebanyakan pecinta musik Rock, penulis
ingin menerka, akan segera “lelah akan musik” bila sistim tata suara terbaik
mampu berpadanan dengan gramafon kuno mono
pada era 1940-an, atau bahkan radio-radio terbaik pada masa itu. Dalam suatu
lingkungan, nada-nada yang mudah didengar serta syair lagu adalah yang terbaik
yang dapat merangsang ketertarikan pendengar-pendengar yang lebih luas; dapat
diragukan bahwa sebuah fuzz-box
dan feedback
gaya Jimi Hendrix akan membuat banyak kesan. Kepemilikan koleksi-koleksi
rekaman yang luas (kolektor piringan hitam waktu itu), yang mana pada masa kini
adalah hal yang umum yang mengisi banyak rak buku dengan sampul buku, adalah
bagi pecinta musik yang taat secara serius, biasanya pecinta fanatik musik
Klasik atau Jazz. Kehidupan pada tahun 1930-an dan 1940-an hanya melibatkan
kesatuan rasa lainnya, ketertarikan, memprioritaskan pada mayoritas populasi.

Pada 7 Desember 1941,
prinsip keasyikan dari populasi yang hampir menyeluruh menjadi sebuah perang.
Sekarang inilah topiknya bahwa banyak dari kita tidak berpegang dalam sudut
pandang (perkiraan penulis) – Perang. Masuknya era Rock ‘N Roll, masuknya
generasi Rock, telah merupakan suatu fenomena “Pasca Perang”, yang mana artinya
bahwa hampir setiap orang (termasuk pada kita) terlibat di dalamnya serta
ketertarikan akan Rock, tidak mengalaminya dan tidak mengingat perang tersebut.
Sebagaimana beberapa tahun berlalu, prosentase populasi di Amerika merupakan
jawaban pada penjelasan yang menggambarkan, yang tumbuh lebih luas dan
terus-menerus meluas; “kita sudah sejak lama menjadi mayoritas”. Sebagaimana pada
masa Pasca-Perang ketika penulis berusia 14 tahun, penulis tak dapat berbicara
lebih baik dari pengetahuan personalnya pada periode itu daripada penulis
mendapatkannya dari perbudakan ataupun masa Depresi, tetapi yang penulis
rasakan – pada orang tuanya, kakek-neneknya, dan dari generasi-generasi
politikus yang lebih tua, para pelaku bisnis, pengangguran, dan para veteran
perang, dalam buku, film, fotografi, berita utama yang dikumpulkan kembali –
suatu arti dari perang untuk semua yang hidup dan mengalami perang itu. Atau
mungkin lebih akurat, penulis rasakan ketiadaan arti/ makna bagi kita semua
yang tidak mengalami perang.

Bagi bangsa Amerika,
Perang Dunia II berlangsung hanya 3 tahun 8 bulan: tak lama dari sudut pandang
keseluruhan masa hidup seseorang. Bagi kebanyakan kita, kenangan-kenangan
apapun dari periode 4 tahun yang spesifik, karena kedewasaan kita akan segera
menjadi bias seiring waktu pertumbuhan kita serta merubah dan mempertemukan
kebaharuan abadi di sepanjang kehidupan. Perubahan, pada kenyataannya begitu
konstan bagi kita pada masa kini yang pada pertengahan 1970-an dikatakan: 1974
hingga 1978, nampak purba (kuno) dan secara luas tidak relevan pada dunia masa
kini. Bagi mereka-mereka yang hidup semasa perang, bagaimanapun juga, penulis percaya
ada suatu perbedaan. Untuk dua atau tiga dari seluruh generasi di Amerika –
anak sekolah, remaja, orang tua, dan lebih dari 100 juta orang hidup dan peduli
pada negara ini sepanjang tahun 1941 hingga 1945 – perang menjadi yang paling
penting, kenangan yang tak dapat luntur dari hidup mereka, warna-warni dan
pembentukan serta pengendalian setiap pemikiran dan wawasan mereka akan dunia
untuk semua dekade yang diikutinya.

Hal ini untuk
mengatakan tak ada dari mereka yang benar-benar berjuang dalam perang, serta
kembali terluka atau sebagai pahlawan, atau tidak sama sekali; tidak juga
penulis mengacu pada satu peristiwa bersejarah pada orang-orang Eropa dan sudut
pandang yang berhadapan dengan perang, tidak juga bagi para pengungsi yang
diterbangkan ke Amerika dari penghancuran dan pembunuhan massal – semua ini
berubah selamanya secara alamiah oleh Perang Dunia II: mereka semua korban
perang. Penulis agak menitikberatkan kepada kelompok luas orang Amerika yang
tidak punya keterlibatan dalam pengarahan pribadi dengan “Neraka di Dunia” yang
terjadi di luar Amerika, yang dengan mudah tinggal di rumah dan mengerjakan
bagian mereka, mengirimkan anak lelaki, suami dan saudara laki-laki mereka
untuk berperang, membeli pernak-pernik perang, menulis surat, menjalankan
serangan udara, menonton berita, serta berharap bahwa anak-anak mereka akan
pulang dengan selamat. Adalah oleh jauhnya mayoritas orang Amerika:
penonton-penonton perang, pendengar. Mereka tak punya ide, sama
seperti kita yang tidak pernah pergi ke Vietnam juga tidak punya ide, tentu
saja semua meliputi mereka, yang juga sangat dipengaruhi oleh karenanya,
selamanya.

4 tahun boleh jadi merupakan masa yang pendek untuk mempresentasikan kenangan-kenangan, tapi
bayangkan menonton film yang berlangsung selama 4 tahun. Film yang luar biasa
menegangkan, dengan ribuan sub-alur cerita, kepahalawanan dan obat bius yang
spektakuler, para penjahat yang tersembunyi, pilinan isi perut yang terus
menerus dalam alur cerita yang menggidikkan, kepedihan yang luar biasa,
kesedihan yang mendalam, gairah, rasa takut, dan yang mana akhir film itu –
mendadak berubah dan dengan penuh kegirangan, kejutan dan kegembiraan – adalah
tidak tertentu sampai waktu-waktu terakhir. Anda akan pergi tidur dengan
perkembangan terakhirnya dalam pikiran anda, kemudian bangun tidur untuk
mempelajari apa yang telah terjadi ketika anda tidur, saat film sepanjang 4
tahun tersebut diputar terus-menerus. Dan anda tidak punya pilihan selain
menonton film tersebut, untuk mengikuti ceritanya, karena ada pada tiap layar,
tertulis pada halaman-halaman di setiap surat kabar, setiap hari, berita-berita
singkat tersiar dari setiap radio, dan setiap orang di sekitar anda sedang
menonton pada saat yang sama. Selama 4 tahun.

Sekarang coba
bayangkan, lebih dari semua ini, bahwa tidak ada film, itu merupakan kehidupan
nyata, di luar sana, di suatu tempat: adalah kejahatan kolosal dan rasa takut
yang tak terkira, pengorbanan dan penderitaan yang tak terkatakan, herosime
a-la manusia super, rasa sakit dan kematian, kemuliaan dan kemenangan, setiap
hari, tak kenal lelah, berkelimpahan. Anda boleh jadi tak mengalami semua itu
pada diri anda (mungkin bila mengalaminya, akan dengan mudah diatasi, untuk
mengerti), tapi anda sangat peduli pada setiap nafas kejadian yang sedang
terjadi, yang pengeluarannya amat penting bagi masa depan anda, masa depan
dunia, ada hal kecil yang bisa anda lakukan untuk membantu tapi anda dipaksa
untuk bergabung dengan orang lain dan mencoba, dan bahkan ketika
kejadian-kejadian yang sekali-kali tiba, saat beberapa ‘kekacauan terdekat’
(pestakah? perkawinan andakah? ulang tahun anak andakah?) menjauhkan perhatian
anda dari kejadian-kejadian itu, anda hanya merasa semua lebih banyak di dalam
kehidupan yang betapa tidak pentingnya, adalah segalanya dalam hidup anda dalam
perbandingannya dengan apa yang sedang terjadi di luar sana, dalam perang.
Cobalah untuk membayangkan hal itu, dan sadarilah bahwa anda tidak mungkin
dapat memulai untuk membayangkannya, tapi ketahuilah bahwa bagi jutaan orang
Amerika, orang tua mereka, kakek-nenek mereka, itu telah terjadi. Jangan
berpikir untuk sekejap bahwa anda telah melalui apapun pada sedikit yang serupa
karena anda tidak melakukannya, karena tidak ada Perang Dunia III: Korea,
Vietnam, dan Irak; tapi suatu titik sinar pada layar oleh karena standar
perbandingan apapun.

Garis mendasar pada
Perang Dunia II adalah bahwa sejarah Amerika modern (dan dunia) dimulai ketika
itu berakhir; Perang Dunia II adalah semacam awal, Big Bang, yang menggerakkan
semua yang telah terjadi pada beberapa dekade selanjutnya; tak satupun sejak
saat itu yang tidak berhubungan dengan perang. Jadi itu semua sangatlah baik
untuk berbicara tentang kecenderungan sejarah pada musik di Amerika dari suatu
perspektif yang dilepaskan: Blues, Jazz, Swing, Tin Pan Alley, Rhythm &
Blues, Country, Rock ‘N Roll… dan, o ya, lagu-lagu patriotik selama era
perang. Tapi kebenarannya adalah kehidupan itu dihentikan, evolusi berhenti,
dan musik tertelan bersamaan dengan sisa Amerika karena perang, dan apa yang
diludahi setelah itu tidaklah sesederhana, suatu keberlangsungan terus menerus
dari apa yang baru saja terjadi sebelumnya, tetapi sesuatu yang baru, berbeda,
prasasti yang bersih: musik pasca-perang, atau pertunjukan pasca-perang pada
yang mana mulai membunyikan suatu band yang baru.

Karena generasi perang,
anda lihat, ditakdirkan untuk hidup dengan perang, dan semua penjeratannya,
menetap di sana setelahnya. Bayangan perang akan tetap tinggal secara gamblang
dalam film-film, pertunjukan, cerita-cerita, dan kebenaran yang dipuja tanpa
batas. Musik pada era tersebut akan berlanjut juga, pada musik Sinatra dan
Glenn Miller, pada Duke Ellington dan Ella Fitzgerald, pada semua bintang dan
bunyi yang bangkit menuju keunggulan pada masa itu, dan yang mana hiburannya
menyediakan hal yang pahit-manis, beristirahat dari kecemasan dan
intensitasnya. Bagi generasi perang, musik baru, ditemukan setelahnya, tidak
dapat melayani tujuan apapun, mungkin karena tak ada tujuan yang tersisa untuk
dilayani. Dengan berlalunya perang, sedikit alasan bagi para veterannya ini
menjadi bernafsu, untuk mencari jalan keluar atau pun inspirasi; ketenangan,
hiburan yang berulang, berjemur di bawah cahaya yang lunak dari kemenangan atas
putus asa, mungkin sudah cukup. Pecinta Rock ‘N Roll serta para kritikusnya
yang cenderung menertawakan “penyenandung” Tin Pan Alley untuk lagu-lagu cinta,
lagu bertempo lambat yang tidak menghentak serta aransemen kumpulan alat musik
gesek yang melenakan (Sinatra ‘yang dungu’ merupakan sindiran Rock yang sangat
penting dari gaya ini menurut Joe Piscopo), tetapi penulis tidak yakin kita
selalu mengerti dari mana datangnya penonton serta pendengar “Musik dari
Kehidupan Anda”. Mengapa mereka akan membutuhkan irama yang menghentak, keras,
menarik, musik yang cepat seperti Rock ‘N Roll? Mereka mengalami Perang Dunia
II, cukup menarik untuk menjalani hidup, terima kasih.

Jika kita mulai untuk
mengerti pandangan tersebut, kemudian kita temukan beberapa pengertian ke dalam
bagaimana Rock ‘N Roll mendekatkan diri pada generasi pasca-perang. Sejak tahun
1954, tak seorangpun yang masa remajanya di era tersebut secara pribadi tidak
diperkenalkan dengan Perang Dunia II, bahkan bagi remaja yang berumur 19 tahun
yang pada waktu akhir perang berumur 10 tahun, dan bagi generasi yang lebih
muda daripada generasi tersebut telah lahir ketika perang berlangsung. Pada
pertengahan 1950-an, bayi-bayi yang dilahirkan dalam “membantu” mengembalikan
para prajurit kepada istri-istri mereka, dan pada kegembiraan yang sangat yang
lebih umum serta populasi yang makmur dari pasca – perang Amerika – sedang
mulai tumbuh, dan mendengarkan Rock ‘N Roll. Gumpalan luas yang baru dari
kemanusiaan ini pada tempat kita berpijak tidak mungkin dapat berbagi perasaan
dan kenangan-kenangan orang tua mereka, tidak dapat mengetahui apa maksudnya
perang, dan bagaimana pengaruh perang pada generasi yang lebih tua. Sebenarnya
mereka tidak dapat berbagi kepuasan orang tua mereka dengan dunia pasca-perang,
kedamaian dan kemakmuran serta tak terancam sebagaimana dunia pasca-perang
tersebut keadaannya kontras dengan masa sebelum perang. Tidak satupun tantangan
besar hadir, apakah itu perang, Depresi, industrialisasi, atau perubahan
politik, menghasilkan kegelisahan yang dirayakan generasi muda Amerika pada
tahun 1950-an. Simbol dari generasi ini, Rebel Without A Cause-nya James Dean,
membuktikan pada kebutuhan yang menimbulkan kegatalan para remaja untuk
menemukan beberapa tujuan dalam hidup mereka. Di mana seperti satu dekade
sebelumnya, setiap kejadian di tiap-tiap hari telah membawa perkembangan dan
perhatian penting yang vital, yang berpengaruh ke seluruh negeri, pada
pertengahan 1950-an. Kehidupan sehari-hari pada permukaannya, membosankan dan
tidak berubah. Ike adalah seorang presiden selama delapan tahun. Konflik Korea
dan gangguan Perang Dingin dapat dikendalikan, dan pada akhirnya tak berarti
apapun untuk anak-anak.

Bagaimanapun juga
keadaannya sedikit berbeda bagi generasi muda Afro-Amerika. Kegelisahan mereka
karena tidak menemukan sebuah penyaluran, suatu tujuan, dalam tempat tinggal
mereka sendiri: akibat dari keadilan dan martabat. Mungkin – dan hanya
perkiraan – kehadiran tujuan suatu rasa yang mendasari kebangkitan musik kulit hitam pada masa itu
didekatkan begitu banyak kepada kaum muda kulit putih. Sesungguhnya tidak pada
syair-syair. Blues berbicara tentang rasa sakit, tapi biasanya rasa sakit
secara personal baik pada pria maupun wanita, bukannya ketidakadilan sosial.
Yang terbaru, gaya musik yang cepat, dikenal sebagai Rhythm & Blues [R &
B] yang sering berbicara mengenai tarian (“Good Rockin’ Tonight”, “Shake,
Rattle, & Roll”) atau mobil (“Rocket 88”), atau seks (“Work With Me,
Annie”, “Sixty Minute Man”), atau impian cinta (“Sh-Boom”, “Earth Angel”,
“Sincerely”), sebagaimana juga berbicara tentang luka (“Hound Dog”, “(Mama) He
Treats Your Daughter Mean”, “Ain’t It A Shame”). Boleh jadi bahwa kata-kata
yang spesifik tidaklah diperlukan, bahwa perasaan terhadap musik sudahlah
cukup. Musik kulit hitam pada akhir 1940-an dan awal 1950-an menemukan makna-makna
yang lebih baru dan lebih kuat untuk menyatakan rasa solidaritas dengan
kumpulan kaum kulit hitam, seberapa jauh perkumpulan itu dibedakan dari kulit
putih yang mengendalikan dunia, dan bagaimanapun juga, dalam kebenarannya,
Afro-Amerika menjadi bangga dengan perbedaan tersebut. Musik itu sendiri,
dengan mantap, irama yang cepat, merupakan pusat bagi satu identitas
perkumpulan, kesenangan serta hasrat kehidupan yang kaum kulit hitam
ekspresikan melalui musik mereka, terlihat lebih cepat dan asli, dikarenakan
rasa keterasingan yang nyata, yang dirasakan baik itu para pencipta maupun para
pemusiknya. Tujuan politis hak-hak sipil hanya sebagai permulaan pada permukaan
sebagaimana suatu penyatuan penyebab di antara kaum kulit hitam, dan hal
tersebut dapat dibantah sebagai pemersatu yang erat bagi perkumpulan melalui
komunikasi budaya yang memberikan bangkitnya kepedulian terhadap hak-hak sipil
pada tempat pertama, tidak pada jalan lain di sekitarnya. Demikianlah, hal yang
penuh arti ini ditemukan dalam musik kulit hitam yang mungkin tidak lebih rumit
daripada kegembiraan yang mana saat (musik itu) dibuatnya, kegembiraan dari
orang-orang secara dekat terajut akhirnya menemukan diri mereka sendiri.
Kebanyakan kaum kulit putih Amerika kekurangan terhadap rasa apapun pada
keterasingan kelompok – setelah semuanya, “kebaikan” mereka telah memerintah
wilayah kulit hitam selama berabad-abad. – tetapi remaja kaum kulit
putih yang merasakan terpisahnya mereka dari masa lalu orang tua mereka secara
paksa, mungkin lebih tertarik kepada ekspresi kumpulan kaum kulit hitam,
dikarenakan kebangkitan rasa kesendirian mereka sendiri. Menyukai musik kulit
hitam serupa pada keinginan untuk bergabung pada kelompok kulit hitam tersebut.

Dalam beberapa
kejadian, para legenda Rock ‘N Roll mengatakan bagaiamana lambatnya Rock ‘N
Roll menjadi nyata pada sedikit tinjauan ke depan para pemilik toko piringan
hitam, lalu para pemutar lagu di stasiun radio, kemudian para produser, bahwa
musik kulit hitam menarik pada lebih banyak generasi muda kaum kulit putih,
yang kecenderungan sosial barunya sedang berlangsung, jauh dari arus utama
hiburan populer, tapi tak begitu jauh dari kenyataan bahwa Rock ‘N Roll tidak
menghasilkan uang. Suatu waktu pada awal 1950-an, istilah Rhythm & Blues memasuki
kamus yang populer, dan sejumlah enterpreneur mencoba mulai menggali beberapa
kemungkinan komersial dari aliran musik yang baru saja digambarkan. Tinjauan ke
belakang menghubungkan orang-orang seperti Alan Freed, Sam & Dewey
Phillips, Bihari & Chess Brothers, dan Ahmet Ertegun yang merupakan para
perenung yang mempunyai kesamaan pemikiraan tunggal akan maju selangkah demi
selangkah melalui keragu-raguan serta penolakan oleh stasiun radio tradisional
serta kemapanan industri rekaman, serta tiba pada horison yang baru dan agung,
yang mereka selalu rasakan sebelumnya. Tinjauan ke belakang bagaimanapun juga,
bahkan tidak sejelas tinjauan ke depan; apa yang lebih disukai adalah bahwa
para pioneer ini serta para pioneer lainnya mengambil beberapa peluang karena
mereka tidak mempunyai kesempatan untuk berhasil dengan menekan musik
tradisional (yang telah lama mengakar). Mereka adalah orang-orang di luar
perkumpulan – komunitas, para inovator, para penjudi paruh waktu, yang tidak
mempunyai koneksi dalam perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi pasar,
serta mereka tak memiliki apapun untuk dipertaruhkan dengan mengeksplorasi
cara-cara baru. Jika Sam Phillips dapat merekam Perry Como dan Nat King Cole
pada puncak karir mereka, janganlah meragukan bahwa dia akan melakukannya. Pada
kejadian tersebut, bagaimanapun, adalah keberuntungan seperti Elvis Presley
yang akan terjadi pada beberapa yang lainnya, sama dengan memulai suatu
kelaparan, dan sejarah boleh jadi tidak berubah begitu banyak.

Dalam rasa ini,
kebangkitan sejumlah acara-acara radio alternatif dan label rekaman independen,
serta rangkaian pertumbuhan Rhythm & Blues, mungkin lebih sedikit dapat
dipuji pada individu-individu tertentu daripada kesehatan ekonomi yang umum
pada bangsa ini (Amerika) selama awal 1950-an. Suatu tingkatan ekonomi
berakibat menciptakan kesenangan, waktu dan penghamburan uang, yang mana para
remaja menjadi pangsa pasar dalam hiburan musikal, serta memapankan kondisi
yang secara relatif baik yang diijinkan perusahaan-perusahaan kecil yang baru
mulai memasuki pasar, dengan rendahnya biaya awal, serta perkembangan
permintaan yang tidak dilayani oleh keberadaan, resiko menentang dan dirugikan
raksasa-raksasa industri. Dari sudut pandang ekonomi, pada kenyataannya,
seseorang dapat membuat kasus yang baik yang mana revolusi musik populer di era
1950-an secara ekstrim dapat dibandingkan dengan revolusi komputer di era
1980-an – tapi hal itu akan menjadi sebuah penyimpangan yang agak tumpul, jadi
penulis tidak akan mengejar hal tersebut.

Sam Phillips dan
perusahaannya pastinya memiliki beberapa visi, yang bagaimanapun, dan yang
lebih penting, mereka memiliki selera. Produser-produser yang pertama kali
mengolah Rock ‘N Roll menyukai musik yang mereka ciptakan, serta tak diragukan
lagi dikemudikan di dalam penyelidikan untuk membuatnya populer oleh kenikmatan
mereka sendiri dari apa yang mereka lakukan sebaik alasan keuntungan. Hal
tersebut ‘mengganggu’ penulis bahwa observasi pra-Elvis yang paling terkenal
dari Phillips adalah suatu akibat dari “Jika saya mendapatkan seorang kulit
putih yang bernyanyi seperti kulit hitam, saya dapat membuat kekayaan”.
Berdasarkan atas kutipan di atas, menciptakan kesan sebuah kesinisan, rasis,
ketamakan, ketidak-pedulian pada seseorang, seakan dia nyaris memiliki amarah
untuk membuat rekaman penyanyi-penyanyi kulit hitam. Penulis tidak tahu apa
prasangka yang Phillips mungkin miliki, tapi hal itu tidak seperti Phillips
yang seorang rasis memberikan bisnis yang dijalaninya dan ia mengambil peranan
dalam perkembangan Rhythm & Blues sebaik penyaji musik Rock. Pernyataannya
sungguh-sungguh merupakan karakterisasi yang tepat akurat dari pemisahan yang
kokoh dalam industri musik, serta suatu analisa yang cerdik dari bagaimana
pengembangan hal tersebut. Jika industri mengambil seorang penyanyi atau
pemusik kulit putih untuk membuka telinga orang-orang yang sempit, maka akan
menjadi suatu hal yang baik, sejak muncul kepedulian para pendengar kulit putih
terhadap penangkapan bentuk musikal yang akan menguntungkan praktisi musik yang
asli dari kulit hitam sebanyak para kulit putih yang menjadi peniru performa
kulit hitam yang pertama kali menebar syair.

Tentu saja, peniruan
tak ada akhirnya oleh kulit putih atas R & B seperti pada lagu “Sh-Boom”,
“Hearts Of Stone”, dan “Sincerely” yang menjadi puncak dari tangga lagu populer
era 1953-1954 secara langsung menolong untuk “mengesahkan” R & B sebagai
suatu gaya bermusik (sekalipun hanya mempermudah) dengan pendengar yang lebih
luas, dan dibanding pencurian pendapatan artis-artis aslinya, menyediakan suatu
kesempatan yang lebih lanjut bagi mereka untuk berhasil dengan baik
sebagai suatu kelompok. Bagi pecinta Rock ‘N Roll sejati, rekaman-rekaman
tiruan ini memabukkan, kekurangan seluruh jiwa yang membuat aslinya begitu
melekat, tetapi bagi arus utama kulit putih yang lebih tua, pelemahan irama dan
instrumentasi serta gaya vokal kulit putih yang bagai bunga bakung cukup dekat
bagi lebih banyak bunyi Tin Pan
Alley yang terkenal untuk didekatkan dan diamankan. Sejauh porsi yang luas dari
pendengar kulit putih yang terkait, Rock ‘N Roll lebih masuk akal sebagai suatu
evolusi daripada suatu konsep yang revolusioner. The Crew Cut tidaklah
merupakan suatu ancaman bagi Tuhan dan Negara.

Bagi kaum muda,
bagaimanapun, kegelisahan dan keterasingan haruslah mendekati proporsi sejarah
sejak 1955, bagai bendungan yang tiba-tiba pecah, dan ombak pasang yang sangat
besar yang menyapu apa saja yang dilewatinya.

2. Permulaan

Rock ‘N Roll tidak cuma sebatas musik. Heavy Metal, Rhythm & Blues,
Art Rock, New Wave, dan sisanya boleh jadi merupakan jenis musik serta gaya
yang paling utama, tetapi sebagai sub-kategori Rock, atau Rock ‘N Roll,
semuanya tidak hanya secara kumulatif menambahkan musik secara keseluruhan.
Rock ‘N Roll adalah suatu pergerakan, sebuah gaya hidup, kebudayaan, dan
kemungkinan adalah suatu ideologi. Adalah tradisi, dalam beberapa cara bisa
dikatakan folklor, bisa juga suatu sistem kepercayaan. Dan semuanya tentang
Rock ‘N Roll pada masa kini, berhutang secara sederhana seperti menutup jendela
dari sejarah: dua tahun, tak lebih dari tiga, ketika struktur dari kebudayaan
populer Amerika yang terkoyak-koyak dan kemudian dirangkaikan kembali, dan
sebuah era secara eksplosif dimulai!

Kilas balik merupakan tempat yang
menguntungkan bagi Klasik Rock, karena dapat begitu mudahnya memvisualisasikan
awal kebangkitan Rock ‘N Roll. Hingga sekarang, masa itu hidup dan diciptakan
kembali dalam ratusan film, acara televisi, artikel di majalah, beberapa
biografi, dan kumpulan bunga rampai (karya terbaik). Era tersebut merupakan
masa-masa yang menyenangkan. Era 1950-an yang menakjubkan, Rock ‘N Roll yang
tua itu “berhembus” dari setiap kotak musik, dan Peggy Sue mengendarai mobil
Chevy tahun 1957 milik pacarnya ke Sock Hop, bersiap untuk “Rock Around The
Clock”. Saat Elvis menjadi raja Rock ‘N Roll, saat hidup begitu mudah, ketika
penyanyi-penyanyi tersebut memainkan lagu-lagu cinta yang indah itu, yang
menyentuh hati kita ketika lampu penerangan ruang tengah diredupkan… era
1950-an selamanya dipatenkan dalam kenangan bangsa Amerika oleh jenis-jenis
gambaran, bahkan tepat (akurat) secara
wajar, untuk semua hal yang kita ketahui.

Di samping kegilaan nostalgia, Rock ‘N Roll
era 1950-an tidak bertahan seperti musik “populer” yang mana Rock di era 1960-an
bisa bertahan lebih lama. Maksudnya, bahwa Rock ‘N Roll era 1950-an
diperlakukan hampir secara universal sebagai musik oldies lebih dari
sekedar kecurigaan nostalgik, di mana Rock a-la The Beatles pada masa sekarang
masih ada rasa “kekinian”. Rock era 1960-an tidaklah pudar dari stasiun radio
AOR yang populer – Bob Dylan, Rolling Stones, The Beatles, The Doors, Jimi
Hendrix, dan lain-lain masih tetap tinggal berhubungan dengan Rock modern masa
kini oleh suatu benang merah budaya yang tak terlihat sepanjang 1980-an – dan
kembalinya banyak artis-artis utama masa lampau – Steve Winwood, John Fogerty,
Eric Clapton, George Harrison, Mottown – merupakan veteran era 1960-an. Pecinta
Rock ‘N Roll sejati bagaimanapun menikmati tidak hanya umur panjang dalam era
pasca-Beatles. Kepopularitasan Elvis sejak 1963 secara luas terkurung kepada
para penggemar aslinya yang setia – dia merupakan suatu perwakilan pada
generasi yang lebih muda: Chuck Berry, ketika secara pribadi sangat gesit,
mencapai hit terakhirnya yang nyata dengan hal-hal baru,
“Ding-a-Ling” di tahun 1972, dan dengan cara lain telah dimainkan secara umum
bagi para penggemar oldies; Little Richard, Jerry Lee
Lewis, Everly Brothers, Carl Perkins, semuanya pada dasarnya tidak relevan pada
perkembangan Rock setelah awal 1960-an; dan artis-artis utama dari era itu
telah disusutkan pada ketidakjelasan dalam hal pengucapan (syair).

Konsekwensi dari ‘pembagian garis’ yang
bersejarah itu adalah, di mana remaja masa kini yang dilahirkan pada 1970-an
dapat menceritakan syair-syair The Beatles dan Bob Dylan dalam kenangan mereka,
lagu-lagu Rock ‘N Roll yang asli dan dahsyat hanya samar-samar terkenal bahkan
bagi yang berusia 35 tahun yang tumbuh dengan seketika dalam bangkitnya gejolak
Rock ‘N Roll. Penulis memiliki banyak “lagu-lagu pesta” yang berisi lagu-lagu,
suatu campuran (kompilasi) yang luas dari era-era yang berbeda termasuk di
dalamnya 1950-an yang penulis waktu itu akan dengan senang hati merekam sendiri
dalam tape-recorder pada suatu kaset untuk didengarkan saat
mengemudikan mobilnya dalam perjalanan jarak jauh. Tanpa pilihan, penulis
dengan rasa canggung menyerap, dan dengan pandangan kecewa serta mengerang
karena kesalnya ketika, pada satu kaset, sebuah lagu Elvis Presley atau Chuck
Berry mengikuti mayoritas lagu “modern”; seseorang biasanya secara spontan
mempercepat kasetnya agar lagu itu tidak didengar.

Hal ini terlalu buruk, karena musik dari
masa itu, terutama dari tahun-tahun dalam jangka waktu 1956 – 1957,
sesungguhnya adalah musik yang dahsyat. Tentu saja, banyak kekurangan dalam
penolakan tema-tema sosial atau politik. Tak ada jerit dari sayatan melodi
gitar atau juga tumpukan suara-suara synthesizer, dan proses perekaman pada
umumnya jelek (dan pre-stereo). Tapi energi, vitalitas, dan keaslian terobosan
Rock ‘N Roll tiada bandingannya oleh hampir semua yang telah datang sejak awal,
dan dalam konteksnya, dengan kebuasan yang mana musik ini meledak pada
peristiwa yang sedikit banyak mengagumkan. Pada tahun 1955, “Rock ‘N Roll”
masih hanya sebagai suatu peribahasa yang samar-samar, sebuah istilah pilihan
bagi Rhythm & Blues, dan populer sebagai suatu jenis musik hanya di antara
kader-kader muda “bawah tanah” yang telah menemukan stasiun radio R & B.
Grup vokal “Doo-Wop” dan The Penguins telah menembus arus utama dengan
lagu-lagu semacam “Earth Angel” (1954), dan ada banyak peniruan kulit putih
dari kulit hitam yang sukses, tapi ini semua sangat bisa dikendalikan dibanding
R & B yang benar, tentang yang mana mayoritas penduduk tahu setelahnya tanpa
mengetahui sebelumnya. Tahun 1956, bagaimanapun, posisi militerlah yang pertama
kalinya telah mapan, dan pada pertengahan tahun itu, suatu invasi total tengah
berlangsung di semua lini. Dan seperti allies di Normandy, serangan gencar
tetap berlangsung seperti pada awal kedatangannya, hampir tidak dengan waktu
bagi pendengar-pendengar pra-remaja untuk mengambil nafas dari tarian pada satu
lagu populer sebelum setelahnya – lebih besar, lebih cepat, lebih memikat –
diledakkan pada kaki mereka.

Bagaimanapun hal itu jelas terlihat bahwa
pecinta Rock setelah 1950-an mempunyai kesan bahwa lagu-lagu Rock ‘N Roll yang
terkenal di era itu terjadi melebihi waktu yang tengah berjalan. Untuk mengerti
pentingnya batas kejadian dalam sejarah modern, maka perlu untuk menyadari
bahwa hanya itulah kejadiannya. Lagu-lagu klasik Rock ‘N Roll yang dahsyat
tidaklah merangkak keluar dari pola Rock ‘N Roll pada masanya, satu atau dua
lagu tiap bulan; semua bagai jatuh dari langit hampir secara bersamaan. Hal
ini, penulis percaya, tanpa belas kasih terhadap bencana itu, pada akhirnya,
membuat Rock ‘N Roll dan semuanya yang datang setelahnya begitu bertahan,
begitu permanen.

Dalam perkembangannya, ada daftar tigapuluh
lagu yang tak tercatat, termasuk waktu ketika tiap-tiap lagu direkam dan
dirilis. Ini hanya sebagai contoh dari periodanya, sekalipun banyak dari
lagu-lagu terkenal yang besar; tak terhitung lusinan lainnya pada gaya yang
sama, dirilis pada waktu yang sama pula. Coba bayangkan (jika anda tidak
mengalaminya) pandangan apa yang terlintas dalam benak kaum remaja ketka Rock
‘N Roll untuk pertama kalinya disorot, menghadapi cepatnya kesuksesan tiap-tiap
lagu-lagu yang secara kuat berkelimpahan, yang terkenal ini. Coba bayangkan
bangun setiap pagi dengan kesadaran yang terus meningkat bahwa suatu revolusi
sedang terjadi di sekitar anda, bahwa gelombang selanjutnya sepertinya memukul
kejadian apapun, bahwa anda merupakan suatu bagian untuk mempercepat fenomena
ini pada awal dan akhir suatu hari, dan semua teman anda ‘terperangkap’ di
dalamnya juga. Selama satu minggu, seseorang akan datang ke sekolah atau toko
minuman soda untuk mengumumkan: “Kalian harus mendengarkan rekaman terbaru yang
dahsyat ini!”. Dan tentu saja hal itu hebat, dan ketertarikan akan tumbuh secara
terus menerus, sampai pada menjadi lebih besar daripada apapun sebelumnya: itu
adalah jalan hidup, nafsu yang terbakar menginginkan lebih banyak lagi dan
memproklamirkan dengan semangat relijius yang tidak akan pernah mati atau
menyusut, tapi akan tumbuh untuk menelan dunia dengan pesannya tentang
kegembiraan yang berlebihan serta pemikiran soal hidup, cinta, dan masa muda.
Dan begitulah yang terjadi, beberapa alasan bagi yang mana diketemukan dalam
ketidak-terdugaan dan intensitas dari lagu-lagu itu sendiri yang dinyalakan
oleh pergerakan jaman.

Bill Haley and His Comets, “Rock Around The
Clock”.

Direkam dan dirilis di tahun 1954, lagu ini
mencapai puncaknya sampai dengan tahun 1955 ketika secara mendadak anak-anak di
seberang Amerika dan kemudian di Inggris menemukan ide tarian bertempo cepat
(“Rocking”!) yang tidak ada hentinya, untuk bersenang-senang. Di mana tak ada
kemiripan yang dilangkahi dengan cepat, lagu bergaya Rock tidak pernah menjadi
puncak pada jajaran tangga lagu-lagu sebelumnya. “Rock Around The Clock”
menjadi terkenal, penjualan rekaman terbaik di tahun itu, terdapat dalam paling
tidak ada dua film yang menampilkan lagu tersebut dan kelompok Comet-nya Haley
ini. Kaum Puritis (Kaum yang selalu memegang teguh norma-norma dan adat istiadat)
cenderung untuk memotong lagu ini, di samping peran vitalnya, karena Haley
seorang kulit putih, karena dia tidak pernah memiliki lagu hits yang memiliki daya
tarik yang sama, dan karena, secara musikal, dengan big-band-nya, hal tersebut tidaklah begitu sesuai
dengan formula standar Rock ‘N Roll. Untuk menyatakan bahwa “Rock Around The
Clock” bukanlah merupakan suatu perkembangan lagu Rock ‘N Roll, bagaimanapun,
seperti menyatakan bahwa Babe Ruth bukanlah pemain baseball yang
terbesar: anda akan lebih baik memiliki beberapa argumen kuat, karena pada
kenyataannya semua melawan anda.

Bo Diddley, “Bo Didley”, dirilis awal 1955.

Ini merupakan pilihan kaum Puritis yang
menjadi referensi. Meskipun Bo Diddley sendiri telah tinggal sebagai suatu
artefak yang secara relatif tidak dikenal dalam kekontrasannya pada kebanyakan
nama-nama besar musisi Rock ‘N Roll, riff-riff yang dia populerkan yang menjadi ciri-khas
Diddley adalah sama abadinya dengan hasil bunyi manapun dalam musik populer.
Dia gunakan gitarnya sebagai instrumen rhythm, mempermainkan dasar-dasar
progresi akord Blues dengan menjadikan not istirahat/ tanda diam sebagai aksen
pada upbeat
untuk 3 ketukan pertama dalam satu bar 4/4 dan menambahkan downbeat
pada ketukan terkahir: _/_/_//_. Seperti itulah. Pecinta Rock ‘N Roll yang
lebih muda akan mengenali sinkopasi tersebut sebagai identitas dalam “Not Fade
Away”, yang sering sekali dinyanyikan banyak penyanyi dengan versinya
masing-masing. Dalam penekanannya pada upbeat, Bo Diddley juga secara kasar
memvisualisasikan dasar ketukan Reggae. Yang utama, lagu ini mudah dicerna, tak
dapat ditolak, bisa membuat kita menari, yang tak diragukan lagi kembali
memberi semangat telinga banyak pendengar, dan tidak juga untuk sedikit musisi
yang bercita-cita tinggi.

The Platters, “Only You”. Dirilis pada
pertengahan 1955.

Sebuah lagu hit yang cukup mengejutkan, tidak hanya atau
bahkan yang terbesar yang The Platters akan raih dengan gaya menyenandungkan
orkestrasi lembut dan suara vokalis yang bernyanyi dengan tertib. Banyak jenis
grup vokal kulit hitam yang sendu macam ini telah diterima dan
mengalami kesuksesan selama bertahun-tahun sejak 1955, dan selalu The Platters
yang paling sukses di antara mereka, serta sah-sah saja untuk bertanya seberapa
banyak mengarahkan keterkaitan, selain dari ras mereka, peran mereka pada
ledakan Rock ‘N Roll. Penulis mendapatkan pemikiran atas dua jawaban langsung.
Pertama, penyanyi utama, gaya bernyanyi Tony Williams, memberikan contoh dalam
lagu ini, sungguh berdiri di luar dari musik yang telah ada, sebagaimana dia
menarikan dan memanipulasikan pita suara untuk menandingi semacam “permohonan
dengan kegagapan” diikuti oleh senandung yang panjang: “Ah-ah-oh-only yooouuuu….”
Elvis Presley segera mencoba trik yang sama, dan mendapatkan tanggapan
bersemangat dengan mirip, terutama dari kaum hawa. Kedua, adalah kesalahan yang
pernah ada dengan meniadakan – begitulah disebutnya – lagu-lagu “sendu –
balada” dari panorama musik Rock ‘N Roll (dengan penuh paksaan meski beberapa
orang akan mencobanya). Dari sejak semula, pecinta Rock ‘N Roll telah
mendemonstrasikan bahwa suatu campuran yang pekak dan solid, corak yang keras,
yang dilangkahi dengan cepat oleh musik dansa serta-merta lebih lembut, lebih
lambat; musik romantis lebih dapat disukai pada satu dimensi gaya apapun secara
ekstrim. Kaum remaja di era 1950-an membeli rekaman The Platters dan Elvis
Presley serta memutarnya satu per satu, dan tradisi itu takkan berubah dalam
tigapuluh tahun ke depan; hampir setiap band, dalam kenyataannya, kecuali yang
paling kasar dan paling tidak bisa berkompromi, menyimpang sesuai dengan sisi mellow/kesenduan musikal
dari waktu ke waktu. Mendengarkan “Dream On”-nya Aerosmith, “Angie”-nya The
Rolling Stones, “Broadway”-nya The Clash, belum menyebut “Stairway To Heaven”,
dan yang lagu lainnya yang tak terhitung. Anda dapat mengatakan bahwa lagu-lagu
ini bukanlah Rock ‘N Roll sejati, tetapi beberapa jenis yang muncul kemudian
seperti Tin Pan Alley yang ditanamkan dengan Rock, merupakan pembedaan yang
berkarakter. Kesenduan merupakan bagian dari Rock, sebuah komponen dari
yang besar, seakan-akan untuk menyediakan suatu peristirahatan dari beban
perasaan yang berat dan kebetuhuan akan suatu pelepasan enerji, atau mungkin
untuk memenuhi janji pemberontakan, obyek rasa takut: damai, romansa,
ketenangan – penghargaan atas perjuangan yang sangat keras. Lagu-lagu sendu (balada), biasanya selalu menjadi
lagu-lagu yang diputar di akhir suatu acara.

Chuck Berry, “Maybellene”. Direkam bulan Mei
1955.

Sampai sekarang, inilah lagu yang sungguh
membuat kita akan selalu ingin mendengarkannya. Dengan “Maybellene”, Chuck
Berry datang, dan begitu juga The Real Thing. Lagu ini memiliki setiap unsur
Rock ‘N Roll yang bonafit: ketukan yang cepat, akord Blues dasar, solo gitar cukup menghajar, penyanyi
yang kharismatik melantunkan syair-syair tentang cepatnya mengendarai mobil,
dan wanita yang tidak dapat dipercaya. Lagu ini dirilis tahun 1955, menunjukkan
bagaimana berbagai hal sedang berubah dengan cepat. “Maybellene”, karena hasil
bunyinya dan yang menyanyikannya, merupakan peristiwa Rock ‘N Roll pada “ambang
pintu kejayaan”, tidak melihat ke belakang. “Rock Around The Clock” boleh telah
menata meja dan selera yang menggugah, Tapi Chuck Berry-lah yang menyajikan
menu utama yang meninggalkan “penikmatnya” dalam keadaan tak terpenuhi
“seleranya”.

Little Richard, “Tutti Frutti”. Direkam bulan
September 1955.

Untuk membunuh kiasan, Little Richard bisa
jadi sebagai pencuci mulut
dalam suatu persantapan
Rock ‘N Roll. Bukan sebagai polesan, ketrampilan tertentu, ataupun sebagai
suatu pengertian, sebagaimana Chuck Berry, ia mengejar “kementahan” dengan
energi yang kasar. Suatu peninggalan perekaman monofoni yang sangat buruk
seperti “Tutti Frutti” masih dapat mempertahankan miliknya melawan pukulan
terkeras Rockabilly
pada waktu apapun ketika pukulan tersebut datang untuk mengangkat seorang
pendengar. Kekuatan Richard, teriakan/nyanyian fleksibel tercermin dari
instrumentasi pendukung yang di luar kendali: drums, bass, piano, saksofon.
Anda dapat menggambarkan bandnya memantul ke sekelilingnya dalam kegembiraan
yang berlebihan, dan kaum remaja era 1950-an menemukan hasil bunyi baru yang
menakjubkan ini, melakukan hal yang sama. Banyak orang, dapat kita tebak, harus
mulai bertanya kepada diri mereka sendiri, “Apa yang sedang terjadi di sini?!”

Carl Perkins, “Blue Suede Shoes”. Direkam bulan
Desember 1955.

Sekarang anda sedang memulai untuk
mendapatkan ide. Lagu-lagu ini yang anda kenal baik, tetapi tiap-tiap lagu
tersebut benar-benar baru dan tak ditunggu oleh pendengar aslinya itu. Telah
disiapkan topik tarian – cepat, ritmis, tarian boogie – yang
dirayakan dalam lagu-lagu. Para penulis lagu dapat merasakan gelombang besar
sebanyak orang-orang. Apa yang Perkins telah presentasikan, dalam penambahan,
adalah hal yang sama yang Elvis akan melambangkannya: perkawinan R & B
dengan Hillbilly/Country dan Western, musik kulit hitam dengan musik kulit
putih. Chuck Berry mencetak hal ini dengan baik, seorang kulit hitam dengan
bakat yang mengerikan. Perkins keluar dari perusahaan rekaman Sun milik Sam
Phillips di mana Elvis telah menghasilkan beberapa lagu yang tidak begitu
terkenal seperti “That’s All Right” pada tahun 1954 dan “Baby, Let’s Play
House” pada tahun 1955. Di samping karirnya yang bersinar, bagaimanapun, Elvis
tidak dapat meletakkan pengakuan sebagai yang pertama dan mungkin menjadi
pukulan Rockabilly yang terbesar.

Elvis Presley, “Heartbreak Hotel” dan “I Want
You, I Need You, I Love You”. Direkam bulan Februari 1956.

Dua lagu untuk kategori “Percayakah anda
akan hal itu?”: Percayakah anda bahwa di atas semua kekuatan Rock ‘N Roll
direkam dan populer sebelum Elvis Presley yang sungguh
memecahkan keadaan iklim musikal? Dan percayakah anda bahwa dua singel luar
biasa milik Elvis ini sepenuhnya begitu melunakkan? Anda harus percaya dua hal
itu, karena bisa membantu untuk mendemonstrasikan bahwa tak ada makna apapun
yang membuat Elvis menciptakan revolusi Rock ‘N Roll yang segera membuatnya
menjadi tolak ukur. Dia masuk di tengah-tengah kekacauan dan dengan cepat
menjadi fokus, tapi hal tersebut akan telah terjadi tanpa Elvis: telah
disiapkan.

Mendengarkan dua lagu ini sekarang, corak
yang paling luar biasa pada lagu-lagu tersebut adalah suara Elvis itu sendiri.
Ia mengambil teknik vokalis The Platters, Tony Williams, dan banyak teknik
lainnya yang dimiliki para pendahulunya, untuk puncak yang baru dan belum
dipetakan. Bagi seorang penyanyi yang baru saja memasuki popularitas yang lebih
luas, cara bernyanyi dengan beresonansi dengan ketabahan dan kepercayaan diri
yang menakjubkan, terutama pada lagu “Heartbreak Hotel”, di mana Elvis
berteriak secara berurutan dengan paru-paru yang penuh “Well, since my baby left me”
dan kemudian meneguk kembali
kata-kata “they’ll make you
so lonely, baby” seolah di dalam air, tanpa kehilangan ketukan. Ini
benar-benar lagu Blues, diaransemen dengan baik, dengan perlahan tapi berirama
mantap, tak terdefinisikan kecuali untuk vokal yang mengejutkan. Bahwa Elvis
bangkit begitu tiba-tiba melampaui ketenaran yang pernah terjadi sebelumnya,
pada kekuatan judul lagu-lagu hits
ini, serta untuk semua itu yang datang setelahnya dengan cepat, terbukti bahwa
pecinta Rock ‘N Roll muda pada kenyataannya sungguh membeda-bedakan; mereka
menyadari dan merespon pengecualian bingkisan musikalnya. Strategi pemasaran
dan promosi manipulatif yang tak kenal rasa malu boleh jadi mendominasi karir
berikutnya bagi perusahaan rekaman RCA, tapi Elvis melakukannya karena ia
menghargainya. Itulah, dia tidak selalu hanya sebagai seorang kulit putih yang
bernyanyi seperti orang kulit hitam, tapi suatu bakat yang bagus sekali yang
bagaimanapun secara teliti berguna bagi perkembangan kebudayaan. Penulis akan
menyatakan hal tersebut sebelum Elvis menjadi suatu gerakan, dia
merasakannya, bagaiamanapun juga secara tidak sadar, secara intuitif, untuk
menjadi pemimpinnya.

Chuck Berry, “Roll Over Beethoven”. Direkam
bulan Februari 1956.

Tak ada banyak titik dalam ketekunan pada
kejeniusan abadi
Chuck Berry, semenjak baru-baru ini begitu seringnya hal itu dilakukan. Pokok
penting lagu ini, dari syair maupun irama musiknya pada intisari petikan gitar
Berry, merupakan bagian tervital Rock ‘N Roll, definisi Rock ‘N Roll, yang mana
dengan tepat ingin jadi seperti apa lagu tersebut. Suatu genangan penyanyi R
& B kulit hitam mengumumkan dengan keberanian sejati, bahwa era musik baru
telah datang, dan dalam pengumuman tersebut, dia membuat hal ini menjadi nyata.

Little Richard, “Long Tall Sally”. Direkam
bulan Februari 1956.

Ini adalah bulan yang baik. Setiap bagiannya
seenerjik dan semotif dengan “Tutti Frutti”, lagu ini secara kasat telinga
menambah syair yang lebih dapat dimengerti, dan percampuran tema dari “having me some fun tonight”
itu sebagai dasar dari pergerakan. Dan, dengan pesan-pesan yang dimasukkan pada
piringan hitam selama bulan bersejarah ini, suatu pergerakan apa yang secara
tepat sedang berlangsung. Namun masa puncaknya telah berlalu beberapa bulan,
tetapi kepedulian remaja Amerika terhadap kekuatan baru yang khusus dalam dunia
telah sedang menyebar secara eksponen. Permulaan kredonya – bahwa setiap orang
harus antusias merayakan kesenangan dan romansa dan kesetiakawanan – hanya
secara terpisah menutupi bukti bahwa kepopuleran Rock ‘N Roll bangkit pada
suatu platform
ketidakpuasan. Unsur Blues pada R & B, dan Rock ‘N Roll, tersembunyi dengan
kenikmatan, diterjemahkan kepada cinta yang hilang atau pembakaran musikal
belaka, tetapi dalam satu cara untuk menikmati “kesenangan” itu sendiri adalah
sifat memberontak – untuk menikmati kesenangan yang besar, bagaimanapun, menari
dengan liar, berteriak dan menyebut sampai lelah. Dan pertumbuhan kesetiaan
pada Rock ‘N Roll sebagai suatu tujuan, suatu akhir dalam Rock ‘N Roll itu
sendiri, menandakan bahwa adalah lebih untuk anak-anak daripada hanya suatu
waktu yang baik.

Roy Orbison, “Ooby Dooby”. Direkam bulan April
1956.

Gene Vincent, “Be-Bop-a-Lula”. Dirilis bulan
Juni 1956.

Ini merupakan masa jaya dari Rockabilly, ketika yang
tidak terkenal menjadi lengkap. Orbison dan Vincent dapat secara pandai
melenturkan tali vokal mereka pada ketukan R & B, menambah bakat negeri
macam satu papan cuci atau bass gesek, dan mengambil alih perhatian segala
penjuru negeri selama beberapa minggu. Lagu-lagu ini, terutama milik Vincent,
merupakan variasi-variasi yang tak terlupakan pada standar bunyi Rockabilly. 25 tahun
kemudian, Brian Setzer (Stray Cats) hanya dapat memimpikan peniruan
keotentikannya. Orbison, sementara itu, mencapai sesuatu yang tak terukur dan
tidak seperti kedatangan kembali dalam partisipasinya dalam personil asli
Travelling Wilbury (bersama George Harrison, Eric Clapton), sebelum kematiannya
di tahun 1989.

Bill Dogget, “Honky Tonk”. Dirilis bulan Juni
1956.

Salah satu dari lagu-lagu Rock ‘N Roll
instrumental besar yang terkenal, pengangkatan saksofon pada kebutuhan teratas,
dan membuktikan bahwa Rock ‘N Roll tidak melulu pada kata-kata yang keluar dari
mulut penyanyi atau citra yang menginspirasi pecinta Rock ‘N Roll, tetapi gaya
musik itu sendiri. “Honky Tonk” meraih nomer dua pada tangga lagu-lagu dalam
ketatnya suatu melodi yang sangat mudah dicerna dan suatu irama yang tak
tergoyahkan. Ketukan, secara kebetulan, ditingkatkan dengan menepuk tangan yang
bagaimanapun membawa keseluruhan hasil rekaman ini lebih dekat kepada pendengarnya:
Adalah sulit untuk tidak bertepuk tangan sepanjang lagu itu.

Elvis Presley, “Don’t Be Cruel”. Direkam bulan
Juli 1956.

Merupakan puncak utama pertama dalam ledakan
Rock ‘N Roll. “Don’t Be Cruel” meraih nomer satu secara teratur dan terus
menerus dalam tangga lagu-lagu pop Billboard, R & B, dan Country.
Simbolisme adalah jelas nyata di sini: musik kulit hitam, musik rakyat –
Country, dan rata-rata di pinggiran kota, musik kulit putih semuanya terpikat
dengan fenomena yang direpresentasikan oleh Elvis. Nomer satu di tangga lagu
pop dan R & B pada saat yang bersamaan dan benar-benar umum secara wajar
bagi artis kulit hitam dan kulit putih pada awal 1950-an, dan secara sporadis
setelah semuanya; diterima oleh pecinta musik Country yang lebih luar biasa.
Elvis akan melakukan sepasang trik dari lebih banyak waktu, dan Everly Brothers
dan Jerry Lee Lewis juga akan mencapai prestasi yang sama dalam dua tahun ke
depan, tapi pendengar musik Country segera mundur dari koalisi Rock ‘N Roll,
dekade terkini telah melihat suatu pemisahan tajam secara adil antara musik
Country dengan musik Rock, dengan tangga lagu pop yang merunduk maju mundur di
antara perolehan posisi masing-masing Rock dan Country. Musik popular kulit
hitam tertentu, tidak lagi mempertunjukkan hubungan penting apapun pada musik
Country, dan sebaliknya. Untuk waktu yang singkat, bagaimanapun, ada kesatuan
yang dapat diandalkan pada pendengar-pendengar yang sangat berbeda dan
berseberangan, penambahan pada legenda mula-mula Rock ‘N Roll.

“Don’t Be Cruel” tentu saja sebuah rekaman
berharga yang diwariskan oleh kehormatan ini: ketukan cepat, cara bernyanyi
yang baik, dan aransemen dan perekaman secara kompeten. Dalam konteks ini,
selalu saja hanya kelihatan tiba pada waktu yang tepat, ketika remaja-remaja
dari semua kalangan membeli rekaman ini menjadi gila atas rajanya. Tidaklah
menyakitkan bahwa sisi lain pada piringan hitam single yang dikeluarkan merupakan lagu “Hound
Dog” versi Elvis, yang dapat dimainkan lebih keras daripada versi Willie Mae
Thornton. Dengan dirilisnya lagu ini, jika tidak sebelumnya, Elvis mencapai
satu status “tak bisa melakukan kesalahan” oleh para pemujanya, dan dalam
sebuah pangsa pasar yang lebih luas pada publik Amerika. Meskipun kritik yang
mapan dan orang tua tidak menaruh kecurigaan atas hasil yang telah “dipukul”
oleh Elvis, industri hiburan tak bisa mengabaikan pendekatan yang belum pernah
terjadi sebelumnya dari Elvis sebagai pemasukan potensial. Dia mulai terlihat
pada acara televisi, menandatangani kontrak untuk membintangi film, dan tiap
rekaman yang dirilisnya selalu laku keras pada akhirnya. Terkadang sulit untuk
mengingat, penulis pikir, bahwa kulit luar menyedihkan yang menenangkan Elvis
dalam kesendiriannya pada kematiannya di tahun 1977, dan spiritnya didapatkan
kembali tanpa rasa malu dalam berita utama pada majalah mingguan yang tak
terhitung, secara aktual merupakan “anak Tuhan yang bersemangat” berusia 20
tahun pada tahun 1956, yang sangat baru serta kesenangan yang tak terkendali
dalam pahatannya sendiri pada para pemuja fanatiknya ke dalam kumatnya
kegembiraan yang berlebihan. Hal tersebut mengeraskan suatu resepsi (yang mana
tentu saja bagi siapapun yang memasang posternya di samping gerbang keluar
layanan bagi para tamu) yang telah ditiru hanya sekali dalam campur tangan
dekade, dengan datangnya The Beatles dari negara yang lain. Tak ada
Springsteen, Grateful Dead, Bon Jovi, Madonna, ataupun Michael Jackson yang
dapat mengakui warisan dari tahta Elvis, tanpa melihat betapa banyaknya rekaman
yang mereka jual dan tempat duduk gedung konser yang mereka tempati. Musiknya
merupakan suatu terobosan dalam evolusi budaya itu sendiri: asal sang
superstar. Semuanya yang lain hanya selalu mengikuti kepemimpinannya, secara
tak sempurna membuat bayangan rupa Elvis Presley. Sampai suatu fenomena baru
datang yang menangkap dunia yang hanya Elvis dan The Fab Four lakukan, semua
bintang pop berikutnya harus dihitung sebagai tak lebih daripada sekedar murid.

Fats Domino, “Blueberry Hill”. Dirilis bulan
September 1956.

Rekaman ini begitu populer (urutan 4, dan
kemudian urutan 1 pada tangga lagu R & B) di tengah-tengah ledakan Rock ‘N
Roll yang mendemonstrasikan kuatnya pengaruh Rhythm & Blues di antara
pendengar musik pop. Lagu sendu ini merupakan suatu model dari
balada a-la New Orleans, berpijak jauh dari model Elvis maupun Chuck Berry –
suatu perubahan dari langkah yang menyenangkan dalam kenyataannya – dan lagu
ini terkenal karena begitu otentik. Tentu saja, citra publik terhadap
kegembiraan Fats ikut berperan juga, lagi dalam kekontrasannya pada seks dan
pendekatan remaja oleh bintang-bintang remaja utama. Untuk menjadi beda dan
nyata, dan benar pada akar Rock ‘N Roll, selalu telah menjadi kepastian ramuan
kesuksesan bagi musisi Rock ‘N Roll.

Elvis Presley, “Too Much”. Dirilis bulan
Januari 1957.

Ada beberapa diskusi di antara para
sejarawan musik Rock ‘N Roll, bahwa gerakan ini sebentar lagi mati, hampir
seperti kedatanggannya yang secara mendadak pada akhir 1956. Kelemahan
ditampilkan di sini sebagai contoh (September ke Januari), kelihatannya suatu
masa hidup dibandingkan dengan pelepasan-tepat pada awal dan pertengahan 1956.
Penulis tidak melihat Rock ‘N Roll sama sekali secara menggenang, bagaimanapun
mungkin baru saja memerlukan peristirahatan sejenak. Kecuali bakat-bakat
seperti Elvis, Berry, Richard, dll, secara secara bersamaan dijauhkan dari
kancah musik (1956 – 1960), ada sedikit kesempatan yang kesempatan serta energi
akan dikeringakan. Dan sekali lagi menginspirasi, penikmat muda akan dengan
yakin tidak pernah memilih untuk membebaskan penemuannya, secara kontras
penungguan penuh harap oleh banyak kaum dewasa. Pada beberapa kejadian, suatu
kilas balik membuktikan bahwa secara agak pudar, Rock ‘N Roll berlaku bagi
hujaman yang dibaharui kembali pada tahun 1957 yang bahkan akan melebihi kegilaan pada tahun-tahun sebelumnya. Elvis
sewajarnya membuka gerbang kejayaan Rock ‘N Roll dengan lagu terkenal ini, yang
mana mencapai nomer satu di samping tidak pernah dirilis sebagai sebuah singel.

The Coasters, “Young Blood”. Direkam bulan
Februari 1957.

Lagu hit
pertama dari The Coasters (mereka sebelumnya dikenal sebagai Robin dengan
“Smokey Joe’s Cafe”), dan juga salah satu dari kesuksesan pertama bagi penulis
lagu Jerry Lieber dan Mike Stoller, dua orang pahlawan Rock ‘N Roll yang selama
ini tidak dikenal. Dalam penambahannya untuk mencipatakan banyak lagu-lagu hits dari Elvis, Lieber dan
Stoller berada di belakang puluhan lagu bagi pemusik kulit hitam seperti The
Coasters, The Drifters, dan Lavern Baker. Ada lebih banyak percampuran yang
sulit dipisahkan anatara R & B kulit hitam dengan musik kulit putih: dua
orang penulis lagu kulit putih yang menciptakan lagu hits bagi penyanyi kulit
hitam, dan meraih puncak dalam tangga lagu R & B dalam prosesnya. Hal yang
menghubungkan antara kelompok-kelompok budaya menjadi bias, di belakang pintu
studio dan di telinga para pendengarnya. Dibandingkan dengan tingkatan
pemisahan yang telah terlambat untuk kembali dalam industri musik Rock,
pencapaian ini, sedikit daripada tiga tahun setelah Pendidikan Brosn v. Board,
dan baik sebelum pergerakan perjuangan hak-hak sipil sungguh dipertahankan,
benar-benar mengesankan sekali. Sebagaimana dengan sisa-sisa lainnya dari Rock
‘N Roll era 1950-an, musik seperti The Coasters bertujuan untuk diabaikan atau
menjadi cibiran oleh pendengar-pendengar musik sekarang, bahkan lagu-lagu
nostalgia lainnya pun demikian. Itu sangat disayangkan, pemberian warisan ideal
yang umum dan penghargaan atas mutu yang telah mereka simbolkan.

Chuck Berry, “School Days”. Dirilis bulan Maret
1957.

Lagu ini adalah hal yang lain, bahkan contoh
yang lebih baik dari model pertukaran ras tersebut. Dalam apa yang dapat
dibantah merupakan lagu kebangsaan
Chuck Berry, kombinasinya antara balada a-la remaja di era 1950-an dengan
penghormatan atas kedigjayaan Rock ‘N Roll, ada satu yang tak disebutkan dan
mempesonakan ketidakpantasan. Cuck Berry, orang kulit hitam berusia 30 tahun
yang berasal dari St. Louis dekat Chicago, menggambarkan kehidupan kaum remaja
kulit putih di pinggiran Milwaukee, Cleveland, dan Baltimore. Lebih langsung,
“negro” ini menyanyikan tentang ruang kelas di sekolah dan “penggabungan dalam
suatu kotak kecil” di mana tak ada kulit hitam yang menghadirinya. Pemisahan
yang disengaja ini masih mendominasi seluruh Amerika, tetapi tidak meluas pada
perekaman yang dibawa serta didengar oleh anak-anak. Dengan menunjukkan
pengertian intuitif dari kegelisahan para pendengarnya yang berasal dari kaum
muda, serta menyediakan suatu jalan keluar yang bebas dan gembira, Chuck Berry
boleh jadi menyumbangkan banyak pada pergeseran yang segera terjadi pada sikap
rasis kaum kulit putih sebagai Mahkamah Agung dan Konferensi Kepemimpinan
Kristen Wilayah Selatan. “Jauhkanlah diriku dari masa yang telah berlalu itu” bisa
memiliki banyak arti.

Elvis Presley, “All Shook Up”. Dirilis bulan
Maret 1957.

Mempertimbangkan popularitas Elvis yang luar
biasa, Elvis yakin tak dapat dituduh dari beristirahat atas kemenangan, atau
pura-pura mengerjakan sesuatu. Penulis hanya menyisipkan segenggam penuh daftar
lagu-lagu hits Elvis era 1956–1957; tak ada dari yang lain dengan sama dapat
dikenang. Lagu-lagu Elvis merosot pada suatu tingkatan yang relatif cukup sejak
1959 ketika dia memasuki dunia militer, tetapi selama tiga atau empat tahun dia
memiliki rangkaian kejutan tidak hanya pada kesuksesan, tetapi pada mutu serta
keaslian rekamannya.

The Everly Brothers, “Bye, Bye Love”. Dirilis
bulan April 1957.

Sekarang segalanya telah mulai memanas,
sebagai gelombang kedua dari artis-artis dan perusahaan rekaman yang tiba. The
Everly Brothers juga bangkit dari Country dan Western untuk menemukan suatu
irama baru dan pendengar yang lebih luas. Mereka memperkenalkan harmoni vokal
gaya kulit putih yang nantinya menginspirasi The Beatles, The Beach Boys, serta
Simon dan Garfunkel, serta menghasilkan
musik yang bisa membuat kita menari yang diletakkan kembali terutama pada
instrumen gitar akustik. Tema, cinta yang hilang, sama tuanya dengan kedatangan
mereka, tetapi pendekatan pada semuanya serba baru.

Jerry Lee Lewis, “Whole Lotta Shakin’ Going
On”. Dirilis bulan Mei 1957.

Percaya atau tidak, lagu ini lebih baik.
Reputasi Jerry Lee Lewis telah bertahan lebih dari 30 tahun, yang mana
mengejutkan bila anda mempertimbangkan bahwa dia hanya punya 3 lagu hits,
selama kurang dari 2 tahun. Bagian besar dari alasan tersebut tentu saja
merupakan suatu kontroversi, ia menghasut dengan lelucon rasial serta pasangan
perempuannya yang di bawah umur; Jerry Lee Lewis akan menghasilkan berita yang
menjadi penyelidikan nasional. Tapi mungkin yang lebih penting dari
ketekunannya adalah pada rekamannya, “Whole Lotta Shakin’ Going On” adalah yang
terutama dari itu semua. Menampilkan, akord tunggal dan piano solonya dimainkan
oleh Jerry Lee sendiri, yang merupakan ciri khasnya dan pada satu institusi
Rock ‘N Roll. Kesukaan si penulis dalam lagu ini pada bagian kata-kata lembut, “Shake it Baby, you can shake it one
time for me”. Hanya saja judul dari lagu ini menangkap apapun yang
seseorang butuhkan untuk mendengarkan makna mula-mula dari Rock ‘N Roll –
irama, syair plesetan, ungkapan sehari-hari, dan mudah menyebar – hanya
mengatakan dengan perasaan sebagai ganti dari ketegasan analistis yang mewah.

Buddy Holly and the Crickets, “That’ll Be The
Day”. Dirilis bulan Mei 1957.

Konsensus umum kelihatannya pada,
sebagaimana ia dikenang, Buddy Holly ditakdirkan untuk menjadi jawara Rock ‘N
Roll terbesar, lebih bersinar bahkan dibanding Elvis maupun Chuck Berry.
Kembali ke tahun 1957, harusnya nyaris terlalu banyak untuk mengambil, setelah
kesuksesan musisi-musisi besar, serta lagu-lagunya yang telah ditelan oleh
seluruh negeri sebelumnya, termasuk di dalamnya lagu-lagu baru dari Everly
Brothers dan Jerry Lee Lewis ini, lagi-lagi diserbu oleh penyanyi baru lainnya,
yang lagu-lagunya satu lagi bentuk di atas para pendahulunya. Anak-anak
harusnya menjadi letih (mendengarkan lagu-lagu ini memang meletihkan!). Rock ‘N
Roll sejak musim semi tahun 1957 seperti suatu candu atau semacam ‘seseorang
yang kuat banyak minum yang semakin membuatnya jadi lebih kuat’, menjerumuskan
para pecintanya dalam kegembiraan besar yang setingkat lebih tinggi dengan
setiap minggu yang terlewati.

Little Richard, “Lucille”. Dirilis bulan Mei
1957.

Heavy Metal pra-sejarah: begitu keras melabihi
lagu-lagu sebelumnya, lebih menarik kedengarannya. Whitesnake tak ada
apa-apanya dibanding Little Richard.

Huey “Piano” Smith and the Clowns, “Rockin’
Pneumonia And The Boogie Woogie Flu”. Dirilis pertengahan tahun 1957.

Bagaimana bisa ada banyak perhatian
diberikan pada asal-muasal istilah “Rock ‘N Roll”, tapi tak ada yang memberi
perhatian pada asal-muasal “Boogie Woogie”? Sebagaimana suatu eufemisme lainnya
untuk menari dan atau untuk seks, kelihatannya hampir lebih sesuai, lebih
kotor. Sebagai suatu lagu-lagu enak yang terlempar jauh dari gaya New Orleans
dari tahun 1957, tipu muslihat kecil ini mewakili atmosfir manapun di tahun
tersebut. Menonjol dengan cukup baik yang mana 15 tahun kemudian di tahun 1972,
Johnny Rivers (dari Secret Agent Man yang terkenal) seorang pengikut di
Louisiana, mampu menghasilkan membawakan kemabali lagu ini dan meraih urutan
enam dalam tangga lagu.

Elvis Presley, “Loving You”. Dirilis bulan Juni
1957.

Suara bariton Elvis pada lagu ini, nomer
tarian lambat yang terakhir, hampir terlalu sangat kuat: syair “don’t you be blue…”
hampir menggemuruhkan lantai dansa. Rekaman ini dapat dengan mungkin dilakukan
tanpa vokal pendukung pada bagian refrain yang bodoh, tapi itulah status seni
pada waktu itu. Kenyataannya, masuknya lagu ini akan menjadi manis secara tak
menarik bila bukan pada suara Elvis yang tidak seperti pada umumnya penyanyi
waktu itu. Tidaklah cukup bahwa ia menaklukkan gadis-gadis muda kepada suatu
hiruk pikuk dengan perputaran dan pemukulannya – lagu macam ini membuat
gadis-gadis muda melanggar sumpah setia dengan kekasih mereka, persembahan
hidup mereka akan pemujaan terhadap Elvis. Tommy, si peluru jalanan – tidak
akan pernah bernyanyi seperti itu.

Everly Brothers, “Wake Up, Little Susie”.
Direkam bulan Agustus 1957.

Di luar masukan musikal dari Everly
Brothers, terutama sekali sebagai pelopor paduan vokal yang harmoni, lagu ini
menonjol pada waktunya sebagai pembuktian awal bahwa dalam kenyataannya bahwa
seks kaum remaja bukanlah sebuah penemuan milik generasi 1960-an. Tokoh dalam
lagu ini, Susie dan pacarnya, mendapat masalah karena mereka tertidur di
bioskop dalam suatu kencan, dan terbangun pada pukul 4 subuh esok harinya.
Reputasi Everly Brothers disorot. Mereka meratap, “what are we gonna tell our friends when they say ’ooh la
la!’?”. Dengan kata lain, seluruh dunia akan berasumsi bahwa mereka
keluar jalur! Bahwa Susie dan pacaranya yang dari segi penampilan amat baik
yang benar-benar tidak berdosa tidaklah merubah kenyataan bahwa kecurigaan
harus ditemukan dalam keterkaitannya serta sedikit kepedulian akan para remaja
yang nakal – hal tersebut haruslah terjadi pada kenyataannya. Dan ini merupakan
arus utama budaya kulit putih yang kita bicarakan: The Everly Brothers, duet
yang tidak bercela serta tampaknya polos, sebagaimana Rock ‘N Roll telah
membentuk mereka, bukan pada beberapa keragu-raguan pemungut Blues kulit hitam
dengan sebuah botol dalam kantong mereka dan kerlingan di mata mereka. Jika
mereka tahu apa itu seks dan bahwa – ooh la la! – kadang-kadang terjadi di
anatara para remaja, kemudian setiap orang harus mengetahui… begitu banyak
bagi mereka yang tak bercela pada era tersebut.

Buddy Holly, “Peggy Sue”. Dirilis bulan
September 1957.

Penawaran legendaris lainnya dari Buddy
Holly. Mempertunjukkan vokal akrobatiknya dan irama yang dirasakan secara
bawaan darinya. Bagi penulis, lagu ini tidak memiliki inspirasi yang
berlimpahan daripada “That’ll Be The Day”, tidak juga dalam suatu kumpulan yang
sedikit cukup akrab dengan “Rave On”, tapi “Peggy Sue” bagaimanapun datang
untuk suatu perlambangan bagi banyak orang yang hidup di era 1950-an. Catatan
untuk itu terletak dalam nama Peggy Sue itu sendiri. Orang-orang tidak akan
memberi nama anak gadis mereka dengan nama itu lagi; hal itu mempertahankan
suatu ketentuan pada kenaifan dan ketangkasan sebelum 1960-an, sebagai suatu
citra dari hikayat babi, kaos kaki anak, rok dari kain wool yang panjang,
senyuman tak berdosa, pesta pelajar sekolah menegah. Tidak sedikit perempuan
yang pernah ada tidaklah begitu relevan: kenangan kita pada era itu dapat
dikuatkan oleh beberapa ikon (rekonstruksi kasus ini 30 tahun kemudian oleh
Kathleen Turner dalam film “Peggy Sue Got Married”), hanya sebagai gambaran
yang cepat berlalu. Buddy Holly sendiri menangkap intisari dari masa itu dan
cagar alamnya. Buddy Holly tidak pernah mendapatkan kesempatan menjadi tua dan
mengubah atau menghancurkan kesan dunia terhadapnya; Peggy Sue tidak pernah tua
juga. Suatu tempat dalam surga khayalan remaja, Buddy Holly masih bersikap
ramah pada Peggy, dan Peggy menjadi sangat malu atas sikap Buddy yang dinilai
cukup bijak. Matahari menyinari pinggiran kota, sebuah mobil Chevy tahun 1957
diparkir di depan rumahnya, dan masa-masa indah Rock ‘N Roll sedang menggebuk
di atas setumpukan gandum, di jalanan jauh dari lingkungan sekolah di mana tim
sepakbola sedang berlatih. Mengapa hal itu sangat mudah, begitu otomatis, untuk
mengenang khayalan-kahayalan ini? Mirip dengan stereotipe lukisan-lukisan di
era lainnya yang kelihatannya tidak begitu jelas, lebih ambigu. Era 1950-an
digambarkan, dalam waktu kita, dengan kemudahannya; kerumitan datang
belakangan.

Penulis tidak punya jawaban, selain daripada
sugesti bahwa mungkin kehidupan di era 1950-an lebih mudah, paling tidak di tahun 1956 dan 1957. Rock ‘N Roll tidak
sungguh-sungguh mengganggu pada struktur sosial Amerika, di samping akibat yang
luar biasa dan mendadak ini pada kehidupan kaum muda; benar-benar menyajikan
suatu struktur yang sedikit banyaknya kekurangan sebelumnya, sebuah tanda dari
kehidupan yang diperlukan mobil, pesta tarian, kencan Jum’at malam, masuknya
gaya hidup yang dilukiskan dan dituangkan lewat lagu. Sampai beberapa pengaruh
lainnya menjadi serpihan-serpihan dan dianeka-ragamkan oleh pendengar dan
penikmat, boleh jadi Rock ‘N Roll, bagi seluruh reputasi pemberontakannya,
mengilhami penyesuaian diri lebih daripada yang lainnya.

Danny and the Juniors, “At The Hop”. Dirilis
bulan November 1957.

Pikirkan intinya: The Hop. Lagu ini
sebagaimana seperti suatu perintah – “let’s
go to the Hop” – sebagai suatu deskripsi dari sebuah kejadian.
Sejak saat ini, dengan Rock ‘N Roll yang “keras kepala”, telah mapan sebagai
pengaruh yang dominan dalam kehidupan remaja, msuik seringkali berbicara secara
langsung tentang kehidupan itu sendiri, menyanyikan pujian-pujiannya sendiri.
Pada orang-orang yang sinis di luar remaja ini, dapat terlihat seperti
propaganda yang mencuci otak; pada kaum remaja sendiri hal itu seperti perayaan
upacara ritual. Di luar itu semua, gaya hidup begitu diperkuat secara eksponen.
Tapi pokok dari semuanya adalah bahwa semuanya dihakimi, karena, sialnya, musik
begitu hebat! Suatu inspirasi mengilhami inspirasi lainnya, suatu pengaruh
mempengaruhi pengaruh lainnya, dan pendengar-pendengar muda Amerika (kemudian
segera terjadi di Eropa) dengan gembira dibawa ke sepanjang gelombang ini. Di
segala cara, potongan kecil propaganda yang mengherankan dari Danny And The
Juniors sesuai dengan kualifikasi tersebut.

Jerry Lee Lewis, “Great Balls Of Fire”. Dirilis
bulan November 1957

Karya besar yang lain hasil perkawinan
antara sekedar ketukan, Boogie piano, syair penuh intrik, energi, kepribadian,
dan keseksian. Dipertunjukkan dalam Hall Of Fame. Di tahun 1957 hanyalah
sekedar tombol dalam suatu kotak musik ala kadarnya.

Chuck Berry, “Sweet Little Sixteen”. Dirilis
bulan Januari 1958.

Gejolak Rock ‘N Roll tidaklah berhenti di
tahun 1958, tetapi menjadi sedikit lebih
lambat dari langkahnya yang sangat berbahaya di era 1956 – 1957 bahwa penulis
telah mencoba untuk melukiskan di sini. Untuk menutup periode ini, Chuck Berry
menyerahkan “lagu kebangsaan” penting lainnya. Di antara baik-buruk soal
banyaknya hits,
lagu ini memperkenalkan ide akan kesatuan nasional yang luas dalam komunitas
Rock ‘N Roll, mengecek segenggam penuh barang pada kota-kota besar yang ada di
benua lainnya, di mana “mereka benar-benar rockin’” dan “semua kucing ingin menari
dengan Sweet Little Sixteen”. Lagu-lagu lainnya yang mengulang tema ini,
termasuk di dalamnya “Dancin’ In The Street”-nya Martha And The Vandellas dan
“Heart Of Rock ‘N Roll”-nya Huey Lewis. Seperti kebrilianan Berry, dan
kemagisan Rock ‘N Roll, yang membuat anak-anak merasakan bahwa mereka merupakan
milik dari sesuatu yang besar, penting, dan menyebar luas. Tak ada yang sembarangan
membandingkan revolusi dengan pergerakan yang diinspirasikan oleh kata-kata
yang tertulis.



Demikianlah kita
memiliki permulaan masa Rock, yang disempurnakan oleh ide-ide dan perasaan yang dipertemukan serta
eksperimen-eksperimen kreatif, ditemukan pada pertumbuhan yang tak kenal lelah
dan pencabutan hak-hak kepemilikan bagi anak-anak Amerika masa Perang Dunia II.
Ini bukan merupakan kejadian kecil dalam sejarah, untuk akibat-akibat dari gema
selama dua tahun yang terus berlanjut untuk menyebar, ke negara lainnya, ke
generasi berikutnya, kepada tahta kekuasan dan kursi-kursi mewah, sebaik pada
generasi muda yang dicabut hak miliknya dan tak kenal lelah di era yang baru.
Kebangkian kembali Rock ‘N Roll hanyalah bagian dari nostalgia: juga menandakan
kerinduan akan peremajaan, bagi kegembiraan besar yang tidak disepakati yang
mana anak-anak bernasib sial tersebut telah dibagikan lebih dari 30 tahun yang
lalu. Meskipun gerakan ini telah membuat keterkejutan berbagai pihak selama
bertahun-tahun yang telah berlalu, hal itu paling tidak dipertahankan pada
kenangan alam bawah sadar atas kelahiran dan kejayaan Rock ‘N Roll. Dan dengan
penuh hormat kita dapat mengakui pula bahwa keterkejutan tersebut yang membuat
suatu perbedaan dan menguapkan sejarah Rock, baik itu dari segi musikal maupun
gerakannya, menyimpulkan pada pencarian akar dari Rock tersebut, untuk
memperoleh Kerajaan Surga. Bahwa Surga seharusnya digambarkan dalam
kesederhanaan, terlihat muda, romantis, komunal, istilah yang non-ideologis –
semua ciri yang mana Rock begitu sering diselewengkan, atau perihal musikal
apapun yang telah berkelit begitu banyak dari Rock, dalam dekade yang
berikutnya – hanya memperkuat konflik tersebut bahwa ideologi dalam “Rock
Around The Clock”, “Blue Suede Shoes”, “Roll Over Beethoven”, “Don’t Be Cruel”,
“Whole Lotta Shakin’ Goin’ On”, “Peggy Sue”, dan “Sweet Little Sixteen” hanya
merupakan ideologi Rock yang sungguh telah berarti.
3. Masa Peralihan

Ketika Don
McClean merekam “American Pie” di tahun 1972, dia ingat masa mudanya ketika
Rock ‘N Roll lahir 15 tahun sebelumnya; boleh jadi ia tidak memikirkan
keturutsertaannya memberikan masukan dalam gaya yang menjadi acuan paling tulus
yang bersejarah, yang pernah ada pada transisi sosial yang luas dari era 1950-an
hingga 1960-an. Pada syair, “the
day the music died” mengacu kepada kematian Buddy Holly pada bulan
Februari 1959 dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang yang jatuh di North
Dakota yang juga merenggut nyawa Richie “La Bamba” Valens dan The Big Bopper
(“Chantilly Lace”). Sisa “American Pie” menggambarkan bintang Rock yang besar
di era 1960-an dan pemenuhan publisitasnya berakibat pada dunia musik: Bob
Dylan adalah pelawak, The Beatles adalah sersan, dan Mick Jagger adalah setan.
Bagi remaja era 1950-an yang tumbuh dengan fenomena Rock ‘N Roll purba,
peralihan era 1960-an mungkin kelihatannya merubah musik kepada sesuatu yang
sangat berbeda: “Kita semua bangun untuk menari / Oh tetapi kita tidak
mendapatkan kesempatan”. Tak dapat dipungkiri bahwa, pada waktu yang bersamaan
dengan kematian Buddy Holly, Rock ‘N Roll mulai merosot kepada “tidur yang
panjang” yang mana meninggalkan kancah musik, hampir saja mati ketika
dibandingkan dengan vitalitas pada masa hanya beberapa bulan sebelum peristiwa
itu terjadi. Dan tidaklah begitu sulit untuk mengerti kenapa hal ini terjadi.
Bayangkan sebuah tim sepakbola memenangkan piala Super Bowl untuk satu tahun,
dan kemudian gagal, lepas dari manajerial, atau mengundurkan diri di awal musim
kompetisi, dan penerima bola terbaiknya berlari ke arah kebalikannya, pemain
lini yang bertahan, dan pemain pojok belakang yang memerintah sama baiknya
dengan pelatih mereka serta setangah dari pemain cadangan, semuanya
menyia-nyiakan kesempatan dari musim pertandingan berikutnya. Sepertinya bukan
untuk memenangkan pertandingan lainnya, atau bahkan sebuah pertandingan kecil,
selama beberapa waktu.

Hal itu tidaklah begitu jauh dari wabah yang
menghantam Rock ‘N Roll pada masa 1950-an hingga 1960-an. Selama kurang lebih
tiga tahun, Holly – bintang muda yang paling bersinar pada masanya dan
kemungkinan menjadi gelombang masa depan – wafat, Elvis telah membuat kesalahan
besar dengan pindah ke Jerman, Chuck Berry menjadi terdakwa dan ditahan di Mann Act untuk kasus penyelundupan,
Little Richard mengundurkan diri dari dunia musik untuk menjadi pendeta, dan
Jerry Lee Lewis telah difitnah dan diasingkan karena mengawini sepupunya yang
masih di bawah umur. Sementara itu, industri rekaman dihantam oleh skandal
besar melebihi rencana perjanjian
bisnis antara perusahaan rekaman dengan para pemutar lagu di radio-radio, suatu
kontroversi yang akan menurunkan beberapa studio independen yang paling
inovatif dan penyiar radio yang dipuja-puja, termasuk di dalamnya Alan Freed
yang legendaris itu. Hari di mana musik wafat, tentu saja.

Jadi di sini kita memiliki kekosongan yang
lebih luas, dimulai kira-kira bulan Februari 1959, dan secara kebetulan penulis
lahir pada tahun yang sama, dan kemudian penanggalan (kalender) berganti dekade
dan seseorang yang bernama John Kennedy berkampanye tentang Perbatasan Baru.
Pada beberapa tangga lagu, pada urutan pertama dipegang oleh artis-artis
seperti Paul Anka (“Put Your Head On My Shoulder”), Connie Francis
(“Everybody’s Somebody’s Fool”), Brenda Lee (“I’m Sorry”), Bobby Rydell
(“Volare”), Ricky Nelson (“Travellin’ Man”), Pat Boone (“Moody River”), Bobby
Vee (“Take Care Of My Baby”), serta Frankie Avalon yang menakjubkan. Jika
orang-orang meragukan bahwa Rock ‘N Roll telah benar-benar musnah, hantu yang
menakutkan ini merupakan bukti yang meyakinkan.

Lagu “Venus”nya Frankie Avalon, (Jangan
tertukar dengan “Venus”nya Shocking Blue yang muncul satu dekade kemudian,
suatu karya yang secara brilian merangsang dan benar-benar orisinil, yang mana
dinyanyikan kembali oleh Bananarama pada
tahun 1987) merupakan urutan nomor tiga sepanjang tahun 1959, dan secara umum
menyamai lagu “At The Hop”nya Danny And The Juniors (nomor satu di sepanjang
tahun 1958) sama seperti album Tony Bennet’s Greatest Hits. Sepanjang lagu
suatu vokal latar dari paduan vokal wanita menyenandungkan nada tinggi “oooh”
yang mana dimaksudkan sebagai suara sirene dari Venus, sang Dewi Cinta, tetapi
lebih menyerupai sebuah sirene polisi. Musiknya mengecil pada suatu kesalahan,
dengan rolling perlahan pada snare drum, petikan yang manis pada
senar bass, dan glockenspiel (semacam marimba yang terbuat dari logam yang
bisa bervibrasi, red) yang sulit dipisahkan atau beberapa instrumen sejenis
itu. Dan kemudian tibalah giliran suara si Frankie, semua anak lelaki di
Amerika, dengan kerendahan hati memanggil dengan gaya suara anak remaja yang
tak berdosa untuk meminta Venus mengirimkan Frankie seorang kekasih:

Venus makes her fair, a lovely girl with
sunlight in her hair

And take the brightest stars up in the
skies, and place them in her eyes

For me (No Long Tall Sally for this
putz).

Tak perlu disebutkan, semua penyanyi yang
disebutkan di atas merupakan kaum kulit putih, imut, dan tampak tak bercela,
serta dengan tanpa malu-malu dieksploitasi oleh para konglomerat, pengusaha
yang telah merebut kuasa Rock ‘N Roll dari perjuangan keras perusahaan rekaman
independen, yang mana lebih mempercayai bakat daripada ongkos produksi promosi
untuk menjual hasil rekamannya. Berbagai hal tidaklah pudar seluruhnya, tentu
saja, bagi artis kulit hitam masih secara umum mengejar suatu ketegangan abadi
pada musik yang asli, belum tercemar, yang bahkan meningkatkannya menuju musik
Soul, dan beberapa yang terbaik – Ray Charles, Sam Cooke, Jackie Wilson – diatur
untuk merontokkan tangga lagu pop pada basis yang secara adil teratur. Ada
kecenderungan yang memberi harapan bagi yang lainnya juga: grup instrumental
seperti The Ventures, dan Duane Eddy And The Rebels mengedepankan gitar dan
saksofon sebagai instrumen utama, meletakkan dasar bagi eksperimentasi di waktu
berikutnya oleh The Yardbirds, The Velvet Underground, dan Jimi Hendrix dengan
kekerasan, bunyi feedback, dan distorsi. Dan seorang anak muda bernama Phil
Spector memutuskan bahwa bagaimana hasil rekaman terdengar sama pentingnya
dengan melodi dan syair, pada waktu yang sama ia menyadari bahwa para remaja
pria (seperti dirinya) menyukai gadis-gadis yang berpakaian ketat dan seksi,
jadi ia memperkenalkan “kelompok gadis” pada dunia musik pop, bersamaan dengan
suatu gaya mixing rekaman yang segera terkenal sebagai merk dagangnya
“Wall Of Sound”, dan membuatnya menjadi mapan sebelum usia 25 tahun sebagaimana
nenek moyang dari seluruh masa depan, yang jenius di belakang layar dunia
hiburan.

Alangkah tidak adilnya bila mengabaikan
“kelompok gadis” Phil Spector (The Teddy Bears, The Crystals, The Ronettes) dan
grup perempuan lainnya pada era awal kelahiran grup model ini (The Chantels,
The Shirelles, The Chiffons, dan grup Mottown perempuan yang terbesar – The
Marvelettes, The Vandellas, meraih puncak pada waktu yang sama dengan The
Supremes) ke dalam gundukan yang sama seperti idola remaja yang telah
disebutkan sebelumnya. Kerja Phil Spector ini menempatkan rekamannya jauh di
atas produksi massal, pertukaran posisi kader pop balada tersebut, dan hasil
bunyi yang membedakan grup perempuan yang dibentuk oleh sensualitas baru ke
dalam lagu-lagu pop yang menjadi hits
yang tidak nyata di manapun juga dalam penawaran yang bersih dari Connie Francis, Brenda Lee, dan
Annette. Dengan hanya mengumpulkan tiga atau empat para ‘senorita mendesis’ ini
dengan figur yang sehat dan riang dan tata rambut yang seperti sarang lebah
pada suatu panggung dan menikmati mereka bernyanyi lagu-lagu cinta dalam
kesungguhannya dengan unisono (paduan [vokal – tak hanya
untuk vokal] dalam menyanyikan nada yang sama tanpa pembagian suara, red)
cukup untuk memberi muatan aroma masa pubertas secara berlebihan pada himbauan
yang tak terkatakan dari para remaja laki-laki. Grup perempuan pertama yang
ditangani Phil Spector adalah The Teddy Bears, yang mempunyai lagu hits di tahun 1958 “To Know
Him Is To Love Him”. Cukup tidak berdosa? Yah, itu tentu saja tidak menyemprot
pada fantasi kaum remaja yang membara untuk membayangkan bahwa tiga “cewek elok”
dapat dengan serempak segera jatuh pada seorang lelaki hanya dengan seketika
pada saat bertemu lelaki tersebut: tanpa melalui proses perbincangan awal
kecil. Sekarang renungkan nama grupnya untuk kedua kalinya, The Teddy Bears!
Elvis Presley benar-benar mendapatkan lompatan pada ide ini dengan lagu hits nomor satunya di tahun
1957, “Let Me Be Your Teddy Bear”. Tergantung pada sudut pandang anda, boneka teddy bear bagitu manis,
citra yang bagus dari devosi kekanak-kanakan (= dengan mudah seorang gadis akan
menerimanya atas ijin orang tua), atau sesuatu yang lembut dan menyenangkan
untuk dipeluk yang ia (gadis tersebut) tekan dan belai dan membawanya ke tempat
tidur (= mengakrabkan fantasi seksuil). Setelah The Teddy Bears, beberapa grup
perempuan mulai membuka selubung debut mereka pada sedikit lebih kelugasan,
misalnya, “Will You Love Me Tomorrow?”, “Tonight’s The Night”,-nya The
Shirelles (1960) atau “Be My Baby”-nya The Ronettes:

I’ll make you happy baby, just wait and see

For every kiss you give me, I’ll give
you three.

Grup-grup perempuan tersebut juga mulai
sedikit memberontak melawan norma-norma sosial yang murni dengan menjatuhkan
lebih banyak pengikut yang menjijikkan, yang mana para orang tua kaum remaja
akan menolak (dan yang akan dengan bahagia menendang pasir pada wajah Frankie
Avalon): “He’s A Rebel”-nya The Crystals (1962), “My Boyfriend’s Back”-nya The
Angels (1963), dan patut dimuliakan “Leader Of The Pack”-nya The Shangri-La
(1964). Phil Spector secara berani tetapi dengan arogannya mengambil
kecenderungan ini sedikit terlalu jauh bersama lagu “He Hit Me (And It Felt
like A Kiss)”-nya The Crystals tahun 1962 yang mana – syukurlah – tidak pernah
dijumpai dalam siaran-siaran radio.

Bagaimanapun, itulah yang terjadi pada tahun
1959 hingga 1963. Ada beberapa inovasi yang redup di bawah manipulasi suatu
tumpukan kotoran yang picik dan sinis. Tapi lima tahun merupakan waktu yang
panjang, sepanjang waktu seperti ledakan Rock ‘N Roll yang orisinil juga telah
berlangsung, dan kesuksesan yang tak berkesudahan dari komoditas lagu-lagu hits dan yang bakal menjadi
hits sepanjang
rentang waktu itu pada akhirnya memotong masa pencarian hal-hal baru yang
melambangkan era 1950-an dari apa yang sekarang yang berhubungan secara
universal dengan era 1960-an. Dalam hitungan sosial, era 1960-an tidak dimulai,
hingga tahun 1963, bahkan meskipun era 1950-an berakhir pada bulan Februari
1959, dan mungkin hal ini baik, karena memberikan waktu bagi dunia untuk
menyeleksi, dan waktunya bagi Rock ‘N Roll untuk membangun kembali ideologi
kelompok (grup), ketika generasi yang lebih tua melonggarkan pengawasan
(terhadap anak) mereka, dan berpikir “Syukurlah, masa itu sudah berakhir!”

Jadi apa yang terjadi, dan bagaimana hal itu
bisa terjadi? Bila kita akan berbicara tentang perubahan dunia, tak diragukan
lagi bahwa dunia berubah setelah tahun 1963, dan dengan kecepatan yang
menggemparkan. Mengapa? Apa yang sedang terjadi?

Untuk satu hal, seseorang bernama Bob Dylan
yang membuat hal ini menjadi nyata. Penulis harus berpikir apa yang akan
terjadi pada negara ini (Amerika) bila Bob Dylan tidak pernah memulai
“gerakannya” di New York, bila Kennedy tidak terbunuh, bila The Beatles tidak
pernah muncul bersama, bila Berry Gordy telah merubah bisnisnya kepada bisnis
yang lainnya, bila Martin Luther King tak pernah dilahirkan. Dalam tinjauan ke
belakang, merupakan suatu godaan untuk berpikir tentang kejadian-kejadian yang
terjalin dan kepribadian pada era 1960-an sebagai “yang tidak bisa diacuhkan”,
untuk mengasumsikan kekuatan-kekuatan bersejarah yang diciptakan Bob Dylan And
The Kings, dan bila individu-individu tertentu tersebut tidaklah bangkit, yang
lainnya akan mengisi peran-peran yang sama. Teori ini mengira bahwa dunia dapat
dengan mudahnya matang untuk berubah, dan bahwa orang-orang pintar sedikit
dengan mudahnya akan mengantisipasi dan merasakan kecenderungan-kecenderungan
ini serta dengan cepat mengendalikan gelombang menuju puncaknya. Penulis tidak
bisa mempercayai bahwa hal itu mudah. Dengarkan apa yang Bob Dylan nyanyikan di
tahun 1963 (“The Times They Are a-Changing”):

Come gather around people wherever you roam

And admit that the waters around you
have grown

And accept it that soon you’ll be
drenched to the bone

If
your time to you is worth saving

Then you better start swimming or you’ll
sink like a stone

For the times they are a-changing…

Dia menulis lagu ini sebelum Kennedy
terbunuh, sebelum The Beatles menaklukkan Amerika, sebelum perang Vietnam,
hak-hak sipil, dan persamaan hak wanita secara luas menjadi berita yang paling
utama di berbagai media massa. Dylan sendiri hanya terkenal dalam komunitas
kecil musik rakyat; bila Peter, Paul, & Mary tidak menyanyikan kembali lagu
“Blowin’ In The Wind”, kebanyakan orang Amerika tidak akan pernah mendengarkan
musik Dylan di kemudian hari. Di sinilah suara yang kesepian berteriak dengan
marah bahwa Perubahan Besar sedang berjalan, dan jika anda meletakkan lagu di
atas pada konteks kejadian ketika Dylan bernyanyi, terutama sekali tak akan ada
alasan yang kuat menunggu dia akan menjadi benar. Setelah semuanya, rekaman
terbesar di tahun tersebut masih dilakukan oleh Jimmy Gilmer And The Fireballs,
The Singing Nun, Paul & Paula, dan The Four Seasons.

Pertanyaannya sekarang, apakah hal ini
membuat Bob Dylan menjadi seorang nabi atau hanya sebagai individu yang cepat
mengerti kondisi saat itu dan menyikapinya dengan kebijaksanaan yang ekstrim?
Mungkin tidak kedua-duanya. Penulis akan berargumen bahwa, yang dirasakannya,
Dylan merupakan sesuatu dari suatu pemenuhan kebutuhan diri akan suatu nubuat.
Bob Dylan, dengan menjadi dirinya, melalui kekuatan keinginan dan visinya
sendiri, sampai pada jumlah tertentu dari suatu penyebab perubahan-perubahan
yang muncul di era 1960-an, hanya seperti Dylan seorang diri yang memprediksi
perubahan-perubahan tersebut. Itulah kekuatan musikalnya. Mendengarkan “The
Times They Are a-Changing” sekarang, tigapuluh tahun kemudian, masih
mendebatkan suatu emosi dari harapan serta antisipasinya. Pada waktunya,
penulis harus mempercayai bahwa pendengar-pendengar mudanya yang tak kenal
lelah dengan luar biasa bergerak oleh citra dari lagu-lagu semacam ini. Pada
pementasan Newport Folk Festival di tahun 1963, ditulis di media massa bahwa ia
dengan mudahnya “menerbangkan” seluruh pendengarnya. Dapatkah anda hanya
melukiskan ribuan pendengarnya itu, dan ribuan lebih remaja yang membeli
rekaman pertamanya, menemukan dalam diri mereka suatu pertumbuhan hukuman,
bahwa Bob Dylan menyampaikan sebuah pesan baru dan penting, sebuah panggilan
untuk aksi? Mereka akan saling memandang kepada sesamanya dan berkata, “Ya,
perintahnya akan memudar dengan cepat!”. Semacam perhatian penuh para pecinta
Dylan pada awal karirnya yang menjadi barisan terdepan dalam gerakan pemuda
yang sebentar lagi tiba. Sebagai pesan dan inspirasi telah diperkuat melalui
“Blowin’ In The Wind”, “A Hard Rain’s A-Gonna Fall”, “Masters Of War”, “With
God On Our Side”, “Subterranean Homesick Blues”, “Like A Rolling Stone”, dan
masih banyak lagi, visi untuk merubah waktu yang digabungkan dengan
kejadian-kejadian yang terbentang pada dokumentasi realitas, untuk yang mana
Dylan kelihatannya seperti membuat soundtrack untuk kejadian-kejadian
tersebut.

Ini bukan merupakan suatu saran bahwa Dylan
atau siapapun semata-mata bertanggung jawab atas pergolakan sosial, atau bahwa
tidak ada pada intinya perubahan akan terjadi tanpa Dylan. Tak ada individu
yang akan menyebabkan revolusi, baik itu musik maupun cara lainnya. Sebagaimana
Elvis dan Chuck Berry yang didahului oleh nenek moyang, Dylan ada dalam bagian
yang diantisipasi oleh The Kingston Trio, The Weavers, Pete Seeger, dan
terutama Woodie Guthrie. Meskipun demikian, di samping suatu iklim yang
mendidih dengan perlahan dan keluar dari tempatnya bagi populasi, dengan tanpa
makna yang mana Bob Dylan – konsep Bob Dylan – tak bisa diacuhkan. Intinya
adalah jauh dari sekedar bukti jika kita mengaplikasikannya pada Martin Luther
King, seseorang yang dengan tak terbantahkan merubah kekompleksan sosial dan
politik negara dengan kekuatan kata-kata dan kedalaman hukumannya. Sebelumnya
ada pemimpin-pemimpin sejenis Dylan dari kaum kulit hitam, dan prinsip-prinsip
kesamaan hak-hak serta kekuasaan telah didukung dan bahkan maju dalam dekade
sebelumnya. Tetapi kedatangan orang yang sangat luar biasa ini membawa suatu
gelombang keinginan yang pasang-surut serta suatu komitmen pada perubahan yang
bertujuan secara mutlak tidak didahulukan dalam sebuah kumpulan yang menderita
akibat penindasan yang tak terkendali bagi seluruh keberadaan sejarah dalam
dunia ini. Martin Luther King tidaklah bangkit. Kesadaran dan keaktifan kaum
kulit hitam, dan suksesi politik, dengan yakin akan tiba dalam beberapa bentuk melebihi waktu,
tetapi tidak dapat dipercaya bahwa langkah pergerakan hak-hak sipil akan
terjadi di manapun dengan cepatnya. Untuk mempercayai cara lainnya yakni dengan
menyatakan bahwa Martin Luther King sendiri tidaklah berlaku, dalam kasus yang
mana George Washington dan Abraham Lincoln serta FDR juga tidak berlaku.

Individu personal harus cepat mempengaruhi
pembelajaran dari kejadian-kejadian kemanusiaan, terkadang secara dramatis dan
tidak selalu untuk kebaikan. Bob Dylan bukanlah Martin Luther King (Don McClean
menamakannya seorang pelawak) atau seorang presiden, tapi tidak juga bahwa ia
seorang pemerhati yang pasif atau bahkan hanya sekedar penyanyi lagu rakyat.
Pete Seeger dan Woodie Guthrie tidaklah cukup memenuhi kebutuhan akan hal ini,
di samping keanggunan dan pengertian mendalam pada musik mereka, menembus cukup
dekat dengan arus utama budaya pop, atau bahkan pada arus utama para penulis
lagu umumnya, untuk memprovokasi ketertarikan manapun dalam politik, perolehan
hati nurani. Isu militerisme, pemberontakan, kemiskinan, polusi tentu saja
semua ada di meja (birokrasi) – Kennedy dan yang lainnya memiliki paling tidak
sedikit pengetahuan akan persoalan-persoalan di atas dalam forum politiknya –
tetapi pendengar-pendengar musik pop yang muda ini sebagian besar masih terdiri
dari remaja-remaja anti politik yang mana ketertarikan musikalnya cenderung
memperkuat ketegasan sikap mereka dalam masyarakat luas yang terkait. Apa yang
dilakukan Bob Dylan pertama kali dan yang paling menyolok sekali untuk memberi
inspirasi pada orang-orang. Dia mengatakan pada para penggemarnya untuk membuka
mata, para pendengar melakukannya. Dia menunjuk persoalan-persoalan,
kemunafikan, penderitaan, dan menyatakan perasaan pribadinya dari sakit hati
dan belas kasih yang dengan begitu kuatnya suatu cara yang mana para
pendengarnya datang untuk membagikan perasaan-perasaan tersebut, untuk
mempertemukan mereka dengan diri mereka sendiri. Ini membuat Dylan bukanlah
seorang nabi, tapi pemimpin; suatu agen bagi perubahan dalam masyarakat yang
tidak mengetahui bahwa masyarakat itu menunggu kedatangannya.

Bahwa hal ini benar, terbukti tidak hanya
oleh pancaran transformasi sosial yang dramatis dari lingkungan kampus yang
dibanjiri oleh orang-orang revolusioner yang mulai lahir, juga dikarenakan
pendakian panjang musik rakyat dan musik Rock rakyat yang dingin, skala yang
tidak berperasaan pada tangga lagu-lagu rekaman. Dylan sendiri mulai menjual
hasil rekamannya, dalam album tertentu, dengan ratusan di antara ribuan: “The
Times They Are A-Changing”, album ketiganya, meraih nomor 20 pada tahun 1964,
dan begitu menonjolnya “Highway 61 Revisited” milik Dylan meraih nomor tiga di
tahun berikutnya, setelah album Dylan dengan cepat meraih emas selama lebih
dari satu dekade. Dalam masa jayanya, dan penambahan kepada Peter, Paul, &
Mary, yang pertama kali membawa lagu “Blowin’ In The Wind” meraih nomor dua
pada tahun 1963 serta diikuti oleh banyak hits
yang tak terhitung dari Peter, Paul, & Mary, “angkatan perang” yang dijamin
kebenarannya dari band-band baru maupun artis solo yang memperoleh nama besar
dan kejayaan dengan memainkan musik rakyat (folk) – dengan gitar akustik,
harmonika, gaya menyanyi dengan syair yang meratap. “Folk Rock” (motif musik
rakyat yang dimainkan secara elektronik) dan/ atau musik yang bersyair “protes”
(syair tentang Mereka lawan Kita, Bom Nuklir, Dunia yang lebih baik, atau
hampir semua yang lainnya di luar tema “Pacarku Meninggalkanku”). Ini juga
termasuk di dalamnya, tahun 1965 ada Joan Baez; The Lovin’ Spoonful; Barry
McGuire; Donovan; The Turtles; Sonny And Cher; dan di atas semua itu The Byrds.
Segera mengikuti mereka adalah para pahlawan yang lebih besar: The Mamas And
The Papas; Simon And Garfunkel; Buffalo Springfield; Arlo Guthrie; The Band;
dan supergrup Folk Rock: Crosby, Stills, Nash, & Young (berturut-turut dari
The Byrds, Buffalo Springfield, The Hollies, dan Springfield lagi). Pada akhir
dekade ini (1960-an), mereka telah ditingkatkan dengan suatu kawanan penyanyi
maupun penulis musik – Joni Mitchell, Cat Stevens, James Taylor, Jackson Browne,
Melanie, Carole King (pengarang “Will You Love Me Tomorrow”) – dan secara
langsung ditemukan pada contohnya yang sempurna dari Dylan. Sebagaimana Charlie
Parker seorang legenda hidup yang menjadi panutan dalam mempelopori bebop jazz,
Bob Dylan tinggal pada kedaulatan yang tak
tertandingi dari musik rakyat atau musik Rock yang berbicara
“protes” bahkan antara – secara musikal
dan komersial, terpenuhi bagi penganutnya, tidak menyebutkan di antara para
pecinta fanatiknya. Gelarnya adalah sebagai “Suara Hati Sebuah Generasi”.

Terdapat catatan tambahan untuk kelegendaan
Bob Dylan dari pertengahan 1980-an, oleh waktu yang mana generasi Dylan telah
meraih apa yang berlalu bagi kedewasaan. Dalam masa-masa itu (sampai sekarang)
label “Yuppies” sering dipasang untuk mengejek pembentukan “Hippies” (biasanya
oleh para anggotanya dari generasi yang sama yang telah berpindah ke
jurnalisme), yang telah diduga menyembunyikan aspirasi-aspirasi idealistik
mereka ke dalam kebaikan suatu pengejaran materialisme yang sedikit berbeda
dari apa yang telah orang tua mereka pernah caci-maki mengenai hal tersebut.
Sementara itu, nurani mereka telah hampir hilang kepada penyimpangan; tanggapan
Dylan seperti pada tanpa tujuan pada akhir 1970-an yang akhirnya menemukan
kekristenan dan kehilangan banyak penggemar, merilis album “kelahiran kembali”
berjudul “Slow Train Coming” (1979) dan “Saved” (1980), yang mana menghasilkan
tinjauan yang lemah pada media dan dengan buruknya mengadakan konser (meski dia
sering menyanyikan lagu-lagu lamanya). Sejak tahun 1985, Bob Dylan dan musiknya
tampak dengan kuat disembunyikan dalam kamar kecil Oldies, ketika
Quincy Jones, Lionel Richie, dan para pendukung sesi rekaman lagu “We Are The
World” membujuk Dylan untuk bergabung dengan mereka dan menyumbangkan satu bait
untuk dinyanyikan sendiri.

Menyimpulkan peristiwa yang berakibat
berkapsulnya atmosfir magis dalam periode kesadaran sosial dalam musik Rock
tahun 1985 yang luar biasa, sama baiknya dengan keunikan kelegendaan Bob Dylan.
Rupanya Dylan yang lama tidak kelihatan di hadapan publik, begitu sadar diri
bahwa ia tak akan bergabung dengan yang lainnya, dengan disaksikan semuanya;
tetapi sejumlah teknisi dan juga Lionel Richie harus meninggalkan studio.
Bahkan kemudian, nyanyian Dylan menjadi tidak menentu dan dangkal, sampai
Lionel Richie memprotes apa yang ia cari dalam rekaman dengan meniru pembedaan
lolongan bunyi sengau pada permulaan karir Dylan, yang mana Dylan kemudian
menirunya kembali. Majalah “Life” mempublikasikan foto Lionel Richie
berguling di lantai dengan gembira ketika ia mendengar hasil rekaman, dibuat
oleh benar-benar
Dylan, kembali pada akhirnya. Ada beberapa konsekwensi dari kejadian ini. Empat
baris dalam bait lagu “We Are The World” yang ditulis oleh Dylan (bersama Cindy
Lauper) merupakan hal yang paling menggemparkan dalam lagu ini yang melibatkan
kira-kira tiga lusin mega-bintang; dan dengan prasasti yang ke-22nya, Dylan
mendadak terlihat meraih kembali keyakinan dirinya dan pendengarnya. Di tahun
yang sama, Dylan menutup konser marathon Live Aid (yang dengan pujian
diperkenalkan oleh seorang Jack Nicholson), merupakan suatu awalan yang baik
dan ditampilkan dalam konser berikutnya, Farm Aid, kemudian bergabung dengan
Tom Petty dalam sebuah tour nasional bertegangan tinggi yang mana dia
menghidupkan kembali banyak lagu-lagu lamanya yang dirindukan oleh kumpulan
massa atau dari fans
lama maupun yang baru. Dylan tidak hanya sekedar kembali, dia juga kembali
bernyanyi tentang kebenaran, pada waktu ketika para fans-nya ini merasa sangat kehilangan
suaranya, suara hatinya. Bagi ribuan veteran era 1960-an yang terjebak dalam
stagnasi ideologi era 1980-an, suatu kenangan yang cepat berlalu dari masa-masa
ketika kenyataan berubah terlihat mungkin telah dinyalakan kembali.
4. Gejolak di Luar Amerika



Sementara itu, kembali
ke era 1960-an, ada sebuah tempat yang disebut Inggris, suatu tempat yang tidak
terpikirkan oleh kebanyakan orang Amerika sejak akhir Perang Dunia II. Dari
sudut pasar musik Amerika, “British Invasion” – serbuan band-band
Inggris dalam menguasai pasar Amerika dalam jumlah yang amat sangat besar –
dimulai secara tertulis pada suatu malam tahun 1964, tapi pada sisi lainnya,
suatu invasi Amerika telah sedang berlangsung selama beberapa tahun. Hal ini
menarik, untuk menggali beberapa alasan kenapa Amerika cepat menemukan
kekagumannya pada apapun yang berbau Inggris, tetapi boleh jadi alangkah
pentingnya untuk bertanya mengapa orang Inggris begitu dengan sepenuh hatinya
merangkul tradisi asli orang Amerika. Setelah semuanya, dengan versi mereka
sendiri dalam membawakan Rock ‘N Roll ke Amerika, band-band Inggris
terus menerus mencoba berusaha untuk melebihi suatu gaya yang sebelumnya telah
akrab bagi orang Amerika; tetapi Rock ‘N Roll (sebelumnya Blues dan Jazz) tidak
memiliki dasar yang melekat di Inggris untuk mendorong adopsi mereka, tak ada
yang sebanding dengan keturunan budak atau batas musikal Country dan Western
serta tradisi budayanya. Pada keluasan Inggris, bisa dilihat dengan kejamakan
masyarakatnya seperti di Amerika, kaum minoritas di Inggris biasanya merupakan
sisa-sisa dari bekas negara jajahannya – India, Arab, dan lainnya – mempunyai
pertalian bersejarah yang kecil dengan minoritas Afro-Amerika yang mempelopori
hampir seluruh penemuan-penemuan musikal di abad 20 di benua Amerika. Hingga
sekarang masih mengembangkan musik asli mereka selama masa pasca-perang,
Generasi orang Inggris yang lebih tua secara luas jatuh kembali pada budaya
yang memudar atas lagu-lagu rakyat dan bebunyian di suatu pertunjukan, ketika
generasi yang lebih muda dengan laparnya mengambil musik kulit hitam Amerika
dan Rock ‘N Roll untuk menuntaskan selera mereka.

Revolusi Rock ‘N Roll tiba di Inggris dengan
lambatnya daripada di Amerika, mungkin karena trauma perang tinggal begitu melekat
pada populasi sebagian besar orang Inggris, serta lamanya waktu pemulihan
kembali pada sektor ekonomi dan psikologi akibat perang. Bagaimanapun,
hasilnya, kekejaman yang dibentuk di antara kaum muda generasi pasca-perang
secara mungkin lebih dalam, dan pada suatu struktur sistem kelas dalam
masyrakat yang masih secara luas utuh pada kedatangan era 1960-an, frustrasi
mendasar pada kehidupan remaja dalam komunitas kelas buruh – pekerja, ketika
masa-masa ekonomis lebih sedikit daripada kemakmuran produksi ketel uap yang
tak kenal lelah, yang secara ideal didisain untuk menyambut tanda dan rupa
pemberontakan pertama Rock ‘N Roll.

Awalnya pengaruh Rock ‘N Roll secara musikal
di Inggris sebenarnya cukup lunak, terutama karena Rock ‘N Roll dilakukan oleh
para peniru yang tidak begitu bersikap tegas terhadap sumber musikal yang
bertenaga di Amerika. Para Elvis palsu dari Inggris ini cenderung untuk
menggabungkan beberapa rasa dan gaya Rock ‘N Roll dengan warna suara seperti
pada ruang dansa yang terang, seperti lagu-lagu populer di Inggris pada
umumnya. Para penyaji musikalnya seperti Lonnie Donegan (“Rock Island Line”,
1954), Tommy Steele (“Rock With The Caveman”, 1956), dan Billy Fury (“Halfway
To Paradise”, 1961) mempelopori bintang-bintang populer di Inggris dan Eropa
daratan, tetapi gaya mereka merupakan Rock ‘N Roll yang tidak jelas sebagaimana
Amerika datang untuk mengetahuinya. Istilah “Skiffle” ditemukan untuk
menggambarkan pencangkokan musikal yang dipopulerkan oleh Lonnie Donegan dan
yang lainnya. Sebagai wadah yang terpenting bagi para musisi ini hidup rukun
bersamaan dengan norma sosial atas hiburan yang sopan, hausnya para remaja
Inggris (dan permusuhan mereka dengan generasi yang lebih tua) dilakukan dengan
mengimpor film, piringan hitam, film yang benar-benar asli dari Amerika dan
dalam perorangan. (Hal-hal ini khususnya hanya sedikit dapat diperoleh melalui
radio yang mana dikendalikan oleh BBC yang konservatif dan terkenal karena
keburukannya, meninggalkan pendengarnya yang berasal dari kaum muda untuk
mempercayakan mereka pada topangan yang pura-pura diharamkannya penyiar-penyiar
radio “bajakan” demi perbaikan hal nyata).

Kemungkinan dua leluhur mula-mula yang
paling otentik dari keabsahan adaptasi Inggris atas Rock ‘N Roll adalah Cliff
Richard (dan The Shadows) dan Screaming Lord Sutch (dan The Savages). Dua band
ini, di belakang pimpinan grup mereka masing-masing yang gelisah,
mempertunjukkan suatu keberanian dan kebiasaan suka memamerkan pengamatan yang
tajam yang memohon dan memperebutkan gairah kaum muda, daripada mengelakkan
mereka. Mereka menjadi terkenal atas keunggulan mereka pada bingkai waktu 1960
– 1961: Cliff Richard secara khusus merupakan bintang besar, dengan beberapa
lagu nomor satu pada tangga lagu di
Inggris sepanjang tahun 1963 (lagu “Livin’ Doll”, tahun 1959, merupakan lagu
pertamanya yang terkenal dan kemungkinan yang terbesar, bahkan meraih urutan 30
pada tangga lagu di Amerika) – suatu waktu ketika seorang Inggris muda sedang
menggunakan pengurangan kebebasan dan pemberontakan, serta mengembangkan suatu
rasa identitas sebagai suatu kelompok yang mirip dengan musisi Rock ‘N Roll
Amerika pada pertengahan 1950-an.

Segera sub-kebudayaan pemuda ini berkembang
pada sudut pandang publik secara utuh, dalam keberagaman bentuk dari
penyebarluasan serta menentang kaum remaja yang dikenal sebagai Teddy-Boys,
mods
(lihat lampiran tentang mods – dmp, red* ), dan rockers.
Untuk beberapa alasan yang dimiliki oleh kaum remaja Inggris sejak awal mula
munculnya masa ini selalu memamerkan obsesi yang lebih besar dengan kebutuhan
visual atas kecenderungan sosial dari kejadian tersebut, apakah itu dasi yang
kecil dan tata busana yang tertib kelompok mods pada pertengahan 1960-an, atau
tata rambut gaya tomahawk yang diberi warna kuning dan tindikan bros yang
aman pada era pasca-Punk; musisi Amerika dan para fans mereka telah
cenderung menjadi pengikut dalam wilayah budaya Rock, dan secara umum kurang
teliti dalam memperpanjang gaya apapun yang diberikan dalam hal berpakaian.
Dalam tahun-tahun yang membara pada awal 1960-an, persaingan dalam hal
berpakaian dan tingkah laku sering ditumpahakan ke dalam huru-hara di
jalan-jalan, dan Inggris mengalami suatu versi dari pemberontakan remaja yang
bahkan Amerika pun tidak menyaksikan hal tersebut. Kekacauan ini dipacu oleh
musik, oleh kurangnya darah dalam kebudayaan Inggris pasca-perang, oleh konflik
antar kelas sosial, oleh amvetamin – obat terlarang sebagai pilihan bagi segmen
yang sangat besar pada kaum muda Inggris.

Di luar dari ruang lingkup ini membangkitkan
sebuah generasi baru pada musisi-musisi Inggris, berpatokan pada Rhythm And
Blues dan Rock ‘N Roll Amerika, dan secara pribadi terkenal dalam kehidupan
sehari-hari para pendengarnya, karena mereka berbagi pengalaman yang sama. Demikianlah
mereka menghasilkan musik yang dalam dunianya sebuah rekreasi otentik dari gaya
asli Amerika, ditelurkan oleh kondisi yang mirip. Dan untuk menandakan
keabsahan mereka, para pecinta musik Inggris muda tiba-tiba berkumpul pada
pengusaha rekaman dalam negeri mereka dengan suatu kegembiraan besar yang
menyaingi adopsi anak-anak Amerika terhadap Elvis dan Chuck Berry pada
akhirnya.

The Beatles, tentu saja, mempondasikan
pergerakan dan membangun cetakan (lihat bagian 5 “Oh Yeah”). Tetapi walaupun
The Beatles secara tak tertulis menyalakan cetakannya baik di Inggris maupun di
tempat lain bagi generasi baru Rock ‘N Roll dalam hal ekspresi kreatif dan
bobot baru dari popularitas dan kesempatan komersialnya, perasaan yang paling
dalam yang mengakar dari pendengar muda di Inggris pada kenyataannya tercermin
lebih baik dalam musik atas sedikitnya kehalusan tingkah lakunya, lebih banyak
kelompok bijak jalanan yang ketenarannya baik secara nasional maupun
internasional mengikuti dengan cepat dalam kebangkitan The Beatles. Tidak pula
bahwa The Beatles mengelakkan pengalaman rata-rata anak muda Inggris: Mereka
menggambarkan inspirasi mereka secara langsung dari dunia yang sama, yang mana
mereka tinggal di dalamnya juga; tetapi dalam mendadaknya serta kepusingan atas
pendakian karir mereka dengan cepat meninggalkan banyak hal dari dunia tersebut
di belakang mereka, untuk menaklukkan dunia yang baru. Di antara lainnya yang
mengisi kekosongan, tiga band serta tiga lagu menonjol
sebagaimana baik itu kejadian yang menentukan serta tempatnya dan potensi abadi
musikal mereka.

Yang pertama dan terbesar tidak membutuhkan
perkenalan tetapi lebih kepada ciri khas miliknya. Setelah lebih dari tigapuluh
tahun, notasi-notasi pembukannya masih merupakan riff gitar yang paling menggembirakan yang pernah
ada untuk mengumumkan kedatangan sebuah lagu. Suatu ajakan untuk “bangkit dari
kursimu”, suatu tanggapan “All Right!” Menahan percakapan untuk sejenak,
menyediakan pasangan dansa terdekat dan kemudian masuk kepada:

I can’t get no Satisfaction; I can’t get no
Satisfaction

‘Cause I try, and I try, and I try, and
I try….

I can’t GET NO….

Adalah menarik bahwa The Rolling Stones
dengan mudahnya merupakan band Rock yang popularitasnya begitu
lama bertahan daripada semua band, dan masih secara inti
diperbaharui oleh lagu-lagu hits nomor satunya (urutan pertama di
Amerika selama 4 minggu pada musim panas 1965; “Time Is On My Side” meraih
urutan nomer 6 di tahun 1964). Mereka memiliki – berapa banyak? – empatpuluh,
limapuluh album, lembaran-lembaran musik (partitur, red) dari lagu-lagu
hits
mereka, dan bahkan meski kelegendaan mereka telah tumbuh secara kasat mata,
mereka tidak pernah sungguh-sungguh membuatnya lebih baik pada karya terbaik,
“Satisfaction”. [Anda tahu, adalah perusahaan rekaman yang meminta dengan tegas
penguraian judul lagu dengan sisipan dalam kurung seperti “(I Can’t Get No)
Satisfaction” dan “Doo Doo Doo Doo Doo (Heartbreaker)”. Mereka berpikir para
pembeli rekaman terlalu “kurang petunjuk” untuk mempelajari nama lagu-lagu bila
mereka tidak secara artikulasi mengulang beberapa kali pada bagian reff
(chorus)-nya. Mick Jagger dan Keith Richard tidak memberikan judul
“Doo Doo Doo Doo Doo”, mereka hanya menyanyikannya dengan cara itu; pada
awalnya berjudul “Heartbreaker”, tetapi keburukan yang dibentuk bahwa fans
akan dibingungkan dengan adanya “Heartbreaker”-nya Grandfunk Railroad atau Led
Zeppelin, jadi mereka mengatakan, “Mengapa tidak kita letakkan saja doo-doo ini
dalam judul lagu, sehingga anak-anak muda akan mengerti yang mana kiranya yang
akan mereka beli?” Apakah anda mengira penerbit lagu-lagu Robert Louis
Stevenson mencoba memberi judul kembali lagu “The Charge Of The Light Brigade”
menjadi seperti ini: “Half A League Onward (The Charge Of The Light Brigade)”?]

Di sana tentu saja banyak artis lainnya yang
juga tidak pernah berpindah melampaui kesuksesan besar pertama mereka atau
telah mempercayakan pada suatu standar lama sebagaimana suatu penghenti
pertunjukan, tetapi tak ada yang secara keseluruhan mencakup sejarah dari The
Rolling Stones. Kebenarannya adalah bahwa daya tahannya dibenarkan.
“Satisfaction” secara mutlak memaparkan perbandingan menyeluruh dengan
lagu-lagu hits awal karir artis dan nomor tambahan (dalam konser), sebaik
rekaman lagu-lagu The Rolling Stones lainnya, terutama bila anda
mempertimbangkan konteksnya. Lagu ini kedengarannya sepeti jenis – musikal –
baru dan asli bahkan hingga sekarang; di tahun 1965 merupakan hal yang
revolusioner. Intro gitar lead, menuntut untuk dimainkan pada volume yang
ekstra keras, secara keras berlawanan dengan berlakunya sisi kejelasan gaya
melodi. Irama yang mengendalikan adrenalin kita memudarkan segalanya
dikeluarkan dari studio yang akan segera dikenal luas berlokasi di Brill Building,
New York, atau pabrik sukses Mottown. Anda harus mendengarkan kembali Rock ‘N
Roll asli – Chuck Berry, Jerry Lee Lewis, Little Richard – untuk menemukan
bahwa jenis energi dalam sebuah lagu dimulai ketika akkord pertama dimainkan.
Bahkan yang terpenting adalah tema ketidak-puasan, kesinisan dalam suara dan
kata-kata Mick Jagger:

…and he’s telling me more and more

about some useless information

supposed to fry my imagination, I can’t
GET NO…

Di sini ada suatu mata rantai pada kemarahan
Bob Dylan, hanya saja kemarahan ini bergema dari dinding-dinding klub dansa dan
speaker
kotak musik sebagai ganti dari persembunyian di kafe-kafe di Greenwich Village
atau pada festival musik rakyat. Kata-kata ini terdengar dari awal munculnya
oleh kumpulan massa – kumpulan anak-anak bagaimanpun juga. Rasa ingin berontak
diwujudkan oleh James Dean di era 1950-an bereinkarnasi dalam karakter Mick
Jagger, hanya pemberontakan baru yang sedikit banyak menyebabkan hal tersebut.
Hingga sekarang bukanlah Perang atau Kemelaratan atau Ketidakadilan, belum; hal
ini sedikit nyata tapi hanya sebagai perasaan yang nyata atas Kemunafikan,
Kepalsuan, dan Kemegahan.

The Rolling Stones mewujudkan pemberontakan
ini dalam penampilan, tingkah laku, dan musik mereka. Media yang mana mereka
mewujudkan hal ini seperti di atas merupakan serangan langsung pada perasaan
aristokratik yang beradab, ancaman yang namun membingungkan. The Kinks lebih
halus. Mereka berbusana lebih rapih, menghindari konfrontasi umum, dan menjaga
musik mereka pada ketenangan, bila keras, pada sisinya. Tetapi apa yang mereka
jaga dalam kejelasan, adalah kebencian yang mereka buat dalam pernyataan kasar
yang menyengat dalam lagu “A Well Respected Man” (1965):

‘Cause he gets up every morning

And he goes to work at nine

And he comes back home at five thirty

Gets the same train every time

‘Cause his world is built on punctuality

It never fails

Sebagaimana “Satisfaction”, hal ini tidak sedang
menantang kebijakan atau gagasan-gagasan, cuma sedang menentang nilai-nilai. “Punctuality
– ketepatan waktu, red”, suatu yang nampaknya ramah dan kebiasaan yang patut
dipuji, menjadi suatu obyek dari cemoohan yang digunakan Ray Davies untuk
mengucapkan hal itu. Segera mengikuti kerapihan, perawatan, cara bertindak,
formalitas, dan kebiasaan dari segala hal, seluruh ciri khas bagi yang mana
masyarakat Inggris selalu bangga karenanya. Tentu saja, pernyataan yang
bersifat “memberikan ucapan ‘Selamat!’ pada diri sendiri” pada golongan yang
berasal dari keluarga baik-baik di Inggris untuk beberapa hak bagi kekuasan
kolonial di Dunia Ketiga – sebutan bagi negara-negara miskin atau berkembang,
terutama yang memiliki sejarah sebagai bekas jajahan Inggris, red
– selalu menyisakannya pada kepercayaan mereka, setelah semuanya, lebih beradab
daripada penduduk asli. Di sini anak-anak mereka sendiri beralih pada mereka –
orang tua mereka, berlagak, dan mentertawakan keangkuhan mereka yang kaku. Ini
merupakan permulaan perubahan yang penting dalam sudut pandang fans
muda, peristiwa yang mengikuti band-band Inggris mencapai Amerika (di
mana penggemar fanatik Bob Dylan siap menabur benih yang sama). Penolakan atas
kekuasaan orang tua adalah satu hal: anak-anak akan berada di luar rumah hingga
larut malam, minum hingga mabuk, mencoba narkotika dan seks, serta menantang
hukum yang menjadi tidak beribawa pada jamannya (atau musik). Adalah perbedaan
pada keseluruhannya untuk menolak unsur-unsur mendasar yang sederhana atas tata
tertib sosial semacam penampilan pribadi dan kesopan-santunan. Hanya dua kali
dalam era Rock memiliki semacam keterasingan ekstrim yang nampak, pada
pertengahan hingga akhir 1960-an berkembanglah budaya Hippie, dan pada akhir
1970-an dengan adanya gerakan Punk. (Satu hal lagi, apakah perlu
dipertimbangkan adanya Gangsta Rap sebagai gelombang
keterasingan ketiga.) Bila apapun, para pelopornya pastinya lebih revolusioner,
dalam bagiannya karena hal itu bukanlah sesuatu – pergerakan – yang bisa
dijadikan teladan.

And he’s oh so good; and he’s oh so fine

And he’s oh so healthy; in his body and his mind

He’s a well respected man about town

Doing the best things so conservatively.

Seberapa cepat hal itu terjadi? Lompatan budaya yang hebat dari Bobby Vee yang “berpotongan bersih” untuk menentang kejorokan yang sama sekali terjadi begitu tiba-tiba hal itu sedang ditakuti
bagi dunia luar. Tentu saja bagi dalam negeri, hal-hal tersebut menggabungkan
penyebab, sedang meriangkan, tetapi mendadak meskipun terjadi begitu. Gelombang
pertama dari rambut “panjang”, dimulai oleh sapuan puncak The Beatles, mulai
kira-kira pada tahun 1964 di Amerika. Sejak tahun 1967, tiga tahun yang
kemudian berlalu, rambut kaum lelaki yang sependek era awal The Beatles atau
The Rolling Stones hampir menjadi bahan tertawaan dengan berlakunya kebudayaan
hippi. Berlebih-lebihan, pola berpakaian yang “berlagak” hanya dengan cepat
memberikan jalan untuk mengenakannya; jeans, jaket, dan kaos tua yang compang-camping.
Untuk waktu yang lama, perlengakapan apapun yang terlalu rapih, mengkilap, atau
menghias secara berlebihan merupakan tanda yang jelas pada tingkah laku yang
tidak asyik bagi anti-hippi (dengan sekedar pengecualian kekaguman sementara
dengan fashion psikedelik yang muncul ke permukaan dalam
penggunaan media publik melalui film-film Hollywood dan bermaksud baik tetapi
kurangnya pembuktian pada saluran televisi secara relatif seperti “Rowan And
Martin Laughs-In”). Hal ini benar, tidak hanya di antara beberapa penyaji musik
Rock, tetapi di antara para pendengarnya juga, kebudayaan kaum muda secara
keseluruhan. Dari sejak pertengahan 1960-an hingga hari ini, fashion
yang dominan untuk para remaja usia sekolah yang berbadan lebar terlihat kasual
secara ekstrim. Blue jeans, yang telah membentuk dalam jumlah yang sangat
besar sekali suatu pasar dalam perdagangan internasional, secara praktis
menjadi “pakaian wajib” di sekolah menengah pada umumnya di berbagai belahan
Amerika. Sebelum invasi band-band era 1960-an,
dipertimbangkanlah hal-hal yang tidak terpikirkan untuk memperbolehkan
anak-anak anda mengikuti pelajaran di sekolah dalam hal apapun yang lebih
sedikit daripada mengenakan pakaian; banyak sekolah yang benar-benar secara
keras memaksakan pakaian seragam wajib, kebanyakan yang mana di Amerika Serikat
telah lama dijatuhkan pada tekanan atas perubahan. Perubahan ini benar-benar
mengakar dalam kesinisan, permusuhan yang sangat besar dalam menghadapi
golongan yang mapan, yang tumbuh di era 1960-an.

Sejak 1966, dengan serbuan yang sebentar
lagi akan lengkap, The Who melontarkan keluar kemiripan atas persesuaian, serta
menantang:

People try to put us d-d-down – talkin’ ‘bout my
generation

Just because we g-g-get around – talkin’
‘bout my generation

Sekarang tantangan tersebut sepenuhnya
terungkap, sebagaimana hal itu terdapat dalam banyak lagu dan grup musik
lainnya pada waktu itu. Penuh skala,
menantang, penyatuan pemberontakan. Gerakan ini meraih energinya, dan
bahkan bila fokusnya tinggal pada hal yang tidak spesifik (ya, semacam Vietnam,
tetapi itu lebih dari sekedar topik – pemerintah – Amerika, dan tidak
sungguh-sungguh telah matang sejak 1966, dan sisa dari topik yang populer, hak
sipil, hak-hak wanita, lingkungan hidup, semuanya hanyalah sama tidak jelasnya
dengan kaum-kaum yang anti kemapanan dan konflik antar generasi), janji akan
tanggung-jawab para anggotanya begitu solid.

Begitu sulitnya untuk mengucilkan era itu
serta tidak menerapkan pengetahuan yang mengikutinya, tidak hanya melalui
sisa-sisa era 1960-an, tetapi berlangsung hingga masa sekarang. Apakah mereka
hanyalah anak-anak yang naif, yang menemukan cara yang lebih baru dan lebih
keras untuk sekedar merenggangkan otot-otot mereka? Apakah mereka merupakan para
pendiri kekuatan pergerakan kaum muda yang akan merubah struktur masyarakat?
Akankah akhirnya mereka mengakhiri semua ini dengan menyerah berpindah haluan
sebagai penganalisa sistim keamanan atau penjual barang elektronik? Mau dibawa
ke mana – era itu?

Slogan
yang diperkaya oleh The Who berakhir dengan pahit: “Saya harap, saya mati
sebelum saya tua”. Patrick ‘Berikan Aku Kebebasan Atau Berikan Aku Kematian’
Henry bahkan tidak seekstrim itu. Baik Pete Townshend dan Roger Daltrey telah
membuat hal tersebut bisa dipertimbangkan empatpuluh tahun yang lalu sekarang,
dan sedikit keraguan “tua” telah menjadi sekedar keadaan dari pemikiran
daripada suatu masa hidup; entah itu kebetulan bahwa Keith Moon mati muda. Satu
hal yang pasti di sini dalam jauhnya masa depan: adalah lebih sukar bagi kaum
muda masa kini untuk memandang rendah dan tidak mempercayai generasi yang lebih
tua secara keseluruhan – kebanyakan dari mereka datang dengan gagasan pada
tempat pertama dalam skala prioritas. Hippies era 1960-an yang dikenal
sebagai pemberontak terbesar telah memiliki anak-anak di masa sekarang ini,
anak-anak tersebut mendengarkan musik mereka sendiri (pada era mereka atau
kemungkinan pada era orang tua mereka). Sementara itu, kemapanan telah
menghisap pelopor-pelopor pemberontak yang jumlahnya tak terhitung, yang
sekarang menduduki kantor perusahaan minyak dan perseroan departemen hukum.
Generasi The Who, pada kenyatannya, sedikit banyak menggerakkan dunia dengan
cepat, dengan pengecualian pada beberapa orang kolot yang lebih tua yang
menguasai beberapa posisi pada kekuatan tertinggi. Banyak hal yang lebih sukar
bagi para veteran yang setia untuk mengetahui kepada siapa lagi akan
bertentangan – dan itu boleh jadi persoalan yang nyata. Adalah mudah untuk
berbicara pada orang-orang baik dari orang-orang yang tidak baik ketika
orang-orang yang tidak baik ini terdiri dari siapapun yang berusia di atas
tigapuluh tahun. Sekarang ini beberapa dari para pendosa yang terburuk (rasis
dengan kekerasan, maling-maling di Wall Street – bursa saham New York, para
penghasut pintar berkotbah yang
reaksioner) semuanya berusia di atas tigapuluh tahun, dan keberagaman kerumunan
massa yang lebih tua akan makin bertambah. Dan anda tidak dapat berpergian dikarenakan
pakaian seragam wajib lagi. Orang-orang dengan gaya berpakaiannya masing-masing
berdiri bersama-sama, bersisian di stasiun kereta api bawah tanah, mungkin pada
pelabuhan kutub kepercayaan politik yang berseberangan, nilai-nilai sosial, dan
selera musikal.

Jika hal itu membuat anda heran apakah di sana pernah ada suatu titik, kemudian mungkin era 1960-an lebih mati daripada yang kita pikirkan. Titik tersebut adalah, dalam kenyataannya, pemberontakan
hanya untuk kepentingannya sendiri. Adalah Thomas Jefferson, bukan Abbie
Hoffman, yang berkata, “Sebuah revolusi kecil adalah hal yang bagus, baik itu
sekarang ataupun nanti.” Serangan band-band Inggris terhadap budaya dan
musik Amerika di tahun 1964 menolong menghasut suatu gerakan guna sebuah
revolusi mungkin tidak telah menggulingkan aturan kemapanan, tetapi dengan kuat
menggoncangkannya, dan tentu saja merupakan hal yang bagus. Sampai sekarang, di
samping rupa-rupa konflik politik dan kekerasan yang tetap hidup dari jaman
itu, bukanlah suatu pemberontakan yang dipersenjatai yang bersama dengan
serangan itu dibawa oleh Inggris ke Amerika. Pemberontakan yang dibawa Inggris
lebih pada senjata yang penuh tipu daya yang berliki-liku: ketidak-tahu-maluan,
kelucuan, tidak punya rasa hormat yang mengagumkan, serta ungkapan-ungkapan
kasar. Kebanyakan kancah yang paling bisa dikenang dari “dokumentasi Rock – rockumentary”
awal 1960-an adalah di mana bintang-bintang muda seperti Jagger-Richard,
Lennon-McCartney, atau Townshend-Daltrey diwawancara oleh wartawan – yang pada
dasarnya merupakan anggota langsung dari media massa Amerika dan Inggris –
tentang ketenaran yang baru saja mereka alami dan rasakan. Bintang-bintang muda
ini sangat gembira dan senang dalam menganggap kecil diri mereka sendiri,
membuat hal-hal lucu pada pertanyaan-pertanyaan reporter (sering para reporter
ini tidak menyadarinya), dan pada umumnya membuang-buang waktu dalam situasi
itu, bagi banyak orang, akan telah nampak menjadi – secara hebat – hal yang
penting, karir yang dibuat atau situasi yang kacau. Tipikal yang tidak terhormat,
yang mana diinstitusionalkan oleh Monty Phyton’s Flying Circus di tahun 1970-an
dan David Letterman di tahun 1980-an, membuat suatu titik penceritaan yang
tidak lenyap pada para pendengar: tentang hal-hal yang menyenangkan,
kesenangan,
di atas segalanya, keadaan-keadaan atau kepasrahan-kepasrahan apapun, dan
orang-orang yang tidak setuju dengan gagasan ini adalah para pecundang, tak
peduli apakah para pecundang ini merupakan orang-orang “penting” atau “sukses”.
Kesenangan itu sendiri bersifat memberontak. Di mana kesenangan ini berkembang
kepada permusuhan, bahwa permusuhan diatur pada mereka-mereka yang tidak
mengerti dan secara aktif bekerja menghambat kesenangan.

Bukan pula bahwa Kesenangan merupakan
gagasan yang baru di Inggris atau Amerika, atau di dalam Rock ‘N Roll.
Merupakan gagasan yang sama secara tepat yang telah mendorong musik ke depan
pada tempat pertama dalam skala prioritas. Sejak tahun 1955, Amerika Serikat
sedang menjadi tempat yang tidak menenangkan secara jelas bagi kaum remaja, dan
merupakan kasus yang sama yang terjadi di Inggris sejak tahun 1960; Rock ‘N
Roll menawarkan kesempatan segar yang luar biasa untuk menemukan kembali
kesenangan dalam setiap persoalan. Dan oleh waktu bagi Rock ‘N Roll versi
Inggris membersihkan pantai-pantai Amerika tahun 1964, di sana ada perjangkitan
penyakit baru yang menyedihkan dari hal yang “tidak menyenangkan” dalam
kelimpahan, berhutang pada gelombang generasi yang mengguncangkan ketika
Presiden Kennedy dibunuh pada bulan November 1963. Sedosis kegilaan orang
Inggris yang bukan-bukan secara tepat pada apa yang diperintahkan dokter bagi
generasi yang lebih muda yang bahkan tidak ke mana-mana untuk mengecap rasa
yang penuh harap pada obat era 1950-an yang mujarab bagi semua penyakit.

Kebanyakan dari sekumpulan penyerbuan Limey
yang seragam, bekepala alat pembersih, melimpah dari pantai-pantai di tahun
1964 begitu cepatnya setelah serangan diam-diam dari The Beatles, menempatkan
resep itu dengan sempurna. Lagipula, dari tiga hal besar tersebut di atas, ada
banyak prajurit-prajurit pejalan kaki yang tak terhitung jumlahnya yang kepada
mereka mendadak kaum muda pecinta segala hal yang berbau Inggris di Amerika
merangkul dengan kegembiraan yang anti diskriminasi: The Dave Clark 5 (“Glad
All Over”), The Searchers (“Needles And Pins”), Gerry And The Pacemakers
(“Don’t Let The Sun Catch You Crying”), Manfred Mann (“Doo Wah Diddy Diddy”),
Herman’s Hermits (“I’m Henry VIII, I Am”), serta masih banyak yang lainnya,
rupa-rupanya datang melalui serangan blitzkrieg yang tiada akhir (blitzkrieg,
serangan kilat yang gencar tentara Jerman pada Perang Dunia II, mengapa istilah
kiasan militer itu kelihatan diterapkan dalam kejadian yang bersejarah ini?
Apakah kita diam-diam takut pada Tentara Merah?) yang melenyapkan seluruh
pondasi keberadaan aliran Rock ‘N Roll, tentu saja berdekatan dengan seluruh
industri hiburan Amerika. Pertimbangkan: lagu-lagu yang dibawakan musisi
Inggris sebenarnya tidak ada pada tangga lagu di Amerika di tahun 1963 dan di
tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 1964 sendiri, tak ada yang lebih sedikit
daripada tigapuluh lagu yang dirilis oleh musisi Inggris yang meraih
urutan dalam daftar 10 lagu hits di Amerika, dalam urutan – bawah
ke atas – nomor sembilan hingga nomor satu, dan lusinan lebih lagu lainnya
berada di urutan bawah dalam daftar tangga lagu-lagu hits.
Napoleon tidak pernah bermimpi tentang suatu penaklukan.

Tentu saja Napoleon
tidak pernah mempunyai tim yang maju seperti The Beatles untuk memimpin
serangan.

(artikel Ini merupakan artikel wajib dalam Komunitas Debanner’s)