Napas-napas bumi menyerangku dengan lidah api meski separuh tubuhku telah kusembunyikan didalam selimut. Semburannya ganas memuntahkan panas bernyala lalu menagih rintihan, dari telapak kaki hingga ujung syaraf mendadak terkulai: kemuakkan menyapa dengan gempita dibelahan kepalaku, berputar-putar mengelilingi dinding kamar dan mencoba menakuti kecoa yang bertahta dilangit-langit, darahku meregang lemas - tersungkur diranjang batu. Lidahku sudah tak lagi mampu membeda rasa bahkan jika kukecup bibir cleopatra hanya akan menyisakan sesak, tangan ku menggigil mencoba bertahan dengan satu jari tengah yang teracung meludahi bangkai para pendosa, pikiranku mengembara diujung tak berujung menyebarkan ketakutan didalam didiriku’ meski sudah tak lagi kurasakan apa-apa pun nalarku membeku dimusim salju dan selimut seperti penjara panaptikon- juga tablet bulat dimeja seperti makanan ternak yang memaksa tenggorokanku dengan rasa pahit membosankan- demam ini seperti puisi!!
hey sakit, pergilah!! temui mereka di-istana' disana darah lebih manis untuk kau gerogoti, tubuh mereka masih empuk dengan suntikan makanan dari emas, disana kau bisa menyerang mereka tepat didepan pintu’ karpet-karpet merah akan menuntunmu dinisan jiwa berkuasa, hisap darah mereka- seperti mereka menghisap kami, hancurkan tubuh mereka seperti mereka menghancurkan rumah-rumah kami, pergilah dari sini
hey sakit!! bukankah kita dari generasi yang sama, generasi yang meminta pertanggung jawaban dari dunia tua dibelakang sana, dan juga aku masih ingin sehat karena besok pagi, kamerad-kameradku mengajakku berpesta membakar semesta. pergilah sebelum aku melumatmu dengan nyanyianku!! Demam menggigil laksana sajak menyengatku, tubuhku tersungkur jadi bodoh layaknya pengecut yg bersembunyi dalam selimut!! jimm morris tak pernah datang menyelamatkanku hanya sayup suara dari computer tua menertawakan ketidakberdayaanku: poster bisu di-dinding kamar, kalender, jam bekker, bantal, guling juga korden jendela seakan mencaciku dengan semua ini- ada-ku seperti dekat dipintu kubur dan tiada-ku berusaha mengusir mimpi yang terlambat datang, panas.. dingin.. panas.. dingin!! dua eksitensi yang menghampiriku bersamaan - meminta airmataku- demam ini ternyata lebih perih dari kelamin bernanah dibibir pelacur! aku belum menginginkan pusara, masih kuinginkan tawa dan canda hari diantara arus waktu dan hidup juang, aku masih ingin menari menyembah diriku, menyebarkan perih di-jalanan, meski kelam dan geliatku remuk, barangkali neraka menyapaku dalam sakit.
Mendadak…
Ketenanganpun menyusup perlahan ketika seraut wajah manis muncul didepan pintu, wajah mu yang dulu, yang mengingatkanku saat kita masih begitu bocah, begitu tulus, pada semua hal yang kita percayai: saat bunga-bunga masih indah bermekaran dan senyum orang-orang seramah embun pagi; saat bumi belum begitu panas dan orang-orang masih saling perduli, ternyata masih juga kutemui ketulusanmu di sesak sakit ini, lalu, bibirmu menguak” bangunlah, sudah tak ada lagi rasa sakit, baru saja ku berikan sesajen pada tanah untuk memberimu kekuatan hari ini, larilah, matahari sudah semakin tua, kuncup mawar tak lagi bisa menunggumu merekah”
kuraba nadiku- demam ini masih ada- tapi optimismemu adalah guyuran hujan yang diimpikan para pengelana, dorongan bawah sadarmu lembut kurasakan bahkan dalam pengertian yang paling sederhana, keyakinanmu, sugestimu seperti menguburku dalam romantisme revolusi. Tidak semurah janji-janji politikus!! Akhirnya, sakit ini justru menyatakan diriku ditempat semula. sampai juga aku mencium tuhan setelah berabad-abad gagal melakukannya, tuhan-tuhan yang lain tak akan lagi menakutiku! tidak bagimu, satu-satunya yang ingin kuyakini hanyalah keberadaanmu yang ternyata masih begitu setia ada dan mengada disisi setapak jalanku, diantara tipis perih dan senyum, didalam sesat, sesak , kau masih ada dilingkar hidup dan jiwa berontak laki-laki bangsat ini….
besok aku akan sembuh dan sehat kembali
Sunday, 1 November 2009
"Demam ini Seperti Puisi!!"
11:53
EL Hendrie
Artikel Terkait
0 komentar:
Post a Comment