"Tentang kau dan aku di-sisa gusuran Ciliwung"
-EPISODE 1-
Tiba-tiba kita merasa satu’
Ketika lorong-lorong sejarah mengantarkan kita dihamparan kesunyian,
dingin udara menyergap tubuh kita-pada gedung-gedung tinggi yang menembus rindang pepohonan disisi trotoar tempat kita menghitung hidup.
Kau pun menangis dalam dekap dadaku saat langit tak lagi beri tempat utk bernyanyi.
Irama camar putih menebarkan aroma tubuhmu pada rumput kecil, rumah-rumah kardus, gerobak dorong yg kemudian kuhirup kembali dalam harum seribu bunga….
“Sekarang kita disini sayang” ucapmu dengan bibir sembab oleh luka…
angin tipis membelai napasmu hingga sekat tangismu hilang…
”mengapa mereka begitu tega’ merampas semua yg kita punya..” tanyamu lagi lebih mirip rintihan
*(Nun jauh disana’ diruangan ber AC’ mereka sibuk menghitung laba, bunga bank lalu memberi kita peraturan…)
‘tapi apa yg harus kukatakan
Seperti dirimu’ Suarakupun tlah serak dan tubuhku membiru oleh tangan-tangan bengis manusia berseragam
Peluk saja aku’ Baringkanlah didadaku’ semua yang kau bawa…
Waktu yg tertinggal dibelakang langkah, duka, luka juga rambutmu yg mempesona.“ pekikku tertahan. Kaupun hanya diam’ dan sengat matahari mendesakmu dalam pelukanku lagi…
Angin menderu disekitar kita’…
Kosong, hampa dan hilang
--------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------
-EPISODE II-
Tiba-tiba kita merasa sama’
Saat patroli berhias senjata membawa kita disenja yg tipis’
hembus angin sore membekas diujung jalan’ -pada siaran berita tivi, kampanye para elite juga pada janji-janji perubahan dari mulut berhias bangkai.
Kau pun tersenyum dalam ketegaran abadi
Wangi rambutmu masih sangat mempesonaku meski tangan-tangan kekar itu meletakannya diujung sepatu berdebu…
Ketabahanmu tak jua goyah saat kaki2 mereka menghempasku dijalan beraspal..
Dalam ketidakberdayaanku’ terbayang warna-warni cafĂ©, endorse, mall, plaza
”Berabad-abad kita disini’ dirajam tiran sepanjang zaman.” Teriakanmu terdengar sumbang.
makna sajak pun nihil, lagu-lagu tak lagi merdu….
”Peluk aku sayangku, erat-erat. Biarkan malam berlalu dan bintang-bintang tak lagi benderang” Kau mengigau dibalik seragam mereka.
Dalam indahnya siksaan’ kita tertawa seperti sepasang burung…
merdeka dan bebas… terbang dan lepas.
Melampaui ombak, rindu kitapun kembali merapat dipelukan alam.
Berdekapan mesra diatas bukit-bukit hijau kemudian bersemi dibatas pandang….
*(Nun jauh disana’ diranjang berpeluk’ mereka sibuk menganalisa valas, pasar saham dan memberi kita perintah…)
Tokh’ Siapa yg perduli…
Aku bertanya pada sosok diam yg mencinta tuhan dalam tahtanya.
Bertahun-bertahun kita diguyur kemiskinan, atap rumah yg bocor, sawah ladang yg terampas jadi pabrik…
”Dimana beras, dimana air dari gunung” bocah kecil bernyanyi dengan seruling. Kerling matamu menuntunku menuju surga dan disaat bersamaan anak itu bergelantungan ditubuhmu…
”Mama.. aku lapar” suara itu memecah ku jadi api.
”Ayo kita pulang” senyumanmu masih setulus yg dulu’ meski jerit anak itu merobek tirai sejarah.
Aku tertegun pun anak itu.. tangan kecilnya meronta dalam gendonganmu’
Mungkin dia berontak’
mengapa harus ada lapar saat tanah masih cukup buat semua,
mengapa harus ada tangisan justru ketika slogan pembangunan didengungkan..
Mungkin dia marah’
mengapa dia diperlakukan tidak adil saat penentu kebijakan merampas tanah bapaknya, lapak-lapak ibunya sekaligus juga hidupnya…
Senja berlalu dibalik awan..
Kuusap kepalanya yg basah oleh keringat’ kupegang tangannya yg masih terlalu mungil….
Angin pun berbisik ditelingannya.. samar
”Sabarlah anakku, inilah dunia nyata’ kuatkan hatimu… kita tidak punya makanan tapi akan kubuatkan utkmu senjata agar kau mampu mengambil kembali semua milikmu, akan kubuatkan kau peluru agar kau bisa meruntuhkan tembok kekuasaan di simpang jalan depan sana…
kubur dia dengan sajak-sajakmu’ hancurkan dia dengan nyanyianmu…
Bocah itu tertawa…
Barangkali senang, haru, sedih atw tak perduli…
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-EPISODE III-
Pengap kemiskinan menusuk tepat disepatuku…
Hujan menari dibatu-batu, jalanan pun basah oleh keringat
Ketika kubaringkan tubuhmu di-dipan bertikar bambu’ Rambutmu tergerai bersama libidoku yg memuncak….
Gunung-gunung bergelombang bagai lukisan…
Remang lampu menjilat-jilat dalam ruangan..
Ketika jari-jariku mengupas tubuh mulusmu setelah helai demi helai bajumu menyerpih jatuh dilantai berdebu…
” Telah kujual keperawananku disini” Katamu sambil kau perlihatkan luka-luka didada entah bekas gigitan siapa…
”kau pikir aku perduli” tawaku menyeringai seperti Rahwana ditubuh Shinta.
Sebagaimana yg lain’ aku juga tidak perduli pada airmatamu’
Pun dirimu juga tak lagi perduli pada moralitas yg didengungkan dialtar-altar pemujaan..
”Siapa yg bisa bertahan’ berabad-abad ditindas kelaparan, penderitaan dan penghinaan.” Teriakanmu meruntuhkan sadarku’
*(Nun jauh disana’ Divilla-villa mewah, Cotage- lapangan golf- mereka asyik minum anggur, berdansa salsa lalu memberi kita penjara….)
Kudayung tubuhmu’ menuju singgasana.
Diantara dingin dan keringat, sepotong tubuh jadi hiasan digeladak
Tepi badai samudera mengentaskan perahu kita kembali kesunyi itu
”aku ingin merdeka” tiba-tiba kau menjerit, sambil menghitung lembaran kertas pengganti lelahmu….
Sebingkai foto Kartini tiba-tiba melintas’
Menepis dan tertepis oleh airmatamu yg luruh oleh duka….
Berkacalah’ entah berapa cupangan lagi dilehermu utk menebus sawah bapakmu yg diambil paksa para durjana..
Sepi.. anginpun mendadak diam…
Lalu membunuhku ,,
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-EPISODE IV-
Rumah-rumah tua dikota kecil kita, lapangan rumput tempat biasa dulu kita bermain menghabiskan hari dengan tawa…
Semua musnah oleh peradaban yg beradab…
*(Nun jauh disana’ para Menteri, pemimpin, elite-elite politik, partai liberal, partai konservatif, partai kiri, partai kanan, pemimpin organisasi buruh, sarekat tani, sibuk mengevaluasi data statistik, mengatasnamakan kita lalu melacurkan kita lagi..)
-EPISODE II-
Tiba-tiba kita merasa sama’
Saat patroli berhias senjata membawa kita disenja yg tipis’
hembus angin sore membekas diujung jalan’ -pada siaran berita tivi, kampanye para elite juga pada janji-janji perubahan dari mulut berhias bangkai.
Kau pun tersenyum dalam ketegaran abadi
Wangi rambutmu masih sangat mempesonaku meski tangan-tangan kekar itu meletakannya diujung sepatu berdebu…
Ketabahanmu tak jua goyah saat kaki2 mereka menghempasku dijalan beraspal..
Dalam ketidakberdayaanku’ terbayang warna-warni cafĂ©, endorse, mall, plaza
”Berabad-abad kita disini’ dirajam tiran sepanjang zaman.” Teriakanmu terdengar sumbang.
makna sajak pun nihil, lagu-lagu tak lagi merdu….
”Peluk aku sayangku, erat-erat. Biarkan malam berlalu dan bintang-bintang tak lagi benderang” Kau mengigau dibalik seragam mereka.
Dalam indahnya siksaan’ kita tertawa seperti sepasang burung…
merdeka dan bebas… terbang dan lepas.
Melampaui ombak, rindu kitapun kembali merapat dipelukan alam.
Berdekapan mesra diatas bukit-bukit hijau kemudian bersemi dibatas pandang….
*(Nun jauh disana’ diranjang berpeluk’ mereka sibuk menganalisa valas, pasar saham dan memberi kita perintah…)
Tokh’ Siapa yg perduli…
Aku bertanya pada sosok diam yg mencinta tuhan dalam tahtanya.
Bertahun-bertahun kita diguyur kemiskinan, atap rumah yg bocor, sawah ladang yg terampas jadi pabrik…
”Dimana beras, dimana air dari gunung” bocah kecil bernyanyi dengan seruling. Kerling matamu menuntunku menuju surga dan disaat bersamaan anak itu bergelantungan ditubuhmu…
”Mama.. aku lapar” suara itu memecah ku jadi api.
”Ayo kita pulang” senyumanmu masih setulus yg dulu’ meski jerit anak itu merobek tirai sejarah.
Aku tertegun pun anak itu.. tangan kecilnya meronta dalam gendonganmu’
Mungkin dia berontak’
mengapa harus ada lapar saat tanah masih cukup buat semua,
mengapa harus ada tangisan justru ketika slogan pembangunan didengungkan..
Mungkin dia marah’
mengapa dia diperlakukan tidak adil saat penentu kebijakan merampas tanah bapaknya, lapak-lapak ibunya sekaligus juga hidupnya…
Senja berlalu dibalik awan..
Kuusap kepalanya yg basah oleh keringat’ kupegang tangannya yg masih terlalu mungil….
Angin pun berbisik ditelingannya.. samar
”Sabarlah anakku, inilah dunia nyata’ kuatkan hatimu… kita tidak punya makanan tapi akan kubuatkan utkmu senjata agar kau mampu mengambil kembali semua milikmu, akan kubuatkan kau peluru agar kau bisa meruntuhkan tembok kekuasaan di simpang jalan depan sana…
kubur dia dengan sajak-sajakmu’ hancurkan dia dengan nyanyianmu…
Bocah itu tertawa…
Barangkali senang, haru, sedih atw tak perduli…
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-EPISODE III-
Pengap kemiskinan menusuk tepat disepatuku…
Hujan menari dibatu-batu, jalanan pun basah oleh keringat
Ketika kubaringkan tubuhmu di-dipan bertikar bambu’ Rambutmu tergerai bersama libidoku yg memuncak….
Gunung-gunung bergelombang bagai lukisan…
Remang lampu menjilat-jilat dalam ruangan..
Ketika jari-jariku mengupas tubuh mulusmu setelah helai demi helai bajumu menyerpih jatuh dilantai berdebu…
” Telah kujual keperawananku disini” Katamu sambil kau perlihatkan luka-luka didada entah bekas gigitan siapa…
”kau pikir aku perduli” tawaku menyeringai seperti Rahwana ditubuh Shinta.
Sebagaimana yg lain’ aku juga tidak perduli pada airmatamu’
Pun dirimu juga tak lagi perduli pada moralitas yg didengungkan dialtar-altar pemujaan..
”Siapa yg bisa bertahan’ berabad-abad ditindas kelaparan, penderitaan dan penghinaan.” Teriakanmu meruntuhkan sadarku’
*(Nun jauh disana’ Divilla-villa mewah, Cotage- lapangan golf- mereka asyik minum anggur, berdansa salsa lalu memberi kita penjara….)
Kudayung tubuhmu’ menuju singgasana.
Diantara dingin dan keringat, sepotong tubuh jadi hiasan digeladak
Tepi badai samudera mengentaskan perahu kita kembali kesunyi itu
”aku ingin merdeka” tiba-tiba kau menjerit, sambil menghitung lembaran kertas pengganti lelahmu….
Sebingkai foto Kartini tiba-tiba melintas’
Menepis dan tertepis oleh airmatamu yg luruh oleh duka….
Berkacalah’ entah berapa cupangan lagi dilehermu utk menebus sawah bapakmu yg diambil paksa para durjana..
Sepi.. anginpun mendadak diam…
Lalu membunuhku ,,
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-EPISODE IV-
Rumah-rumah tua dikota kecil kita, lapangan rumput tempat biasa dulu kita bermain menghabiskan hari dengan tawa…
Semua musnah oleh peradaban yg beradab…
*(Nun jauh disana’ para Menteri, pemimpin, elite-elite politik, partai liberal, partai konservatif, partai kiri, partai kanan, pemimpin organisasi buruh, sarekat tani, sibuk mengevaluasi data statistik, mengatasnamakan kita lalu melacurkan kita lagi..)
Artikel Terkait
0 komentar:
Post a Comment