Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Wednesday, 22 December 2010

When Bedul Meet Tuty * Feelin Blue!



Tadinya gw gak ingin menuliskan kisah ini, terlalu banyak salah yang sulit untuk diluruskan kembali dan sejujurnya gw juga gak yakin lo bisa menyikapinya dengan baik hanya saja semakin lama gw terus menerus dikejar rasa bersalah yang bertumpuk-tumpuk dan gak ada tempat untuk sembunyi.

Sebenarnya kisah ini terlalu singkat dan tak cukup untuk bisa dibagi, pun kenangan selalu gak utuh, tetap ada penggalan yang tercecer! Sayangnya gw gak sanggup menyimpannya sendiri… Tapi sudahlah, kutitipkan saja sebagian kenangan itu didinding dan kusimpan sebagian yang ada. Bila esok kita berpapasan dijalan atau berjumpa dipersinggahan puncak semeru. Kita bisa kembali meraba sisa-sisanya meski mungkin tak lagi sama. Lewat secangkir kopi saat rintik hujan basah dirambutmu pun jika elo tak ingin mengingatnya. Biarkan saja angin mengurainya kesegala penjuru.

Untuk saat ini, yang terpenting lo baik-baik saja....


udahlah.. gak ada yang perlu dijelasin lagi, enough for everythin! terlebih lo udah bohongin gw, jangan hubungi gw lagi” sms itu masuk. Tak terlalu mengejutkan pada akhirnya emang akan seperti itu.


Hey… apakah semua udah berkumpul? Cepatlah.. upacara akan segera di mulai.. Mari! gw akan menceritakan kisah tentang ilalang yang sedang berjuang merambat ke akar pepohonan demi mencari titik air yang jatuh didahan bunga lily.

Tenang guys, Ini bukan roman kemenangan! gw yakin, kisah tentang kemenangan udah terlalu sering elo dengerin dan kadang-kadang kisah kemenangan terlalu romantis untuk orang-orang seperti kita yang mengagungkan petualangan…

sekali lagi, tulisan ini tentang ilalang! Sombong ia menderu lalu menemukan air tapi masih juga memaksakan diri menantang puncak bukit padahal bunga lily tersimpan di vas bunga teras kota ..

julukan ilalang itu bedul dan bunga lilynya bernama tuti. Awalnya mereka meretas rahasia canda, sayangnya.. siang ini diantara mereka ada momentum dingin bertitel perang…

guys.. Lo percaya gak? Kalo ternyata asumsi dan prasangka banyak membekas dijejak kaki yang kita ciptakan, perlahan tapi pasti mematahkan ranting harapan, seperti itu pula ilalang, seiring jalan dia pun rontok dalam prasangka..


ada sebuah kalender dan jam tua, Belum semusim, hari kesepuluh di bulan sepuluh si bedul menyapa tuty ditrotoar malam, waktu itu hujan beringas, dingin juga sunyi padahal jalanan begitu ramai antara pasir danau hingga halaman belakang rumah orang-orang memainkan gitar merayakan kemacetan...

dan di sisi lain sekawanan elang baru balik dari negeri antah berantah lalu berkisah tentang orang yang menunggu hari gelap disebuah stasiun kereta, sesekali mereka menghalau dingin sambil bersorak-sorai ditengah jalan dengan menghunuskan pijar kepada setiap yang lewat, menjelang malam dalam kepenatan metropolis


telanjang kita mengakui keterasingan” ucap si bedul malam itu, tuty hanya menganggukan kepala dan di ujung sana dering telepon tak di indahkannya.


mereka sedang menghitung jumlah kesepian dan gelak tawa yang diselimuti kertas-kertas kerja, hingga subuh tiba dan kendaraan kembali menyalak bagai serigala di semak-semak dan deadline yang mengintai setiap hari.

“apa yang kau dapatkan dul... dari segenggam umur yang diberikan tuhan?” Tuty bertanya.

Sambil bertanya, ia mendendangkan lagu untuk orang tenggelam, berbisik pelan dengan intonasi minim hingga angin pun ragu mengulurkan sayap-sayapnya lalu malam pun mengkaramkan kapal-kapal waktu


“entahlah.. akan jadi apa tubuhku di dalam lingkaran ini, sebelum malam ini gw gak pernah mabuk harum persik pun kerinduan damai terus mengejarku meski gw bersembunyi diatap gedung, padahal gw gak pernah perduli tentang pulang...” jawab bedul.


“mungkin tak ada yang gw dapatkan, mungkin juga ketika elo tersenyum gw gak perlu apa-apa lagi” sambungnya sambil mengedipkan mata


“jadi saja kau batu!” tuty berteriak ditengah jalan yang mengering, udara dingin menghembuskan asap kendaraan, dan temaram lampu berbaris menuju pegunungan…


“ sudahlah.. tak perlu kau hakimi motivasi! Gw menghormati keramahan dan sahajamu, hanya saja, hormatilah.. pendirianku’ kau adalah penyatuan dua sumbu berlawanan, dan gw sadar, bahwa petualangan ini akan berakhir dipelukmu.. gw udah menemukanmu! Kau pikir, sebegitu mudah bagi gw untuk melepaskanmu lagi? “ si bedul menengok. Ia ingin tahu benarkah waktu hilang jejak, adakah seutas rambut yang tersisa, benarkah kakinya berpijak didetik itu. Ia menginginkan pulang, perjalanan yang sama seperti saat mendaki diwaktu lalu, hampir tanpa sesat, semulus betis perawan desa yang terlindung dari jarah para petualang.

Ia salah, tuti tak ditemukannya lagi…



kata-kata adalah senjata karena juga mampu merubah sejarah. Bahasa setua kesadaran dan menemukan pembenaran kognitifnya dalam tindakan… kata-kata adalah media yang memiliki sayap dan bebas untuk diinterpretasikan namun kebenarannya tidak pernah ada..


Lima menit sebelum kapal meninggalkan dermaga tuty berkata

“dul, gw gak pernah percaya kata-kata” lalu lonceng berbunyi namun tubuh tak jua bergerak. Bangku ruang tunggu, menara, kantin, seakan hanya hiasan dinding. Tangga pun dinaikan beriringan dengan layar yang digelar hingga ia tak lihat bekas. Kemana jejak-jejak itu? Ia mencoba mengulurkan tangan, tapi tak mampu menyentuh..

pulanglah… di dekat rumahmu yang bercat biru ada ribuan kupu-kupu yang mendengingkan namamu…. memandikan bukit dari kabut, mungkin itulah tempatmu! baru saja ponakan2mu mengigau, mereka berharap ada sebidang telaga berkecimpung dalam ingatanmu. Sesekali melirik dalam nostalgia, tersimpan cerita tentang pangkalan becak, pasar juga lumpur dan sekawanan kerbau dari simfoni angin dan merdu terkukur yang berlarian menyusur pohon – pohon tempat para petani menuai lelah: seperti cerita-cerita kakek kita dahulu… mematung tapi tanpa derai tawa…


“ah,, tuty, betapa mahalembutnya kau dahulu…” desis si bedul tapi ia lupa, bahwa semua sudah tidak akan pernah sama lagi. Semakin deras dia berusaha, semakin dalam kegetiran didadanya, dan dia pun tak ingin memperpanjang sesak itu lagi.


“karena kebodohan, maka gw terlalu sering mengucapkan selamat tinggal.” Katanya, lalu ia pun luruh pada serpihan sejarah yang tercecer antara jakarta dan bekasi.




Cikarang, menjelang tutup tahun 2010


Artikel Terkait

2 komentar:

Anonymous said...

cool men!

Anonymous said...

Bukti sebuah kebohongan dan perselingkuhan. sekali bohong....tetap bohong!