Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Wednesday 29 August 2018

Dalam Pertempuran Cebong versus Kampret, saya memilih menjadi Nyamuk.

“Substansi perang bukanlah mati untuk negaramu tapi membuat para bajingan lain mati untuknya” 

George Patton



Friksi politik memanas dan dipastikan akan semakin tajam menjelang Pilpres 2019. Kecebong versus Kampret merupakan label yang diasosiasikan antara pendukung Jokowi vis a vis anti Jokowi. Terminologi tersebut merujuk pada nama binatang yang menjadi peliharaan presiden ke 7 itu. Sementara kampret, entah dari mana munculnya namun cukup marak dimedia sosial untuk memberi julukan bagi mereka yang anti pemerintahan jokowi.
Sempat ada harapan munculnya alternatif baru namun pupus ketika SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat telah mengumumkan untuk berkoalisi dengan Partai Gerindra. Hampir dipastikan, pilpres 2019 menjadi pertarungan ulang Jokowi versus Prabowo.
Dua orang ini seakan nabi bagi para pendukungnya, dipuja dengan pembelaan mati-matian bahkan diwarnai caci maki khususnya di media sosial. Perdebatannya menjadi kontraproduktif karena ujungnya akan berakhir dengan.. ah dasar cebong atau ah, kampret kebanyakan micin.

Suka atau tidak, kita berada dalam perang opini dua kubu itu.


Jokowi seakan mewakili kaum nasionalis, moderat, sementara Prabowo kerap didukung partai-partai Islam hingga image bahwa beliau adalah representasi dari Muslim Indonesia terbangun dengan sendirinya. Apalagi PA 212 yang dikomandoi Habib Riziek terang-terangan menunjuk dirinya sebagai calon presiden dalam Itjimak Ulama tempo hari. Meski ada banyak cibiran bahwa PA 212 tidak mewakili seluruh umat Islam di Indonesia dengan adanya ada dua partai islam yaitu PKB dan PPP dikubu Jokowi. Sementara di kubu Prabowo juga ada partai nasionalis moderat. Partai Gerindra dan Demokrat jelas bukan partai Islam meski didalamnya ada PKS dan PAN. Inilah politik, klaim mengklaim bukan hal baru.
Masyarakat terpecah dalam dikotomi politik yang sudah ada. Orang-orang yang anti Jokowi akan memilih calon lain selain dia dan karena ketiadaan alternatif maka Prabowo menjadi satu-satunya pilihan. Begitu juga sebaliknya, orang yang tidak suka Prabowo akan memilih Jokowi. Pertanyaannya, apakah semua sesederhana itu? Apakah di Indonesia cuma ada Kecebong dan Kampret? Bagaimana dengan belalang? Bagaimana dengan buaya misalnya? Atau katakan saja bagaimana dengan binatang-binatang lain?
Spektrum politik Indonesia masih menampilkan dua warna itu. Dibanding pilpres sebelumnya, yang masih menampilkan lebih dari kandidat. Kali ini, revenge antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto sudah bisa ditebak jauh hari sebelumnya.
Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar didunia, Indonesia masih dalam perjalanan panjang menuju kesempurnaan. Masih banyak hal yang terus diperbaiki, pendek kata: demokrasi indonesia masih berproses. Cebong dan Kampret mungkin gagal melihat hal itu sebagai nilai plus dalam bernegara. Semua hanya ingin calon yang mereka dukung terpilih sebagai presiden. Taggar 2019 ganti presiden berhadapan taggar dia sibuk kerja. Persekusi, saling sindir atau adu fitnah dimedia sosial seakan menjadi baliho dan umbul-umbul yang mewarnai perjalanan demokrasi kita.
Apakah ini kemajuan dalam demokrasi kita? Bisa iya. Bisa juga tidak.
Sangkakala sudah dibunyikan, semua orang sudah siap dengan amunisi perangnya.  Adu strategi, adu ide, rebutan dominasi dan momentum dan terus memainkan opini. Sebuah hal yang sudah sewajarnya ada dalam sebuah negara demokrasi. Pilpres kali ini yang menyisakan dua kandidat, ibarat dua orang lagi bercumbu rayu ditaman kosong, gelap, penuh syak wasangka juga diliputi ambisi dan syahwat kekuasaan. Dua orang tersebut adalah kecebong dan kampret, mereka sedang asyik masyuk saling meraba dalam gelap tak peduli pada apapun, meski nyamuk terus mengitari disekeliling taman. Sesekali nyamuk nyamuk itu menggigit dan ditepis, menggigit lagi dan ditepis lagi. Cebong dan kampret terlalu terburu nafsu hingga lupa kulitnya bentol digigit nyamuk. Lalu, siapakah nyamuk itu?

Dalam pertempuran Cebong versus Kampret, saya memilih menjadi Nyamuk.

 

Nyamuk tidak pilih-pilih dalam menentukan mangsa, jika kampret mengeksploitasi isu SARA maka nyamuk akan menggigit, bila cebong ikutan latah menggunakan politik identitas maka nyamuk pun akan menggigit. Memberi warna merah dan bintik kecil pada kulit cebong dan kampret sebagai pengingat bahwa mereka tidak sedang bercumbu berduaan. Ada orang laih ditaman itu, ada banyak orang yang harus mereka pikirkan. Ada efek sosial dari narasi yang mereka bangun. Sebagai nyamuk, maka pilihan politiknya tidak harus netral atau wajib golput. Tidak juga. Nyamuk bertugas untuk menyerang dengan gigitan kecil bila cebong dan kampret bertindak nakal. Nyamuk bebas memilih tanpa terafiliasi satu partai tertentu. Bukan hal yang salah bila nyamuk memilih cebong atau bila nyamuk pada akhirnya memilih kampret. Bukan dosa juga bila ternyata nyamuk harus golput. Pilpres masih berapa bulan lagi. Tinggal dilihat, siapa yang menggunakan narasi keagamaan, kesukuan atau ras dalam kampanyenya. Siapa yang menstigma, siapa yang mengkafirkan, siapa yang menggunakan SARA, politik identitas demi memenangi kontestasi pilpres. Andai kampret bermain dengan itu maka nyamuk akan menggigit dan memilih cebong. Sebaliknya, bila cebong memanfaatkan identitas keagamaan untuk memenangi pilpres maka nyamuk akan menggigit dan berada di pihak kampret. Nyamuk adalah oposisi bagi semua pihak sekaligus kawan bagi mereka, nyamuk adalah lawan dari para penebar kebencian, rasisme, politik identitas serta hoax dan SARA, pendeknya, nyamuk adalah penjaga kebebasan berpendapat dan demokrasi Indonesia
Efek dari pilpres 2019 adalah sejauh mana demokrasi Indonesia berkembang dan taruhan utamanya adalah kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika Indonesia sukses melaksanakan pilpres 2019 tak peduli siapapun yang harus terpilih nanti maka dapat diramalkan Republik ini akan berjaya dikemudian hari. Seperti kata pepatah: Kapal yang tangguh tidak berlayar dilautan yang tenang.
Semoga Cebong dan Kampret mau mendengar bisikan Nyamuk agar tidak bermesraan ditaman gelap. Ayo, bercumbu ditempat yang terang, dengan cara yang benar, terhormat dan bermartabat. Karena apapun jenis ras, warna kulit, agamanya, sukunya, kita semua orang Indonesia.

#saynotoracism
#freethinker
#spreadlovenothate
Artikel Terkait

1 komentar:

Unknown said...

Great article 👍👍👍