Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa perkembangan sejarah bukan hanya ditentukan oleh kemajuan intelektual maupun progresifitas teknologi. Gerak kesenian sebagai budaya rakyat juga turut serta memberi andil pada gerak laju sejarah. Item-item estetika murni sangat mempengaruhi manusia menemukan arah kemanusiaannya. Diruang itu, rakyat sebagai individu merdeka mengembangkan kreatifitasnya, mengekspresikan diri sebagai manusia bebas lalu berinteraksi dengan otoritas diluar dirinya baik itu individu lain, lingkungan sosialnya maupun dunia sebagai kosmos yang menaunginya.
Kesenian sebagai wahana yang menjembatani rakyat dalam hubungan social tanpa fragmentasi yang kemudian bermetamorfosa sebagai sebuah media yang menerangkan visi dan misi kehidupan bermasyarakat yang didalamnya, setiap individu berhak mengapresiasikan dirinya dalam kerangka moral yang disepakati bersama secara spontan, tanpa intervensi maupun represi dari hirarki kekuasaan. Seni rakyat merupakan pranata rakyat yang otonom karena lahir dari bawah, taman indah rakyat yang terlindung dari tatanan resmi para elite, baik itu raja, negara, pemilik modal atau kepentingan-kepentingan lain. Lebih dari itu, Kesenian juga mampu memanifestasikan kondisi sosio histories suatu masyarakat dalam arti bahwa masyarakat yang sakit akan menghasilkan kesenian yang bersifat desktruktif pun sebaliknya.
Kesadaran murni rakyat dalam melihat budayanya sendiri menjadi ambivalen ketika kepentingan-kepentingan modal masuk dan mendistorsi ruang kesenian dalam kubangan lumpur kotor komersialisasi. Dititik inilah, kesenian rakyat direduksi menjadi budaya popular yang diproduksi massal dengan tujuan-tujuan profit. Dengan fakta tersebut, rakyat tidak lagi menjadi individu merdeka tapi hanya dijadikan sekedar komoditi, sebatas fungsi semata dalam proses produksi. Ketika seni rakyat dirampok dalam hitungan-hitungan laba-rugi, seni itu tidak lagi otonom tapi berubah wajah menjadi kekuatan represi yang mengintegrasikan kepentingan modal juga politik kedalam seni rakyat.
Berbanding terbalik dengan seni rakyat yang mengakar dari bawah, Budaya popular (seni popular) justru berasal dari atas karena dibentuk oleh usahawan (pemilik modal) dengan memanfaatkan para ahli (seniman). Khalayaknya adalah konsumen pasif yang bernapas dalam kesadaran palsu. Individu yang awalnya merdeka dalam mengejawantahkan ekspresi keseniannya kini dirampok hingga terisolasi, teralienasi karena peran mereka sebatas membeli atw tidak membeli…. Ironis!!
Industrialisasi kesenian kemudian melahirkan perangkat-perangkatnya yang berdiri untuk mendukung dominasi pemodal dalam memanipulasi watak seni rakyat. Munculah media massa popular yang kelahirannya merupakan konspirasi terselubung pemilik modal yang bertujuan membantu memaksakan produk-produknya ketenggorokan rakyat. (harap dibedakan antara pers popular dan media massa ideologist yang berpihak pada seni rakyat, atw antara jurnalis popular yang jelas berorientasi uang dan jurnalis ideologist). Kehadiran media massa popular semakin mereduksi nilai-nilai seni rakyat kedalam struktur kekuasaan. Karya seni kini mulai dipertanyakan orisinalitasnya juga keberpihakannya. Kegeniusan sang seniman yang awalnya berkarya diluar batas pasar komersial kini dipaksa masuk dalam jaring konsumerisme. Seni rakyat akhirnya ternegasi dalam oposisi biner antara criteria komersial melawan kemegahan artistic, atw antara rangsangan intelektual melawan kesenangan popular. Media massa popular sebagai alat pemodal juga berperan aktif dalam menebarkan kesadaran palsu bagi rakyat. Dengan kekuatan iklan, promosi yang gencar yang menghapus batas wilayah, media massa tersebut berhasil membentuk opini public. Realitas yang terbangun tidak lagi murni dari rakyat tapi turun karena instruksi dari atas. Media massa kemudian menggiring rakyat yang tadinya bertindak sebagai seniman bebas masuk kedalam kesadaran palsu yang abstrak karena hanya berdasarkan kontrak keuntungan. Sekali lagi, rakyat hanya dilihat perannya sebagai komoditi!!
Gambaran yang terbangun adalah sebuah kerumunan massa yang mengkonsumsi nilai estetika tanpa berpikir, tanpa merenung, menangguhkan segala pemahaman kritis dengan mengadopsi semuanya sebatas dipermukaan luar hanya karena gencarnya tawaran iklan. Bujukan manipulatif media massa popular ini akhirnya membawa rakyat menuju jurang ketidaksadaran. Semua yang nampak hanya kesadaran palsu hasil kolaborasi media massa dan pemilik modal. Maka terjadilah penyeragaman selera, dimana setiap individu tidak lagi memiliki batas utk subjektifitasnya. Semua dilihat dari persepsi umum. Budaya tinggi pun akhirnya hadir membentuk watak dan moralitas budak bagi individu-individu yang awalnya merdeka. Penyeragaman selera tersebut lalu meminta konsekwensi pemodal melakukan recovery technology untuk memproduksi secara massal budaya (seni) dengan melihat rakyat sebagai massa yang berkerumun bukan lagi individu yang merdeka. Semua produk budaya kesenian akhirnya diproduksi besar-besaran dengan mengembangkan formula yang lembut, standar untuk menarik setiap orang karena rakyat dilihat sebagai massa yang berkerumun dan terbuka untuk dimanipulasi. (lihat genre musik popular yang saat ini berjaya di industri musik Indonesia, semuanya seragam, sama dan monoton). Selama individu diorganisir sebagai massa berkerumun, selama itu pula identitas dan kualitas kemanusiaannya juga hilang. Dengan demikian, tidak perlu lagi diragukan bahwasanya industrialisasi produksi massal tersebut tidak bisa diharapkan menjadi budaya (seni) yang otentik, merdeka atau partisipasi kebebasan sebagaimana yang bisa dilakukan oleh budaya (seni) rakyat. Budaya (seni) popular hanya datang berdasarkan kebutuhan pemodal.
Media massa sebagai kacung pemodal juga sangat bertanggung jawab dalam menebarkan racun tersebut. Rakyat yang direduksi menjadi massa semakin abstrak dalam kesadaran palsu. Individu merdeka yang menjadi massa ini, menikmati kesenian popular dengan emosi dan kepekaannya yang dimanipulasi, kebutuhan dan hasratnya didistorsi agar harapan dan cita-citanya dieksploitasi demi kepentingan konsumsi. Media massa popular melakukannya melalui dramatisasi ditingkat permukaan, fantasi-fantasi, impian-impian yang menyesatkan arah dan kekritisan individu merdeka yang sebenarnya merendahkan martabat kebebasan. Ironisnya rakyat sebagai otonom pembuat, penikmat seni tersebut masih asyik beronani dalam kesadaran yang termanipulasi!!.
Perkembangan selanjutnya adalah ketika Negara, elite-elite kekuasaan bersetubuh dengan pemodal dalam memanfaatkan media massa popular untuk melanggengkan kekuasaanya. Budaya dan seni rakyat yang telah tersubversi menjadi budaya massa lalu digunakan sebagai alat kontrol kesadaran. Diatas sudah gw singgung bahwa kesadaran kritis rakyat sudah tidak bisa diharapkan lagi akibat racun budaya popular yang menghancurkan otonomi individu. Dititik ini, Negara dengan mudah menjejalkan doktrin-doktrinnya kedalam mulut massa. Propaganda kedalam budaya popular menunjukan potensi bagi kaum elite memanfaatkan media massa popular untuk mempersuasi, menjajah, mengeksploitasi rakyat lebih systematis. Dengan mengendalikan lembaga-lembaga kekuasaan, mereka kemudian juga ikut mengontrol kesadaran yaitu selera rakyat demi memastikan dominasinya yang terus menerus. Seni yang awalnya merdeka kini menjadi budak yang menghamba pada kekuasaan dan pemodal. Kerangka moral seni rakyat (moral yang gw maksud adalah pranata merdeka yang disepakati bersama) akhirnya tercerai berai dengan hanya berpihak pada hirarki kelas dan status social. Selera yang seragam tersebut berhasil menghancurkan hubungan antara individu. Dimana individu mandiri dibentuk menjadi kekuatan massa dengan control terpusat. Disini, individu terbuka dalam menerima kekuasaan persuasif, manipulatif dan represif!! Kekuasaan, hirarki dan pemodal akhirnya merayakan kematian seni rakyat dengan suka cita.
Atas semua argumen-argumen yang singkat ini, siapakah yang bisa menyangkal bahwa ternyata budaya popular termasuk didalamnya musik top forty memang diperuntukkan untuk indoktrinasi terhadap individu merdeka menjadi kumpulan massa selayaknya kambing dipadang rumput. Elite-elite kekuasaan bersama kolega abadinya yaitu kapitalis (pemodal) memanfaatkan budaya popular demi untuk tujuan control agar rakyat yang jadi massa itu mengikuti gagasan, nilai-nilai untuk memastikan dominasi mereka, penjajahan mereka, eksploitasi mereka atas rakyat merdeka. Budaya popular mereduksi kesadaran kritis menuju moralitas budak.
Atau dengan kata lain......................
..........Budaya Popular Mencakup didlmnya Industrialisasi Kesenian, -Musik Top Forty, Film2 popular diTwenty One juga Media Massa Hiburan… Merupakan satu Bentuk Indoktrinasi kaum Kapitalis dan Kolega Abadinya (elite kekuasaan) utk memaksakan Gagasan, Nilai2 atw Hegemony mereka didlm Kesadaran kita, sebagai Kekuatan Kontrol yg Memastikan Dominasi mereka yg terus menerus atas kita. Penjajahan mereka atas kita. PERBUDAKAN MEREKA Atas KITA!!....................
Generasiku meminum racun budaya popular lewat media massa.
Selamat dan sukses buat pemodal dan hirarki kekuasaan atas tragedy kematian seni rakyat!!!
TEPUK TANGANNNNNN ……………………………………….
1 komentar:
sebuah diskusi filosofis!
Post a Comment