Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Friday 30 September 2016

Gegap- Gempita Nara Masista dan Kegagalan Diplomasi Luar Negeri Indonesia




source picture/okezone
 Media sosial dihebohkan dengan beredarnya pidato diplomat muda Indonesia di PBB, Nara Masista Rakhmatia. Video tersebut menjadi viral dan diperbincangkan sedemikian rupa. Hampir dipastikan dengan segala puja-puji. Tontonan tersebut seperti film laga, tokoh utamanya adalah seorang perempuan muda dan orang jahatnya adalah pemimpin-pemimpin negara di Pasifik Selatan yang berani mengutak atik soal Papua. Pidato tersebut semakin heroik dengan mengutip pepatah lama sebagai penutup. ”Ketika seseorang menunjukkan jari telunjuknya pada orang lain, jari jemarinya secara otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri”  
Terlihat keren bukan?

Tapi saya melihatnya berbeda
Apa yang Nara Masista tunjukan bukan sebuah hal yang mampu memberi nilai plus pada diplomasi luar negeri kita. Dibalik semua itu, Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Luar Negeri) seperti menyembunyikan kegagalan-kegagalannya dalam membangun diplomasi terutama dalam kasus Papua. Diplomasi bukan sekedar sebuah aksi heroik yang ditunjukan secara jumawa, bukan juga sebuah pidato yang diberi tepuk tangan meriah. Pidato Nara Masista bagi saya hanya pintu masuk menuju hal yang lebih besar dan itu bukan sekedar isu HAM di Papua, isu kesejahteraan, isu separatisme atau yang lain lain. Saya mencoba menghindari topik itu dengan melihatnya dari sudut pandang diplomasi luar negeri (terlepas ada/tidaknya masalah serius di Papua) 

Mari kita masuk


Nara Masista berpidato di PBB dalam kapasitasnya sebagai perwakilan Indonesia dalam sidang MDGs. Tidak ada agenda sidang untuk membahas persoalan Papua hingga kemudian isu tersebut dikemukakan beberapa negara Pasifik dan tentu saja membuat Indonesia kaget terkejut. Memang, kita sudah mengetahui dengan pasti bahwa beberapa negara Pasifik yang tergabung dalam MSG (Melanesia Sparhead Group) concern terhadap isu Papua. Bahkan Vanuatu adalah satu diantara beberapa negara yang terang-terangan mendukung Papua lepas dari NKRI. Jelas? Betapa kecolongannya Indonesia hingga tak bisa menghentikan manuver yang dilakukan oleh Vanuatu, Tuvalu, Marshal Island, Tonga, juga Solomon. Artinya jauh sebelum pidato Nara, Kemenlu telah gagal menegosiasikan persoalan Papua bahkan dalam lingkaran MSG yang ironisnya setelah lebih dari 20 tahun MSG diprakarsai, Indonesia baru setahun yang lalu (2015) menjadi assosiciate member (sebelumnya sebagai peninjau) yang tentu saja dengan berbagai kontroversi didalamnya. 

Pertanyaanya
Kemana saja Kementerian Luar Negeri selama ini? Apa yang sudah mereka capai dalam diplomasi Indonesia dikawasan Pasifik? Untuk kawasan Pasifik, masukan apa yang sudah mereka berikan kepada kementerian terkait, apakah itu Kementerian Perdagangan, Pendidikan, Pertahanan dan sebagainya? Selama beberapa dekade apakah Kemenlu luput memperhatikan perkembangan dikawasan Pasifik dan efek dominonya?  Apa pekerjaan para diplomat kita selain membicarakan penempatan tugas di Eropa sambil menikmati salju yang dibiayai negara? Apakah kerjasama antar negara hanya fokus di Timur Tengah? Eropa? Amerika? Tentu kebodohan luarbiasa jika masalah Pasifik lepas dari pengamatan dan hari ini Kementrian Luar Negeri mulai menelan kebodohannya. Apakah aksi heroik Nara Marsista yang menyentil beberapa kepala negara Pasifik bisa menutup kegagalan itu? Come on!
Pada akhirnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa diplomasi luar negeri khususnya di kawasan Pasifik  memiliki beberapa pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Jika selama ini, ASEAN menjadi fokus utama Kementerian Luar Negeri dalam kerjasama regional maka sudah saatnya Indonesia mengubah fokusnya dengan meningkatkan kehadirannya di-kawasan Pasifik melalui kerjasama bilateral ataupun miltilateral disemua bidang. Mengingat pentingnya kawasan tersebut bagi Indonesia. Selain memperbaiki hubungan dagang, politik dan keamanan, goal-nya jelas terhadap persoalan kedaulatan.

Tinggalkan ASEAN beralih-lah ke Pasifik! 


Hubungan Indonesia dengan negara negara pasifik bisa dibilang ”begitu begitu saja” dan diantara beberapa negara Pasifik, Kepulauan Fiji dan Papua Nugini sedikit lebih baik. Kita nyaris tidak memiliki hubungan dagang yang berarti dikawasan Pasifik. Neraca perdagangan regional menitikberatkan kerjasama di kawasan ASEAN. Barangkali karena sesama Asia Tenggara maka Kementerian Luar Negeri lupa bahwa ada wilayah di Indonesia yang masuk dalam Sub-Melanesia-Polinesia yaitu Papua, Maluku, Nusa Tenggara (daerah selain Papua adalah sub Polinesia). Tidak bisa lagi Indonesia menyebut dirinya Pasifik namun melihat Pasifik sebagai kawasan jauh. Pasifik adalah bagian dari regional Indonesia dan ini harus diimplementasikan dalam kebijakan luar negeri.
Kunjungan Luhut Binsar Panjaitan beberapa waktu lalu di Fiji dan Papua Nugini berimbas dengan dukungan mereka menolak ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) menjadi member tetap MSG. Berhasil? Kelihatannya iya. Sayangnya, isu Papua sudah tidak bisa lagi dihentikan. Kegagalan Kemenlu sejak puluhan tahun lalu berimbas pada apa yang dihadapi Nara Marsista Rakhmatia disidang PBB kemarin dan pidatonya tidak bisa menutupi apa apa, bahkan memberi tanda agar Kementerian Luar Negeri sudah harus buka-bukaan, apa kerja para diplomatnya? 
Tentu kita semua setuju, bahwa kepentingan nasional adalah hal utama dalam diplomasi luar negeri



Artikel Terkait

1 komentar:

Anonymous said...

Amazing work
Creative skills and thoughts
See this for more
http://freeprintablecalendar123.com/2016/10/17/september-2017-calendar-landscape-portrait-a4-sheet/
Its also exciting and you may love it
Thank You!