Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Friday 22 April 2011

SEBELUM KIAMAT, BAWAKAN RINDU YANG KUPESAN SEMALAM #pledoi nihilstik#


Hujan deras dari sore, suara yang jatuh ketanah seperti bunyi ketukan nada dengan tempo cepat. Hujan yang menjelma katakata membawa banyak hal tertuang di atas kertas. Essay-essay yang belum sepenuhnya kuselesaikan, perlu beberapa kaleng Heineken untuk membuatnya menjadi menakjubkan. Meski demikian, aku pilih menginap dikediaman para petualang, setengah jiwaku berlari ditengah gelisah yang mengetuk pintu kalam 03.30 dini hari menjadikanku nyala api dalam hujan yang basah...



Kebosanan adalah kejahatan yang paling mengerikan- kata seorang pecundang lama –Baurdilard-



Hey.. apa kabarmu disana??

Pertanyaan itu terus mengejarku sejak pagi, kuyakinkan diri bahwa tanganmu sedang keram hingga tak satupun pesanku terbalas. mungkin kau sedang sibuk? Menghitung bunga bank, menganalisa pergerakan saham, mengkalkulasi penjualan property atau bisa saja kau sedang sibuk mengatur jadwal rendezvous dengan pacar gelapmu.. persetan! aku hanya ingin mempercayai tanganmu keram, hmm.. pulang kantor, aku akan mampir ke apotik dan membelikanmu salep anti keram, agar jemarimu tak lagi bandel dan mau membalas pesanku.. hoho! ;)



Ada rindu disini, menyelinap kedalam paru-paruku, seperti penyakit menggerogotiku menjadi pupus, bagai tikus dikantor milik pemerintah! Perlahan-perlahan menggeliat didarahku, memanggil-mu dalam lagu paling sentimentil, anggap saja seperti rintihan para pencari tuhan. Dari kemarin, kulepas kau mengembara mengikuti rintik hujan, merontokkan dirimu sendiri pada jalan-jalan basah. Kau mencipta jarak, di saat yang sama, kau juga membuat dirimu jauh dari dirimu sendiri, di dekatmu, di dalammu. Jauh dari diri kita masing-masing, mengakrabi keabadian, pada sesuatu yang tak ternamai, nanar dan tak tertundukkan –Keterasingan!



Aku tahu…

Kita menghadapi perang yang sama, mempraktekan hidup setiap hari hampir tanpa warna, rutinitas kerja yang mengambil banyak waktu bahkan untuk tawa dan canda begitu mahal, ironisnya: kita tidak memiliki banyak pilihan atas diri kita, barangkali sebenarnya kita ini tidak sedang hidup, hanya sekedar mempraktekan kematian..

Mungkin kamu bosan mendengar kata-kata bersayapku! Sudahlah, anggap saja aku seorang tak waras yang menertawai kewarasan.. Aku berharap kebosananmu sama seperti kebosananku, bosan dengan para politikus, musik di radio atau jenuh dengan para kritikus bola, betapa jahat kebosanan itu, dan adakah yang lebih subversif dari rasa bosan? akh, siapa yang percaya? bukankah kita ini hidup dalam kebenaran yang sudah ada sejak berabad-abad lampau, bernapas dalam logika mereka, juga hidup dalam bau dan bunyi-bunyian mereka.



Everyone will die but not every one truly live – Wiliam Walace on the movie braveheart





Saat ini, aku dan kau rebah, dilebur ketiadaan dimana kita hanya terhubung oleh kata, dimulai dari sepotong kenangan sederhana dibulan april tahun lalu. Ketika masa muda dirayakan, saat itu cinta menjadi satu-satunya yang suci didunia yang berdosa. Mengenang semua itu, aku beresiko gila, aku harus menyusuri kisah-kisah tak bernama itu dan menggali lagi lamunan-lamunan paling berbahaya didalamnya,

Semoga aku tetap tak sadarkan diri sampai tulisan ini selesai..





“Apa yang kau banggakan dari kehampaanmu?” tanyamu menggelombang dihatiku..

Aku hanya tertawa mendengarnya, sumpah demi iblis! aku tak ingin memperpanjang perdebatan diantara kita yang kuyakin tak akan menemukan ujung.

“Kehampaan itu bukan ketiadaan tapi kosong dan kosong bukan tak ada tapi negasi dari ada”

Kau terdiam, dan angin pun seakan malas berhembus disekitar kita.

“picik sekali” ucapmu. “Sudahlah, terima saja keadaan ini! apa yang kau cari?kebebasan? Apa kau pikir kau bisa bebas? Kebebasan itu takhayul” tukasmu

“apa bagimu aku ini seorang pendosa?”

“mungkin, karena aku tidak tahu apa yang kau inginkan dan apa tujuan dari hidupmu?”

“Bertahan hidup” jawabku singkat.



“Mungkin satu-satunya cara adalah kembali meniti jalan tuhan?” kau mendesis seperti ular.

“apakah tuhan itu?” aku bertanya menuju kedalaman pikiranmu.



“Sebentuk logika dari langit? Ataukah sekumpulan ilusi yang menyerupai mitos?”

Kau hanya menatapku sekilas, lalu mengalihkan dua biji matamu menuju tempat lain, aku bisa merasakan pergumulan dalam dirimu, setiap sudut yang kau ciptakan mengungkap banyak fakta yang tak mampu kulukis dengan kata-kata.

“Begitu bodoh, mereka yang tidak percaya tuhan!” desismu.

“Lebih bodoh lagi mereka yang mengaku percaya tuhan untuk membenarkan ketidaktauan mereka”

“terkutuklah mereka yang menolak keberadaanNYA!”

“Lebih terkutuk mereka yang suka mengatasnamakannya untuk menghakimi orang lain” cibirku.

Mereka bisa saja meledakan seluruh isi bumi dengan bom, granat atau nuklir, mereka mungkin akan ditakuti dengan itu tapi tidak akan membuat mereka dipercaya.



“aku tahu, begitu sulit bagi kita untuk bicara kebebasan didunia penuh dosa ini, dimana moralitas menjadi ukuran bagaimana manusia menolak keberagaman orang lain”



Kau lalu menjauh berbusana kelam, menembus selubung cahaya. Beringsut ke belakang. Seakan membiarkan cahaya menerangi bayang-bayang pepohonan, menari-nari di tengah angin, dihadapan jendela tak berdaun disisi kalender…



“Sejarah bukanlah drama moralitas tentang “yang luhur” dan “yang berdosa”, bukan sekedar pertentangan “yang lain” dan ‘yang sama’. Sejarah juga bukan hanya berisi pertentangan kelas antara buruh dan majikan. Keseluruhan dari sejarah adalah apa yang manusia lakukan!”



“Artinya?” kau bertanya dengan tatapan marah..

“Apa gunanya kau bicara tuhan jika kau melupakan kemanusiaanmu! Apa gunanya kau mengagungkan tuhan jika kau gagal dalam hubungan-hubungan sosialmu, apa gunanya kau selalu merayakan ritual jika disisi lain kau membuat orang lain kelaparan”

Kau hanya terdiam, menyembunyikan kemarahanmu. Aku tahu kata-kataku barusan semakin memperlebar jarak antara kita.

“ tuhan itu sombong dan dia tidak perduli kau memujinya atau tidak? kekuasaannya tidak akan berkurang dengan itu. Dia tidak butuh kau untuk menegakan syariat2nya" ucapmu serak.

"lalu bagimu, apa ada artinya mereka yang berbeda?” sambungku bertanya.

hening...

“apa yang kau miliki” tanyamu setelah hampir 10 menit kau terdiam.

“imajinasi dan aku merdeka didalamnya”

“apa itu caramu mengusir rasa bosan? Atau jangan-jangan kau hanya bersembunyi dari dunia yang kau tolak, akui saja, kau, aku dan kita semua sudah kalah” tuturmu berapi-api.

“ dengan bangga aku bisa bilang, aku tidak kalah! Saat ini aku hanya sedang bersetubuh dengan rasa bosan” kataku.

Kau terperangah, menatapku tengadah.





“nihilistic!” teriakmu menggelombang.

“romantic” sambungku



Sudahlah, mari kita bicara tentang manusia, dan bumi.

Kau melempar pandangan ke arah luar jendela, seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang.

aku hanya bersenandung, memastikan bahwa hanya akan ada sesuatu yang datang untuk kita;

waktu.





Sesungguhnya, tak ada peristiwa dalam sejarah yang tidak bisa diganggu gugat, tak ada peristiwa dalam sejarah yang tak bisa dipertanyakan! Belajarlah untuk berbeda.. ini bukan amerika, bukan kuba, bukan inggris, bukan arab, bukan roma, bukan jerman!

Ini Indonesia. disini, ungu, kangen band, peterpan, radja, armada dan rekan-rekan sejenisnya sedang mendulang sukses…



Jalan itu berdebu, berkarat dan sesak…Jalan yang setiap hari kita lalui, entah berapa banyak peristiwa yang terjadi disana, ragam kata yang melukiskan kemegahan jalan-jalan itu…Seperti hari ini.. Aku melihat jalan itu dengan nanar’ kau sudah tak ada lagi disana, namun dunia akan terus melangkah seperti mesin-mesin industri yang membangun kerajaan capital, pergerakan mesin-mesin yang menopang peradaban juga mengukuhkan rezim dan dinasti, mengeksploitasi alam… mereka hanya berhenti saat dunia ini sudah tak lagi layak ditinggali –

Kiamat

Artikel Terkait

1 komentar:

Anonymous said...

Sesekali kita emg perlu mempertanykan banyak hal, karena tdk semua yg kita percaya itu bener.
Seru!