Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Showing posts with label Resensi. Show all posts
Showing posts with label Resensi. Show all posts

Wednesday, 7 August 2019

The Dirt : Motley Crue dan mereka yg sudah selesai.

Saya terkejut karena kami masih hidup karena dulu saya berpikir bahwa kami pasti akan mati atau berakhir dipenjara. Kami bersikap buruk kepada banyak orang dan melakukan hal yg disesalkan tiap hari. Entah bagaimana kami bisa bertahan dan melewatinya bersama-sama" 
-Nikki Sixx on The Dirt Movie-


Sejujurnya saya tidak pernah menyukai Motley Crue meski sangat menggemari potongan rambut mereka. Suara Vince Nail terlalu manis utk disebut rock dan utk org-org sepertiku, suara yg kasar dan serak lebih terdengar jantan utk didengarkan. So? Bila harus memilih band seangkatannya, saya lebih memilih Blackie Lawless tapi ini bukan tentang Motley Crue versus WASP. 

The Dirt adalah film produksi Netflix yg cukup berani mengingat film film musikal sdh hampir habis. Bila perusahaan TV berbayar ini terinspirasi oleh Bohemian Rhapsody milik FOX maka itu akan jadi sebuah kesalahan. Tentu saja, orang akan selalu mengingat Queen dibanding band Glamrock berisi laki laki berwajah cantik yg main band hanya utk bersenang senang dan ngefuck ini.

Untungnya, film ini memilih pendekatan berbeda, cara komedi dengan alur cerita yg ringan cukup berhasil. Film ini menghibur meski Rotten Tomatos hanya memberi nilai dibawah 5. 

Memberikan kursi Sutradara kepada Jeff Tremaine merupakan keputusan tepat paling tidak dalam satu adegan ketika Ozzy Osborne yg diperankan Anthony Cavalero meminun air kencing Nikki Sixx (sukses diperankan oleh Douglas Booth) akan mengingatkan kita pada film Jackass-nya Jeff Tremaine. Absurd memang. 

Selebihnya, dominasi aktor aktor medioker dalam film ini sungguh menghemat kantong Netflix. Machine Gun Kelly memerankan Tomny Lee yg dibuat seperti anak mami dan bertingkah konyol. Iwan Rheon apik mengambil tempat Mick Mars yg tenang dan dewasa. Sementara Daniel Webber memerankan Vince Nail yg penuh drama. Lalu? Bagaimana Nikki Sixx? Douglas Booth harus diberi jempol. Karakter Sixx sebagai leader band yg pemurung karena masalalu keluarganya yg kelam jelas terlihat dalam dirinya. Ledakannya terlihat dalam pelariannya pada heroin.

Film ini tidak bermaksud utk mengembalikan kejayaan Glamrock 80-an yg memang sudah habis. Musik Glamrock itu impotent dan meski di-trigger oleh obat kuat apapun jenis musik itu tidak akan bisa bangun lagi. 

Barangkali itu pula yg disadari oleh Netflix. Jika harus berkaca pada komedi School of rock nya Jack Black yg memang menititik beratkan utk penonton teenager maka The Dirt menurut saya lebih utk penonton berumur yg ingin bernostalgia pada kejayaaan Glamrock.

Nikki Sixx sekontroversial apapun hidupnya namun dia adalah tipe leader band yg cukup berhasil membawa Motley Crue tetap utuh (meski beberapa dari mereka sempat keluar) paling tidak hingga di konser terakhir mereka pada 2015 lalu.

Sex, Drugs and Rocknroll ditampilkan sangat vulgar dalam The Dirt. Penuh perempuan telanjang dan pesta narkoba. Alkohol dan keliaran para rockstar. Setahun sebelum album Dr Feelgood dirilis, Nikki Sixx menghubungi semua personel Motley Crue dan semua setuju untuk rehabilitasi narkoba dan berimbas pada kesukseasan album Dr Feelgood.

Album itu merupakan album terbaik mereka. Seperti yg diakui Mick Mars dalam The Dirt.
"Saya tidak mengingat apa yg terjadi, semuanya buram namun dengan Dr Feelgood kami punya album nomor satu untuk kali pertama."

Motley Crue sdh pensiun tapi di Indonesia band ini masih punya banyak penggemar. Band band cafe di Jakarta yg didominasi para orang- orang tua masih berpikir dirinya adalah Motley Crue. Percaya diri sebagai rockstar, gondrong, berponi, ngeband, cover lagu orang, mabok dan dikelilingi wanita adalah infrastruktur Rock and Roll.. Padahal, nabi mereka sudah selesai. The Dirt adalah film yg memberi contoh sukses bagaimana sebuah band menyadari bahwa masanya sudah tamat dan mereka mengakhirinya dengan sempurna.

Saturday, 16 March 2019

Review Film Captain Marvel: Ketika Perempuan Menjadi Penyelamat Alam Semesta.

" Apa kalian siap jika salah satu Superhero Marvel ternyata seorang Gay? Atau mungkin Lesbian? MCU: Marvel Cinematik Universe sedang berusaha memainkan kontroversi ditengah penayangan film terbaru mereka, Captain Marvel. Kali ini, saya akan mereview film ini diluar desas desus yang sensasional itu."




Ini bukan satu satunya film Marvel yang terbaik tapi ini adalah muasal-nya, semacam causa prima, seperti ledakan besar tempat sejarah alam semesta dimulai karena ini lah maka semua film Marvel layak ditunggu.  Jika Avengers telah menciptakan pasar tersendiri dan mewarnai kebudayaan kita dengan deretan superhero yang bahu membahu menyelamatkan dunia maka Captain Marvel adalah prolognya. Tak akan ada Avengers tanpa Captain Marvel, paling tidak itu bisa kita ketahui dari nama Avengers yang  diambil dari kepingan tulisan di pesawat Carol Danvers. Lagi pula, agen Fury niscaya tak akan membentuk Avengers bila dia tidak mengenal Captain Marvel dan menyadari bumi berada dalam ancaman mahluk mahluk dari planet lain. 
Memberikan kursi sutradara kepada Anna Boden dan Ryan Fleck adalah perjudian besar bagi MCU ditengah kesuksesan DC dengan Aquaman-nya. MCU cukup percaya diri bahkan ketika Brie Larson dipercaya untuk menjadi Captain Marvel. Faktanya, Brie Larson jarang sekali mendapatkan peran utama, film ini adalah peluang terbesar dalam karirnya. So? Sutradaranya medioker, artis-nya spesialis Cameo? Lalu apa?

Hasilnya? Monument raksasa Marvel  telah dibangun di film ini. Sentuhan fiksi yang didramatisasi dengan rangkaian cerita yang dibuat sambung menyambung dimana Captain Marvel  adalah muaranya. MCU tak lagi peduli siapa sutradara atau pemerannya karena apa yang mereka jual adalah nama Marvel itu sendiri

Alien  Ketika separuh dari isi alam semesta musnah dalam Avengers: Infinity wars, maka film ini adalah celah untuk memberi jalan bagi film Avengers: Endgame yang juga akan tayang tahun ini. MCU, ingin mengatakan kepada penggemarnya bahwa, kalian harus menonton ini dulu untuk mengetahui siapa sosok yang akan menyelamatkan dunia ketika para superhero Avengers sudah tidak berdaya?  

Boden dan Fleck tak punya pengalaman cukup untuk bermain-main dengan fantasi futuristic dunia komik, pasangan sutradara yang tinggal di Brooklyn New York ini akan sulit menahan kritikan karena kurangnya efek visual dalam Captain Marvel. CGI nya memang tidak lebih baik dari film film Marvel yang pernah ada.

Alur cerita yang lambat di awal film, skenario yang panjang mirip drama keluarga hampir membuat kita bosan. Tapi situasi perlahan lahan berubah seiring adegan yang bergerak maju.  Persahabatan Carol Danvers dan Maria Rambeau menyisakan misteri tersendiri. Karakter Talos, pemimpin bangsa Skrul yang diperankan oleh Ben Mendelshon sangat membantu dengan memperlihatkan sikap jahat diawal awal film. Ben rupanya dipercaya Boden karena mereka juga pernah bekerja sama dalam film Mississippi Grind ditahun 2015. Terlalu sering aktor hebat tersesat dalam peran alien yang jahat tapi Ben Mendelshon sukses membuat alien skrull jadi lebih manusiawi.

Bagaimana dengan, Samuel L Jackson, orang tua ini sudah tak perlu lagi diragukan, dia sudah terlalu tinggi untuk disentuh dengan kritikan. Coba perhatikan! Dibalik kesuksesan Avengers ada kontribusi cukup besar seorang Samuel L Jackson. Superhero Avengers datang silih berganti dengan aktor aktor hebat tapi Samuel L Jackson tak akan tergantikan. Bahkan jika dia bermain dalam film Dilan, maka film itu akan masuk nominasi Oscar. Barangkali loh yah  Kehadiran Flerken, kucing alien yang bernama Goose harusnya bisa menjadi Spin off karena menyelipkan warna tersendiri dalam film. Perjumpaanya dengan Nick Fury menjawab teka teki mengapa agent Fury tampil dengan satu mata dalam semua film Avengers.  Bagaimana dengan Jude Law? Ini pengecualian, karekter Yon Rogg harusnya bisa dibuat lebih beringas. Sayangnya, nama besar Jude Law harus menutupi kekurangannya di film ini.

Secara umum, film ini memberi porsi besar untuk unsur drama meski tanpa kisah cinta. Toh Kita tidak butuh ciuman untuk memberi label sebuah film drama. 
Pertempuran langit dengan muntahan senjata berwarna warni, berkilau disinari matahari lalu pesawat jatuh di padang tandus merupakan visi paling spektakuler ditengah kurangnya efek visual. Berlatar  tahun 90an, ketika wabah musik Seattle Sound menguasai budaya pop bahkan Nirvana juga ambil bagian di film ini.  Klimaksnya adalah kemunculan seorang perempuan untuk menyelamatkan alam semesta, memberi wanita kepercayaan itu merupakan intisari dari Captain Marvel. 
Brie Larson sangat representative untuk karakter itu, matanya sejuk tapi menyiratkan kepercayaan diri, sangat tenang tapi mematikan. Apalagi ketika dia menjadikan langit seperti taman bermain. Unsur feminisme dicampur dengan aksi aksi luarbiasa, manis tapi maskulin menjadikan film ini layak sebagai kado Hari perempuan Sedunia.

Anyway, MCU  sudah memberi tanggung jawab kepada Captain Marvel untuk memikul nama besar franchise mereka, raksasa waralaba itu memahat dirinya dalam difilm ini, anggap saja sama seperti mereka mempercayakan film ini kepada Anna Boden. Sutradara yang filmnya masih bisa dihitung dengan satu jari tangan. 
Kenapa harus takut? Bukankah sudah bisa ditebak? Para superhero Avengers yang terancam punah di Infinity wars akan diselamatkan Carol Danvers di Avengers: Endgame? 

*Versi Video In Youtube
https://www.youtube.com/watch?v=8QsqpfEErLI

Wednesday, 6 February 2019

Blackkklansman: Klu Klux Klan, Piala Oscar dan Rasisme





Prolog




Well..
Dalam sejarah perhelatan piala Oscar, ada 6 orang sutradara afro amerika yang pernah masuk nominasi dan cuma satu yang berhasil membawa pulang Academy Awards, yakni  Jordan Peele ditahun 2018.  Dia menjadi yang terbaik dalam kategori Best Original Screenplay  dalam film Get Out yang rilis tahun 2017. Sementara untuk para pemain watak, hanya 14 orang actor dan artis afro amerika (dalam berbagai kategori) yang pernah meraih Oscar termasuk Halle Berry dalam film Monster Ball tahun 2001 dan Jamie Foxx dalam film Ray tahun 2004.
Ditengah hegemoni kulit putih dan eskalasi gerakan politik sayap kanan yang meningkat, Oscar juga mulai digoyang oleh isu rasial dan gesekan gesekan gender. Jordan Peele bahkan dalam sebuah wawancara pernah mengatakan bahwa perbincangan soal ras tidak akan pernah selesai. Selama tidak ada yang mengawasi soal kesetaraan maka itu akan jadi perbincangan besar. Katanya.

Sebelumnya,,
#Oscarsowhite sebuah hastag yang beredar dimedia sosial menjadi viral ditahun 2015, sebagai simbol perlawanan yang mengkritik hegemoni kulit putih dalam Academy Awards. Hastag tersebut berhasil mencuri perhatian para petinggi Academy of Motion Picture Arts and Science sebagai pemegang lisensi Oscar. Beberapa aktor senior Hollywood juga ikut serirama dengan gerakan itu. Fakta, di tahun 2015 tak ada satupun wakil kulit berwarna yang berjalan dikarpet merah Dolby Theater Los Angeles. (tempat piala Oscar diumumkan). Jangankan menang, masuk sebagai nominasipun sangat sulit. Membuat beberapa kalangan mengancam untuk memboikot penyelenggaraan Oscar termasuk Will Smith. Tahun 2015, memang tahun paling kelam dan jika tidak ada perubahan radikal dikuatirkan bisa menggerus legitimasi Oscar dan itu berbahaya.
Setelah 2015, tahun tahun selanjutnya seakan menjadi titik balik bagi para pekerja film untuk mempertimbangkan isu isu diluar film dalam proses penjurian. Kemudian pihak Academy of Motion Picture Arts and Science mulai merombak komposisi juri yang dulunya berlaku seumur hidup kini dibatasi 10 tahun untuk insan film yang belum mencapai 30 tahun karir. Pihak Academy juga melakukan regenerasi dengan menambah tiga dewan gubernur serta keanggotaan wanita dalam penjurian. Hal tersebut dimaksudkan agar ada keragaman dalam Oscar.
Pada akhirnya.. setelah hiruk pikuk 2015, sutradara Jordan Peele memenangkan Oscar pertama untuk ras nya tahun lalu. Kemenangan itu juga ikut meredam kecurigaan rasisme dalam Oscar. Kemenangan Jordan Peele membuat hastag #oscarsowhite tiarap sejenak.
So.. bagaimana dengan tahun ini?
Masih relevan kah hastag Oscarsowhite?
Sutradara Spike Lee memantaskan diri untuk menjadi wakil bagi Afro Amerika dengan berjaya dalam 6 kategori Oscar, Filmnya yang berjudul Blackklansman tahun 2018 masuk dalam nominasi Best Picture, Best Director, Best Adapted Screenplay, Best Original Score, Best Editing dan Best Supporting Aktor Hal ini merupakan pencapaian ketiga bagi Lee setelah pada tahun 1990 filmnya Do The right thing masuk nominasi Best Original Screenplay dan pada tahun 1998, filmnya yang berjudul 4 lilttle Girls dinominasikan sebagai Best Documentary Feature. Tahun ini, Spike lee tentu saja berharap bisa memenanginya.
Blackklansman adalah film yang diadaptasi dari buku biographi Ron Stallworth. Seorang detektif polisi afro amerika yang bertugas di kepolisian Colorado Springs. Buku tersebut menceritakan petualangannya berhasil menyusup kedalam  organisasi Klu Klux Klan (KKK) organisasi rasis yang mengusung supremasi kulit putih.
Film itu ikut diproduseri oleh Jordan Peele dan memunculkan putra Danzel Washington sebagai aktor utama. John David Washington memerankan Ron Stallworth. Dibantu oleh Adam Driver sebagai Zipp Zimmerman. Film yang menelan biaya sekitar 15 juta dollar ini sudah meraup keuntungan di Box Office sebesar 89, 4 juta. Tentu saja, Focus Features sebagai pihak distributor sedang sibuk menghitung uang banyak saat ini.
Film ini memang  menarik dengan alur cerita yang mengangkat isu rasial ditengah gonjang ganjing Oscar semakin mempertegas bahwa film ini muncul disaat yang benar.. ibarat panah arjuna yang tepat menghantam dada sang Karna. Sebuah timing yang pas dan terarah.
Tapi jika pertanyaannya adalah, apakah Blackkklansman benar benar bagus? Apakah film ini layak masuk dalam 4 nominasi tersebut? Bahkan Rotten Tomatos situs yang suka nyinyir memberi apresiasi cukup besar untuk film ini. Luarbiasa.
Mari kita breakdown.
Film dibuka dengan pidato tokoh fiktif Dr Kennebrew beauregard, diperankan Alec Baldwin, seseorang yang digambarkan sebagai orator ternama dengan pidato berapi-api untuk mengingatkan warga kulit putih amerika atas ancaman kebangkitan kulit hitam dan orang yahudi. Sangat epic dengan tangkapan layar hitam putih dan bendera konfederasi. Isi pidato yang penuh kebencian sudah memberi sensasi tersendiri di awal film. tapi bukan itu punchline nya, melainkan tulisan “Dis joint based upon some fo’ real and so real sh*t” merupakan tulisan pembuka yang keren.
wow.. thas was so nigga! Tipikal film afro banget. Dititik itu,  ekspetasi sudah tinggi. Keren nih! Apalagi ketika Ron Stallworth masuk kedalam kantor polisi untuk mendaftar sebagai anggota kepolisian. Dia ditanya.. apa kamu siap jika dalam tugas ada orang yang sinis dan memanggilmu nigga? Lucu..

Sepertinya ini akan jadi film komedi yang unik.

Adegan demi adegan berjalan dengan pelan, saking pelannya waktu pun terasa lama. Yeah.. plot film ini sangat lambat di setengah jam pertama. Setting film berlatar tahun 70an sebenarnya kolosal. Pemilihan make up dan fashion klasik menambah daya tarik Blackkklansman. Kemunculan Kwame Ture seorang pelopor perjuangan kaum kulit hitam dalam rapat akbar perkumpulan mahasiwa Afro Amerika menimbulkan kesan bahwa film ini akan sarat dengan tema tema politik yang serius.
Film semakin menarik ketika Ron mulai masuk dalam pusaran Klux Klux Klan, dibantu opsir Zipp Zimmerman yang kebetuan seorang Yahudi mereka menyusup kedalam organisasi KKK lewat aksi aksi konyol. Dalam film ini, digambarkan ada dua pihak yang sedang berhadap-hadapan. Perkumpulan mahasiswa kulit hitam versus KKK.


Jauhkan dulu ekspetasi soal bagaimana penyusupan yang dilakukan Ron. Karena itu bukan sesuatu yang rumit malah sangat sederhana dengan hanya melalui sambungan telepon. Spike Lee tidak memberi unsur petualangan menjadi lebih hati hati justru terlihat sangat mudah. Bagaimana Ron meyakinkan anggota KKK lewat telepon lalu mengutus Zipp menyamar sebagai dirinya. Tentu saja, organisasi KKK harus merevolusi proses perekrutannya setelah menonton film ini.
Karakter Ron yang dimainkan oleh John David Washington harus diakui tidak memiliki akar yang kuat. John David memang tidak terlalu menonjol. Sama seperti filmnya... tanggung banget! Antara mau melucu atau serius. Blackkklansman juga gagal memenuhi keduanya. Tidak cukup untuk jadi drama tapi juga tidak terlalu lucu untuk menjadi komedi.  Adam Driver yang masuk dalam nominasi best supporting Actor memang sedikit lebih baik dari John David tapi masih terlalu datar untuk memperlihatkan karakter polisi Yahudi Amerika. Pertentangan batinnya antara menjadi seorang Yahudi Amerika atau anak kulit putih biasa tidak juga di ekspos dengan tajam. Malah dingin.

Ada banyak ruang untuk mengkritisi tapi ada juga tepuk tangan untuk Blackkklansman, karena film ini sangat sukses membuat organisasi rasis Klu Klux Klan menjadi sekedar sekumpulan badut yang tidak punya panggung. Adegan ketika Ron berfoto dengan petinggi KKK, David Duke semacam tamparan terhadap kedangkalan nalar rasisme. Di film ini, kita bebas menertawai KKK sambal makan es krim. Menyudutkan mereka kepinggir lapangan. Membuat organisasi berbahaya tersebut sekedar pertunjukan Stand Up Comedy. Film ini seakan menjadi antithesis Mississippi Burning 1988.


Okey! Blackkklansman memang bagus, tapi tidak bisa dikatakan spektakuler.
Spike Lee barangkali memahami bahwa keberutungannya hanya soal waktu dan film ini merajalela dalam Oscar juga karena akurasinya. Penayangannya dilesatkan ditengah isu rasial. Dibidik sempurna kejantung para petinggi The Academy. Lee seakan menodongkan pistolnya dikepala dewan gubernur sambil mengancam dengan jenaka. Hey Whats up bro? this is my Nigga Soldier! Take this to the Dolby or I ll blowing ur head..  Dan Jika peristiwa 2015 adalah prolognya, Blackkkklansan adalah Martin Luther King.
Anyway
Apakah film Blackkklansman mampu memukul para bajingan rasis dinegaranya dengan cara yang sama ketika Donald Trump memukul mundur para imigran meksiko dengan tembok palsunya?
Apa juri juri Oscar takut diterpa isu rasial makanya Spike Lee dijadikan tameng? Atau memang film ini bagus?


Tidak perlu dijawab dengan lugas, begini saja.. rasisme memang kejahatan yang harus dilawan karena rasisme adalah penyakit bagi peradaban manusia. Tapi, jika ada seorang nigga yang jahat dan criminal maka tidak perlu ditutupi. Pun sebaliknya, Jika seorang kulit putih itu ternyata orang baik maka tidak salah juga untuk dibesar-besarkan. Film tetaplah film, tak peduli siapa sutradara atau pemainnya. Mau dia Afro, Jews, Hispanik, Asia atau Kulit putih. Jika bagus silahkan tepuk tangan dan jika jelek maka orang juga bebas untuk mengkritik. Oscar harusnya sudah keluar dari perdebatan diluar film.

Sekedar informasi, Spike Lee adalah salah satu sutradara yang mengkritik penyelenggaraan Oscar tahun 2015 dan mengancam tidak akan menghadiri pengumuman Oscar. Apakah karena itu pihak Academy memberinya reward? Tapi sikap Lee yang terkesan intimidatif juga tidak bisa mengelimir fakta bahwa masih ada kesenjangan dalam penjurian Oscar. Mayoritas pekerja film Amerika yang menjadi pemilik suara adalah kulit putih. Tentu ada pihak-pihak yang lebih dominan meski tidak disengaja.
Juri-juri Oscar punya subjektifitas namun bila film ini dianggap sebagai representasi kaum kulit hitam maka bagaimana dengan Marvel yang menampilkan banyak pemain kulit berwarna dalam film Black Panther? Yang saat ini juga masuk dalam beberapa nominasi termasuk Best Picture. Bukanlah lebih representative?
Spike Lee dengan jumawa mengatakan “ketika para sejarawan melihat karya seni yang mencerminkan apa yang terjadi sekarang, maka mereka akan melihat film ini sebagai sisi kanan sejarah”.
Oh ya?

Well.. Mari kita tunggu.





Thursday, 17 January 2019

Review Film Glass 2019: Trilogi ini diakhiri dengan cara yg keterlaluan, Anti Klimaks!


Bayangkan apa jadinya dunia ketika tiga orang yang memiliki kekuatan super bertemu dirumah sakit khusus kejiwaan?








Glass merupakan penutup dari trilogy yang dimulai sejak 19 tahun lalu. Unbreakable (2000), Split (2017) dan ditutup oleh Glass (2019). Ini adalah trilogi yang mungkin paling rumit dari semua film-film trilogi yang ada karena potongan potongan kisahnya hampir tidak tersambung dengan jelas satu sama lain. Dua sequel sebelumnya,Unbreakble dan Split hanya terhubung oleh adegan terakhir ketika David Dunn yang diperankan oleh Bruce Willis muncul di akhir film. Setelah James McAvoy yang berperan sebagai Kevin Wendel Crumb, orang gila dengan 24 kepribadian berhasil melarikan diri dari kasus penculikannya.

Berangkat dari dua sequel yang tidak sempurna itu maka Glass diharapkan untuk  menjadi potongan terakhir yang menyatukan narasi Unbreakable 2000 dan Split 2016. Ini adalah film yang mengharuskan kalian untuk menonton dua sequel sebelumnya demi menemukan benang merah. Tentu saja, Elijah Price alias Mr. Glass, yang diperankan oleh Samuel L. Jackson kembali muncul setelah 19 tahun hilang. Tubuhnya yang lemah dengan 94 kali patah tulang tak menghalanginya untuk percaya bahwa ada kekuatan yang dimilikinya. Dari balik kursi roda, ia meyakini bahwa ada orang orang istimewa yang memiliki kekuatan super diluar sana. Kepercayaan yang diambil dari  buku buku komik yang dia baca sejak kecil. Glass juga mencurigai bahwa ada sebuah komunitas didunia ini yang menghalangi orang orang istimewa itu untuk mengembangkan potensi mereka. Menghalangi mereka untuk menunjukan diri. Kedengaran gila memang.. awalnya.

M. Night Shyamalan rupanya berusaha keras agar film ini menjadi penutup yang sempurna setelah kesuksesan Split yang meraih banyak penghargaarn. Glass harusnya bisa lebih baik dari Split, sayangnya kesuksesan James McAvoy dalam memerankan Kevin Wendel Crumb kini menjadi sekedar mitos yang membebani film ini. 

Alur cerita memang berhasil diselamatkan dengan plot yang nyaris sempurna, seperti bagaimana tiga orang ini terhubung oleh kecelakaan kereta Eastrail 177 19 tahun lalu. Fakta bahwa ayah Kevin juga salah satu korban dalam tragedi kereta berdarah itu. Menjawab keraguan bahwa trilogy ini akhirnya terkoneksi secara alamiah tanpa dipaksakan. 

David Dunn sebagai satu satunya orang yang selamat dari tragedy tersebut, kini juga berhasil menyelamatkan 4 orang gadis yang diculik oleh Kevin Wendel Crumb. Upaya penyelamatan itu malah membawanya ke rumah sakit khusus kejiwaan. Di rumah sakit itu, tiga orang itu bertemu dan ditangani secara khusus oleh Dr. Ellie Staple yang diperankan dengan manis oleh Sarah Paulson.
Trilogy ini menggabungkan unsur-unsur thriller, pahlawan super dan juga psikologis ilmiah. Night Shyamalan memang  berpengalaman dengan film film jenis ini. Bisa dilacak dari film-filmnya yang pernah ia garap sejak Praying With Anger di tahun 1992, The Sixth Sense, The Village, The Visit, dan beberapa lainnya. Jika kalian ingin melihat kelebihan dan kelemahan M. Night Shyamalan maka Glass adalah jawabannya. 

Dengan biaya 20 juta dollar atau dua kali lipat dari film Split yang hanya menelan 9 juta dollar, Glass harusnya bisa menjadi lebih berjaya, apalagi didukung oleh aktor aktor ikonik Hollywood.  Nyatanya, film ini tidak lugas memunculkan karakter seperti dalam film Split. Plotnya lambat dan patah juga setting film yang sebagian besar hanya berkutat di Raven Hill Memorial membuat durasi terasa panjang dan membosankan. Ironisnya, Elijah Price alias Mr Glass yang menjadi judul film malah gagal ditampilkan dengan baik. Kekuatan kognitif yang merupakan ciri khasnya tenggelam oleh dialog yang melelahkan. Jika David Dunn mampu menjebol baja atau Kevin Wendel Crumb mampu memunculkan karakter The Beast dalam dirinya. Mr. Glass justru hilang dari adegan adegan kunci. Bagaimana Mr Glass berhasil keluar dari sel nya sangat kabur diperlihatkan

Bruce Willis luar biasa, Samuel L Jackson tak perlu diragukan, James McAvoy sempurna apalagi dia mendapatkan tambahan karakter dari 24 kepribadian yang tidak dimunculkan dalam Split. Tiga actor ini terlihat bersenang senang dengan peran yang mereka mainkan. Hanya saja, terasa ada yang kurang
Kesuksesan Split seakan memberi lisensi bagi Shyamalan untuk bertindak ceroboh dalam memberi ending pada film yang berawal sejak 19 tahun lalu ini.  Bukan waktu yang pendek tapi diakhiri dengan cara yang keterlaluan. Film ini sangat mengecewakan. Sialnya, orang orang yang telah menonton dua sequel sebelumnya mau tidak mau harus membeli tiket untuk memaki diri mereka sendiri karena gagal mencapai klimaks. Mengerikan.

Pada dasarnya, Trilogi ini memang bukan film yang ringan karena mengharuskan penontonnya untuk berpikir. Apa yang membuat frustasi adalah narasi didalam film Glass yang berjalan lurus dan mudah ditebak. Rahasia utama bahwa Dr Ellie Staple ternyata bagian dari komunitas anti hero yang dicurigai oleh Mr Glass tidak cukup memuaskan justru makin membingungkan. Dititik ini, Shyamalan seperti membawa kita tersesat dalam pikirannya yang rumit.. Film ini memang menyedihkan namun tidak sepenuhnya gagal. Paling tidak, 19 tahun sudah diakhiri meski tanpa apa-apa. Glass mungkin sukses menyatukan Unbreakable milik Disney Buena Vista dan Split milik Universal Studio untuk bekerja sama. barangkali, itu adalah kerjasama pertama dalam sejarah film tapi Glass tidak bisa menyatukan imajinasi kita. Setelah pulang kerumah, kita tidak akan lagi mengingat bahwa pernah ada trilogi ini dalam sejarah film. Jika ada yang harus disalahkan maka itu adalah ekspetasi kita.


Thursday, 10 January 2019

ESCAPE ROOM: FILM BAGUS NAMUN GAGAL SEJAK ADEGAN PEMBUKA


Escape Room adalah film thriller tentang enam orang asing yang tidak saling mengenal dipertemukan pada sebuah ruangan dan mereka harus menemukan petunjuk untuk keluar atau harus mati. Sebuah teka teki yang membawa kita pada ketegangan yang menyenangkan
Film karya Adam Robitel ini jelas bukan film orisinal, tetapi cukup menghibur bila ingin mengawali tahun 2019 dengan lompatan lompatan adrenalin didalam bioskop. 

Skenarionya lumayan dengan narasi cepat  yang mau tidak mau menarik kita untuk terus menatap layar. Plot seperti ini jelas bukan yang pertama, beberapa film sejenis pernah muncul seperti Cube, SAW, Belko Experiment, Exam dan beberapa lainnya. Tidak ada yang istimewa

Escape Room mempertemukan jiwa jiwa yang kesepian dan asing satu sama lain. 6 orang ini dipersatukan oleh kesamaan pengalaman masalalu. Mereka semua adalah penyintas terakhir dari tragedy yang meraka alami. Tak satu pun dari mereka yang mempertanyakan keanehan ketika masing-masing dari mereka menerima kotak aneh sebagai pengganti undangan tradisional. Diperankan oleh Logan Miller, Deborah Ann Woll, Taylor Russell, Tyler Labine, Jay Ellis, dan Nik Dodani. Sutradara Adam Robitel juga ikut ambil peran sebagai Gabe.

Zoey seorang pelajar yang pemalu, Ben seorang pekerja keras, pebisnis muda Jason, veteran perang Amanda, mantan penambang Mike dan dan Danny seorang penggemar video game. Mereka harus memecahkan teka-teki di Escape Room dengan iming iming $ 10.000 jika mereka berhasil melarikan diri. Ketika Ben mencoba meninggalkan ruangan, gagang pintu terputus, mengunci mereka di dalam dan memperlihatkan pengukur suhu oven yang terus meningkat. Petualangan mereka dimulai, dari suhu yang panas menuju ruang bersalju yang pada akhirnya menewaskan Danny hingga satu persatu dari mereka mati menyisakan Ben dan Zoey. 
Soundtrack John Carey dan Brian Tyler benar-benar menambah getaran pada setiap momen yang disesaki oleh musik elektronik yang memaksa kita untuk merasakan sensasi seperti sedang menonton film horror. Memang, Adam Robitel tidak terlalu jauh dari film film horror, dia pernah menjadi penulis sekaligus sutradara dalam film The Taking Of Deborah Logan pada tahun 2014, juga terlibat dalam penulisan Paranormal Activity The Ghost Dimension pada tahun 2015 dan menjadi sutradara pada film Insidious The Last Key. Mungkin itu menjadi alasan bagi Colombia Pictures mempercayakan film ini kepadanya.

Escape room memiliki potensi untuk menjadi Thriller yang menawan karena hampir setiap teka-teki utama benar-benar menggetarkan, tetapi karakter itu sendiri yang merupakan masalah terbesar Escape Room. Karakter tokoh yang tidak tajam serta plot yang sederhana menghalangi potensi film ini untuk bergerak maju. Salah satu kegagalan Escape Room yang paling nyata adalah pada adegan pembuka ketika Ben mencoba keluar dari ruangan yang ingin menghimpitnya. Jelas sekali ini langsung menjawab teka teki siapa yang akan selamat terakhir dari game ini. Dipenghujung ujian, saat Ben terlibat perkelahian dengan Jason, kita sudah tutup mata karena sudah ketahuan siapa pemenangnya.
 
Adegan pembuka yang fatal karena menghancurkan kegembiraan. Escape Room juga tidak menawarkan hal yang baru, hanya sekedar penggabungan dari ide-ide dari beberapa film yang pernah ada dan tidak pernah berhasil menjadi orisinil. Meskipun menyegarkan melihat film berbiaya 10 juta dollar ini dengan pemeran utama wanita afro amerika namun film ini masih jauh untuk meledak. Endingnya pun berantakan dengan experiment kecelakaan pesawat untuk menegaskan kepada penonton agar menunggu sequel keduanya. Lagi lagi Adam Robitel menggagalkan film keduanya dengan spoiler dari film pertama ini.  Mari berharap tidak. 

Saturday, 22 December 2018

Review Film: Bumblebee: Sebuah Anomali dari delusi futuristic menjadi Human Psikologic

“Sebuah malam yang gelap pun akan menghasilkan bintang yg paling terang” kata Memo mengulang kutipan ibunya di film ini




Mari kita lupakan dulu perang antara Marvel Cinematik Universe dan DC Extended Universe. Paramount seharusnya sudah bisa memunculkan bintangnya sendiri sejak eksitensi Transformer non animasi ditahun 2007. Bumblebee adalah spin off yang mungkin berbeda dari semua film film spin off yang ada, meski Michael Bay masih terlibat namun unsur unsurnya hampir semuanya dieliminasi oleh Travis Knight.

Travis telah menjadi sutradara penting didunia animasi selama lebih dari 10 tahun, bumblebee adalah pembuktian bahwa dia sanggup mengemas film selain kartun, dan hasilnya? Tidak terlalu buruk.
Travis bahkan mampu membawa Bumblebee keluar dari induknya: Transformer, penunjukan dirinya sebagai Sutradara sukses membuat salah satu pemberontak Autobots ini lebih hidup dan manusiawi.
Disadari atau tidak, Bumblebee sangat berbeda dari semua edisi Transformer sebelumnya.  Fakta bahwa Michael Bay tak lagi bersama Transformer dan beberapa penulis naskahnya sudah banyak yang minggat dari Paramount menjadikan Bumblebee sebagai film bias yang membuat penasaran.
Kehadiran Christina Hodson sebagai penulis naskah semakin menegaskan bahwa bumblebee adalah anomali positif dengan kedalaman karakter yang justru jauh lebih kuat. Christina Hodson memberi polesan psikotik kepada karakter bumblebee. Dua film Hodson sebelumnya Shut In dan Unforgettable sangat gelap dengan kekuatan thriller psikologi. Dan ini yang menarik.. lihat saja, di Shut ini, Hudson sanggup membuat Charlie Heaton sebagai Oedipus yang pemarah. Dan Katherina Heighl menjadi mantan istri yg berkepribadian ganda di unforgettable.

Hasilnya? Dalam satu adegan ketika Charlie Watson sedang terancam membuat Bumblebee sangat murka dan kehilangan kontrol hingga hampir membumihanguskan markas militer Amerika yang dimotori John Cena. Cukup puitis untuk seorang robot.
Yang menarik adalah karakter tokoh utama Charlie Watson yang diperankan sangat baik oleh Hailee Steinfeld. Karakter gadis remaja yang masih belum mau move on dari kematian ayah kandungnya. Sekilas, karakternya di film ini hampir tidak jauh berbeda dengan karakternya yang juga ciamik di film The Edge of Seventeen. Seorang gadis yang memiliki dunianya sendiri dan antisosial bahkan merasa jauh dari keluarganya sendiri. Kesenangan pada mobil membuatnya berkenalan dengan Bumblebee, VW berwarna kuning yang diambil dari bengkel pamannya.
Film dibuka dengan hari hari terakhir pelarian para pemberontak Autobots dari Deception hingga membawa mereka ke bumi ditahun 1987.  Bumblebee secara tak sengaja jatuh di hutan dimana John Cena sedang latihan militer bersama kawan-kawannya.  Untuk nama terakhir, topeng anonym memberi preseden buruk karena perannya yang sangat ringan dan tidak bertanggungjawab.  John cena adalah kesalahan utama di film ini. Meski bukan sebagai tokoh utama namun seharusnya, Cena bisa menghidupkan karakternya. Entah kenapa para pembesar paramount bisa memepercayakan karakter agent Burns kepada laki2 Smackdown ini. John Cena tidak memiliki riwayat yang patut diingat, wajahnya yg datar tanpa ekspresi membuat perannya hanya bagus sekedar pelengkap.
Well.. Bumblebee adalah bagian dari Transformer, ikon dengan penggemar yang kini beranjak remaja. Dongeng robot futuristic yang hidup bersama manusia itu telah mengalami evolusi sejak kehadirannya 11 tahun lalu. Karena itu maka film ini sangat dinantikan oleh jutaan penggemarnya.
Bumblebee pada akhirnya menemukan tempat perlindungan di tempat barang rongsokan di kota California yang kecil. Charlie (Hailee Steinfeld), yang sedang titik balik menuju usia 18 tahun juga sedang berupaya mencapai eksistensinya, hingga dia menemukan Bumblebee,  remaja itu dengan cepat menyadari bahwa ini bukan VW kuning biasa.

Apa yang terbaik dari Bumblebee adalah, film ini sukses merangkul episode indah ditahun 80an, tanpa rasa sungkan pada dandanan punk dan musik disko sembari tetap berada pada jalur fantasi derivative.  Tidak ada ilusi patriotisme optimus prime terhadap mitos cybertron. Bumblebee justru menarik karena menyederhanakan narasi pada lingkup keluarga.  itu mungkin satu-satunya film Transformers yang ditonton tanpa peringatan karena bebas untuk semua umur.
Meski demikian, film masih terlalu rendah disandingkan dengan film film bergenre sama. Ini film yang ringan dan bagus untuk sekedar hiburan. Namun untuk mencapai Oscar itu tentu masih butuh kreatifitas yang lebih. Paramount mungkin sukses mengubah template Michael Bay di film ini, tapi itu bukan prestasi. Sekali lagi, film ini keren sebagai film hiburan tapi bukan untuk film Oscar.

Thursday, 13 December 2018

Review film AQUAMAN 2018 : Contoh buruk ketika sebuah perusahaan tergesa-gesa dalam mengejar kompetitornya. Fatal dan Malpraktek.




Setelah kegagalan DC dalam Man of Steel (2013) yg babak belur dihujani kritikan , Superman v Batman (2016) yang juga bernasib tak lebih baik, kali ini DC tak menyerah untuk mengejar Marvel. Aquaman diharapkan sebagai balas dendam DC untuk para pencemooh. Sayangnya, kegagalan imajinasi James Wan yang diplot sebagai sutradara menjadikan DC kembali tenggelam dalam penyakit Syndrome Marvel Imitasi.
Ekspetasi apa yang diharapkan kepada Aquaman? film yang berdurasi dua jam, 23 menit ini terasa seperti perjalanan panjang menuju kuburan dan DC menjadikan Aquaman sebagai batu nisan yang megah dengan iring2an para peziarah menyanyikan lagu kematian.
Nama nama besar seperti Jason Mamoa, Nicole Kidman, Amber Heard, Patrick Wilson, Wiliem Dafoe dan masih banyak lagi tak mampu menyelamatkan Aquaman dalam penderitaannya. Barangkali beginilah jadinya ketika Sutradara spesialis Horor Thriller dipaksa naik kelas mengurusi komik. Ibarat dokter spesialis kulit melakukan operasi jantung. Malpraktek..

James Wan meninggalkan kerusakan yang parah karena ketidakmampuannya menghadirkan fantasi Atlantis yang indah, alih alih melakukan itu, James Wan justru menghancurkan Atlantis dalam metafora yang banal. Upaya besarnya memunculkan dunia bawah laut agar hidup dan berwarna justru tersesat dalam pemilihan kostum: lihat saja: kostum tentara atlantis seperti kostum pahlawan super Jepang tahun 90an. Kampungan!

Dengan biaya 160 juta dollar seharusnya DC mampu menampilkan visual efek yang membawa penonton masuk lebih jauh, bukan malah terseok-seok oleh scenario yang berantakan, dialog yang membosankan dan pemilihan karakter  yang tidak representative membuat kerja keras DC untuk mengejar Marvel menjadi sia sia.

Awalnya ada sedikit harapan ketika film dimulai dengan dongeng… seorang penjaga mercusuar (Temura Morisson) menemukan putri atlantis yang terluka dipantainya. Putri Atlanna yang diperankan artis senior Nicole Kidman melarikan diri dari perjodohan yang tidak diinginkannya. Singkat cerita mereka jatuh cinta, menikah lalu melahirkan seorang anak yang diberi nama Arthur. Dengan darah campuran atlantis dan manusia permukaan membuat Arthur sangat special. Sayangnya, tidak ada gambaran signifikan tentang masa kecil Arthur selain plot singkat bagaimana dia mampu berkomunikasi dengan Hiu di Aquarium besar, juga flash back ketika Kulko melatih kemampuannya. Tentu saja, itu tidak cukup.

Gue menyaksikan benturan keras antara mitos atlantis versus fantasi futuristic membentang sepanjang film. Dua jam yang melelahkan. Narasi gagal itu coba ditutupi dengan kisah tentang ambisi raja Orm (Patrick Wilson) untuk menguasai dunia dengan keinginannya melakukan perang terbuka terhadap manusia di permukaan. Raja Orm yang juga adik tiri Aquaman begitu membenci dunia atas karena ulah mereka mengotori laut dan menghancurkan ekosistem. Sebuah kritik yang bagus sebenarnya. Kritik tersebut kurang dieksploitasi oleh James Wan.
Kehadiran Black Manta sosok yang hidup dengan dendam ayahnya, diperankan Yahya Abdul Mateen II. Jelas sekali, DC merencanakan pertarungan antara Aquaman vs Black Manta di masa depan.  Sayangnya, tidak dijelaskan bagaimana awal hubungan Raja Orm dan Black Manta dalam berkonspirasi membenturkan dunia bawah dan dunia permukaan.
Kemunculan Mera calon Ratu Atlantis yang melihat masa depan dunia bawah laut ditangan Aquaman terasa sangat dipaksakan. Mengingat.. dalam beberapa adegan, Mera menyindir Arthur sebagai orang yang tidak bisa berpikir. Sudah bisa ditebak, dengan siapa Aquaman akan berakhir ranjang pernikahan?

Adegan ketika mereka mengejar trisula kuno raja pertama Atlantis hingga ke gurun sahara lalu berlanjut ke dasar bumi dan menemukan ratu Atlanna yang ternyata masih hidup adalah adegan terbaik difilm ini. Sayang nya.. Sekali lagi.. inti bumi yang harusnya divisualisasikan pada level tinggi harus dipersingkat dengan pertarungan Aquaman melawan penjaga trisula.
Jika ada yang bertanya.. apa itu Aquaman? Maka gue akan jawab.. Aquaman adalah contoh ketergesa-gesaan yang fatal ketika sebuah perusahaaan berambisi mengejar kompetitornya dan membuat uang tiket bioskop menjadi sia sia.


Wednesday, 12 December 2018

Review Film: Widows 2018: Tamparan pada Kesombongan politik kulit putih lewat nyanyian para wanita teraniaya




Sejarah manusia adalah sejarah penindasan perempuan, era feodal, para raja menjadikan perempuan sebagai legitimasi kekuasaaan. Semakin banyak selir semakin berkuasa, hari ini.. para laki laki mengadaptasi itu.. semakin banyak istri, semakin jantan..


.
Sutradara film 12 Years A Slave  Steve Mcqueen, hadir dengan karya terbarunya berjudul Widows. Yg diadaptasi dari serial TV berjudul sama di tahun 1983. Difilm ini, dia juga mengajak Gillian Flynn, penulis Gone Girl untuk menggarap naskahnya. Kolaborasi yang terbukti menghadirkan film yang menghibur.
Kebanyakan film sejenis dibangun di atas kejeniusan para pelaku, didalangi oleh sekelompok orang yang biasanya memiliki perencanaan dan kemampuan untuk melancarkan perampokan. Namun Widows berbeda. Sebuah plot perampokan yang dilakukan para janda teraniaya tanpa kemampuan heroistik.

Para janda itu digerakan oleh Arus emosi yang kuat— ketimpangan sosial, kemuakkan pada korupsi, dan serangan langsung pada sistem omong kosong yang mencuri dari orang miskin juga pesan kemarahan para wanita yang diperlakukan semena-mena.

Film ini bekerja secara bersamaan— Murni sebagai hiburan, juga sebagai warning bahwa pada level yang tak tertahankan, perempuan yang teraniaya mampu melakukan hal2 yang tidak terduga.



McQueen membuka filmnya dengan hentakan adrenalin, ketika sekelompok penjahat yg dipimpin oleh Harry Rawlings diperankan Liam Neeson, terjebak dalam perampokan yang gagal. Mereka terbunuh dalam sebuah mobil yang meledak. Sekelompok penjahat ini, meninggalkan istri istri yang harus menghadapi berbagai persoalan yang ditinggalkann suaminya.

Disaat bersamaan, kampanye untuk pemilihan walikota berlangsung di Kota Chicago. Kontestasi yang mempertemukan dua penjahat lokal. Dititik ini, Colin Farrell dan  Brian Tyree Henry berhasil menggambarkan perseteruan politik.yang kotor dan penuh intrik.

Veronica istri mendiang Harry harus menghadapi Jamal Maning, penjahat yang memintanya bertanggung jawab atas uang yang dicuri suaminya. Dia pun mengumpulkan mantan istri kru suaminya untuk melakukan perampokan. Detil perampokan itu dia ambil dari buku catatan yang ditulis oleh suaminya.

McQueen menyatukan banyak kepribadiaan dalam satu atap, karakteristik para janda yang ditinggal mati suaminya. Veronica memainkan peran sebagai leader, seorang wanita Afro Amerika yang menikahi laki laki kulit putih. Kematian suaminya menyadarkannya bahwa hidupnya sebenarnya sudah lama hilang ketika anak mereka terbunuh secara tak sengaja oleh polisi.
Kita juga akan bertemu Alice, seorang wanita yang rapuh dan dilecehkan ibunya ( Jacki Weaver ), seorang ibu yang hampir tidak memperlakukannya lebih baik daripada suaminya yang juga mengerikan. Ada juga Linda, seorang ibu dua anak yang baru saja membuka tokonya sendiri.  dan Amanda, yang memiliki seorang anak berusia 4 bulan. Amanda tidak terlalu sering dimunculkan namun skenario bahwa Harry ternyata masih hidup dan memiliki affair bersama Amanda cukup mengejutkan.

Well.. Bahkan ketika kita harus berpikir keras, lalu menganggap bahwa ini cuma kebetulan..
Alice, Linda, dan Veronica masing-masing adalah Polandia, Latin, dan Afro, tidak peduli perbedaan ekonomi mereka. Jelas sekali, McQueen memunculkan ragam karakter yang tidak dipaksakan.

Ketika Tom Mulligan mengatakan, "Satu-satunya hal yang penting adalah kita bertahan hidup," statemen yang secara tak sadar menyatukan para janda ini untuk bertahan dari persoalan2 yg mereka hadapi.
Ada pesan rasial disini, bagaimana ketika Veronica berteriak kepada Harry.. silahkan pergi kepada wanita kulit putihmu itu, juga kritik pada polisi yang seenaknya menembak pemuda kulit hitam. Kepiluan wanita afro amerika yang meratapi kematian putra satu satunya dan penghianatan suaminya.

McQueen dan Flynn berhati-hati untuk tidak pernah membiarkan film mereka tercebur dalam perdebatan politik. Walau drama nya menghibur tapi film ini juga menyelipkan kritikan pada kesombongan dalam mempertahankan warisan politik kulit putih, tamparan itu lewat nyanyian para janda teraniaya.

Dengan layar bertabur bintang, Widows menjadi film yang sangat layak untuk ditonton. Viola Davis, Michelle Rodriguez, Elizabeth Debicki, dan Cynthia Erivo memainkan karakter para janda dengan berbagai persoalannya. Dibantu oleh Liam Neeson, Collin Farrel, john Bernthal, Manuel Garcia-Rulfo, Coburn Goss, Brian Tyree Henry. Kemunculan Daniel Kaluuya semakin mempertegas bahwa Widows adalah kumpulan para peraih piala, dan nominasi academy awards. Berjalan ringan dengan plot yang berliku namun sangat mudah dicerna.



Saturday, 8 December 2018

Review Film Mortal Engines 2018: Visualisasi Klasik Perang Kelas di era Post Apocalyptik Pasca Digital




Mortal engines bukanlah film yang bagus tapi jelas ini lebih megah dari kelihatannya. Penuh dengan Fantasi derivative, film ini menjadi persilangan antara Lord of The ring dan Final Fantasy. Peter Jakson seperti sengaja memunculkan kembali kemeriahan imajinatif Lord Of The ring.
Sebagai Produser dan penulis naskah, Peter jakson menyapa kembali setelah film terakhirnya The Hobbit yang rilis ditahun 2014. Kursi sutradara dipercayakan kepada Christian Rivers yang memang menjadi kompatriotnya sebagai Visual effect dalam trilogy lord of the ring.
Diangkat dari buku Philip Reeve, Mortal engines menyajikan cerita  post apocalyptic 3000 tahun setelah peradaban manusia punah karena perang 60 menit yang menghancurkan kota kota besar didunia. Penduduk yang masih tersisa mencoba membangun kota diatas roda raksasa yang bergerak. Kota kota besar memanga yang kecil untuk memperebutkan sumber daya. Gambaran perang kelas klasik yang ditampilkan di era pasca digital,

London menjadi kota predator yang ditakuti. Digawangi oleh Thaddeus Valentine yang diperankan oleh Hugo Weaving, London berubah menjadi kota yang tamak dan ambisius. Manifestasi dari keserakahan para penguasa yang akan melakukan apa saja untuk meraih kekuasaan. Adalah Hester Shaw diperankan Hera Hilmar, seorang gadis yang menyimpan dendam ibunya kemudian bergabung dengan kelompok anti traksi untuk menghentikan ambisi Valentin. Film pun bergerak dengan alur yang sudah bisa ditebak.
Meski film ini menampilkan visual efek yang mengagumkan dengan ide orisinil kota diatas roda bergerak, sayangnya.. plot tentang dunia dystopia sudah terlalu sering kita lihat. Penggambaran dunia yang gersang dengan sumber daya yang hampir habis sudah sering disajikan dalam film film cyber punk lainnya.
Karakter karakter yang dimunculkan pun tidak begitu baru, selain karakter Thadeus Valentin yang cukup menarik sebagai tokoh yang dipuja dinegaranya karena ambisinya untuk membuat London terus eksis, namun diluar London, Valentin bagai pemangsa yang dibenci.
Pertanyaanya adalah apa yang coba ditawarkan film ini seperti pengulangan imperialisme barat era colonial yang mencari sumber daya hingga kebenua timur. Divisualisasikan sebagai Kota dibelakang tembok yang dipimpin oleh Gubernur Kwan. Tokoh tersebut mirip Dalai lama dan memimpin kota utopia dengan bijaksana.  Kota yang akan dihancurkan oleh Valentine.
Ada perang kelas dalam film ini, ada pengulangan sejarah kejatuhan Bavaria dan bangsa bangsa besar dipaksa untuk mencari sumber daya demi kelangsungan hidupnya, para penguasa itu akan diberi tepuk tangan oleh rakyatnya namun bagi bangsa bangsa lain. Mereka adalah predator yang datang sebagai penjajah.
Christian Rivers akan menapak karir gemilang dengan film ini, walaupun ini bukan sesuatu yang harus dirayakan namun Mortal Engines sebagaimana film film sejenis dating memberi pesan bahwa bumi sebentar lagi akan kolaps jika keserakahan dipelihara.
 


Wednesday, 29 August 2018

Dalam Pertempuran Cebong versus Kampret, saya memilih menjadi Nyamuk.

“Substansi perang bukanlah mati untuk negaramu tapi membuat para bajingan lain mati untuknya” 

George Patton



Friksi politik memanas dan dipastikan akan semakin tajam menjelang Pilpres 2019. Kecebong versus Kampret merupakan label yang diasosiasikan antara pendukung Jokowi vis a vis anti Jokowi. Terminologi tersebut merujuk pada nama binatang yang menjadi peliharaan presiden ke 7 itu. Sementara kampret, entah dari mana munculnya namun cukup marak dimedia sosial untuk memberi julukan bagi mereka yang anti pemerintahan jokowi.
Sempat ada harapan munculnya alternatif baru namun pupus ketika SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat telah mengumumkan untuk berkoalisi dengan Partai Gerindra. Hampir dipastikan, pilpres 2019 menjadi pertarungan ulang Jokowi versus Prabowo.
Dua orang ini seakan nabi bagi para pendukungnya, dipuja dengan pembelaan mati-matian bahkan diwarnai caci maki khususnya di media sosial. Perdebatannya menjadi kontraproduktif karena ujungnya akan berakhir dengan.. ah dasar cebong atau ah, kampret kebanyakan micin.

Suka atau tidak, kita berada dalam perang opini dua kubu itu.


Jokowi seakan mewakili kaum nasionalis, moderat, sementara Prabowo kerap didukung partai-partai Islam hingga image bahwa beliau adalah representasi dari Muslim Indonesia terbangun dengan sendirinya. Apalagi PA 212 yang dikomandoi Habib Riziek terang-terangan menunjuk dirinya sebagai calon presiden dalam Itjimak Ulama tempo hari. Meski ada banyak cibiran bahwa PA 212 tidak mewakili seluruh umat Islam di Indonesia dengan adanya ada dua partai islam yaitu PKB dan PPP dikubu Jokowi. Sementara di kubu Prabowo juga ada partai nasionalis moderat. Partai Gerindra dan Demokrat jelas bukan partai Islam meski didalamnya ada PKS dan PAN. Inilah politik, klaim mengklaim bukan hal baru.
Masyarakat terpecah dalam dikotomi politik yang sudah ada. Orang-orang yang anti Jokowi akan memilih calon lain selain dia dan karena ketiadaan alternatif maka Prabowo menjadi satu-satunya pilihan. Begitu juga sebaliknya, orang yang tidak suka Prabowo akan memilih Jokowi. Pertanyaannya, apakah semua sesederhana itu? Apakah di Indonesia cuma ada Kecebong dan Kampret? Bagaimana dengan belalang? Bagaimana dengan buaya misalnya? Atau katakan saja bagaimana dengan binatang-binatang lain?
Spektrum politik Indonesia masih menampilkan dua warna itu. Dibanding pilpres sebelumnya, yang masih menampilkan lebih dari kandidat. Kali ini, revenge antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto sudah bisa ditebak jauh hari sebelumnya.
Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar didunia, Indonesia masih dalam perjalanan panjang menuju kesempurnaan. Masih banyak hal yang terus diperbaiki, pendek kata: demokrasi indonesia masih berproses. Cebong dan Kampret mungkin gagal melihat hal itu sebagai nilai plus dalam bernegara. Semua hanya ingin calon yang mereka dukung terpilih sebagai presiden. Taggar 2019 ganti presiden berhadapan taggar dia sibuk kerja. Persekusi, saling sindir atau adu fitnah dimedia sosial seakan menjadi baliho dan umbul-umbul yang mewarnai perjalanan demokrasi kita.
Apakah ini kemajuan dalam demokrasi kita? Bisa iya. Bisa juga tidak.
Sangkakala sudah dibunyikan, semua orang sudah siap dengan amunisi perangnya.  Adu strategi, adu ide, rebutan dominasi dan momentum dan terus memainkan opini. Sebuah hal yang sudah sewajarnya ada dalam sebuah negara demokrasi. Pilpres kali ini yang menyisakan dua kandidat, ibarat dua orang lagi bercumbu rayu ditaman kosong, gelap, penuh syak wasangka juga diliputi ambisi dan syahwat kekuasaan. Dua orang tersebut adalah kecebong dan kampret, mereka sedang asyik masyuk saling meraba dalam gelap tak peduli pada apapun, meski nyamuk terus mengitari disekeliling taman. Sesekali nyamuk nyamuk itu menggigit dan ditepis, menggigit lagi dan ditepis lagi. Cebong dan kampret terlalu terburu nafsu hingga lupa kulitnya bentol digigit nyamuk. Lalu, siapakah nyamuk itu?

Dalam pertempuran Cebong versus Kampret, saya memilih menjadi Nyamuk.

 

Nyamuk tidak pilih-pilih dalam menentukan mangsa, jika kampret mengeksploitasi isu SARA maka nyamuk akan menggigit, bila cebong ikutan latah menggunakan politik identitas maka nyamuk pun akan menggigit. Memberi warna merah dan bintik kecil pada kulit cebong dan kampret sebagai pengingat bahwa mereka tidak sedang bercumbu berduaan. Ada orang laih ditaman itu, ada banyak orang yang harus mereka pikirkan. Ada efek sosial dari narasi yang mereka bangun. Sebagai nyamuk, maka pilihan politiknya tidak harus netral atau wajib golput. Tidak juga. Nyamuk bertugas untuk menyerang dengan gigitan kecil bila cebong dan kampret bertindak nakal. Nyamuk bebas memilih tanpa terafiliasi satu partai tertentu. Bukan hal yang salah bila nyamuk memilih cebong atau bila nyamuk pada akhirnya memilih kampret. Bukan dosa juga bila ternyata nyamuk harus golput. Pilpres masih berapa bulan lagi. Tinggal dilihat, siapa yang menggunakan narasi keagamaan, kesukuan atau ras dalam kampanyenya. Siapa yang menstigma, siapa yang mengkafirkan, siapa yang menggunakan SARA, politik identitas demi memenangi kontestasi pilpres. Andai kampret bermain dengan itu maka nyamuk akan menggigit dan memilih cebong. Sebaliknya, bila cebong memanfaatkan identitas keagamaan untuk memenangi pilpres maka nyamuk akan menggigit dan berada di pihak kampret. Nyamuk adalah oposisi bagi semua pihak sekaligus kawan bagi mereka, nyamuk adalah lawan dari para penebar kebencian, rasisme, politik identitas serta hoax dan SARA, pendeknya, nyamuk adalah penjaga kebebasan berpendapat dan demokrasi Indonesia
Efek dari pilpres 2019 adalah sejauh mana demokrasi Indonesia berkembang dan taruhan utamanya adalah kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika Indonesia sukses melaksanakan pilpres 2019 tak peduli siapapun yang harus terpilih nanti maka dapat diramalkan Republik ini akan berjaya dikemudian hari. Seperti kata pepatah: Kapal yang tangguh tidak berlayar dilautan yang tenang.
Semoga Cebong dan Kampret mau mendengar bisikan Nyamuk agar tidak bermesraan ditaman gelap. Ayo, bercumbu ditempat yang terang, dengan cara yang benar, terhormat dan bermartabat. Karena apapun jenis ras, warna kulit, agamanya, sukunya, kita semua orang Indonesia.

#saynotoracism
#freethinker
#spreadlovenothate