Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Friday 6 November 2015

Dunia bisa saja terlihat indah saat kita online, namun belum tentu sama saat kita offline!



"Barangkali, status-status menyenangkan dan emoticon smile atau like yang kau tulis di media sosial hanyalah topeng untuk menutupi karaktermu yang membosankan didunia nyata"


Hari ini,
Kita begitu gegap gempita dengan kemajuan zaman. Dunia memasuki babak baru dimana revolusi teknologi menjadi konsekuensi logis dari masyarakat konsumtif. Gadget, handphone pintar, laptop dengan layar sentuh atau televisi super canggih dengan koneksi internet yang mampu menjelajah melebihi kecepatan pesawat. Teknologi telegram sudah usang, pita kaset jadi sejarah, film film hitam putih dimuseumkan. Wartel tidak di-ingat lagi, dan telepon koin? Sudah mati.
Kita disuguhkan pada pemandangan delutif tentang bagaimana berkomunikasi yang lebih efisien. Menjalin konektifitas, bersosialisasi hanya bermodalkan layar sentuh. Semuanya mudah, nyaman, langsung dan cepat.

Media sosial menjadi bagian tak terhindari dari perilaku keseharian kita. Ditengah kompetisi hidup dengan pressure tinggi. Tentu saja, hampir sudah tidak ada waktu untuk bersosialisasi sekedar menyapa tetangga, teman, atau bersua dengan kerabat bahkan bercinta dengan kekasih. Pekerjaan telah merampas lebih dari sebagian waktu yang dimiliki para pekerjanya. Media sosial adalah penemuan paling fenomenal di-era ini. Geger-nya melampaui kegegeran dunia ketika Alessandro Volta menemukan listrik dipermulaan abad 18. Media sosial adalah obat mujarab bagi penyakit keterasingan dunia modern. Pelipur lara bagi kesepian manusia manusia robotic. Tentu saja, itu adalah sebuah terobosan super hebat.
Kita bisa menjalin pertemanan erat dimedia sosial, gadis-gadis bisa arisan hanya lewat facebook, kita bisa mengkritisi pejabat di twitter, melihat trailer film baru di youtube. Mendownload musik dari dailymotion, torrent, ganool dan sebagainya. Mengupload foto makanan di Instagram, path, pinterest, mencari informasi tentang Tuhan di Google, Bing, Yahoo. Mendengarkan khutbah tentang kitabsuci dengan live streaming. Kita juga bisa bercinta lewat chating di whatsapp, di-snapchat, BBM dan aplikasi yang bertebaran dihandphone pintar.
Semua aktifitas itu bisa kita lakukan dimana saja. Di-kantor, di rumah, di halte, di dalam taxy, dalam bus, didalam bajaj, bahkan diatas motor ojek yang sedang melaju. Sambil nyetir, sambil tiduran, sambil makan, sambil buang air pun kita bisa membalas komentar kenalan dimedia sosial. Saat sedang meeting pun kita bisa sambil meretwit banyolan Mario Teguh. Dalam perjalanan pulang kerja kita bisa update status atau membalas chat kawan di-Eropa meski kita lagi nangkring ditoilet umum. Kita juga bisa menunjukan diri lewat skype untuk kekasih jauh (yang tidak percaya bahwa kita sedang beribadah di masjid, gereja atau di pura). Hebatnya lagi, kita-pun bisa orgasme hanya dengan video call.


Yeah, karena begitu mudahnya... maka Teknologi tidak saja mengubah cara manusia berkomunikasi tapi merevolusi bagaimana manusia bercinta. 



Kemajuan teknologi komunikasi dan perkembangan media sosial berhasil membebaskan kita dari keterbatasan waktu. Mengubah rutinitas monoton menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Bayangkan, kita tidak perlu membuang-buang waktu untuk mengunjungi handai taulan yang sedang hajatan. Sekedar mengucapkan selamat ulang tahun atau belasungkawa bisa dilakukan dimedia sosial. Bukan hal yang aneh jika kita melihat orang senyum-senyum sendiri sambil memandangi handphone-nya atau orang yang ngamuk-ngamuk dengan memelototi gadget. Bukan hal lucu lagi jika permusuhan terjadi karena komentar-komentar di media sosial. Lihat? Semua realitas terserap dilayar sentuh itu. Apakah itu benar-benar membebaskan kita? Iya! Awalnya. Hingga kemudian dunia pun menjadi autis dengan sendirinya. Keramaian disekitar kita tak ada artinya, semua itu tak pernah terjadi jika orang lain tidak melihatnya berupa foto atau video dimedia sosial. No pict itu hoax. Orang orang tak lagi diam,semua punya aktifitas masing masing dengan kybord berukuran mini di handphone-nya. Seorang pertapa didalam goa yang hanya berteman bau dupa dan anjing kecil pun tidak akan merasa sunyi jika memiliki koneksi internet. Siapa yang tahu? Jika didalam goa itu dia sedang sibuk twitwar di twitter? Atau sedang asyik masyuk membalas komentar di foto-nya yang baru di upload di-facebook. Atau bisa saja di goa itu, sekedar untuk selfie atau update status lokasi-nya di Path?  Coba tanyakan itu pada anjing kecilnya.
Media sosial telah mengobati kesepian, menyelamatkan kebosanan, menyelamatkan banyak hal. Lihat saja, beberapa dinasti politik di Timur tengah luluh-lantah? dari Tunisia, Kairo, Libia hingga Suriah bergolak karena pesan berantai dimedia sosial.
Kerennya lagi, media sosial adalah tempat sembunyi paling rahasia dari kenyataan hidup yang pahit. Kita bisa berpura-pura baik di twitter untuk menyembunyikan karakter kita yang pendendam. Kita juga bisa berperan sebagai manusia bijaksana difacebook untuk menyembunyikan prilaku kita yang koruptif. Barangkali, kita adalah pribadi yang sangat membosankan didunia nyata tapi dimedia sosial kita bisa jadi apa saja. Kita bisa menjadi pribadi yang menyenangkan, terlihat begitu ceria, bahagia dan bersahabat. Walau saat kita offline, bahkan tetangga-pun tidak tahu siapa kita. Hey bukankah dunia ini begitu manis saat kita online?


Hari ini, kualitas hidup tidak ditentukan dari berapa banyak orang yang berkunjung kerumah kita, atau berapa orang kawan yang datang saat kita terbaring dirumah sakit. Kualitas hidup kita dinilai berdasarkan berapa banyak teman di facebook, berapa ‘like’ dialbum foto virtual,  berapa followers kita di instagram, di twitter atau dari berapa banyak emoticon smile di path saat kita update status. Itulah kualitas hidup kita.


Jelas, keterasingan sudah dibebaskan oleh perkembangan media sosial namun pada akhirnya semua itu segera memunculkan keterasingan lain yang lebih mengerikan, lebih terkutuk. Keterasingan yang lebih menggigil dari dingin kutub utara. Kita sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang virtual, mana yang real. Dunia menjadi delusional. Orang orang sibuk menghitung statistik pertemanan bukan diruang nyata. Para laki-laki robotic jumawa dengan twit-twitnya yang diretwit ratusan orang dan para wanitanya terbuai oleh berapa banyak ‘Like’ dialbum virtualnya. Ke-maya-an yang bermetamorfosis menjadi hyperrealitas. Ironisnya, bukan hal yang aneh jika portal berita memberitakan trending topik di twitter dan apa yang sedang ramai di facebook atau di youtube. Karena apa yang sedang jadi viral dimedia sosial lebih dibaca orang daripada harga cabe yang melambung tinggi.


Kau bisa mengupload foto atau video apa saja dimedia sosial tapi kau tidak akan pernah bisa mengupload cinta. Kau bisa menemukan siapa saja yang ingin kau temukan, mendownload lagu atau video-video yang membuatmu senang tapi kau tidak akan pernah bisa mendownload kebahagiaan.


Kita bisa jadi apapun yang kita mau diruang virtual, mencitrakan diri sebebas-bebasnya. Memenangkan kompetisi ke-maya-an, Kita bisa menciptakan realitas sesuai keinginan kita tapi realitas itu hanya eksis ketika kita online karena pertempuran hidup yang sesungguhnya adalah saat semua gadget, handphone atau laptop berubah offline. Lalu suara disekitar kita berbisik " Hey, sudah makan belum" Itulah hidup yang sesungguhnya.
Karena didunia yang begini sulit, apakah ada yang lebih menyenangkan dari jabat tangan seorang kawan? Apakah ada yang lebih membahagiakan selain pelukan seorang kekasih? Dan semua itu tidak ada dimedia sosial.
Dan sebagaimana layaknya media, jadikanlah media sosial sekedar media yang hanya eksis sebagai media. Bukan sebuah realitas utuh


Jakarta, November 2015

note: source gbr .kompasiana.com


Artikel Terkait

16 komentar:

Anonymous said...

Tulisan ini harusnya masuk ke majalah atau koran tribun, bro EL :D

EL Hendrie said...

oh ya? ysdh. masukin gih.. ah biar disini ajalah :))

Anonymous said...

Seperti yang lo bilang bos, itu konsekuensi logis

Zarathusra said...

Kontemplasi tingkat tinggi nih...hehe

Anonymous said...

Dunia online bikin manusia jd mahkluk antisosial >,<

EL Hendrie said...

Zarathustra@ dung, apa yg gw tulis hari ini juga bakal ilang. akan ada penemuan-penemuan baru dan semua jadi biasa. hehe.

antisosial tp bersosialisasi diruang virtual :D

Zarathusra said...

yang pada akhirnya yang dikatakan nilai itu sesungguhnya tidak bernilai....hehe

EL Hendrie said...

iyah, jadi pertanyaannya, apa yang kita tanyakan dan renungi itu tidak akan eksis selamanya. nihilistik banget :D

Anonymous said...

Terserah

Anonymous said...

Penulis punya brp akun sosmed?? Penulis spt menelanjangi dirinya sendiri.....ehhhhh

EL Hendrie said...

penulis puunya bbrp akun media sosial, bukan menelanjangi diri tapi ini sebuah renungan :D karena bbrp dari kita pengguna socmed, gagal menjadikan socmed sbg socmed malah menjadikan apa yg ada disocmed sbg sebuah realitas yg eksis. itu aja sih :)

Siska "Chika" said...

Welcome back el hendrie. Tulisannya keren banget. jgn hiatus lagi ya

EL Hendrie said...

tengkyu Chika, saya akan mencoba utk tdk hiatus karena hiatus itu hya milik para Nabi. berkunjunglah selalu diblog ini dan mari berharap smg blog ini ttp eksis dan tdk kena spam :D

Bepe said...

Hei Kamyu alien yg mengamati manusia bumi...jaman y bor...sampai dimana nantinya semua ini ya...

Bepe said...

Kamyu alien yg mangamati manusia bumi... jaman y bor.. sampai dimana ini semua natinya ya.. :)

rockrevolt said...

bepe, ini hanya skdr kontemplasi :D