Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Thursday 14 May 2009

The Ideology Of RocknRoll..... ”Sejarah Perbenturan Pemikiran dari masa ke masa"

“Saya tidak menyarankan anda menonton film2 bertema realita dan rocknroll, karena itu bisa saja pembodohan. Saya juga tidak menyarankan anda membaca sejarah musik dari persepsi media mainstream karena itu bisa jadi asumsi. Saya hanya menyarankan anda untuk menginterpretasikannya sendiri, membuat lagu sendiri lalu menciptakan sejarah sendiri”



I. CATATAN PEMBUKA

Kesenian sebagai bagian dari kehidupan manusia, merupakan salah satu wahana aktualisasi diri individu, renungannya terhadap sosio-historinya juga simbol dalam menyikapi segala sesuatu. Ekspresi kesenian selain berfungsi sebagai media hiburan, pencerahan/pendidikan juga bisa menjadi sarana komunikasi. Seni yang dipagelarkan selalu berhadapan dengan langsung dengan publik, tentu saja menjadi jembatan dalam menyebarkan gagasan-gagasan.

Apa sebenarnya hakekat seni?!?
Plato seorang filsuf Yunani memahami seni sebagai tiruan dari dunia ide sementara Aristoteles memahami seni sebagai tiruan atas dunia alamiah dan dunia manusia. Berbanding terbalik dari dua pemikiran diatas, Hegel merumuskan seni sebagai manifestasi yang absolute terhadap diri seorang seniman. Kesenian tidaklah mutlak fenomena manusiawi. Bagi Hegel, seni bukanlah tiruan dari dunia ide. Subjek pada seni bukanlah diri seniman tetapi roh yang absolute merasuki sang seniman dan mendorongnya untuk berkarya tanpa sang seniman menyadari sepenuhnya mengapa ia menghasilkan karya seperti yang dihasilkannya. Inilah menurut Hegel seni berada diluar kesadaran rasional. Sedangkan Nietzsche mendefenisikan seni sebagai pemuasan hasrat-hasrat jiwa. Ilusi dunia impian menjadi sumber inspirasi bagi seni dan daya kreatif. Nietszce menggunakan distingsi jiwa Apollonian dan Dyonisian untuk menganalisa bentuk kesenian. Dalam kebudayaan Yunani kuno, Apollo dipercaya sebagai dewa mimpi yang menampilkan sifat-sifat yang teratur, harmonis, seimbang juga penuh kontrol diri. Sedangkan Dyonisian dianggap sebagai dewa anggur dan kemabukan dan sering diasosiasikan dengan seks, cinta juga musik. Seni yang berjiwa Dyionisian ialah seni yang penuh gairah dan hasrat menggelora, menggebu-gebu, tidak teratur dan sering kali destruktif. Berbanding terbalik dengan seni Apolonian yang teratur dan harmonis.

Sigmund Freud, seorang Psikoanalisis menggambarkan seni sebagai bentuk fantasi yang diekspresikan dalam bentuk yang bisa diterima oleh lingkungan. Seni bagi Freud adalah fantasi yang dialihkan kedalam realitas, sublimasi dari prinsip kesenangan yang mendapatkan pemenuhan dalam fantasi. Sebagai seorang psikolog, Freud menekankan peran alam bawah sadar dalam memberi warna pada estetika. Konsepsi mengenai seni memiliki keragaman sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi umumnya menyangkut hal-hal seperti proses kreatif dan pengalaman-pengalaman subjektif. Selain sebagai pelepasan hasrat, hoby juga sarana perjuangan. Konsep tentang seni sebagai ekpresi tidak selalu dibahasakan secara sama. Ada yang membahasakannya dengan imitasi seperti “Aristoteles”, sedangkan “Tolstoy” membahasakannya sebagai representasi /komunikasi, ada juga yang beranggapan seni sebagai objektifikasi atau seni sebagai penjelmaan, simbolisasi dan lain sebagainya. (*Mudji Sutrisno, Teks-teks Kunci Estetika). Meskipun istilahnya berbeda-beda dan mungkin agak rumit untuk diulas secara spesifik, namun semua itu mengacu pada satu penegasan bahwa ekpresi kesenian bukan melulu ekpresi tentang diri pribadi, bukan ekpresi dari perasaan-perasaan actual pribadi tetapi ekpresi dari pengetahuan tentang perasaan-perasaan manusia secara umum. Jadi ekpresi kesenian bukan sekedar pelepasan emosi pribadi namun sebuah ekspresi artistic dari kualitas-kualitas emosi yang berinteraksi dengan pengalaman. Sebuah gambaran mental atau pengejawantahan emosi secara umum yang dilahirkan kreator (seniman) dalam membahasakan pengalaman subjektifnya. Ketika kreatifitas itu diwacanakan ditengah public maka seni itu sudah tidak lagi memiliki independensinya. Tergantung bagaimana penikmat menerima kesan yang ada didalamnya dan tentu saja tidak akan pernah bisa dipaksakan harus sama dengan keinginan penciptanya. Mengekpresikan suasana hati atau perasaan sedih dalam lantunan musik tidak sama dengan membangkitkan suasana hati pendengarnya. Tidak selalu akan sukses membuat orang lain ikut merasakan kesedihan itu. 

Secara umum kesenian adalah proses kreatif seniman dalam renungan intuisinya, kepekaan nuraninya ketika berhadapan dengan problematika masyarakat, persoalan-persoalan hidup ataupun gugatan rasa religiusitas, idealisme yang dilandasi kejujuran dalam menyikapi segala sesuatu disekitarnya. Seni terpaksa menciptakan bentuk fisik agar dirinya terhadirkan. Ia wajib memiliki bentuk agar mampu dirasakan karena jika gagal, sungguh seni telah menghancurkan tujuannya sendiri.
Berbagai macam bentuk kesenian yang melingkupi kehidupan manusia dan turut memberi andil dalam perubahan sosial. Seni lukis, teater, seni patung, sastra juga seni musik dideskripsikan sebagai media ekspresi, media untuk menuangkan beragam gagasan, bakat bahkan untuk ekonomisasi tetapi tidak bisa disangkal kesenian juga cenderung dijadikan alat untuk sebuah tujuan politik. Karena langsung berhadapan dengan orang banyak maka berkaitan erat dengan stabilitas menurut retorika penguasa. Kemerdekaan berkreasi selalu berhadapan dengan kepentingan penguasa. Kesenian yang berlawanan dengan kebijakan penguasa selalu terpasung bahkan dibumihanguskan.

Manusia tidak bisa hidup tanpa berkesenian, ketika ruang untuk menumpahkan eksplorasi kreatifitasnya terpasung maka individu tersebut akan teralienasi bahkan oleh dirinya sendiri, kehilangan nilai untuk menyempurnakan hidupnya. Kesenian juga merupakan hal esensial bagi hidup manusia. Penciptaan ruang untuk mengaspirasikan kreatifitas kesenian adalah sesuatu yang niscaya bagi setiap orang untuk mengasah intuisinya. Peradaban dibangun bukan saja dengan teknologi. Daya cipta seni turut andil mewarnai perjalanan sejarah.




Sejarah Singkat Rocknroll.

Rocknroll adalah sebuah istilah yang ditemukan Alan Freed, seorang DJ asal Cleveland-Amerika yang memandu acara disebuah radio bertema ”Mondog’s Rocknroll party ditahun 1951. istilah ini belum merujuk pada Elvis Presley dari Misisippi yang diklaim sebagai Raja Rocknroll. (Bandingkan dengan Rilisan Elvis pertama pada Tahun 1954). Bentuk dari istilah ini, sebelum dikuasai oleh band-band Inggris (British Invasion) telah esthalished jauh sebelumnya didada kaum budak amerika. Penindasan dan hirarkis kelas memaksa mereka menyuarakan musik sederhana sebisa mereka. Ketika penghisapan tuan tanah menyatu dalam keringat mereka, saat segregasi rasial merupakan kebenaran tunggal, Revolusi rocknroll dimulai dari perkebunan-perkebunan tersebut. Dalam keringat kaum budak yang menyuarakan kebebasannya. Lahirlah ”Blues” . (*David N Townshend, Changing The World, Rocknroll Ideology and Culture). Blues merupakan peletak dasar dan fondasi paling awal Roots Musicology Kontemporer. Saat musik hanya bisa didengarkan diruang-ruang mewah para tuan tanah dengan anggur dan salsa, kaum budak merevolusi paradigma itu. DJ Alan Freed menggunakan istilah Rocknroll untuk mengganti istilah Rock’n’Rhytem yang terlalu identik dengan musik kaum budak. Saat itu, Pendengar musik kulit putih amerika & eropa belum terbiasa dengan Rock’n’Rhytem, karena istilah itu bagi mereka bertendensi eufemisme budak Afrika dalam gerakan-gerakan seksual. Hadirnya istilah rocknroll menjadi saksi bahwa rocknroll adalah bentuk kompromi kaum putih terhadap musik para budak. Mercusuar diterimanya musik hitam dalam piringan musik amerika!! Atau dengan kata lain sebagai moment sejarah dimana ide-ide anti perbudakan mulai memasuki wacana pemikiran mainstream orang amerika dan eropa!!

Secara musicology, Gelombang pertama rocknroll adalah percampuran antara musik R&B kulit hitam dengan musik Country kulit putih dari selatan. Dimainkan dengan gitar elektrik, piano, saksofon dan dobble bass. Lagu-lagu seperti Blackboard Jungle, Rock around The Clock berhasil menunjukan akan keterbutuhan suatu bentuk musik yang baru karena Jive dan Jitterburg masih merupakan bagian dari gaya musik swing yang lama. Musik ini kemudian cukup subversive dan menjadi trade mark bagi para calon pemberontak. Rocknroll sejak awal dianggap gila dan liar dengan memastikan hubungan kenakalan rocknroll dan pikiran public. Citra ”Sampah dari selatan” tidak menyurutkan rocknroll keselokan sampah malah semakin mengukuhkan eksistensinya dalam pencerahan universalnya!! Dibuktikan dengan gemerlap Gelombang kedua rocknroll yang melahirkan Elvis Presley, Chuck Berry, Eddie Cohrane, Lee Lewis, Gene Vincent, Bill Haley dan lain sebagainya.
Gelombang Ketiga rocknroll bermuara di Inggris sebelum The Beatles dirampok parlophone record’s dan Bryan Jones beserta The Rolling Stones merevolusi style manis flamboyant ala Beatles. Sebelum era emas mereka, Para peniru trend musik amerika ini meningkat dari dunia Skiffle, British Psychadelic yang lalu ditelurkan para impresario seperti Tommy Steele, Clifft Richard, Adam Faith, Bill Fury dan Mary Wilde yang menggabungkan nyanyian bersuara rendah dengan rock dan tampil parade dalam hit. Meski media penyiaran juga pers Inggris memboikot musik ini dengan mengatakan ancaman amerikanisasi namun tidak menghalangi rocknroll bermetamorfosa sebagai salah satu Ikon Perubahan. Rocknroll orisinal selain sebuah genre mutasi juga merupakan gaya musik yang memperkenalkan cemooh pada konvensi-konvensi kuno borjuis yang secara terbuka menyumbangkan sikap, etos libertarian yang genre musikologynya didaur ulang juga dihidupkan kembali pada decade2 selanjutnya. Pada akhir tahun 60-an bentuk-bentuk musik yang terinspirasi rocknroll mewabah di Inggris. (Heavy Metal, Punk, Prog Rock, Hard Rock, Glam Rock Bahkan Folk Rock) (*Jhon Thorne, Fad’s,Fashion and Cults)



II Kultur dan Subkultur yang membentuk Ideology Rocknroll

A. Periode Romantik

Menjelang akhir abad 18, di Eropa terjadi sebuah ledakan sosial yang besar. Kesenian mulai memasuki tahapan yang tak lagi eksklusif. Jika diabad-abad sebelumnya, kesenian, baik seni patung, teater, puisi juga seni musik hanya gunakan sebagai alat pemujaan terhadap sesuatu yang bersifat transenden dalam arti kesenian hanya dipakai sebagai media untuk peribadatan pada dewa-dewa, alam dan sebagainya, maka dipenghujung abad itu terjadi pergeseran pemahaman. Momentum itu dimulai di Jerman. Saat Imanuel Kant mempublikasikan tesis2nya “Das ding an sich” atau dunia diluar persepsi manusia. Bagaimana objektifikasi estetika lepas dari segala atribut akal. Dunia maupun kesenian bebas dari kesan indra manusia. Setelah rumusan itu, berimbas pada pemujaan ego yang besar sehingga terjadi pengagung-agungan jenius kesenian-an. Inilah dalam sejarah dikenal dengan “Periode Romantik”. Seperti halnya zaman Renaisance, kaum romantik juga menyakini pentingnya seni bagi kesadaran manusia. Pada periode ini, kesenian yang dulu cenderung ekslusif disubversi kembali kejalanan. Kesenian tidak lagi hanya milik altar-altar pemujaan namun berkembang menuju alam kesadarannya sendiri. Diera ini, kesenian mengalami kemajuan yang luar biasa. Seni musik, puisi juga bidang seni yang lain mengalami ejakulasi pemikiran. Sambutan masyarakat terhadap kesenian sangat apresiatif bahkan berlebih-lebihan. Ketika “Goethe”, menulis novel berjudul “ Sorows Of Young Wether (1774)” novel yang mengisahkan seorang pemuda yang menembak dirinya sendiri setelah gagal mendapatkan gadis pujaannya. Berimbas pada angka bunuh diri yang meningkat tajam hingga untuk sementara buku itu dilarang beredar di Denmark dan Norwegia. Selain itu, “Johann Gottfried Von Herder” mulai merintis kesenian rakyat dengan mengumpulkan lagu-lagu rakyat dari belahan negeri dan diberi judul “Voice Of People”. Diperiode ini pula, lahir seorang “Ludwig Van Beethoven”, pianis yang musiknya mengungkapan perasaan dan kerinduannya yang otonom, berbeda dengan musisi klasik zaman Barok (Baroque) seperti “Johann Sebastian Bach” maupun “George Frideric Handel” yang menyusun karya-karyanya untuk memuliakan Tuhan dalam bentuk musik yang kaku. (*Jostein Gaarder, Dunia Sophie). Pada jaman Barok, piano belum ditemukan, dan komposisi dikarang untuk hapsicord. Partitur musik di jaman Barok ditandai dengan tidak adanya iringan atau polifoni. Musik Barok lazimnya hanya mencerminkan satu jenis emosi saja. Dibanding dengan Musik Romantik, musik Barok jarang mempunyai modulasi atau rubato. (*Wikipedia, Sejarah Musik). Zaman Romantik dalam sejarah musik Barat berlangsung dari sekitar awal 1800-an sampai dengan dekade pertama abad ke-20. Musik zaman Romantik dikaitkan dengan gerakan Romantik pada sastra, seni, dan filsafat, walaupun pembatasan zaman yang digunakan dalam musikologi berbeda dari pembatasan zaman dalam seni yang lain.


B. Beat Movement.


Sekitar tahun 1952, “Jhon Clellon Holmes menerbitkan sebuah novel berjudul ”Go”. Dalam novel ini ditemukan Istilah ”Beatittude”. Frasa ini kemudian diterapkan pada sejumlah kecil seniman, penulis dan orang-orang bohemian yang aktifitas dan keyakinannya dicatat dalam prosa dan puisi otobiografis, mistis serta eksperimental. Kemudian ditahun 1957, Jack Kerouac seorang penulis Amerika menelurkan istilah Beat Movement pada novelnya yang berjudul ”On The Road”. Hingga mengilhami generasi-generasi muda yang dengan bangga menyebut diri mereka sebagai Beat dan mengadopsi nilai-nilai herois para pahlawan dalam buku itu’. Komunitas Beat Movement ini sangat terpengaruh oleh ”Dadaisme” dan pencerahan romantic. Mereka sering bertemu dan sama-sama menemukan kegairahan individual dengan melakukan penolakan terhadap masyarakat borjuis serta gaya hidup tanpa akar. Keutamaan romantisisme, eksperimental serta unsur-unsur religi timur dan pengunaan alcohol menjadi sesuatu yang niscaya bagi komunitas ini. Wacana-wacana nihilsitik dan eksistensialisme juga sangat mempengaruhi gerakan ini. Tidak bisa disangkal, bahwa pengaruh pengaruh ideology Post-Marxis sedang melanda dunia. Perkawinan pemikiran tersebut lalu melahirkan mazhab-mazhab eksistensialisme yang memadukannya dengan Nihilistik Nietzchean. Pemikiran-pemikiran tersebut berhasil mengkooptasi subkultur-subkulture didunia juga gerakan Beat. (namun hal tersebut tidak akan dibahas spesifik disini, agar tidak lari dari konteks). Pada akhir tahun 50-an, gerakan Beat berkembang di kalangan seniman-seniman avant garde di Inggris. Bob Dylan tak bisa memungkiri bahwa Folk revolusioner yang dibawa nya adalah anak kandung dari Beat Movement. Musim panas 1965, Allens Gisnberg, Gregory Courso bergabung dengan Trocchi, Heff Nuttal serta Michael Horovitz dan para penyair lainnya untuk membacakan sajak di Albert Hall-London. (*Jhon Thorne, Fad’s,Fashion and Cults). Peristiwa ini menjadi titik balik bergabungnya gerakan counter culture eropa dan amerika yang juga mengilhami hadirnya generasi kritis selanjutnya yang dinamakan ”Flower Generation beserta para Hippies pengusung kebebasan”!! Sebagai catatan gw (pen), Beat Movement belum menggunakan rocknroll sebagai landasan perjuangannya. Movement ini sangat terpengaruh oleh musik Jazz, Psycadelic dan Folk.



C. Flower Generation.

Imbas dari periode Romantic dan Beat Movement adalah kemunculan kaum hippies era berikutnya, dengan rambut panjang, menggelandang kemana-mana, suka memetik gitar merupakan ciri utama kaum hippies. Gerakan ini berkembang di-Amerika awal tahun 60-an, mereka menyuarakan kebebasan lepas dari dogma-dogma tradisional, kebebasan sex, drugs, kesetaraan hak-hak lesbian, homoseksual dsb, dari sini bisa dilihat bahwa isu-isu yang dibawa Flower Power sudah melampui apa yang diperjuangkan generasi sebelumnya. Pengaruh kelahiran gerakan ini cukup berimbas didalam bidang kehidupan yang lain. Kemunculan kaum hippies ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan “Flower Generation” (Generasi bunga) Momentum Utama semangat anti kemapanan yang tersusup dalam subculture musik kontemporer. Flower generation adalah momentum yang memuncak dari kontemplasi para seniman yang menolak patuh terhadap budaya popular dengan segenap pakem-pakemnya yang dogmatis, anak-anak muda yang menolak perang, militeristik, fasisme juga mengkritik gaya hidup kelas menengah. Motivasi gerakan ini juga bermuara pada persoalan politik saat Amerika menginvasi Vietnam ditahun 1959. Hingga berdialektika dan menemukan perlawanannya didalam kerajaan seni (musik). Flower generation adalah inkarnasi dari pemikiran romantik yang tersusupi ideologi. Sistem yang berlaku di Amerika umumnya adalah sekolah dan kuliah yang rajin, lulus dengan nilai baik, mendapatkan perkerjaan dengan gaji bagus dan hidup terhormat. Para anak muda yang masih dalam tahap pencarian jati diri, cenderung eksplosif, pemberontak dan kritis berusaha berontak terhadap sistem kemapanan semu ini. Belum lagi isu rasial, perang dingin dan ancaman perang nuklir yang juga menjadi trigger lain dari kelahiran Flower Generation. Gerakan ini seakan menjadi bom waktu yang hanya menunggu waktu yang tepat untuk di ledakkan dan ledakannya menyebar ke seluruh dunia. Bom waktu itu meledak juga. Pada tahun 1959 dimulailah perang Vietnam. Para kumpulan anak muda yang sudah merasa muak dengan sistem kemapanan dan perang, berkumpul menjadi satu dan lahirlah sebuah generasi baru, Generasi Bunga. Disinilah, Rocknroll menemukan bentuknya yang paling real!! Pergerakan musik era Flower Generation ini mencapai titik kulminasi pada tahun 1969. Sebuah lahan pertanian seluas 240 hektar milik Max Yasgur yang terletak di Bethel, New York menjadi saksi bisu dari sebuah acara legendaris yang diadakan mulai tanggal 15 – 18 Agustus. Woodstock adalah nama pagelaran itu. Sebuah pagelaran musik raksasa yang melambangkan etos solidaritas dan semangat. The Rolling Stones, Santana, The Grateful Dead, CCR, The Who, Jhonny Winter dan Saudaranya, Edgar Winter, Janis Joplin, The Beatles dan ditutup oleh sang dewa gitar, Jimi Hendrix, adalah beberapa nama yang tampil di Woodstock paling legendaris itu. Diperkirakan lebih dari 500.000 hippies datang dan menyaksikan acara ini.(*MUNTAHBERAK wordpress.com). Harus dipertegas bahwa kekalahan amerika dalam perang Vietnam sedikit banyak juga terindikasi dengan generasi bunga yang tegas-tegas menolak wajib militer.

* Catatan Pengingat.

Untuk subculture2 di Inggris tidak dibahas diruang ini, mengingat subculture yang berkembang di Inggris pada awal 50 -an masih berkutat dengan style dan fashion. Lihat Teddy Boys yang terpengaruh gaya ”Edwardian” dengan menggunakan jas panjang dan celana drainpipe. Atau subculture “Mod” yang mengadopsi gaya pakaian Italia, dasi-dasi sempit, skuter dsb. Meskipun subkulture2 tersebut kemudian menjadi trend namun masih belum ada muatan ideologist (bedakan dengan beat movement dan Flower generation di Amerika). Kooptasi ideologist di Inggris baru mulai sekitar awal tahun 70-an saat generasi Punk awal berkembang. Anak-anak Mod yang menjadi Skin Head, Teddy boys yang terpengaruh rocknroll atau Generasi-generasi Rocker yang terinspirasi Heavy metal (sebutan Rocker awalnya untuk para geng-geng motor -bikers- di Inggris). Benturan-benturan ideology di Inggris meruncing pada pertengahan tahun 70-an hingga pertengahan 80-an. Dimana kepentingan2 politik ikut ambil bagian.
*(semoga ada kesempatan untuk membahasnya)


III . ESTETIKA KRITIS

Setiap peristiwa selalu menimbulkan gejolak. Apapun yang terjadi selalu mendapat respon dimasyarakat. Baik respon positive maupun penolakan. Bermacam cara manusia dalam merespon aktifitas disekitarnya. Wahaha estetika merupakan bagian dari media ekspresi manusia dalam merespon pengalaman subjektifnya. Telah ditegaskan sebelumnya bahwa seni juga bisa merepresentasikan kondisi sosio history. Segelintir kalangan menilai bahwa dalam musik rock, punk, metal dan varian2 lainnya, lirik lagu tidak begitu penting. Komposisi musik didalam lagu adalah segalanya. Hal Ini merupakan kesalahan subtansial. Klaim yang mencitrakan kedangkalan persepsi. Bagaimana mungkin bila dalam musik (rock), lirik dikatakan tidak begitu penting. Bagaimana menyuarakan pesan lewat komposisi musik. Pesan apa yang terkandung didalam lagu. Apa tujuannya??. Tokh, komposisi musik hanya bisa diresapi intuisi. Sedangkan intuisi berkembang dan diperoleh dari serangakaian sensasi. Sensasi merupakan unsur pasif dalam diri manusia. Didapatkan dari rangsangan-rangsangan ketika kita melihat sesuatu. Dari sensasi tersebut kita mendapatkan representasi gambaran mental atas sesuatu. Kemudian representasi ini mendapatkan wujudnya dalam ekspresi. Lewat intuisilah sensasi mendapatkan sintesisnya sebagai bagian dari aktifitas spiritual. (*Benedetto Croce, Aestetics as Sciense of ekspresion and general linguistics). Jika sensasi yang melahirkan intuisi itu bersifat spiritual atau berdasarkan interaksi terhadap pengalaman maka sudah tentu sangat subjektif. Lagu yang menceritakan tentang keindahan alam raya tetapi tanpa lirik yang tegas, tujuannya akan sulit diterima oleh pendengarnya.

Dalam musik rock (metal atau punk), komposisi musik memang cukup primer untuk membakar darah pendengar. Membuat orang bisa merespon dengan mossing atau berpogo-ria. Dangdut pun diciptakan agar mampu membuat orang berjoget. Barangkali dengan itu bisa menghilangkan kepenatan. Sejenak merefresh otak dari bermacam rutinitas. Subculture lain seperti para cluber yang dalam seminggu bisa beberapa kali clubbing didiskotik juga menjelaskan respon terhadap musik dalam hal ini musik disko (House music, Hip-Hop, Rnb, Tehno, dll) dan disini lirik lagu tidak lagi begitu penting. Melainkan bagaimana musik membuat orang bergoyang dalam irama disko. (untuk ini masih terlalu luas untuk membahasnya). Begitu tidak pentingkah lirik dari sebuah komposisi musik. Jika demikian maka pertanyaannya adalah adakah pesan didalam lagu itu??. Nilai-nilai apa yang terkandung didalam komposisi musik yang membuat orang bisa berjoget, Mossing, Pogo, Headbanging atau berdisko. Apakah irama dalam musik tersebut hanya sekedar untuk pelepasan hasrat ataukah ada nilai-nilai lain yang sebenarnya terkandung didalamnya. Demikian sulit untuk mengupas hal ini. Secara histories musik tercipta sebagai sarana untuk pemujaan. Sebelum ditemukannya hapsicord, musik adalah media untuk mengungkapkan kekaguman/pujian terhadap hal-hal yang bersifat religiutas. Hampir semua tempat dibumi ini memiliki kekhas-an musik tersendiri yang biasa disebut musik etnik. Tentu saja dengan alat musik yang sangat tradisional.

Sejarah estetika merupakan bagian dari ekspresi manusia dalam menunjukan kekagumannya terhadap hal-hal yang bernuansa transenden (tuhan atau alam raya) yang direpresentasikan dalam karya-karya seni. Pada zaman klasik ketika hapsicord dan piano ditemukan musik berkembang dengan sangat pesat. Namun tujuannya masih tersimpan dialtar-altar pemujaan. Berbeda dengan blues atau jazz yang merepresentasikan kehidupan kaum budak di-Amerika. Sejarah blues adalah sejarah underground. Musik mereka merupakan gambaran ketidakadilan, diskriminasi rasial dan penindasan kolonial. Ketika musik klasik menjadi arus utama. Musik blues berdendang diperkebunan-perkebunan. Menyatu dalam keringat para budak dan caci maki tuan tanah. (*David N Townshend, Changing The World, Rocknroll Ideology and Culture). Sebelum para rockstar awal mendendangkan lagu-lagu mereka. Blues telah berdiri sendiri hingga dikapitalisasi dan kemudian melahirkan varian-varian baru dalam literature musik dunia. Elvis Presley barangkali merupakan kompromi kaum kulit putih dalam merampas tradisi blues kaum negro. Ketika rythem’ n blues sangat identik dengan kaum kulit hitam dan segregasi rasial masih kuat maka kehadiran Elvis menjadi jawaban diterimanya blues dalam piringan hitam kulit putih. Hingga kemudian berkembang pesat diseluruh penjuru alam raya. Tentu saja lirik lagu dan komposisi masih berjalan seiring.

Telah dijelaskan diawal, ketika Amerika menginvasi Vietnam. Gejolak penolakan bermunculan dimana-mana. Kehadiran kaum hippies yang tegas menolak perang, wajib militer juga kritik terhadap kelas menengah yang hidup dalam standar eksklusifitas mengejawantahkan peran estetika memasuki lingkup yang lebih luas. Dari mereka kemudian lahir budaya baru dimana estetika menjadi wahana perjuangan. Disinilah lirik lagu dalam musik menjadi begitu penting dalam menyuarakan pesan. Klaim bahwa lirik lagu tidak begitu penting dibanding komposisi jelas merupakan kekeliruan. Hanya dengan lirik lagu, pesan mampu disuarakan kepada pendengar. Tidak melulu memerlukan intuisi untuk meresponnya. Dengan lirik lagu, musik langsung menembus otak dan menyerap kedalam tubuh. Komposisi memang penting untuk mengidentikkan genre sebuah musik. Tentu sangat berbeda komposisi/irama antara musik punk dan musik disko. Atau antara musik metal dan lagu dangdut. Formnya menjelaskan fisik lagu dengan kata lain komposisi sebuah lagu akan menjelaskan letak genrenya. Sedangkan lirik adalah pesan luas dari pengalaman creator yang coba diwacanakan kepada pendengarnya.
Didalam kesenian ada kualitas-kualitas emosi tertentu yang dituangkan dengan berbagai bentuk. Ekpresi kesedihan atau kegembiraan. Dalam sastra dipaparkan lewat gaya bahasa/kata, dalam lukisan lewat warna, dalam tari lewat gerak, dalam musik dituangkan lewat suara/irama. Tetapi ada juga ekpresi dari suatu objek yang sulit ditangkap para penikmat seni. Seperti kelesuan, kemurungan, kelembutan sikap, kemarahan alam raya, hembusan angin sepoi saat pagi hari, debur ombak tengah malam. Ekspresi semacam ini akan sulit diterima apabila penikmat belum memiliki pengalaman yang sama. Pengalaman mengendarai mobil balap tidak dimiliki oleh mereka yang tidak mempunyai atau dekat dengan mobil balap. Demikian juga pengalaman yang mengetengahkan kehidupan digurun pasir tidak dimiliki oleh mereka yang tidak pernah berada atau setidaknya dekat dengan gurun pasir. Tentu saja ada perintang dalam mengapresiasikan karya seni. Untuk itu diperlukan penjelasan, misalnya dalam karya sastra diberi catatan pengantar, dalam lukisan diberi judul dan dibuatkan penjelasan dalam catalog, dalam tarian ada penjelasan histories lisan. Dalam musik tentu saja diperlukan lirik sebagai mediator untuk menjelaskan tujuan, pesan dan harapan-harapan penciptanya. Sesubjektif apapun tapi paling tidak penjelasan-penjelasan tersebut dapat menguak makna yang diekspresikan.




V. MUSIK sebagai KREASI, KRITIK DAN WAHANA PERUBAHAN SOSIAL.

Beberapa pemikir klasik percaya bahwa seni juga merupakan citra yang menegaskan status social. Kesenian yang diciptakan masyarakat kelas menengah atas tentu berbeda dengan daya cipta seni bagi mereka yang hidup dipinggir-pinggir sungai juga perkampungan kumuh, seni kaum borjuis berbeda dengan seni kaum proletar. Apresiasi terhadap seni masyarakat metropolitan berbeda dengan konsumsi seni penduduk pedesaan. Dalam menyikapi segala bentuk pengetahuan dunia baik ideology, kesenian, hukum dan lain sebagainya setiap individu tidak akan pernah lepas dari kondisi sosialnya. Bob Marley menciptakan lagu “Redemption Song” berangkat dari situasi politik di-Jamaika. Lingkungan selain sebagai tempat bagi pengalaman juga secara tidak langsung sangat mempengaruhi kesadaran manusia. Kesadaran individu, daya kreasi juga sikap dalam merespon sesuatu merupakan ekspresi yang muncul dari dalam hati, manifestasi dari pandangannya terhadap dunia.
Dalam sosiologi, setiap kelas sosial memiliki bahasa, perasaan, pikiran, semangat, kerawanan, kecenderungan dan terutama cita-cita. Lebih khusus lagi adalah cara dalam melihat segala sesuatu. Coba lihat pada seorang penyair borjuis. Apa yang dikeluhkannya?? Apa aspirasinya?? Keinginannya atau ketidaksenangannya?? Bagaimana dia melihat dunia dan kehidupan? Bahkan bahasa yang ia gunakan tak selamanya dapat dimengerti oleh kaum tertindas. Karena dua orang dari kelas social yang berbeda dan berbicara dengan satu bahasa yang persepsinya berbeda. Sepatah kata tidak memiliki esensi, rasa, aroma dan nilai yang sama. Kata “nasi” bagi kaum budak yang membajak sawah dikedinginan musim dingin dan panas terik kemarau untuk mendapatkan sesuap nasi. Tentu berbeda dengan pendapat kaum kapitalis yang makan daging panggang diiringi musik lembut, pelayan yang setia dengan ditemani gundik yang cantik, tarian dan anggur penambah selera. Sama sekali tidak mengandung jiwa yang sama. Apa maksudnya??. Bukan saja kedua kelas ini tidak berbicara dengan spirit yang sama dan bukan hanya makna sepatah kata tidak sama bagi seorang budak dan tuan tanah tetapi ukuran matematika dan materialpun tidak sama dimata dua kelas itu. Eksperimen psikologi telah membuktikan hal tersebut. (*Dr. Ali Syariati,Paradigma kaum Tertindas)

Musik sebagai esensi kreasi yang bermutasi menjadi media perjuangan. Sejak berabad-abad lalu kesenian selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Tanpa bermaksud membenturkan antara para seniman yang berpikir “seni untuk seni” dan seniman yang menggunakan seni sebagai media untuk agitasi ideology. Pertanyaan yang muncul adalah apakah seni itu netral??? Barangkali terlalu muluk untuk mencari teory pembenaran atas dua pertanyaan itu. Mungkin tidak menarik bagi para pekerja seni bebas nilai, bagi para seniman generasi postmodernisme dan bagi mereka yang secara sadar menyatakan seni untuk seni. Banyak orang bilang, warisan diskursus tentang “seni untuk seni” versus “seni untuk tujuan tertentu” memang sudah harus disingkirkan. Cara pandang postmodernisme atau mereka yang tidak mau tahu, hingga tidak mengijinkan kritik seni berangkat dari paradigma ideologi tertentu, norma tertentu, dan hukum tertentu. Sejarah dikotomi antara seni abstrak dan realis sudah tak menarik lagi dibicarakan. Seni sebagai perjuangan sosial terkadang gampang dituding sebagai mainan para politisi, antek-antek dari ideology tertentu dsb. Modernitas dengan liberalisme politik telah mengajarkan kepada generasi-generasi seni abad ini untuk lebih memilih cara pandang eksistensialis ketimbang cara pandang perjuangan kelas sosial. Di sini, komitmen sosial jutsru jadi barang usang yang selalu dianggap penyebab matinya kreativitas seni. Bagi seniman anti politik, seni lepas dari jerat sosial dan tidak ada tempat bagi tujuan seni untuk kemajuan, keselamatan, kemanusiaan. Kalaupun seni masuk ke wilayah sosial, biasanya yang berperan bukan seni itu sendiri, melainkan aktivitas sosial seorang seniman. Seni tetaplah seni. Otonom. Ia hanyalah sejenis ekspresi simbolis dari pemikiran seniman. Namun jika dirunut lebih jauh pandangan yang menyatakan bahwa seni untuk seni dan non ideology bisa terjebak pada komersialisasi seni. Seni baginya hanyalah wujud ekspresi kemanusiaan yang murni tanpa tendensi apapun padahal ekonomisasi seni merupakan imbas dari pemikiran para seniman yang tidak memiliki ideology dalam kreatifitasnya dan secara tidak langsung kehilangan “bargaining posisition”. Hingga dengan mudah mereka akan masuk dalam jaring industri yang dikuasai oleh kaum kapitalis. Walau tidak bisa dipungkiri berlangsungnya kreatifitas juga harus dilandaskan pada kekuatan ekonomi. Namun kematangan ideology juga daya berpikir kritis adalah bagian penting untuk menjaga privacy seni dari pihak industri yang hanya mengedepankan nilai provit, ideology akan menjadi filter dalam menyikapi pembodohan. Sedangkan bagi seniman yang memiliki jiwa sosial, seni yang netral justru tidak bermakna. Mengutip Nietzsche, “seni demi seni, ilmu demi ilmu atau puisi demi puisi adalah kedok yang digunakan untuk menutup-nutupi watak jahat seniman atau ilmuwan serta memberikan pembenaran atas sikapnya dalam menghindari tanggung jawab sosial.” Ungkapan ini kemudian menuntut fungsi dari seorang seniman bukan sekedar menjadi “seniman” melainkan justru sebagai bagian dari pada kehidupan sosial. (*Faiz Manshur, Seni, Sosial dan Kritik). Setiap manusia diwajibkan bertanggung jawab pada diri dan lingkungannya. Perubahan ataupun perjalanan sejarah ditentukan oleh gerak individu. Apapun alasannya, individu tetaplah mahluk sosial dan kreatifitasnya merupakan bagian dari kehidupan sosial politik. Pada dasarnya seni sulit diasumsikan “bebas nilai”. Kesenian sebagai daya cipta kreasi kerap terjebak pada perdebatan ideology. Seni tetaplah memiliki muatan sosial. Apapun bentuknya, kesenian selalu dihadapkan pada nilai-nilai dimasyarakat. Kreatifitas kesenian merupakan gambaran dari kondisi masyarakat. Apakah imajinasi itu netral?? Freud seorang psikoanalisis percaya bahwa dinamika kehidupan alam bawah sadar memberi warna pada estetika. Menurut Freud, aktifitas ketidaksadaran, imajinasi juga mimpi merupakan luapan dari keinginan manusia yang direpresi. Konflik-konflik bawah sadar akan terus mencari celah untuk keluar menuju alam sadar. Ilham atau inspirasi bagi seorang seniman dalam melahirkan kreatifitas seni juga merupakan jembatan antara alam bawah sadarnya dan alam sadarnya. Sedangkan alam bawah sadar adalah sesuatu yang pernah ada dan terlupa hingga tersembunyi didasar ketidaksadaran akibat direpresi. Berangkat dari hal tersebut maka bisa diasumsikan bahwa kreatifitas kesenian dalam hal ini imajinasi merupakan proyeksi keinginan individu. Pendeknya, kesenian tidak ada yang netral dan bebas nilai. Aktifitas imajinasi juga representasi dari kondisi sosio history. Kesenian yang sifatnya desktruktif barangkali gambaran dari masyarakat yang sakit, bisa jadi akibat kemerosotan sosial, tingginya kemiskinan juga demoralisasi.

Dewasa ini dikotomi antara seni untuk seni dan seni dengan muatan politik semakin sulit untuk dibedakan. Benturan kepentingan dengan tujuan yang berbeda-beda telah memutasi kesenian menjadi sebuah media untuk propaganda.
Dari beberapa wacana diatas, semakin jelas dalam menguraikan peran seni dalam menjawab kebutuhan ideology. Terjawab sudah, bahwa Seni telah memanifestasikan dirinya untuk tujuan-tujuan particular. Saat ini bagaimana peran seniman untuk lebih kritis dalam melaksanakan tugasnya sebagai bagian dari agen perubahan. Hingga kemudian kesenian itu mampu menguniversalkan kutub-kutub yang selama ini terkontaminasi kepentingan kapitalisme. Tantangan dunia kesenian dekade ini terletak pada kekuatan kritik seniman sebagai kreator dan penikmat sebagai kritikusnya. Dengan daya berpikir kritis maka kesenian akan mampu berperan dalam mendorong bola salju kearah perubahan!! Satu harapan tersisa ”semoga kesenian mampu mewadahkan perjuangan pembebasan, anti kapitalisme, neoliberal juga menghilangkan hirarki kelas dan mampu mewujudkan otonomisasi individu tanpa otoritas kekuasaan!!






Panjang umur rocknroll
EL HENDRIE









Sejarah Propaganda Indonesia kedalam Musik

Di Indonesia, sejarah kesenian (musik) dalam menjadi media propaganda telah berkembang sejak masa kolonial. Ketika Belanda berkuasa dibumi pertiwi, lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dilarang beredar. Rekaman lagu itu dibuat sangat terbatas dan judulnya pun dirubah menjadi “Indoness Indoness” karena lagu tersebut dapat mengugugah jiwa patriotisme anak-anak bangsa. Zaman pendudukan Jepang, situasi mulai sedikit berubah. Pemerintah fasis Jepang memanfaatkan seniman-seniman pribumi untuk kepentingan propaganda “Negara Asia Timur Raya”. Pada Maret 1942 Jepang mendirikan “Radio Hosyo Kanri Kyoku” yang disiarkan dari Tokyo dan untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya (versi 3 stanza) dikumandangkan secara luas dengan iringan Orkes Simponi “Nippon Kosyo Kanri”. Ironisnya dibulan April tahun 1942, secara sepihak Perdana Menteri Jenderal Tojo Hideki mengeluarkan pengumuman melalui radio Hosyo Kanri Kyoku melarang pemutaran lagu Indonesia Raya dan upacara pengibaran bendera Merah Putih. Pemerintah Jepang lalu mengeluarkan Undang-Undang no 4 yang mewajibkan rakyat Indonesia mendengarkan lagu kebangsaan Jepang “Kimigayo” dan melaksanakan upacara pengibaran bendera “Himomaru”. Setelah itu, Jepang mendirikan Badan Pusat Kesenian Indonesia (BPKI) diketuai oleh Sanusi Pane. Organisasi itu didirikan pada bulan Oktober ditahun yang sama. Tujuan pendirian BPKI tersebut dimaksudkan sebagai siasat untuk memanfaatkan para seniman Indonesia agar mau ikut mensukseskan Negara Kesatuan Asia Timur Raya. Dimasa itulah “Cornell Simandjuntak” menciptakan lagu “Hancurkanlah Musuh Kita, Itulah Inggris dan Amerika” yang menjadi slogan perjuangan dan sangat populer pada masa itu. Di tahun 1943, Jepang kembali merekrut seniman Indonesia dibawah bimbingan komponis “Nobuo Lida” untuk mensosialisasikan lagu-lagu propaganda Jepang (Nippon Seishin). Seniman-seniman yang tergabung diantaranya antara lain, Cornell Simandjuntak, Kusbini, Bintang Sudibyo dan Ismail Marzuki. Lagu-lagu yang berhasil diciptakan contohnya adalah, Menanam Kapas, Bikin Kapal, Bekerja, Menabung, bersatu, Buta Huruf, Fajar, Kereta Apiku, Sayang, Asia Sudah Bangun, Bagimu Negri, Maju Putra-Putri Indonesia (setelah merdeka, lagu ini dirubah menjadi Maju Tak Gentar), Menanam Jagung, dan lain-lain. Keseluruhan dari lagu itu seakan-akan merepresentasikan dukungan rakyat Indonesia terhadap perjuangan Jepang melawan sekutu. Propaganda Jepang ini tidak berlangsung lama. Pasca kekalahannya oleh Sekutu, seniman-seniman Indonesia merubah ulang lagu-lagu tersebut demi kepentingan perjuangan. Pada tahun 1946 para alumni “Hollandsch Inlandsche Kweekschool” (HIK) membentuk paduan suara Pemuda Nusantara yang secara rutin menyanyikan lagu-lagu perjuangan di RRI Kotabaru, Yogyakarta. Mereka cukup sukses mengobarkan semangat kebangsaan didada para anak-anak muda untuk ikut berjuang demi kemerdekaan. (*Nn’ Musik sebagai Alat politik, Artikel memperingati 100 tahun kebangkitan nasional).

Pasca proklamasi 17 agustus, seni kembali dihadapkan pada kepentingan politik. Berawal dari sikap politik Soekarno yang anti barat hingga pelarangan segala hal yang berbau western. Baik produk ekonomi hingga menyentuh ruang estetika. Dengan kebijakan itulah maka personil ”Koeswoyo Bersaudara” ditangkap karena dianggap memainkan musik yang bertentangan dengan budaya Indonesia. Disini estetika dimaknai sebagai sesuatu yang bisa bermuatan politik. Presiden Soekarno mencanangkan irama lenso sebagai musik yang sesuai dengan budaya bangsa dan didukung oleh Jack Lesmana, Titiek Puspa, Lilis Suryani, dan Bing Slamet. Presiden RI pertama itu juga merangkul beberapa seniman untuk kepentingan propaganda. Lilis Suryani, penyanyi yang dekat dengan Sukarno menciptakan lagu berjudul “Oentoek Paduka Jang Moelia” lagu itu berorientasi untuk mengkultuskan figur Bung Karno. Beberapa lagu juga berhasil diciptakan untuk kepentingan politik semisal propaganda “Pergi Pedjoeang” dalam konfrontasi Indonesia dan Malaysia.

Diera Orde Baru Soeharto, musik lebih banyak digunakan untuk kampanye dalam mensukseskan program-program pemerintah. Seperti Mars Pemilu, Mars Keluarga Berencana, ACI (aku cinta Indonesia) dan lain sebagainya. Titik Puspa menciptakan lagu berjudul “Bapak Pembangunan”. Lagu itu didedikasikannya untuk pimpinan Orde Baru.

Pada perkembangan selanjutnya, kesenian (musik) terus bermutasi dalam panggung-panggung politik. Era Reformasi, para penguasa silih berganti menggunakan musik demi kepentingan agitasi. Para politikus kerap menghadirkan seniman dalam kampanye-kampanye mencari dukungan. Ada juga yang menggunakan musik untuk sosialisasi. Lihat, beberapa pemimpin partai politik belakangan ini sering membuat album musik. Dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan album “Rinduku Padamu” hingga Soetiyoso mantan Gubernur DKI Jakarta dengan album Campur Sari berjudul “Adem Panas”. Pada album ini, Sutiyoso, menyumbangkan suaranya pada lagu “Yeng Ing Tawang Ono Lintang”. Lain halnya dengan Amien Rais, capres yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) pada pilpres 2004. Meminta “Nomo Koeswoyo” untuk dibuatkan lagu. Hasilnya lagu “Putra Nusantara” pun diciptakan sesuai pesanan Mantan Ketua MPR itu. Selain itu, contoh yang lebih jelas adalah saat kampanye baik pilkada maupun pemilu. Partai-partai selalu menghadirkan seniman (artis Musik, Film, Sinetron) dalam mengambil perhatian massa. Disini seni menunjukan dirinya sebagai titik sentral agitasi dan propaganda.





*Rujukan rujukan pada semua tulisan ini.

(David N Townshend, Changing The World, Rocknroll,Ideology and Culture).
(Benedetto Croce, Aestetics as Sciense of ekspresion and general linguistics)
(Jhon Thorne, Fad’s,Fashion and Cults)
(Ominic Strinati, Budaya Popular)
(Jostein Gaarder, Sophie World)
(Mudji Sutrisno, Teks-teks Kunci Estetika).
(Faiz Manshur, Seni, Sosial dan Kritik).
(Dr. Ali Syariati,Paradigma kaum Tertindas)
(nn’ Musik sebagai Alat politik, Artikel untuk memperingati 100 tahun kebangkitan nasional).
(Wikipedia, Sejarah Musik).
(Muntahberak.Wordpress.com
)
dlll.....
Artikel Terkait

0 komentar: