Introduction!
*catatan ini merupakan catatan pembuka pada artikel berjudul sama yang saya tulis dan terbit majalah urgensi.
Ketika telinga publik terlelap dalam nina-bobo musik dominan, kecenderungan yang terlahir dari industri musik kita yang sekarat, semakin hari semakin seragam. Lalu terbesit kegelisahan banyak orang yang miris melihat perkembangan musik dalam negeri. Helaan napas sinis muncul dari ruang-ruang gelap, serupa jeritan hingga berubah menjadi keputus-asaan dan itu lebih menakutkan dari sikap pesimis. Musik rock mati suri!! Silogisme itu lebih mirip pernyataan bukan lagi pertanyaan, hal yang akan di iyakan oleh banyak kalangan, tentu saja dengan alibi masing-masing. Tiba-tiba muncul bayangan seorang laki-laki macho dengan rambut panjang, sepatu boot, jeans ketat tanpa baju, tatto, pierching juga gelang dan kalung besi lalu meraungkan gitarnya dan sang vokalis berteriak sambil menunjukan jari tengahnya di iringi pedal drum yang supercepat menghentak-hentak diatas panggung. Inilah musik rock dalam kacamata mainstream, begitu liar, begitu maskulin. Image itu dikontruksikan selama berabad-abad merasuk dalam kesadaraan lalu melahirkan persepsi meski kadangkala muncul pengecualian tetapi itu tak selalu bisa di terima khususnya di negeri ini, dimana laki-laki hampir menjadi segalanya, lalu bagaimana dengan para wanita? layakkah mereka ikut meramaikan kerajaan musik rock yang hingar bingar, masih pantaskan mereka ada di ruang pengap penuh asap dan ramai orang bermoshing ria. Apa mereka cukup kuat berdiri menunjukan eksitensinya yang bisa saja justru lebih gahar dari distorsi gitar jutaan watt. Tanda tanya ini telah lahir dari panggung yang lelah, buku sejarah bisa saja hilang dan terbakar namun kenyataan tak bisa dipungkiri walau kematian mengintip di balik pintu.
Kisah ini bermula nun jauh disana, sebelum Amy Evanescence menguasai panggung musik era milenium, sebelum album Avril Lavigne membuat laki-laki diseluruh dunia tergila-gila, jauh sekali bahkan jauh sebelum rekaman rock pertama milik Chuck Berry dirillis oleh Chess Record. Adalah sesuatu yang pasti bahwa bintang-bintang blues awal ternyata di kuasai oleh para wanita. Hal ini bukan rahasia yang di ungkap oleh Richie Utenberger dalam tulisannya yang berjudul “Classic Female Blues Singers”, ini seperti kotak pandora yang lapuk di makan usia dan yang jauh lebih pasti kiranya lagu Crazy Blues yang direkam oleh penyanyi wanita Mamie Smith pada tahun 1920 adalah rekaman komersial pertama dari apa yang kemudian dikenal dengan nama blues sebagai akar musik kontemporer. Rekaman yang terjual 75.000 eksemplar di bulan pertama itu ternyata rillis sebelum Elvis Presley menggoncang dunia. Sukses Mamie Smith membuka pintu bagi perempuan lain, sebut saja: Ida Cox, Sippie Wallace, Victoria Spivey, Lucille Bogan, Bessie Smith, Ethel Waters dan Alberta Hunter adalah beberapa nama yang cukup terkenal, hingga memuncak pada Janis Joplin dan Tracy Nelson yang menggemparkan dunia di dekade tahun 60-an. Ritchie Utenberger dalam tulisannya malah berani menyebutkan nama-nama perempuan di dekade tahun 40-an dan 50-an yang bernyanyi dengan gaya yang mendekati atau memasuki rock & roll, penyanyi R & B seperti Faye Adams, Big Mama Thornton, dan Big Maybelle, beberapa lainnya memainkan piano boogie, seperti Camille Howard, Ruth Brown dan Laverne Baker yang direkam oleh label Atlantik, mereka dianggap sebagai penyanyi perempuan paling penting yang berpartisipasi dalam transisi R & B menuju rock & roll. Wanita di rockabilly relatif jarang -Sparkle Moore dan Janis Martin adalah nama-nama yang hanya diketahui sedikit sekali orang. Wanda Jackson bisa dibilang sebagai penyanyi rockabilly terbaik dengan suaranya yang serak, agresif dan liar. Era British Invasion juga mencatat nama-nama penyanyi perempuan yang turut berpengaruh seperti; Shirelles, Little Eva, Dusty Springfield, Lulu, Marianne Faithfull dan sebagainya.
Selain Janis Joplin dalam The Big Brothers & Holding Company, tercatat beberapa nama perempuan hebat yang tergabung dalam band laki-laki seperti Maureen Tucker drumer Velvet Underground, Honey Lantree dari The Honeycombs, Grace Slick vokalis Jefferson Airplane lalu kita bisa menemukan beberapa nama lain yang berdiri sendiri seperti Suzi Quatro, Lita Ford, Patti Smith, Deborah Harry, Siouxsie Sioux, Joan Jet, Bjork, Sinead O conner, Hanin Elias dan masih banyak lagi dari generasi mereka yang pantas untuk di bingkai dengan emas padahal era kegemilangan Motown dengan The Supremes, The Marvelettes, Martha & The Vandellas belum juga padam. Barangkali Mamie Smith tidak sempat membaca buku The Second Sex milik Simone de Beauvouir namun rekaman komersialnya sangat berharga karena memberi warna pada sejarah kemegahan perempuan yang secara tak langsung menunjukan tanda bahwa perempuan sebagai pioner ternyata sudah ada dalam ranah musik justru sebelum buku The Second Sex yang fenomenal itu terbit ditahun 1949. Persoalan feminisme jelas akan membuka ladang ranjau perdebatan pun dalam ranah musik. Beberapa kritikus dan pendengar bersikeras bahwa wanita tidak boleh dihakimi hanya karena jenis kelamin semata tetapi harus di lihat dari kualitas musikalitasnya karena itu yang terpenting. Lainnya menyatakan bahwa apresiasi unsur feminin dari musik mereka perlu diperhitungkan terutama bila mengingat peran perempuan baik dalam industri musik maupun dalam struktur masyarakat telah sering ditindas dan kurang terwakili. Ini tak diragukan lagi padahal fakta jelas menunjukan bahwa perempuan telah mengambil peran yang cukup besar terhadap progresifitas musik dunia.
Merespon semua kenyataan tersebut tentu akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan di Indonesia?? Apakah kisah emas sejarah musik kita hanya di kuasai oleh para laki-laki, sebut saja Godbless, AKA SAS, The Rollies, Giant Step, Grass Rock, Andromeda, Slank, Jet Liar, Edane dan lain sebagainya yang melukiskan gegap gempita musik rock negeri ini dan di ruangan lain kita juga bisa menemukan Alien Scream, Sucker Head, Rotor, Roxx, Grausig, Tengkorak, The Idiots, Anti Septic, Trauma, Ritual Doom, Betrayer, Adaptor dan lainnya. Dapat dipastikan bahwa nama-nama itu tercatat dalam tinta emas ensiklopedia musik dalam negeri, petualangan musik mereka serupa bara api yang membara sepanjang zaman ini berjalan. Eksitensi mereka mau tidak mau semakin memperteguh kemaskulinan laki-laki dalam kerajaan musik rock.
Sedikit sekali dari generasi ini yang mencium fakta bahwa sejarah musik indonesia tak hanya tentang para laki-laki Didekade tahun 60-an, pernah ada Dara Puspita yang agresif berjingkrak-jingkrak di atas panggung, di era yang sama saat Led Zeppelin dan Deep Purple mentransformasikan rocknroll kedalam bentuk yang saat ini di kenal dengan Heavy Metal. Sebelum musik metal melahirkan beragam varian. Dara Puspita sudah duluan berkibar bahkan sebelum Steppenwolf band dari Kanada menulis kata Heavy Metal dalam lagunya Born To Be Wild. Dara Puspita merupakan band yang tepat dikatakan sebagai pelopor eksitensi band-band perempuan di Indonesia selain fakta bahwa show 3,5 tahun mereka di Eropa menjadi catatan sejarah paling fenomenal dalam ranah musik negeri ini. Selain Dara Puspita kita bisa menemukan The female, Yanti bersaudara, The Beach Girls. Medio tahun 70 hingga 80an juga pernah mencatat The Orchid yang melambungkan nama Silvia Saartje, ada juga Aria Yunior, Antiq Clique band, beberapa nama seperti: Nicky Astria, Atick CB, Reny Jayusman, Mel Shandy dan masih banyak lagi. Mereka adalah gambaran perempuan Indonesia dalam musik rock walau mungkin pengkategorian rock zaman itu tak lagi bisa didefenisikan sama untuk hari ini dan ketika musik rock mengalami pancaroba dengan beragam genre serta varian-variannya, negeri ini juga melahirkan generasi rocker perempuan yang memainkan musik extreem, dari death metal, thrash metal, hardcore, punk rock dan sejenisnya, tercatat pada medio tahun 90, beberapa band yang digawangi perempuan seperti Toilet den— band yang sering mencover lagu-lagu The Misfits ini kemudian diklaim sebagai band perempuan pertama dalam scene musik underground pada paruh 90-an, kemudian ada Joystik, band ini diperkuat Acir Lazuardi sebagai gitaris sekaligus vokal, didampingi Kristin dan Indah. Lalu ada Toxic, Scrath, Wondergel, Punktat dan beberapa lainnya hingga kemudian banyak dari band-band itu membelah diri lalu memunculkan nama-nama seperti Viska Vivi Selviana yang menjadi gitaris Ritual Doom bersama tandemnya Yuli, ada Niken yang menjadi Guitaris Adaptor, Jill dari Stepforward, Rince dari band Gelap, Ferika Orchid vokalis Hidden, Hooker dan Es Coret, Rika Dreamer, Cindy Fatikasari Galery, Belakangan terbit Prissa Adinda gitaris muda dari Vandetta, Tashea Nicole Delaney vokalis sekaligus gitaris Painkiller. Begitu banyak nama yang akan terbit serupa matahari pagi lalu sejarah pun tercipta!
Perdebatan feminisme jelas akan menimbulkan banyak perpektif namun penegasan bahwa perempuan dalam musik rock bukan sesuatu yang tabu, sebaliknya merupakan keragaman yang harus di beri ruang yang sama dengan laki-laki. Agresifitas, keliaran di atas panggung adalah salah satu cara mengapresiasikan diri dan hal tersebut berlaku sama karena teory apapun sulit menyangkal bahwasanya musik rock tidak mengenal perbedaan!
*lebih lengkapnya ada di majalah urgensi
Artikel Terkait
0 komentar:
Post a Comment