Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Friday 12 November 2010

Jump Car Red: Perpaduan Musik dan Monolog Puisi


Musik adalah bahasa universal yang terkadang secara verbal merepresentasikan keinginan, harapan maupun hasrat tak berbentuk. Notasi dan lirik berfungsi sebagai katalisator bagi para seniman musik untuk menyampaikan cinta, rindu, kemarahan, protes bahkan pemberontakan. Adalah Jum Car Red, sebuah band yang juga memilih musik dalam menyuarakan eksitensinya. Di tengah erosi dunia kerja yang menjadikan manusia seperti mesin tanpa emosi dan berbagai persoalan keseharian membuat anak-anak muda ini tak ragu untuk menjadikan musik sebagai kendaraan perang mereka dalam melawan kenyataan semu. Lirik lagu yang sarat makna serta referensi musikal yang juga tidak asal-asalan ditambah lagi aksi panggung yang memadukan unsur teatrikal dan kegenitan rock n’ roll membuat band ini sangat layak ditunggu kehadirannya.

Tersebutlah di tahun 2005, ketika itu Dody Setiadi sedang masa liburan semester lalu menyempatkan diri mengunjungi rumah Okta Purnomo, salah seorang sahabat masa SMA-nya. “Pada waktu itu kami berbincang tentang apa saja, mulai soal perkuliahan yang tak kunjung rampung hingga berbagai persoalan yang dihadapi Okta selama mengarungi dunia kerja. Kemudian kami sampai pada pokok bahasan yang tak kunjung dapat kami selesaikan,” kenang Dody tentang awal terbentuknya Jum Car Red. Ihwal tersebut terus mengganggu perbincangan dua pemuda itu, kegundahan akan masa depan yang menantang, kepenatan dunia kerja, kuliah dan berbagai persoalan lain mau tidak mau menggugah mereka untuk melakukan sesuatu. “Kami sadar peradaban ini tak akan berhenti membenamkan dan menggerus kemanusiaan kami. Di tubir malam, kami sepakat agar tak terjerumus dalam stagnansi lalu kami putuskan untuk menggila. Berdialog dengan hidup menggunakan cara kami. Kami ingin menjadi keras dan terus bergulung agar tetap survive. Dan boom! kami putuskan untuk kembali bermusik,” lanjut Dodi berapi-api.
Tentu saja bagi Dody cs musik tidak lagi sebagai sekedar musik namun menjadi semacam pelepasan sekaligus media mereka dalam berdialektika dengan kehidupan. Sayangnya keinginan untuk mendirikan band baru terealisasi pada tahun 2006. Selepas Dody Setiadi merampungkan kuliahnya dan kembali ke Jakarta. Satu per satu karib lama semasa SMA-nya pun dikumpulkan hingga pada bulan kelima di tahun 2006, dengan komitmen seadanya dalam sebuah sesi latihan di studio sewaan di bilangan Jakarta utara terbentuklah kelompok musik tanpa nama. Itu lah cikal bakal Jump Car Red (JCR). Dari pelafazan, nama Jump Car Red mungkin sedikit asing untuk lidah orang Indonesia. Jelas nama ini tidak sekali-kali dimaksudkan untuk dimaknai menurut aturan gramatikal dalam bahasa Inggris, sebab nama tersebut keluar dari aturan itu namun bagi para punggawanya pemberian nama Jump Car Red memiliki alasan khusus. “Nama Jump Car Red sepenuhnya dimaksudkan untuk dipahami sesuai dengan ungkapan bahasa Indonesia, yakni: Jam Karet, awalnya setiap kali latihan selalu saja ada beberapa kawan yang tidak bisa datang tepat waktu. Dari ungkapan spontan yang berpagar makna leksikal itulah lahir nama Jump Car Red. Sedangkan untuk cara penulisannya yang menuruti gramatika bahasa Inggris sekedar lucu-lucuan saja. Anggap saja sebagai sindiran kepada masyarakat Indonesia yang kebarat-baratan,” ujar Dody tertawa. Meski dari segi nama band ini agak nyeleneh namun mereka tidak bisa dikatakan tidak serius. Ciri menarik dari band ini adalah konsep pementasannya yang mencoba memadu-padankan berbagai macam bentuk pementasan, mulai dari teater baik monolog, drama, puisi, art performance, video art, dan sejenisnya untuk kemudian dihadirkan kehadapan pemirsanya sebagai sebuah sensasi tontonan. Namun hingga saat ini, band ini baru mampu menghadirkan monolog serta puisi dalam berbagai pementasannya. Mereka mengakui bahwa puisi adalah yang paling praktis untuk ditampilkan dalam setiap pementasan, maka hampir dapat dipastikan pembacaan puisi selalu lekat dalam setiap penampilan mereka. “Sejak mula kami bercita-cita untuk menjadikan band ini sebagai penerus semangat band-band rock-teatrikal yang banyak muncul pada sekira tahun 60/70an baik di dalam negeri maupun mancanegara,” tutur Dodi Setiadi.
Sebagaimana layaknya band yang sedang berjuang mengibarkan benderanya, Jump Car Red juga telah mengalami beberapa kali pergantian personel dan kini ditukangi oleh Dody Setiadi (vokal), Okta Purnomo (bas), Rio Madino (drum), Akmal Fauzan (gitar), Muhammad Artan Januar (gitar), Dimas Anindito (kibord) dan saat ini tengah bersiap untuk merilis mini album mereka setelah lama mengembara dari gigs ke gigs. Beberapa lagu Jump Car Red pun sudah tersebar di mana-mana meski secara formal band ini belum mengeluarkan album. Salah satu lagu yang telah sering mereka mainkan ketika tampil di beberapa event musik adalah lagu yang berjudul “Confessions On The Dance Floor”. Sebuah lagu yang fresh dengan suntikan irama yang mengajak orang yang mendengarnya ikut berdendang. Ada juga lagu yang berjudul “Metafora” dengan lirik yang sangat filosofis. Jump Car Red juga memiliki tendensi yang sama dengan banyak orang dalam menyoal kondisi yang terjadi hari ini. Segala pikiran kritis mereka akan termanifestasikan dalam mini album yang sedang proses perilisan dan menurut rencana akan diberi tajuk The First Half of Life. “Konsepnya mini album dengan lima lagu, kami menyoal feminisme dan bias gender dalam lagu berjudul “Katastropi”, berhala dan Tuhan baru dalam lagu “Phedolaboria”, sikap monotafsir dalam melakoni kehidupan dalam lagu “Metafora”, gaya hidup dalam lagu “Confessions on the dance floor” dan juga cinta dalam lagu “My J-Lammy Blues”. Semua itu adalah periodesasi hidup, interpretasi kami atas kehidupan. Mini album ini direncanakan sebagai album konsep yang antara lagu satu dengan lagu lainnya memiliki hubungan. Hubungan tersebut dapat dilihat berdasarkan lirik, urutan lagu serta musik ilustrasi antara yang akan menghubungkan lagu satu dengan lagu lainnya. Insya Allah akan rampung sebelum akhir tahun 2010 ini,” jelas Dody soal mini album Jump Car Red.
Dody Setiadi juga berharap bahwa scene musik independen dapat berkembang untuk memberi wadah dan berimbas baik terhadap musik dalam negeri. “Saya sangat yakin bahwa tumbuh dan berkembangnya sebuah scene itu sangat bergantung oleh media yang mendukungnya. Scene menjadi signifikan jika didukung oleh media yang tepat dan massif Media bisa apa saja dan dalam bentuk apa saja. Dengan kemajuan teknologi media seperti sekarang ini itu tidak sulit,” kata frontman Jump Car Red ini. Tentu saja tidak ada scene musik yang berdirinya dibiayai oleh lembaga donor atau investor terlebih lagi oleh negara. Scene berdiri sebab berkumpulnya orang yang suka terhadap musik atau band tertentu. Di tengah lesunya scene musik independen, Jump Car Red tidak takut untuk tidak menjadi seragam, bahkan mereka mencoba berusaha untuk tidak sama dengan apa yang selama ini tersedia secara massal dalam industri musik. “Vox populi vox dei” itu ngawur karena yang kebanyakan belum tentu baik, belum tentu benar. Kesadaran mekanis adalah kesadaran yang membebek. Ia akan segera rapuh berganti-ganti dari yang saat ini melayu menuju entah apalagi,” demikian statement Dody Setiadi tentang industri musik. Secara tersirat pria yang juga menyenangi filsafat ini mengakui keresahan yang dialami banyak orang. “Saya bukan ingin melecehkan genre musik tertentu, saya menghargai semuanya. Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa menjadi tugas industri musik di tanah air untuk menyediakan berbagai macam genre kehadapan publik. Pilihan akan membuat publik menjadi cerdas, dan tidak membeo,” sambungnya.
Bagi Jump Car red, musik menjadi sebuah media tempat mereka mengungkapkan apa yang mereka rasakan. “Dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore, kami gadaikan jiwa dan raga kami untuk bekerja pada perusahaan tempat di mana kami memperoleh nafkah. Bukan berarti kami tidak bahagia melakukan pekerjaan itu, namun hal itu belum cukup menentramkan individualitas kami. Untuk itu kami berkarya dalam musik yang berfungsi sebagai penawar bathin kami,” ungkap Dody. Interpretasi mereka tidak hanya diwujudkan sebatas musik namun juga pertunjukan teatrikal yang memukau. Dan di panggung, Jump Car Red seakan berada dalam dunia mereka sendiri, menciptakan sejarah dengan lagu yang membawa mereka menuju proses kreatifnya. “Bagi kami rock and roll itu adalah terus menerus melakukan dialog dengan kehidupan,” papar Dodi menutup perbincangan malam itu.

(By me to likethis.com)
http://www.likethisentertainment.com/story/main-band-profile/462-jump-car-red-perpaduan-musik-dan-monolog-puisi-.html
Artikel Terkait

0 komentar: