Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Wednesday, 27 April 2016

Kulihat diriku didalam dirimu...

Aku menghirup udara bisu malam ini, udara yang berhembus dari gunung tinggi tempatmu bertahta, ada rindu yang selalu datang menyerangku. Dipagi hari ketika aku terbangun dan menyebut namamu lalu kau pun berceloteh tentang hari yang kau jalani. Tentang kereta, tentang kuda poni, tentang ikan ikan dikolam yang lupa kau beri makan. Seiring matahari naik kepuncak langit menjadi musik latar ribuan pertanyaanmu, ini apa? Sepolos itu dunia memelukmu memberimu waktu untuk mencari apa yang ingin kau cari. Untuk melihat apa yang ingin kau lihat..

Bila kelak, ketika kau pun menua dan rambutmu memutih, kulitmu bersandar pada tulangmu yang ringkih sambil mengenang masa mudamu. Barangkali, aku sudah tidak ada disana... kenanglah, petualangan petualangan kecilmu, masa dimana ketika kau gusar dan labil, hal-hal gila yang menakjubkan. Tapi saat ini, nikmati dulu dirimu,  lepaskan ikatan agar kau bebas untuk bermain dengan dunia tanpa filsafat, tanpa ideologi ideology, tanpa doktrin dan rumus rumus eksata, bebaskan dirimu dari ketiadaan karena apapun yang kelak kau miliki akan memilikimu.


Aku adalah kata kata yang kau sebut ketika pertama kali kau belajar mengendarai awan dan irama yang mengiringimu berdansa didalam hujan itu adalah aku yang menjaga untuk tetap hangat. Maaf, jika aku pernah lupa melukis salju dan abai membiarkan dingin menggelitikmu. Jubah kecil dan topi putih tak akan pernah bisa mengganti apapun namun akan tiba saatnya ketika kau tak bisa lagi jauh. Didalam lingkaran mataku, dalam jangkauan dekapanku. Karena didalam diriku ada dirimu dan aku selalu melihat dirimu didalam diriku.

 

 

  *kepada huruf R yang sedang bermain...











Thursday, 3 March 2016

Spotlight: Film Mainstream paling Nekat yang menyentil Vatikan.

Spotlight

Produksi    :    Universal
Sutradara  :    Tom McCarthy
Biaya         :    20 juta USD


Damn! Itu kata pertama yang harus dikatakan setelah menyaksikan film ini, for sure.. itu bukan makian kepada mereka yang disorot dalam keseluruhan cerita film. Itu kekaguman, edan! Ini film ter’berani’ yang pernah saya tonton. Maksud saya, film Box Office. Okeylah, banyak film diluar sana yang jauh lebih berani dari ini. Film-film yang menyuarakan kritikan atau kebencian yang terang-terangan pada sesuatu tapi itu film-film kelas dua. Pengerjaannya pun abal-abal, film yang bahkan tidak beredar dibioskop. Guys, Spotlight ini beda. Saya sudah menyaksikan ribuan film bahkan saking banyaknya saya sudah tidak bisa lagi mengingat judul tapi ini adalah film mainstream paling nekat yang pernah saya tonton. Saya tidak tahu apa yang ada dibenak Tom McCarthy menyutradarai film ini. Barangkali dia memang nekat, sekedar mencari kontroversi? atau memang tanggungjawab profesionalnya? What the hell... Setelah semua ini, apa dia masih berani datang ke Vatikan?

Yeah.. Film ini adalah film yang diambil dari kisah nyata tentang sekelompok jurnalis dari surat kabar Boston Globe yang mempublikasikan kisah pelecehan sexual anak dibawah umur dalam Keuskupan Boston ditahun 2001 pasca 9/11. Tak tanggung-tanggung 70 lebih Pastur terlibat didalamnya. Film ini dibintangi Mark Ruffalo, Michael Keaton, Rachel McAdams, Liev Schreiber, John Slattery, Stanley Tucci. Mereka memainkan perannya dengan baik. Saya tidak mau mengatakan mereka luar biasa karena karakter yang mereka perankan tidak butuh energi extra seperti Gretta yang ketakutan difilm The Boy, atau peran konyol nan sadis Ryan Renolds di film Deadpool. Mereka tidak memainkan karakter anthem seperti Di Caprio difilm The Revenant. Tidak juga seperti karakter hening yang diperankan Colin Farell di film The Lobster. Atau peran epic nan megah Liam Hemsworth di film In The Heart of The Sea. No! Titik fokus saya adalah apa yang coba diutarakan dalam film. Para jurnalis di film ini, benar benar menohok langsung ke jantung Vatikan. Keberanian mereka mengungkap pelecehan sexual di-Boston seakan kotak pandora yang membuka ratusan kisah pelecehan lain diseluruh dunia dalam Gereja Katolik. Sutradara McCarthy mengerjakan ini dengan segala kemampuannya. Setting awal tahun 2000-an, ketika bunyi telepon genggam masih polyponic juga komputer kantor masih dengan monitor tabung.  Semi klasik. 

Saya menyaksikan Spotlight dengan perasaan campur aduk, ada ketakutan dan kemarahan didalamnya. Perasaan perasaan yang berjalan semakin jauh. Film ini menegaskan bahwa institusi keagamaan bukan hal suci untuk dikritik, tak perduli itu Katolik, Kristen, Islam, Yahudi, Budha, Hindu, Kong Hucu, Zoroaster dan sebagainya. Para jurnalis Boston Globe mempublikasikan hampir 600 kisah tentang skandal ini sepanjang tahun 2002 yang akhirnya membuat 249 Pastor dan Biarawan didakwa didepan umum. Bulan desember 2002, Kardinal Law mengundurkan diri dari Keuskupan Boston. Setelah keberhasilam tim Spotlight membongkar skandal pencabulan tersebut menyusul beberapa tempat didunia juga ikut diungkap dan lebih dari 200 wilayah yang membentang dari Eropa, Amerika, Afrika, Australia dan Asia. Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa keseluruhan institusi agama bisa menjadi sangat cacat akibat ulah segelintir orang didalamnya, yang semakin buruk ketika dilakukan oleh mereka mereka yang dianggap sebagai representasi Tuhan dan itu terjadi pada hampir semua agama. Bukan sekedar pencabulan tapi lebih dari itu. Sejujurnya, saya tidak mau menyalahkan agama karena apa yang terjadi didalam agama baik dan buruk barangkali memang bukan salah Tuhan. Whatever.

Well.. film ini bukan tanpa kritik, sebuah artikel 8 Januari 2016, di The New York Times mengatakan bahwa Spotlight keliru tentang bagaimana Gereja menangani kasus-kasus pelecehan seksual. Dalam artikel itu menuliskan cacat terbesar Spotlight adalah kegagalannya untuk memerankan efek psikolog para pejabat Gereja. Bagaimana para imam yang terlibat bisa aman kembali ke pelayanan setelah menjalani perawatan terapi. Film ini seakan mengabadikan mitos dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dari kisah nyata pelecehan.
Lepas dari itu, saya angkat topi untuk kedewasaan Vatikan yang justru bijak dalam menghadapi kontroversi film Spotlight. Surat kabar Vatikan, L'Osservatore Romano, bahkan memuji Spotlight sebagai upaya meyakinkan untuk menunjukkan penyalahgunaan dan hal yang ditutup-tutupi dalam gereja Katolik. Saya tidak yakin, institusi agama lain akan melakukan hal yang sama seperti Vatikan. Surat kabar L'Osservatore Romano menerbitkan editorial pada halaman depan dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan sutrdara Tom McCarthy bukan sesuatu yang anti-Katolik. Editorial tersebut menyebutkan film Spotlight disajikan sebagai upaya gereja untuk mempertahankan diri dalam menghadapi kenyataan menghebohkan. “Tidak semua monster memakai jubah”. Tulis editorial itu. Pedofilia tidak selalu timbul dari kaul kemurnian, hal itu akan dijadikan pembelajaran bahwa dalam institusi agama beberapa orang lebih sibuk dengan citra lembaga daripada tindakan.

Anyway, dengan segala kontroversinya kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Spotlight mendapatkan puluhan penghargaan termasuk ratusan nominasi diseluruh dunia. Memenangkan BAFTA Awards 2016 dalam katageori Best Original Screenplay, kemudian Hollywood Film Awards dalam katagori Screenwriter of The Year. Di tetapkan sebagai Movie of The Year oleh AFI Awards USA 2016. Alliance of Women Film Journalist memberi Spotlight kemenangan dalam katageri Best Director, Best Writing dan Best Original Screenplay. Film ini juga mencatatkan namanya dalam Autralian Film Institute, Independent Spirit Awards, International Cinephile Society Awards, London Critics Cirlce Film Awards, Toronto International Film Festival, Venice Film Festival dan banyak lagi hingga puncaknya meraih Oscar 2016 dalam katagori Best Motion Picture of the Year, Best Writing dan Best Original Screenplay. Siapa yang meragukan film ini?

Pada akhirnya film hanyalah sekedar film. Interpretasi visual atas peristiwa yang terjadi dimana kebenarannya kadang menyisakan perdebatan. Kekuatan dalam film ini adalah keberaniannya menunjukan pada dunia anomali anomali yang begitu tabu untuk diungkap. 

Mengutip dialog dalam film ini

“ We gotta show people that nobody can get away with this”



Tuesday, 1 March 2016

Review Film September Dawn: Kisah Gereja Mormon dan Keberagaman Kita

 


Film ini beredar tahun 2007, diangkat dari kisah nyata berawal dari tewasnya Josep Smith atau seorang yang dianggap Rasul oleh Gereja Mormon atau Latter Day Saints, di Indonesia dikenal dengan Gereja Orang Orang Suci Zaman Akhir. Kemudian memunculkan pembalasan orang orang Mormon. Berangkat dari peristiwa di-bulan September tahun 1857 yang menceritakan pembantaian di Mountain Meadows dengan mengambil nyawa 120 pria, wanita, dan anak-anak. Korban itu adalah mereka yang bepergian dari Arkansas menuju California. Tentu saja film ini meninggalkan kontroversi. Bagi penganut Mormon film September Dawn adalah distorsi sejarah. Namun terlepas dari itu, sutradara Christopher Kain  menggunakan penayangan yang artistik dalam pembuatan film ini untuk memberi kesan bahwa film ini tidak diabaikan dari fakta yang sebenarnya.

Saya mencoba keluar dari kontroversi dengan menarik lebih jauh tentang kekerasan atas nama agama. Sejak awal berdirinya, Mormon dianggap menyimpang dari ajaran Yesus. Namun seiring berjalannya waktu ajaran Mormon berkembang pesat diseluruh dunia. Bahkan politisi Partai Republik Mitt Romney eks Gubernur Massachusetts yang juga calon presiden Amerika ditahun 2012 adalah penganut Mormon yang taat. Ryan Gosling yang terkenal dengan Film The Notebook adalah seorang aktor yang tumbuh besar dalam ajaran Mormon. Saya membayangkan jika film ini adalah film yang menyerang agama mayoritas di Indonesia pasti akan menimbulkan keributan atau bahkan huru hara yang luarbiasa. Kita tidak bisa membayangkan jika salah satu Gubernur di Indonesia dari Ahmadiyah, Syiah, Mormon atau Saksi Jehovah, apa bisa eksis di negara ini? Tentu saja, kita tidak bisa menyamakan Amerika dan Indonesia. Namun sebagai salah satu negara demokrasi terbesar didunia pada saatnya Indonesia akan kompromi dengan hal hal tersebut. Whatever.

Hari ini, kekerasan atas nama agama marak diberbagai tempat di Indonesia. Perang ideologi yang menampilkan sisa doktrin Orde Baru dengan aksi aksi ormas yang melarang peredaran buku, film, acara dan sebagainya. Argumentasi dilawan dengan ancaman. Debat kritis diberangus tanpa memberikan penjelasan rasional. Ironisnya peran negara seakan akan tidak ada. Begitu banyak orang phobia dengan komunisme, liberal atau paham paham dari luar. Barangkali kita sudah lupa, bahwa bahkan agama pun kita impor. Saya meyakini, komunisme sudah jadi bangkai dan pun jika harus bangun lagi hanya sekedar teori diatas meja, hanya sekedar perdebatan intelektual. (sorry to say) Tidak mesti harus setuju dengan Fukuyama namun mau akui atau tidak tapi demokrasi liberal sudah menang sejak politik perestroika Gorbachev lahir. Komunisme sudah tidak perlu ditakuti, apa yang dibawa Marxisme saat ini hanya sebagai acuan ilmu sosial. Tidak lebih.

Kembali ke film tadi, kita harus mengakui, bahwa negara ini terlambat beberapa abad dari negara negara demokrasi lainnya dalam membangun komitmen keberagaman. September Dawn memang hanya soal interpretasi. Namun jika menyimak film itu jelas itu adalah kampanye yang akan membuat penonton membenci Gereja Mormon-Latter Day Saints. Lihat bagaimana dramatisnya peristiwa itu. Wanita dan anak anak dibawa menuju ladang pembantaian lalu ditembak seperti hewan. Sangat vulgar. Anehnya, tidak ada perlawanan-nya yang berarti dari Latter Day Saints untuk membendung opini yang dibangun dalam film ini. Padahal Rasul kedua mereka, Brigham Young dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut. Okeylah.. Mereka menolak membenarkan namun tidak ada hura hara. Tidak ada teror. Tidak ada gesekan yang berarti.
Well, bagaimanapun juga memang tidak bisa membawa hal-hal seperti itu ke indonesia. Kondisi geopol dan sejarah masyarakat kita berbeda dengan negara lain. Namun sekali lagi, kita harus melihat fakta bahwa saat ini Indonesia sedang coba dibawa menghadap ke Timur tengah, Arab, Suriah. Beberapa lainnya mencoba membawa kita ke Barat. Ada juga yang mencondongkan kita ke Rusia, China. Whatever... Keberagaman memperkaya kita. Dan karena keberagaman itulah Indonesia masih tetap eksis hingga hari ini.

Mengutip kata terakhir di-film September Dawn’

"The story of hate will eventually die but the story of love will last forever"


Wednesday, 24 February 2016

Martina Gedeck, My fave one



Martina Gedeck was born 14 September 1961 in Munich, West Germany. she's one of the best German actrees. I m being her fan when the first time i watched her film by title Baader Meinhof Complex. Which story about underground movement againts capitalism in german at 1970s. By that time i figured out her movies and i’ ve seen some of them. Like The wall, The Live of others, Atomised, Sommer 42, Mostly Martha etc. Gedeck has a good carieer. She’s very talented. In the movie title Atomised she’s playing hard on her character. Acting as a women with sexual adventures. in that film, She was playing with Moritz Bleibtreu who’s the same actor involved in Baader Meinhof Complex. In 2013, Gedeck was a member of the jury at the 70th Venice International Film Festival.
well, Madam.., you rockin me anyway.