Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Showing posts with label CULTURE. Show all posts
Showing posts with label CULTURE. Show all posts

Thursday 7 January 2010

SEJARAH SENI MUSIK SEBAGAI MEDIA PROPAGANDA DI INDONESIA *sebuah catatan singkat -


Di Indonesia, sejarah kesenian (musik) dalam menjadi mesin propaganda telah berkembang sejak masa kolonial. Ketika Belanda berkuasa dibumi pertiwi, lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dilarang beredar. Rekaman lagu itu dibuat sangat terbatas dan judulnya pun dirubah menjadi “Indoness Indoness karena lagu tersebut dapat mengugugah jiwa patriotisme anak-anak muda. Zaman pendudukan Jepang, situasi mulai sedikit berubah. Pemerintah fasis Jepang memanfaatkan seniman-seniman pribumi untuk kepentingan propaganda “Negara Asia Timur Raya”. Pada Maret 1942 Jepang mendirikan “Radio Hosyo Kanri Kyoku” yang disiarkan dari Tokyo dan untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya (versi 3 stanza) dikumandangkan secara luas dengan iringan Orkes Simponi “Nippon Kosyo Kanri”. Ironisnya dibulan April tahun 1942, secara sepihak Perdana Menteri Jenderal Tojo Hideki mengeluarkan pengumuman melalui radio Hosyo Kanri Kyoku melarang pemutaran lagu Indonesia Raya dan upacara pengibaran bendera Merah Putih. Pemerintah Jepang lalu mengeluarkan Undang-Undang no 4 yang mewajibkan rakyat Indonesia mendengarkan lagu kebangsaan Jepang “Kimigayo” dan melaksanakan upacara pengibaran bendera “Himomaru”. Setelah itu, Jepang mendirikan Badan Pusat Kesenian Indonesia (BPKI) diketuai oleh Sanusi Pane. Organisasi itu didirikan pada bulan Oktober ditahun yang sama. Tujuan pendirian BPKI tersebut dimaksudkan sebagai siasat untuk memanfaatkan para seniman Indonesia agar mau ikut mensukseskan Negara Kesatuan Asia Timur Raya. Dimasa itulah “Cornell Simandjuntak” menciptakan lagu“Hancurkanlah Musuh Kita, Itulah Inggris dan Amerika”yang menjadi slogan perjuangan dan sangat populer pada masa itu. Di tahun 1943, Jepang kembali merekrut seniman Indonesia dibawah bimbingan komponis “Nobuo Lida” untuk mensosialisasikan lagu-lagu propaganda Jepang (Nippon Seishin). Seniman-seniman yang tergabung diantaranya antara lain, Cornell Simandjuntak, Kusbini, Bintang Sudibyo dan Ismail Marzuki. Lagu-lagu yang berhasil diciptakan contohnya adalah, Menanam Kapas, Bikin Kapal, Bekerja, Menabung, bersatu, Buta Huruf, Fajar, Kereta Apiku, Sayang, Asia Sudah Bangun, Bagimu Negri, Maju Putra-Putri Indonesia (setelah merdeka, lagu ini dirubah menjadi Maju Tak Gentar), Menanam Jagung, dan lain-lain. Keseluruhan dari lagu itu seakan-akan merepresentasikan dukungan rakyat Indonesia terhadap perjuangan Jepang melawan sekutu. Propaganda Jepang ini tidak berlangsung lama. Pasca kekalahannya oleh Sekutu, seniman-seniman Indonesia merubah ulang lagu-lagu tersebut demi kepentingan perjuangan. Pada tahun 1946 para alumni “Hollandsch Inlandsche Kweekschool” (HIK) membentuk paduan suara Pemuda Nusantara yang secara rutin menyanyikan lagu-lagu perjuangan di RRI Kotabaru, Yogyakarta. Mereka cukup sukses mengobarkan semangat kebangsaan didada para anak-anak muda untuk ikut berjuang demi kemerdekaan.

Pasca proklamasi 17 agustus, seni kembali dihadapkan pada kepentingan politik. Berawal dari sikap politik Soekarno yang anti barat hingga pelarangan segala hal yang berbau western. Baik produk ekonomi hingga menyentuh ruang estetika. Dengan kebijakan itulah maka personil ”Koeswoyo Bersaudara” ditangkap karena dianggap memainkan musik yang bertentangan dengan budaya Indonesia. Disini estetika dimaknai sebagai sesuatu yang bisa bermuatan politik. Presiden Soekarno mencanangkan irama lenso sebagai musik yang sesuai dengan budaya bangsa dan didukung oleh Jack Lesmana, Titiek Puspa, Lilis Suryani, dan Bing Slamet. Presiden RI pertama itu juga merangkul beberapa seniman untuk kepentingan propaganda. Lilis Suryani, penyanyi yang dekat dengan Sukarno menciptakan lagu berjudul “Oentoek Paduka Jang Moelia” lagu itu berorientasi untuk mengkultuskan figur Bung Karno. Beberapa lagu juga berhasil diciptakan untuk kepentingan politik semisal propaganda “Pergi Pedjoeang” dalam konfrontasi Indonesia dan Malaysia.

Diera Orde Baru Soeharto, musik lebih banyak digunakan untuk kampanye dalam mensukseskan program-program pemerintah. Seperti Mars Pemilu, Mars Keluarga Berencana, ACI (aku cinta Indonesia) dan lain sebagainya. Titik Puspa menciptakan lagu berjudul “Bapak Pembangunan”. Lagu itu didedikasikannya untuk pimpinan Orde Baru.

Pada perkembangan selanjutnya, kesenian (musik) terus bermutasi dalam panggung-panggung politik. Era Reformasi, para penguasa silih berganti menggunakan musik demi kepentingan agitasi. Para politikus kerap menghadirkan seniman dalam kampanye-kampanye mencari dukungan. Ada juga yang menggunakan musik untuk sosialisasi. Lihat, beberapa pemimpin partai politik belakangan ini sering membuat album musik. Dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan album “Rinduku Padamu” hingga Soetiyoso mantan Gubernur DKI Jakarta dengan album Campur Sari berjudul “Adem Panas”. Pada album ini, Sutiyoso, menyumbangkan suaranya pada lagu “Yeng Ing Tawang Ono Lintang”. Lain halnya dengan Amien Rais, capres yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) pada pilpres 2004. Meminta “Nomo Koeswoyo” untuk dibuatkan lagu. Hasilnya lagu “Putra Nusantara” pun diciptakan sesuai pesanan Mantan Ketua MPR itu. Selain itu, contoh yang lebih jelas adalah saat kampanye baik pilkada maupun pemilu. Partai-partai selalu menghadirkan seniman (artis Musik, Film, Sinetron) dalam mengambil perhatian massa. Disini seni menunjukan dirinya sebagai titik sentral agitasi dan propaganda.

berapa banyak hutang negeri ini pada kesenian, seni musik menopang berdirinya republik ini -

*tulisan ini adalah tulisan yg objektif tanpa bermaksud turut campur antara dukung mendukung atau antara sepakat dan tidak sepakat pada adanya negara, hanya sebuah tinjauan historis!

Tuesday 5 January 2010

Perempuan: Patriarki & Feminisme


catatan ini adalah hormatku untukmu wahai perempuan, yang kutulis ketika dingin salju tak lagi mampu menghangatkan sesalku saat kemuliaanmu di injak oleh kaki biadab sepanjang zaman sejarah' tulisan ini untukmu, yang kuwarnai dengan darah perawanmu, saat kontruksi social dunia modern merobek-robeknya lalu menghakiminya, kudedikasikan ini untukmu wahai perempuan: dengan kerendahan hati serta rasa bersalah yang kupikul akibat dogma keunggulan kaumku para laki-laki, ini untukmu wahai perempuan’ dengan segenap cinta dan rasa hormatku…



Sejarah Masyarakat Adalah Sejarah Penindasan Perempuan



Perempuan adalah mahakarya agung yang mencipta dirinya dari harum bunga dan ranting-ranting rimba, dihiasi oleh kelembutan, dilindungi kemarahan, ditaburi keindahan juga di dibalut kebengisan: Perempuan adalah selekta warna-warna yang memiliki pertarungan abadi: sopan tapi angkuh, melankolis sekaligus tegar, lembut namun ganas. Keseluruhan dari dirinya -emosi, tubuh maupun pikirannya- merupakan relasi utuh yang membentuk dunia sekaligus mampu menghancurkannya, perempuan adalah laki-laki yang dipisahkan oleh system social dan reproduksi kapitalisme.
Menurut sensus, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1 berbanding 3, dengan argumen ini pula perempuan secara de facto menjadi tenaga kerja paling banyak dan murah dalam akumulasi dan perputaran modal. Perempuan mengambil tempat paling banyak dalam aktifitas sosial namun ironisnya semua aktifitas tersebut jauh dari citra kesetaraan karena posisi-posisi utama yang berhubungan dengan segala kebijakan tidak memberikan perempuan peran yang jauh lebih aktif. Jika demokrasi adalah partisipasi suara mayoritas di parlemen maka demokrasi adalah parody menjijikan bagi perempuan – kenyataannya, di semua belahan dunia, parlemen-nya selalu didominasi oleh kaum laki-laki. (*meski demokrasi sesungguhnya memiliki kelemahan-kelemahan yang mereduksi hak laki maupun perempuan tapi saat ini, gw gak bicara demokrasi). Penindasan perempuan telah berlangsung berabad-abad hingga tak akan mampu digambarkan oleh relief-relief sejarah karena ditulis menggunakan tinta darah dan air mata, penderitaan perempuan tersimpan dengan rapi dan berkesan indah karena dijaga oleh mitos, dogma dan norma-norma social. Dari masa ke masa, perempuan hanya dipandang “apa dia seharusnya bukan dia sebenarnya”. Perempuan di jadikan objek sex, komoditi, sebatas nilai tukar pun hari ini, perempuan kerap dijadikan symbol transaksi bisnis para laki-laki. Perempuan hampir tidak memiliki kemerdekaan pada tubuh dan hidupnya apalagi dalam masa pancaroba kapitalisme dan di wilayah-wilayah miskin, perempuan hanyalah warga kelas dua dan bagi para perempuan proletar, mereka adalah budak dari para budak (simone de beavoir, second sex). Perempuan proletar selain dihisap oleh system ekonomi politik juga di miskinkan perannya oleh budaya patriarki yang masih berjaya di diwilayah-wilayah dimana tingkat pengetahuan tidak setara khususnya dinegeri dunia ketiga.


PATRIARKI



Terimalah sesak ini diparu-parumu, sesak yang kubagi dari paru-paruku lewat angin laut yang kencang dan bintang di langit jauh. Resah yang sama dimatamu, seperti itu pun dimataku, kau dengarkan suara hidupku, seperti nyanyian hidupmu yang dilantunkan di pendapa suci dan dijaga norma-norma. kudengarkan selalu bisikan hatimu yang datang melaju kearah jantungku sambil kau bisikan “kita adalah sama karena kau dan aku telah di lebur cinta yang bebas, tak ada identitas pembeda diantara kita, semua hilang oleh kesetaraan karena kita sama merasakannya, letih sama kita asah, airmata sama kita teteskan, bahagia sama kita bangun walau tembok-tembok tirani mencoba membangun jarak di sekeliling kita”
(dedicated untuk seseorang tak bernama’)




Melacak jejak penindasan perempuan dan era munculnya patriarki dimulai berabad-abad yang lalu. Beberapa pemikir kontemporer meletakan pemisahan gender ketika manusia primitive mulai menetap dan mendomestikasi binatang dan tanaman hingga tercipta pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, ini berkisar setelah zaman es berakhir-(neolitikum), saya sendiri, beranggapan bahwa pemisahan gender terindikasi dimulai sebelum zaman es, ketika hominid sebagai primata pertama (homo sapiens 250.000 tahun setelahnya) mulai intents mengkonsumsi daging pada masa awal perburuan. Hominid merupakan primata pertama yang berdasarkan relief gigi maupun bentuk fisikal lainnya merupakan vegetarian karena mereka tidak memiliki cakar juga gigi yang tajam sebagaimana karnivora. Meskipun mereka juga mengkonsumsi daging binatang namun pola makan pada dasarnya terpaut pada tumbuhan. Pada masa masyarakat pemetik (peramu-pemburu-hunter gatherer) pemisahan gender belum terinstitusikan karena dalam proses mencari makanan mereka hanya terikat pada tumbuhan dan jenis tanaman. Ketika intensitas memakan daging binatang mulai signifikan karena kondisi yang lebih dingin dimana tumbuhan semakin sulit untuk didapatkan maka di titik itu terjadi pemisahan gender yang secara implisit juga menciptakan hirarki, control, dominasi dan munculnya negara dan property privat (pada point ini saya bergabung dengan para vegetarian untuk membenarkan bahwa penindasan, dominasi, kontrol dan lahirnya hirarkis kelas dimulai ketika manusia mulai aktif memangsa binatang). Berburu binatang juga menunjukan jejak awal transformasi aktivitas manusia yang bebas kedalam sesuatu yang mirip kerja. Aktifitas berburu merangsang terciptanya privilege laki-laki dan dominasi mereka terhadap perempuan. Menjelang zaman es datang, ketika makanan semakin sulit untuk didapatkan maka berburu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian tertentu (kegesitan, kekuatan, skill). Pada era ini, dominasi laki-laki belum begitu permanen karena perempuan juga masih turut berburu namun secara umum, budaya patriarki mulai terindikasi dari sini karena laki-laki merupakan jenis kelamin terbanyak yang melakukan aktifitas berburu dengan keistimewaan inilah maka peran laki-laki mulai istimewa karena memiliki akses utama terhadap makanan. Setelah zaman es berakhir dan dimulai pola hidup menetap, pemdomestikasian binatang dan tanaman maka dipoint ini pula, imperium mulai berkembang, property privat, control, dominasi dan hirarki klas seimbang dengan peran perempuan yang terpinggirkan karena hanya sebatas menjaga anak, rumah serta mengurus ladang. Dititik ini patriarki menjadi mapan dan subordinasi perempuan lalu bersifat struktural karena dibenarkan dalam praktek dan lembaga-lembaga social.
Di zaman feodal, kekuasaan seorang raja di ukur dengan seberapa banyak gundik, selir yang dia punya, raja memiliki kekuasaan yang tak terbantahkan untuk memperoleh akses terhadap kepuasaan libidonya (para raja, mang brengsek). Perempuan dianggap hanya sebagai hiasan, sekedar identitas, pun dalam legenda maupun mitos-mitos rakyat, peran perempuan terpinggirkan sama sekali. Jejak perempuan sebagai komoditi merupakan silsilah lama dalam masyarakat patriakri, lelaki kaya (bangsawan, raja, saudagar) memiliki lebih dari satu gundik dan anak-anak perempuan dianggap sebagai hak milik keluarga yang dapat dicampakkan sekehendak hati ayahnya. Sebaliknya anak laki-laki penting, mereka menjadi milik keluarga asalnya dan bagi masyarakat kolot ini, hanya dari garis keturunan lelaki-lah keturunan sebuah keluarga dapat dilacak, perempuan berada diluar lingkaran. Tubuh mereka hanya sekedar sarana bagi para laki-laki mengabadikan dirinya. Perempuan hanya sekedar media, identitas bagi laki-laki.
Pada abad 18, ketika Johan Gutenberg menemukan mesin cetak, perkembangan ilmu pengetahuan meluas, buku-buku menyebar dan memberikan beragam pengetahuan, dunia pun memulai era baru hingga meluas pada perjuangan gender, meski beberapa agama mengklaim bahwa sebelum modernitas terproklamirkan, mereka sudah menyatakan kesetaraan gender jauh sebelumnya (tp gw gak pengen berdebat ttg klaim-klaim itu) modernisme juga memberi blue print bagi kapitalisme yang sedang menuntut daerah-daerah baru selain sebagai perluasan pasar juga sebagai eksploitasi sumber daya baru, industri kapal dibangun sebelum wright bersaudara menemukan pesawat. Kolonialismepun menjadi hal yang lumrah di berbagai belahan dunia hingga sejarah mencatat beberapa imperium besar menjadi penghancur kebudayaan-kebudayaan lokal- para imperilalis itu menjejakan kakinya di daerah-daerah yang diklaim terbelakang. Colombus menemukan Amerika, pelayaran bersejarah Magelhaens di Filipina, Albuerque-que di Afrika hingga Bartholomos diaz, mereka adalah penakluk-penakluk daerah baru yang dipuja negaranya sebagai pahlawan tapi dikutuk sebagai penjajah di koloninya.
Perluasan industri demi perputaran modal pun masuk ke wilayah tak bertuan, pegunungan, kampung juga dusun-dusun terpencil, industri yang ditandai dengan pabrik-pabrik, televisi, radio juga beragam tetek bengek media lainnya bergerak dengan garang dan menghancurkan hutan, sawah, ladang juga sungai dan laut biru, bersama dengan itu, ikatan kekeluargaan yang selama ini merupakan penopang kekerabatan local juga ikut di binasakan. Efek nyata dari perkembangan ilmu pengetahuan modern adalah runtuhnya budaya local, kearifan adat istiadat dan lain sebagainya, meskipun sebagian dari dogma itu itu merupakan ketidakadilan bagi perempuan namun di sisi lain, modernisme juga memiliki kontradiksi yang pada akhirnya juga membawa perempuan menuju puncak kesengsaraannya. Berkuasanya modal, dominasi/kontrol negara dan lain sebagainya merupakan item-item ketidakadilan yang menghisap tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki. Pada negara-negara liberal, kesetaraan bagi perempuan tidak lagi menjadi isu yang romantis karena perjuangan persamaan gender telah mencapai tahap yang signifikan meskipun belum maksimal (juga menyimpan banyak kontradiksi) karena pada dasarnya perempuan tetaplah dijadikan sebatas komoditi, dihisap, diperkosa hak-haknya, di lebur dalam mesin industri yang tidak punya mata.
Reproduksi kapitalisme dewasa ini semakin samar untuk di kenali, apalagi dimusuhi- system ini bermetamorfosa dalam berbagai wajah manis, kekuatannya juga terletak pada cara-nya memanipulasi kesadaran, gencarnya iklan dan tawaran-tawaran barang merupakan trigger aktif konsumerisme, dilevel produksi tak pernah ada keadilan, pertumbuhan ekonomi yang belakangan ini diberitakan, hanya kampanye para eksekutif-eksekutif di world bank, kolaborasi dengan penguasa-penguasa local memudahkan jalan bagi para liberal-liberal itu memuluskan jalannya. (hmm, tentang ini, udh terlalu sering dibahas,). Jika ada pertumbuhan ekonomi maka jangan pernah percaya dengan slogan pemerataannya, pembangunan di sector-sektor industri malah menjadikan manusia seperti sapi perah bagi para pemodal, dan perempuan adalah yang paling menderita dibanding laki-laki (termasuk para transgender, homo atau lesbian,). Perempuan benar-benar dititik terendah, paling banyak menderita dalam piramida kehidupan. Ketidakadilan ekonomi, akses terhadap uang (pekerjaan, kalo masih ada yang percaya kerja), juga budaya patriarki yang belum juga tuntas dalam masyarakat membuat kondisi perempuan semakin menyedihkan. Kemiskinan, kelaparan yang menakutkan, dan bagi perempuan kelas menengah, keinginan-keinginan untuk membeli barang mewah membuat perempuan semakin dekat dengan bisnis pelacuran. Sungguh ironi, dunia modern dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang menjanjikan kemegahan bagi kehidupan manusia ternyata menyimpan tangisan kaum perempuan didalamnya, dunia modern yang konon kabarnya memiliki kekuatan nilai-nilai religius dimana penghormatan pada ikatan kekeluargaan yang kokoh dijunjung tinggi juga aturan moralitas sexual yang setara ternyata justru menyimpan jeritan pilu kaum perempuan, jeritan yang disembunyikan di rumah bordil, penjara dunia kerja, pabrik-pabrik bahkan didalam rumah tangga. (so’ jangan tanyakan moral universal di dunia yang kaya gini, gak ada moral’ karena moralitas telah lama di kuasai dan dijadikan alat kendali para bangsat-bangsat itu, termasuk didalamnya politisi, pemimpin juga para pengkhotbah).




FEMINISME




emansipasi bermula dalam jiwa seorang perempuan, dalam proses emansipasi internal, perempuan tertindas dapat mengetahui nilai mereka, menghargai diri dan budaya yang mereka miliki. hanya dengan proses ini, mereka dapat berada dalam posisi yang efektif untuk melawan dan mengatasi penindasan dan tingkah laku eksternal. hanya ketika kamu menghargai dirimu sendiri, kamu akan dapat meminta orang lain untuk menghargaimu juga. –Emma Goldman-


Proyek feminisme secara umum percaya bahwa jenis kelamin dan gender merupakan ciptaan social dan kultur yang tidak dapat direduksi menjadi sekedar perbedaan biologys. Feminisme sebagai teori politik juga sangat plural dan menciptakan banyak opsi-opsi dalam gerakannya (feminisme sosialis, feminisme hijau, feminisme liberal, feminisme perbedaan/radikal, feminisme hitam/pasca-colonial maupun feminisme post-strukturalis). Para feminis kontemporer berpendapat bahwa feminitas dan maskulinitas bukanlah esensi universal dan kategori yang kekal tetapi merupakan ciptaan wacana, (*jika mengambil teory kuasa pengetahuan dari Foucault, jelaslah sudah bahwa posisi perempuan terpinggirkan karena sejak lama akses terhadap penciptaan citra tertutup hingga dogma sejarah terpelihara bahwa perempuan harus selalu dibawah laki-laki).
Dominasi dan subordinasi terhadap perempuan merupakan hubungan yang tidak hanya terjadi antar bangsa atau kelompok etnis, citra perempuan yang terpinggirkan juga digambarkan dengan stereotip cultural yang mereposisi peranan jenis kelamin. Kaum laki-laki biasanya ditampilkan sebagai bersifat dominant, aktif, agresif dan otoritatif yang digambarkan dapat melakukan berbagai macam peranan yang penting, beragam, profesionalitas, rasional dengan kekuatan yang menjamin mereka melakukan semua hal dengan berhasil. Sedangkan perempuan, biasanya ditampilkan subordinate, pasiv, marjinal dengan menjalankan pekerjaan yang sekunder dan tak menarik yang terbatas pada jenis kelamin mereka, emosi mereka maupun domestikasi mereka.
Selain itu, feminisme melihat sex/kelamin sebagai sebuah sumbu organisasi fundamental dan sangat sulit direposisikan kembali. Dengan demikian, perhatian utama kaum feminis adalah pada jenis kelamin sebagai prinsip pengaturan kehidupan yang sarat dengan relasi kekuasaan (lihat: lagi-lagi kekuasaan, kekuasaan itu merusak makanya harus dihancurin)
Perbedaan laki-laki dan perempuan disebut berakar dari pengalaman menjadi ibu, pengalaman itu di kritik sebagai mode penindasan historis tetapi juga di rayakan sebagai kekuatan perempuan dan potensi-potensinya. Kelamin dianggap sebagai aspek biologys tubuh sedangkan gender merupakan asumsi dan praktik-praktik kultur yang mengatur kontruksi social lelaki, perempuan dan relasi social mereka. Bagi para feminis poststrukturalis, variasi-variasi kultur yang membedakan perempuan dan laki-laki dianggap menunjukan bahwa tidak ada kategori perempuan atau kategori laki-laki, lintas tersebut dapat dialami oleh semua orang karena yang ada hanya berbagai mode feminitas dan maskulinitas yang diperagakan.
Feminisme sosialis merupakan wacana kritik patriarki yang diletakan bersamaan dengan kritik terhadap kapitalisme dengan menganggap bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan bukanlah akibat dari factor biologys yang abadi melainkan konsep sosio - ekonomi cultural, dengan menekankan kesetaraan di segala bidang. Feminisme sosialis menujukan keterkaitan antara kelas social dan gender termasuk ketidakadilan gender yang mendasar dalam reproduksi kapitalisme. Subordinasi perempuan dibawah laki-laki dipandang sebagai sesuatu yang intrinsic dalam kapitalisme maka dengan demikian, untuk membebaskan perempuan secara total, organisasi dan kelas social harus ditumbangkan terlebih dahulu. Para feminis sosialis percaya bahwa kerja domestic perempuan merupakan inti dari reproduksi tenaga kerja baik secara fisik maupun secara cultural. Perempuan merupakan stok tenaga kerja termurah dan fleksibel yang dapat dipulangkan kerumah jika dibutuhkan. Bagi mereka untuk mensetarakan perempuan dan laki-laki maka kapitalisme harus di hancurkan terlebih dahulu berikut semua organisasi pendukungnya. (gw sepakat dear…!!)


V untuk perempuan!!!!

Thursday 10 December 2009

Rock & Roll, Hippies & Komunitas DeBanners



some of us are Rock ‘n' Roll stars, chasing the flash and travel most of us wear the right length of hair’ but that's all that is left of the dream oh, the dream it was born in the Summer of love and it died with the Woodstock Nation but what has it left for the carpenter's son and the new coming generation? oh, we all believed we knew the way, but fate did not agree Now we've tired of asking who we are’ and what we ought to be - Steppenwolf band - Children Of The Night – 1968




Hey’ rockstar di TV: Aku tidak ingin membodohi otakmu yang dungu itu dengan propaganda ini, tidak ingin memberi pledoi atas apa yang kupercayai dari sebuah gerak sejarah yang berliku’ Tidak!! sekali saja - aku hanya ingin mempertegas bahwa rocknroll belum mati, belum habis, selalu ada, bermula dan menjadi dari jalanan, dari pemberontakan paling esensi di hidupmu bukan di stage glamour atau gigs-gigs yang menampilkan guest star bintang rock paling bersinar di abad ini - menjadi bagian dari hippies bukan sekedar harus antri masuk café mewah dan membeli beer 3 pictcher - bukan!! menjadi Rocknroll adalah ketika kau pernah merasakan bagaimana bermusik di gigs jalanan, mengembara dalam keringat malam dan melabuhkan mimpimu pada 12 bar sambil mengacungkan jari tengahmu pada industri musik mainstream! Ketika lagu-lagumu bercerita tentang perlawanan dan perang jalanan sedangkan bau aspal pun tidak pernah kau cium maka musikmu, lagumu, juga dirimu adalah pembual paling menjijikan- percayalah bung’ slogan di lagu-lagumu itu konyol!!
Sebelum sejarah menjadi kalimat yang hanya terlukis di lembaran buku usang lalu membeku di sudut paling gelap ingatan manusia, sebelum malam berakhir marah dan alcohol menetes sia-sia di gelas-gelas lupa dan keremangan subuh membakar helai-helai rambutku, sebelum wajah matahari mengupasku jadi debu, melarutkan mimpiku ke dalam kubangan marah yang nihil - aku ingin duduk sekali lagi disana – meludahi aspal bersama mereka para hippies baneris, menikmati tiap detik waktu yang ada sambil bercerita tentang teks-teks filsafat, tentang gitar tua, tentang musisi-musisi ghaib yang lupa menggunakan LSD, sambil memainkan musik abadi, yeahh!! Bersama mereka yang masih setia menjaga api gelora ditengah kepungan industri musik yang seolah tak lelah menjejalkan sampah di tenggorokan peradaban - rocknroll bukan pada berita di TV - bukan disana – kemarilah!! dan kau, akan mati sebagai orang yang paling beruntung!!



MOMENTUM ROCK & ROLL...



Did you ever hear tenor sax swinging like a rusty axe? Honking like a frog...' baby that is rocknroll. You say that the music spoils the verse but you can’t understand the words but baby if you did your really blow your lid… oohhh, baby that is rocknroll. -Leiber & Stoiler- That Is Rrocknroll direkam oleh The Coaster maret 1959

Rocknroll awalnya adalah sebuah terminology yang ditemukan Alan Freed, seorang DJ asal Cleveland - Amerika yang memandu acara disebuah radio bertema ”Mondog’s Rocknroll Party ditahun 1951. istilah ini belum merujuk pada Elvis Presley dari Misisippi yang diklaim sebagai king of rocknroll (Bandingkan dengan Rilisan Elvis pertama pada Tahun 1954). Sebenarnya, bentuk dari istilah ini, telah esthalished di dada kaum budak amerika jauh sebelum dikuasai oleh band-band Inggris (British Invasion). Penindasan dan hirarkis kelas memaksa para budak itu menyuarakan musik sederhana sebisa mereka. Ketika penghisapan tuan tanah menyatu dalam keringat mereka, saat segregasi rasial merupakan kebenaran tunggal, spirit rocknroll dimulai dari perkebunan-perkebunan tersebut. Dalam tangisan kaum budak yang menyuarakan kebebasannya. Lahirlah ”Blues”, (*David N Townshend, Changing The World, Rocknroll Ideology and Culture). Blues merupakan peletak dasar dan fondasi paling awal music kontemporer. Saat musik hanya bisa didengarkan diruang-ruang mewah para tuan tanah dengan anggur dan salsa, kaum budak merevolusi paradigma itu dengan menemukan glosarium dari musik jalanan. DJ Alan Freed menggunakan istilah Rocknroll untuk mengganti istilah Rock’n’Rhytem yang terlalu identik dengan musik kaum budak. Saat itu, Pendengar musik kulit putih amerika & eropa belum terbiasa dengan Rock’n’Rhytem, karena istilah itu bagi mereka bertendensi eufemisme budak Afrika dalam gerakan-gerakan seksual. Hadirnya istilah rocknroll menjadi saksi bahwa rocknroll adalah bentuk kompromi kaum putih terhadap musik para budak. Mercusuar diterimanya musik hitam dalam piringan musik amerika!! Atau dengan kata lain sebagai moment sejarah dimana ide-ide anti perbudakan mulai memasuki wacana pemikiran mainstream orang amerika dan eropa!!

Gelombang Pertama (1)


Gelombang pertama rocknroll merupakan percampuran antara musik Rock & Blues kulit hitam dengan musik Country kulit putih dari selatan. Dimainkan dengan gitar elektrik, piano, saksofon dan dobble bass. Lagu-lagu seperti Blackboard Jungle, Rock around The Clock berhasil menunjukan akan keterbutuhan suatu bentuk musik yang baru karena Jive dan Jitterburg masih merupakan bagian dari gaya musik swing yang lama. Musik ini kemudian cukup subversive dan menjadi trade mark bagi para calon pemberontak. Rocknroll sejak awal dianggap gila dan liar dengan memastikan hubungan kenakalan rocknroll dan pikiran public. Citra ”Sampah dari selatan” tidak menyurutkan rocknroll dalam kubangan sampah malah semakin mengukuhkan eksistensinya dalam pencerahan universalnya...


Gelombang Kedua (2)


Gelombang kedua rocknroll melahirkan Elvis Presley, Chuck Berry, Eddie Cohrane, Lee Lewis, Gene Vincent, Bill Haley dan lain sebagainya. Perkembangan industri rekaman maju pesat setelah Marconi menemukan radio hingga membesarkan industri rekaman dan pada tahun 1947, enam perusahaan besar (major label ) menguasai pasar musik dunia, - Columbia, Decca, Capitol, MGM, Mercury- namun kecenderungan industri musik tersebut terkesan monoton maka anak-anak muda menolak musik yang ditawarkan industri, dititik inilah progresivitas indie label muncul (bukan ditahun 70-an seperti selama ini yang dipercayai para kritikus musik) beda-nya saat ini indie label hadir sekedar ketidakpuasan pada musik mainstream dan belum disusupi ideology- ketika itu, pertarungan major label dan indie label hanya sekedar pertarungan antara modal besar melawan modal kecil, susupan ideology indie label muncul ketika anak-anak PUNK menemukan culture “do it your self” pada awal 70-an. Era perkembangan indie label bermetamorfosa ketika musik rock & rhythm bertemu dengan musik hillbilly, musik hillbilly mengacu pada suku apalachia yang berasal dari folk dan dibawa ke amerika oleh imigran irlandia. Bersama musik hillbilly, berkembang pula musik para budak, blues, jazz, dan rock & rhythem (Veronika Kalmar, A Brief History Of Indies). Di tahun 50-an, Leonard Chess dan saudaranya Philips mendirikan Chess Record di kota Chicago, Chess adalah indie label yang merilis Rock n blues, Jazz hingga Soul, meskipun rilisan awal chess record merekam musisi seperti Muddy Waters dan Howlin Wolf cukup fenomenal namun kegemilangan chess record menuai hasil yang menggembirakan ketika Chuckberry menggemparkan dunia musik dengan album Maybeline miliknya. Pada tanggal 22 maret 1952, Sam Philips mendirikan Sun record, studio musik yang berkembang menjadi Indie label ini hanya merilis musik rock and rhythem, Sun record kemudian menemukan Elvis Presley, kegemilangan Elvis yang membawa harum Sun record terutama dengan jasa besarnya mempopulerkan Rocknroll membuatnya jadi bintang pop yang dipuja diseluruh penjuru dunia hingga Sam Philips menjualnya kepada label besar The Radio Corporation Of Amerika (RCA) demi untuk tambahan dana bagi label miliknya dan dari dana tersebut maka Sun record kemudian melejitkan Johny Cash, Carl Perkins, Roy Orbison, Charlie Rich dan Jerry Lee Lewis. Di akhir tahun 50-an, di Detroit amerika, Barry Gordy dengan Motown record-nya mencapai titik puncak kesuksesannya dengan menjadi satu-satunya indie label yang memiliki sound khas, image juga mempopulerkan gaya hidup yang smooth, soulfull dan stylish. Motown records mempopulerkan The Miracles, The Temptasion, The Supremes, Marvin Gaye, Stevie Wonder, The Four tops, Martha and The Vandelas, The Isley Brothers dan lain sebagainya, Motown record berkuasa sepanjang tahun 60-an.


Gelombang Ketiga (3).


Gelombang ketiga rocknroll bermuara di Inggris menjelang The Beatles dirampok parlophone record’s dan Bryan Jones beserta The Rolling Stones merevolusi style manis flamboyant ala Beatles. Sebelum era emas mereka, Para peniru trend musik amerika ini meningkat dari dunia Skiffle, British Psychadelic yang lalu ditelurkan para impresario seperti Tommy Steele, Clifft Richard, Adam Faith, Bill Fury dan Mary Wilde yang menggabungkan nyanyian bersuara rendah dengan rock dan tampil parade dalam hit. Meski media penyiaran juga pers Inggris memboikot musik ini dengan mengatakan ancaman amerikanisasi namun tidak menghalangi rocknroll bermetamorfosa sebagai salah satu ikon perubahan. Rocknroll orisinal selain sebuah genre mutasi juga merupakan gaya musik yang memperkenalkan cemooh pada konvensi-konvensi kuno borjuis yang secara terbuka menyumbangkan sikap, etos libertarian yang genre musikologynya didaur ulang juga dihidupkan kembali pada decade2 selanjutnya. Pada akhir tahun 60-an bentuk-bentuk musik yang terinspirasi rocknroll mewabah di Inggris. -Heavy Metal, Punk, Prog Rock, Hard Rock, Glam Rock Bahkan Folk Rock-



SUBKULTUR-SUBKULTUR awal ROCK & ROLL…



Ketika gaya bermusik berubah, dinding kota berguncang, ini adalah pesan yang mungkin harus siap kalian terima karena mereflesikan sikap berontak anak-anak muda yang keluar dan merobohkan tembok-tembok kota –Melody Maker 19 Agustus 1967-

Adalah omong kosong jika memahami rocknroll sebatas sebuah esensi musik tanpa spirit awal yang meletakan sejarahnya, dari masa ke masa rocknroll seperti telah diprediksikan akan lahir dan menjadi ancaman bagi kemapanan gaya hidup kelas atas. Sebelum era perang Vietnam dan kekakuan budaya konservatif Victorian di Inggris- rocknroll berhasil menyusup dalam kultur masyarakat, spirit-spirit pembebasan untuk mencapai pencerahan universalnya, kegemilangan yang juga di ikuti dengan ketidakadilan, perbudakan, perkembangan pengetahuan dan hancurnya imperalisme, semua itu merupakan point-point penting sejarah rocknroll hinga hadir dan mengintai di jendela kita. Mari kita mundur sebentar kebelakang…………..!!!



Periode Romantik



Karena telah kelelahan dengan perjuangan abadi untuk menemukan jalan menuju materi kasar, kami memilih jalan lain dan berusaha untuk merengkuh yang tidak terbatas, kami masuk kedalam diri kami sendiri dan menciptakan sebuah jalan bagi dunia kami sendiri- Henrik Stefens aka Wergelend, Penyair Romantik Jerman abad 18


Menjelang akhir abad 18, di Eropa terjadi sebuah ledakan sosial yang besar. Kesenian mulai memasuki tahapan yang tak lagi eksklusif. Jika diabad-abad sebelumnya, kesenian, baik seni patung, teater, puisi juga seni musik hanya gunakan sebagai alat pemujaan terhadap sesuatu yang bersifat transenden dalam arti kesenian hanya dipakai sebagai media untuk peribadatan pada dewa-dewa, alam dan sebagainya, maka dipenghujung abad itu terjadi pergeseran pemahaman. Momentum itu dimulai di Jerman. Saat Imanuel Kant mempublikasikan tesis2nya “Das ding an sich” atau dunia diluar persepsi manusia. Bagaimana objektifikasi estetika lepas dari segala atribut akal. Dunia maupun kesenian bebas dari kesan indra manusia. Setelah rumusan itu, berimbas pada pemujaan ego yang besar sehingga terjadi pengagung-agungan jenius kesenian-an. Inilah dalam sejarah dikenal dengan “Periode Romantik”. Seperti halnya zaman Renaisance, kaum romantik juga menyakini pentingnya seni bagi kesadaran manusia. Pada periode ini, kesenian yang dulu cenderung ekslusif disubversi kembali kejalanan. Kesenian tidak lagi hanya milik altar-altar pemujaan namun berkembang menuju alam kesadarannya sendiri. Diera ini, kesenian mengalami kemajuan yang luar biasa. Seni musik, puisi juga bidang seni yang lain mengalami ejakulasi pemikiran. Sambutan masyarakat terhadap kesenian sangat apresiatif bahkan berlebih-lebihan. Ketika “Goethe”, menulis novel berjudul “ Sorows Of Young Wether (1774)” novel yang mengisahkan seorang pemuda yang menembak dirinya sendiri setelah gagal mendapatkan gadis pujaannya. Berimbas pada angka bunuh diri yang meningkat tajam hingga untuk sementara buku itu dilarang beredar di Denmark dan Norwegia. Selain itu, “Johann Gottfried Von Herder” mulai merintis kesenian rakyat dengan mengumpulkan lagu-lagu rakyat dari belahan negeri dan diberi judul “Voice Of People”. Diperiode ini pula, lahir seorang “Ludwig Van Beethoven”, pianis yang musiknya mengungkapan perasaan dan kerinduannya yang otonom, berbeda dengan musisi klasik zaman Barok (Baroque) seperti “Johann Sebastian Bach” maupun “George Frideric Handel” yang menyusun karya-karyanya untuk memuliakan Tuhan dalam bentuk musik yang kaku. (*Jostein Gaarder, Dunia Sophie). Pada jaman Barok, piano belum ditemukan, dan komposisi dikarang untuk hapsicord. Partitur musik di jaman Barok ditandai dengan tidak adanya iringan atau polifoni. Musik Barok lazimnya hanya mencerminkan satu jenis emosi saja. Dibanding dengan Musik Romantik, musik Barok jarang mempunyai modulasi atau rubato. (*Wikipedia, Sejarah Musik). Zaman Romantik dalam sejarah musik Barat berlangsung dari sekitar awal 1800-an sampai dengan dekade pertama abad ke-20. Musik zaman Romantik dikaitkan dengan gerakan Romantik pada sastra, seni, dan filsafat, walaupun pembatasan zaman yang digunakan dalam musikologi berbeda dari pembatasan zaman dalam seni yang lain.


Beat Movement.




Dari ungkapan yang cakap, jernih dan paling penting yang telah dibuat oleh generasi itu, Kerouac menamai tahun-tahun tersebut dengan istilah Beat, dan dia adalah sang Avatar -Gilbert Millstein dalam resensi Novel On The Road – New York Times 5 September 1957-

Sekitar tahun 1952, “Jhon Clellon Holmes menerbitkan sebuah novel berjudul ”Go”. Dalam novel ini ditemukan Istilah ”Beatittude”. Frasa ini kemudian diterapkan pada sejumlah kecil seniman, penulis dan orang-orang bohemian yang aktifitas dan keyakinannya dicatat dalam prosa dan puisi otobiografis, mistis serta eksperimental. Kemudian ditahun 1957, Jack Kerouac seorang penulis Amerika menelurkan istilah Beat Movement pada novelnya yang berjudul ”On The Road”. Hingga mengilhami generasi-generasi muda yang dengan bangga menyebut diri mereka sebagai Beat dan mengadopsi nilai-nilai herois para pahlawan dalam buku itu’. Komunitas Beat Movement ini sangat terpengaruh oleh ”Dadaisme” dan pencerahan romantic. Mereka sering bertemu dan sama-sama menemukan kegairahan individual dengan melakukan penolakan terhadap masyarakat borjuis serta gaya hidup tanpa akar. Keutamaan romantisisme, eksperimental serta unsur-unsur religi timur dan pengunaan alcohol menjadi sesuatu yang niscaya bagi komunitas ini. Wacana-wacana nihilsitik dan eksistensialisme juga sangat mempengaruhi gerakan ini. Tidak bisa disangkal, bahwa pengaruh pengaruh ideology Post-Marxis sedang melanda dunia. Perkawinan pemikiran tersebut lalu melahirkan mazhab-mazhab eksistensialisme yang memadukannya dengan Nihilistik Nietzchean. Pemikiran-pemikiran tersebut berhasil mengkooptasi subkultur-subkulture didunia juga gerakan Beat. (namun hal tersebut tidak akan dibahas spesifik disini, agar tidak lari dari konteks). Pada akhir tahun 50-an, gerakan Beat berkembang di kalangan seniman-seniman avant garde di Inggris. Bob Dylan tak bisa memungkiri bahwa Folk revolusioner yang dibawa nya adalah anak kandung dari Beat Movement. Musim panas 1965, Allens Gisnberg, Gregory Courso bergabung dengan Trocchi, Heff Nuttal serta Michael Horovitz dan para penyair lainnya untuk membacakan sajak di Albert Hall-London. (*Jhon Thorne, Fad’s,Fashion and Cults). Peristiwa ini menjadi titik balik bergabungnya gerakan counter culture eropa dan amerika yang juga mengilhami hadirnya generasi kritis selanjutnya yang dinamakan ”Flower Generation beserta para Hippies pengusung kebebasan”!! Sebagai catatan gw (pen), Beat Movement belum menggunakan rocknroll sebagai landasan perjuangannya. Movement ini sangat terpengaruh oleh musik Jazz, Psycadelic dan Folk.



Hippies & Flower Generation




Bergabungnya para aktivis radikal yang mengkampanyekan hak-hak warga sipil dengan para eksperimentalis pendukung gaya hidup utopia yang dipengaruhi filsafat2 asia dan timur serta penggunaan LSD pertamakali terjadi di California pada 1965/1966, mereka menjadi oposisi terhadap perang Vietnam dan gaya hidup materialistic agresif masyarakat mainstream, pada musim panas 1966, pertemuan kaum muda dipantai barat amerika – summer of love menjadi trigger perkembangan generasi bunga selanjutnya yang kemudian juga dirayakan di inggris dimana filsafat hippies bercampur dengan budaya local.- (Jhon Thorne, Fad’s,Fashion and Cults)



Imbas dari periode Romantic dan Beat Movement adalah kemunculan kaum hippies era berikutnya, dengan rambut panjang, menggelandang kemana-mana, suka memetik gitar merupakan ciri utama kaum hippies. Gerakan ini berkembang di-Amerika awal tahun 60-an, mereka menyuarakan kebebasan lepas dari dogma-dogma tradisional, kebebasan sex, drugs, kesetaraan hak-hak lesbian, homoseksual dsb, dari sini bisa dilihat bahwa isu-isu yang dibawa Flower Power sudah melampui apa yang diperjuangkan generasi sebelumnya. Pengaruh kelahiran gerakan ini cukup berimbas didalam bidang kehidupan yang lain. Kemunculan kaum hippies ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan “Flower Generation” (Generasi bunga) Momentum Utama semangat anti kemapanan yang tersusup dalam subculture musik kontemporer. Flower generation adalah momentum yang memuncak dari kontemplasi para seniman yang menolak patuh terhadap budaya popular dengan segenap pakem-pakemnya yang dogmatis, anak-anak muda yang menolak perang, militeristik, fasisme juga mengkritik gaya hidup kelas menengah. Motivasi gerakan ini juga bermuara pada persoalan politik saat Amerika menginvasi Vietnam ditahun 1959. Hingga berdialektika dan menemukan perlawanannya didalam kerajaan seni (musik). Flower generation adalah inkarnasi dari pemikiran romantik yang tersusupi ideologi. Sistem yang berlaku di Amerika umumnya adalah sekolah dan kuliah yang rajin, lulus dengan nilai baik, mendapatkan perkerjaan dengan gaji bagus dan hidup terhormat. Para anak muda yang masih dalam tahap pencarian jati diri, cenderung eksplosif, pemberontak dan kritis berusaha berontak terhadap sistem kemapanan semu ini. Belum lagi isu rasial, perang dingin dan ancaman perang nuklir yang juga menjadi trigger lain dari kelahiran Flower Generation. Gerakan ini seakan menjadi bom waktu yang hanya menunggu waktu yang tepat untuk di ledakkan dan ledakannya menyebar ke seluruh dunia. Bom waktu itu meledak juga. Pada tahun 1959 dimulailah perang Vietnam. Para kumpulan anak muda yang sudah merasa muak dengan sistem kemapanan dan perang, berkumpul menjadi satu dan lahirlah sebuah generasi baru, Generasi Bunga. Disinilah, Rocknroll menemukan bentuknya yang paling real!! Pergerakan musik era Flower Generation ini mencapai titik kulminasi pada tahun 1969. Sebuah lahan pertanian seluas 240 hektar milik Max Yasgur yang terletak di Bethel, New York menjadi saksi bisu dari sebuah acara legendaris yang diadakan mulai tanggal 15 – 18 Agustus. Woodstock adalah nama pagelaran itu. Sebuah pagelaran musik raksasa yang melambangkan etos solidaritas dan semangat. The Rolling Stones, Santana, The Grateful Dead, CCR, The Who, Jhonny Winter dan Saudaranya, Edgar Winter, Janis Joplin, The Beatles dan ditutup oleh sang dewa gitar, Jimi Hendrix, adalah beberapa nama yang tampil di Woodstock paling legendaris itu. Diperkirakan lebih dari 500.000 hippies datang dan menyaksikan acara ini. Harus dipertegas bahwa kekalahan amerika dalam perang Vietnam sedikit banyak juga terindikasi dengan generasi bunga yang tegas-tegas menolak wajib militer.

(beberapa dicungkil dari catatan-catatan lama)
http://el-rocknrevolt.blogspot.com/2009/05/ideology-of-rocknroll-sejarah.html



Komunitas Debanners




Ketika anda berada disekitar mereka dan mereka merasa asyik bersama anda, mungkin anda merasa benar, anda seperti melangkah dijalanan yg dipenuhi oleh hell’s angles melewati distrik didunia dan anda merasa bebas, merdeka, nyaman dan bahagia – Ken Kesey ;Wawancara dlm Majalah Oz /April 1969

catatan pribadi:

Pada suatu waktu’ kira-kira hampir 5 tahun lalu, malam itu gerimis meninabobokan jakarta, jalanan basah juga pucuk-pucuk daun hingga orang-orang enggan keluar rumah, 502 mengantarku ke tempat itu, tempat yang kemudian sering sekali kusinggahi-
“lo, El hendrie??” sebuah motor besar menghampiriku dan seorang laki-laki dengan topi ala brian Jonson bertanya padaku- “yah, begitulah orang-orang memanggil gw,” jawabku belagu- “ya udah naik” dengan sedikit ragu kuhampiri dia dan mencoba melihat kepastian di wajahnya. “hmm, nieh orang bandit atau penculik aktivis prodem nieh” begitulah yang ada dipikiranku (belakangan aku tahu, kalo orang yang membocengku malam itu, menggunakan nama bandit pada namanya, hahahaha). Sedikit ragu kuikuti ajakannya. Kami pun melaju mengitari jalan-jalan kecil hingga sampai di sebuah tempat dimana beberapa orang sudah berkumpul. Ditengah perjalanan, aku juga masih sempat mempertegas “gw gak di culik khan??” laki-laki bertopi itu sepertinya kesal, “gile lo’ ngapain gw culik lo, masih untung gw culik wanita daripada lo” (hahahahahaa… ngentiaww lo’ te) Kisahku bersama Debanners dimulai malam itu, dimulai’ sebelum kata rocknroll laris manis di pasaran dan jadi slogan para rockstar di TV mainstream hingga mengendap ditonk-tonk sampah, jauh sebelum film-film bertema rocknroll menjadi idola anak-anak muda’ memanipulasi kesadaran dan mengalirkan racun paling berbahaya didalam darah. Meleburnya diriku di komunitas itu’ akhirnya menjadi momentum kuat pada peta-peta musik yg sebelumnya masih fragment di kepalaku, aku tenggelam seperti brian jones, aku ditembak seperti lenon, aku gemeteran seperti jim moris, aku tersedak bagai bon scott, aku trance seperti jimi hendrik, dan aku merdeka sebagai diriku sendiri, dari mereka banyak hal yang kupelajari, banyak keraguan yang kemudian jadi jelas, dari orang-orang sakit (khususnya si kumis *blueser senga, hahaha) disanalah aku mulai percaya bahwa aku tidak sendirian. Mereka meletakan fondasi padaku yang haus akan rocknroll yang sesungguhnya, mereka menghapus dahagaku akan alcohol dan mimpi basah perubahan, dari merekalah - aku mulai membuang kesombonganku pada musik yg selama ini kuagungkan
Kembali ke belakang, catatan bersejarah di kota ini adalan munculnya beberapa komunitas dengan latar belakang genre musik. Pada tahun 1988, komunitas Metal Blok M established dan memberi image underground bagi anak-anak Metal, juga kemudian komunitas Punk yang tersebar hampir disemua tempat di kota ini, komunitas-komunitas itu memberi pijakan yang kuat bagi generasi-generasi setelahnya. Dewasa ini, komunitas-komunitas musik semakin sulit untuk dilacak, (jangan samakan Jakarta dengan kota-kota lain seperti bandung atau jogja dengan wilayah kecil dan terkosentrasi masiv). Jakarta adalah kota yang sangat complicated dan menyimpan banyak perbedaan-perbedaan sudut pandang, melacak jejak komunitas-komunitas musik di kota ini merupakan hal yang sangat sulit, selain factor willayah, pergerakannya yang sporadic dan kadang tersembunyi memungkinkan hal itu – diantara sekian banyaknya permasalahan, masalah yang paling serius adalah bagaimana meraba komunitas rocknroll, -klasik rock, blues- berada, adalah saatnya, komunitas itu berdiri sendiri tanpa harus berafiliasi dengan komunitas-komunitas lain diluar genre yang berbeda. Yeah!! Rocknroll adalah identitas tersendiri meskipun dengan mengatakan hal ini akan menjadi sebuah perdebatan yang paling menyebalkan mengingat akar musik kontemporer dimulai dari sana- (but sorry’ gw lagi gak pengen berdebat!!)


saluran televisi menyiarkan acara mingguan dimana rekaman lagu-lagu popular diputar untuk kaum remaja, sementera musiknya diputar, kamera bergerak dengan lincah menyorot wajah pemirsa. Alangkah dalamnya sumur tanpa dasar, wajah-wajah besar penuh dengan gula-gula murahan dihiasi dengan toko berantai, mulut yang terbuka dan terkulai maupun mata yang berkaca-kaca, tangan yang menabuh musik, hak runcing busana mengikuti zaman yang buruk distereotipkan, ini merupakan gambaran kolektif gamblang mengenai sebuah generasi yang diperbudak mesin komersial, dan ketika anda keluar dari sana: akan dijumpai anak-anak yang masih sangat belia berpakaian seperti orang dewasa dan sudah antri untuk di eksploitasi- dikutip dari Frith karya Paul Jonshon 1964

Diantara sekian banyaknya komunitas rocknroll yang tersembunyi maupun yang mencoba merangkak keluar, Debaners merupakan salah satu komunitas yang mencoba berdiri sendiri tanpa ada distrorsi dari genre-genre lain baik itu Metal dan varian-variannya maupun Punk beserta faksi-faksi-nya. De Banner merupakan kumpulan anak-anak muda dgn berbagai macam latar belakang: aktivis, seniman, mahasiswa dari berbagai kampus hingga kaum pekerja, yang setiap Jum'at malam berkumpul di Taman Ismail Marzuki - dengan obrolan tentang banyak hal hingga bermuara ke musik, entah disengaja atau tidak, mempunyai kesamaan selera juga sudut pandang dalam melihat, memahami rock 'n roll -klasik rock juga blues- Komunitas De Banner dideklarasikan pada hari Sabtu tanggal 31 Juli 2004 dini hari (setelah pulang dari acara blues night TVRI produksi terakhir), di sebelah kiri luar Taman Ismail Marzuki, dan bagi beberapa kalangan, lokasi tersebut dinamakan *sayap kiri – TIM, kekuatan paling radikal di komunitas ini adalah pertemuan dari banyaknya alur pemikiran hingga melahirkan keberagaman sudut pandang. Nilai-nilai hippies dan semangat flower generation merupakan hal yang subtansi untuk mempertemukan para baneris (sebutan untuk anak-anak Debanner). Adalah rahasia umum bahwa media yang seharusnya bisa menjembatani kebutuhan akan komunikasi – baik itu radio, televisi, dan media cetak tidak lagi mampu menjawab kebutuhan akan informasi, bahkan justru meracuni, memasung juga mengkebiri’ selain itu, minimnya literatur-literatur yang berhubungan dengan klasik rock, blues, dan rock `n roll juga menjadi point penting bagi komunitas ini dalam manifesto gerakannya. Mahalnya harga cakram digital rekaman musik -apalagi yang terhitung langka- Rp. 90.000 s/d Rp. 200.000, untuk sekeping cakram digital, Rp. 150.000 s/d Rp. 300.000 untuk dua keping, Rp. 500.000 s/d di atas Rp. 1.000.000, untuk album box-set. Ketimpangan dan kesenjangan ekonomi antara komunitas ini dengan para kolektor -cakram digital, piringan hitam, dokumentasi konser, buku-buku, maupun tulisan lainnya- juga menjadi salah satu point yang membakar para baneris untuk kemudian bersama-sama mengikrarkan diri dalam satu payung – That’s it Debanners. Selain point-pont diatas, adanya penjajahan di industri musik yang aduh!! (bosen banget gw memaki industri musik- yah gitu lah pokoknya’ silahkan memaki sendiri) juga adanya ketidakadilan bahkan dalam movement-movement yang di klaim bawah tanah. Busuknya industri musik dengan "PENYERAGAMAN SELERA" yang dibantu media massa massa jadi trigger penting bagi komunitas ini untuk bergerak. Masyarakat tidak pernah dibiasakan dengan perbedaan, selera mereka dibentuk, gempuran iklan-iklan di TV telah memanipulasi kesadarannya, mereka menyukai suatu hal karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk mengetahui hal-hal lainnya – yang sengaja dipendam, yang mungkin saja lebih baik dan berkualitas daripada yang mereka ketahui selama ini. Para capital dan kurcaci-kurcacinya mengubur banyak hal termasuk dalam scene musik karena hal yang disembunyikan tersebut mengancam eksitensi mereka, mengancam status quo!! Mereka tidak pernah memberikan kesempatan apalagi kebebasan untuk memilih Di dalam masyarakat dominan, musik yang berkualitas adalah musik yang menjual, musik yang mudah dicerna, musik yang ringan, kesan-nya musik itu harus bisa menina-bobokan, dalam system yang tak punya akar, penghisapan manusia adalah hal yang biasa, tidak aneh, jika musik mainstream itu adalah lagu-lagu yang bersifat candu, orang di paksa untuk tidak lagi serius mendengarkan karya musik, kondisi memaksa orang-orang untuk mengikuti saja apa yang sudah ada, apa yang ada di depan mata, setelah seharian manusia di hisap dalam kondisi kerja yang melelahkan, tubuh dan pikiran sudah demikian letih untuk menalar akibat desakan untuk bertahan hidup maka mereka butuh pelarian yang menyenangkan, yang menyegarkan, mereka butuh musik yang menghibur, yang bisa melepaskan kepenatan mereka dan membius mereka dari semua penjara rutinitas hidup harian yang memuakkan. Kecenderungan itu akan mengakibatkan hilangnya daya kritis, sikap pesimis, serba "nerimo", hingga semua hal di biarkan berjalan kehilangan negasinya dan lambat-laun retakan ketidakadilan justru terlihat sebagai hal yang biasa, itulah candu musik mainstream, moralitasnya hanya melelapkan di permukaan tapi di dalam-nya dia justru menggerogoti harkat kemanusiaan: sikap untuk memilih, daya kritis, kebebasan, dan sebagainya- budaya popular yang di minum secara kolektif, racun yang membinasakan apresiasi bebas tanpa disadari, SEMUA SERBA SERAGAM- asholle!! (*diambil dari catatan lama)
Komunitas DeBanner dalam hal mempresentasikan rock `n roll, blues, & klasik rock bukan sekedar memorabilia masa lalu belaka, bukan juga sebagai fashion ataupun trend tetapi spirit, sebuah jalan hidup. Bukan tak mungkin banyak band-band di luar komunitas DeBanner dapat bermain musik rock 'n roll, blues, dan klasik rock yang jauh lebih baik daripada band-band DeBanner, tapi kesadaran, penghayatan dan semangat idealisme tidak akan memiliki kesamaan. Ketika dihadapkan pada kondisi dunia industri yang sebenarnya – tentu saja dengan segala konsekwensinya – mungkin akan dengan tanpa beban bahkan dengan penuh sukacita mereka akan merubah pola bermusiknya dengan hal-hal yang sifatnya kompromistis yang berakibat pada glamouritas kehidupan dan bertentangan dengan nilai-nilai rock 'n roll yang pernah mereka anut sebelumnya. Band-band yang tergabung dalam komunitas DeBanner tidak akan mengambil langkah demikian. Band-band dalam DeBanner bukan tipikal Band Pengkhianat!!! PANJANG UMUR ROCKNROLL….


http://www.facebook.com/inbox/readmessage.php?t=1300772001152&f=1&e=-12#/group.php?gid=96568891040 (lets join in group/facebook)



*Catatan Pengingat.

Pada subculture2 di Inggris tidak dibahas, mengingat subculture yang berkembang di Inggris pada awal 50 -an masih berkutat dengan style dan fashion. Lihat Teddy Boys yang terpengaruh gaya ”Edwardian” dengan menggunakan jas panjang dan celana drainpipe. Atau subculture “Mod” yang mengadopsi gaya pakaian Italia, dasi-dasi sempit, skuter dsb. Meskipun subkulture2 tersebut kemudian menjadi trend namun masih belum ada muatan ideologist (bedakan dengan beat movement dan Flower generation di Amerika). Kooptasi ideologist di Inggris baru mulai sekitar awal tahun 70-an saat generasi Punk awal berkembang. Anak-anak Mod yang menjadi Skin Head, Teddy boys yang terpengaruh rocknroll atau Generasi-generasi Rocker yang terinspirasi Heavy metal (sebutan Rocker awalnya untuk para geng-geng motor -bikers- di Inggris). Benturan-benturan ideology di Inggris meruncing pada akhir tahun 70-an hingga pertengahan 80-an. Dimana kepentingan2 politik ikut ambil bagian.

Friday 21 August 2009

AKU adalah KAU yg meng-AKU- didalam KITA

Aku, kau, dia dan mereka yang kemudian menjadi kita merupakan sekumpulan metafora dalam kebenaran sosiologis. Kita (baca: aku, kau dia dan mereka) lahir didunia yang sudah ada sebelum kita dilahirkan. Kita mengeja hidup dengan menggunakan bahasa yang digunakan jauh sebelum kita menetas dibumi, lalu kita membentuk symbol-symbol yang juga telah diwariskan oleh mereka yang telah duluan ada. Artinya, kita disusun menjadi individu melalui proses social dengan menggunakan bahan-bahan yang bersifat social.
Semua menjadi ironis ketika dalam relasi social kita diperhadapkan pada kondisi yang jauh dari harapan, mimpi juga keinginan-keinginan kita. Kemudian kita mempertanyakan diri, mempertanyakan dunia bahkan sibuk menyalahkan semua hal diluar kita sebagai proyeksi kegagalan kita dalam merespon perubahan radikal yang mengancam eksitensi kita.
Krisis legitimasi (krisis pengakuan) merupakan salah satu penyakit social yang melanda semua mahluk berakal diplanet ini. Kegagalan-kegagalan menciptakan diri kita seperti dalam dunia khayal merubah kesadaran kita menjadi tidak kondusif hingga tanpa sadar kita terperangkap dalam delusi social disertai opini-opini buruk atau bad interpretasion terhadap segala sesuatu diluar kita. Kesemua hal itu dikarenakan kita menjadikan diri kita seakan-akan sebagai titik sentral alam semesta dengan memandang orang lain hanya melihat kegunaannya bagi kita (antroposentrisme). Egosentris tersebut menjadikan manusia semakin terasing dalam eksitensinya. Kita sedih, marah, kecewa, sakit hati lalu beranggapan bahwa galaksi bimasakti akan hancur tanpa kita. Seakan-akan diri kita adalah poros utama berlansungnya kehidupan. Kita melupakan realitas lain diluar diri kita, melupakan eksitensi orang lain terhadap dirinya, terhadap lingkungannya termasuk terhadap kita. Kebenarannya adalah ternyata kita hanya satu titik kecil yang berhasil ditangkap radar kosmos. Keberadaan kita tidak akan punya arti apa-apa tanpa keberadaan orang lain. Nilai kita sebagai manusia ditentukan bukan oleh kita atau orang lain semata tetapi ditentukan oleh relasi social kita (termasuk pergaulan sehari-hari). Pendek kata, tanpa akulturasi social kita akan terus berkubang dalam krisis legitimasi. Akulturasi social adalah fondasi kita dalam merumuskan diri kita, momentum dalam menentukan diri kita sekaligus membentuk identitas social kita.




A- IDENTITAS

Identitas merupakan produk khas budaya yang bersifat contingent (tdk tetap). Menjadi seseorang sepenuhnya bersifat social dan cultural karena identitas merupakan seperangkat produk social yang tidak dapat exist diluar representasi sosio-historis.

Identitas dalam dua defenisi’
1. identitas diri.
2. identitas social.

Identitas diri adalah otoritas keaku-anku, konsep perihal diriku menurut diriku. Sedangkan identitas social adalah harapan, pendapat juga konsep orang lain diluar aku yg terasosiasi dan terakulturasi didalam konsep yang dipegang oleh diriku. Peleburan konsep-konsep tersebut melahirkan sebuah kesepakatan yg kompromis antara subjek-subjek yg terposisikan dalam pemisahan asbtrak seperti suku, agama, ras, gender dan lain sebagainya dalam sebuah relasi social. Kesepakatan informal tersebut lalu menjadi acuan dalam proyek solidaritas yang bertujuan menjaga keharmonisan dan posisi antar subjek tanpa terdistorsi oleh klaim kekuasaan, gap kelas dsb.
Identitas diri tdk bisa lepas dari identitas social karena individu bukan hanya sekedar sekumpulan subjek yang mengobjek didalam relasi social namun menjadi subjek yang merepresentasikan kondisi sosialnya. Identitas diri terbentuk melalui serangkaian proses dialektika yang terus menerus didalam identitas social. Identitas diri dibentuk oleh identitas social pun sebaliknya’ identitas social tidak bisa lepas dari kondisi histories inter-subjek. Kedua hal ini menjadi inheren dalam pemaknaannya. Manusia menciptakan identitas sosialnya sekaligus membentuk identitas dirinya.


B- IDENTITAS dan KONSUMERISME

Perkembangan kapitalisme semakin fleksibel dewasa ini, tidak bisa disangkal bahwa kapitalisme telah memodifikasi dirinya juga perangkat-perangkat pendukungnya menjadi lebih menarik dan semakin samar untuk disadari. Kolaborasi dengan intitusi kekuasaan menjadi matang dimana kekuasaan bertindak sebagai manager bagi kapitalisme. Eksploitasi kapitalisme tidak lagi sekedar membuka wilayah baru dalam ekspansi mencari sumber daya bagi kekuatan produksi tetapi juga membutuhkan individu sebagai komoditi yg konsumtif terhadap produk-produk baru para pemilik modal itu. Para capital ini juga bersaing dalam mengambil hati konsumen-konsumen pasif, maka dengan itu dibutuhkan iklan yang gencar untuk memberi identitas pada komoditi mereka. Disinilah identitas social terdistorsi dan menjadi ambigu dalam substansinya. Pada masyarakat konsumerisme, identitas hanya terlegitimasi dengan dinilai seberapa kuat daya konsumsi kita. Gencarnya tawaran iklan mengaburkan batas antara keterdesakan primer dan kebutuhan sekunder. Nilai komoditi bukan lagi pada kegunaanya tetapi dilihat dari makna-makna yang absurd. Seperti nilai prestise, gengsi, style dsb. Hal inilah yang membentuk identitas palsu dalam masyarakat. Citra ditingkat konsumsi yang dibentuk iklan mengaburkan realitas sesungguhnya bahwa ada ketidakadilan ekonomi dilevel produksi, bahwa semua barang dan jasa tidak bersifat demokratis dan bebas karena hal tersebut hanya terlihat ditingkat permukaan.
Aku ada karena aku membeli!! Kalimat ini sangat sinonim dengan pola hidup masyarakat hari ini. Membeli sebuah produk bukan lagi sekedar persoalan membeli barang semata tetapi juga persoalan membeli gaya hidup, membeli nilai-nilai dan membeli identitas. Daya konsumtif menjadi ukuran legitimasi social dengan pencitraan yang absurd. Identitas social yang terbangun kemudian mengasingkan identitas diri inter-subjek dalam realitas yang sesungguhnya. Nongkrong dimall, café, distro, endorse atau nonton diplanet holywood, twenty one bukan saja sekedar keterbutuhan tetapi juga membentuk identitas social. Absurditas ini merupakan modifikasi kapitalisme yang berhasil menciptakan kesadaran palsu pada masyarakat konsumerisme.
Identitas social tidak lagi dilihat sebagai bentuk solidaritas antar subjek, bukan lagi penghargaan akan adanya orang lain atau toleransi keberagaman, juga tidak lagi melihat keberadaan orang lain sebagai otoritas yang lain diluar diri tetapi hanya berkutat sejauh mana individu mampu membeli dengan mengabaikan tangis dan penderitaan orang lain. Dititik itu, keterasingan manusia semakin jatuh dalam pertikaian kelas yang tidak akan menemukan ujung sejarah komprominya. Perang, terror, gap-gap kelas semakin menekan seiring dengan tekanan para pemodal dalam memaksakan hegemoninya. Identitas diri menjadi kabur antara pro hegemoni vs kontra hegemoni.
Hanya dengan berpikir bahwa aku adalah kau yang meng-aku didalam kita, maka kehidupan akan mentransformasikan dunia khayal kedalam dunia realitas yang artinya tak ada perang, tak ada terror, tak ada penindasan, tidak ada eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi karena semua manusia menghargai perbedaan orang lain sebagai penghargaan atas dirinya, menghormati keberadaan orang lain sebagai solidaritas sesama mahluk yang hidup digalaksi yang sama. Dengan persamaan hak yang pada akhirnya menciptakan keindahan, dunia yang damai penuh cinta dan kasih seperti dinegeri pelangi dalam dongeng sebelum tidur.
Semoga itu akan terjadi’ mungkin suatu saat nanti………………

Thursday 14 May 2009

The Ideology Of RocknRoll..... ”Sejarah Perbenturan Pemikiran dari masa ke masa"

“Saya tidak menyarankan anda menonton film2 bertema realita dan rocknroll, karena itu bisa saja pembodohan. Saya juga tidak menyarankan anda membaca sejarah musik dari persepsi media mainstream karena itu bisa jadi asumsi. Saya hanya menyarankan anda untuk menginterpretasikannya sendiri, membuat lagu sendiri lalu menciptakan sejarah sendiri”



I. CATATAN PEMBUKA

Kesenian sebagai bagian dari kehidupan manusia, merupakan salah satu wahana aktualisasi diri individu, renungannya terhadap sosio-historinya juga simbol dalam menyikapi segala sesuatu. Ekspresi kesenian selain berfungsi sebagai media hiburan, pencerahan/pendidikan juga bisa menjadi sarana komunikasi. Seni yang dipagelarkan selalu berhadapan dengan langsung dengan publik, tentu saja menjadi jembatan dalam menyebarkan gagasan-gagasan.

Apa sebenarnya hakekat seni?!?
Plato seorang filsuf Yunani memahami seni sebagai tiruan dari dunia ide sementara Aristoteles memahami seni sebagai tiruan atas dunia alamiah dan dunia manusia. Berbanding terbalik dari dua pemikiran diatas, Hegel merumuskan seni sebagai manifestasi yang absolute terhadap diri seorang seniman. Kesenian tidaklah mutlak fenomena manusiawi. Bagi Hegel, seni bukanlah tiruan dari dunia ide. Subjek pada seni bukanlah diri seniman tetapi roh yang absolute merasuki sang seniman dan mendorongnya untuk berkarya tanpa sang seniman menyadari sepenuhnya mengapa ia menghasilkan karya seperti yang dihasilkannya. Inilah menurut Hegel seni berada diluar kesadaran rasional. Sedangkan Nietzsche mendefenisikan seni sebagai pemuasan hasrat-hasrat jiwa. Ilusi dunia impian menjadi sumber inspirasi bagi seni dan daya kreatif. Nietszce menggunakan distingsi jiwa Apollonian dan Dyonisian untuk menganalisa bentuk kesenian. Dalam kebudayaan Yunani kuno, Apollo dipercaya sebagai dewa mimpi yang menampilkan sifat-sifat yang teratur, harmonis, seimbang juga penuh kontrol diri. Sedangkan Dyonisian dianggap sebagai dewa anggur dan kemabukan dan sering diasosiasikan dengan seks, cinta juga musik. Seni yang berjiwa Dyionisian ialah seni yang penuh gairah dan hasrat menggelora, menggebu-gebu, tidak teratur dan sering kali destruktif. Berbanding terbalik dengan seni Apolonian yang teratur dan harmonis.

Sigmund Freud, seorang Psikoanalisis menggambarkan seni sebagai bentuk fantasi yang diekspresikan dalam bentuk yang bisa diterima oleh lingkungan. Seni bagi Freud adalah fantasi yang dialihkan kedalam realitas, sublimasi dari prinsip kesenangan yang mendapatkan pemenuhan dalam fantasi. Sebagai seorang psikolog, Freud menekankan peran alam bawah sadar dalam memberi warna pada estetika. Konsepsi mengenai seni memiliki keragaman sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi umumnya menyangkut hal-hal seperti proses kreatif dan pengalaman-pengalaman subjektif. Selain sebagai pelepasan hasrat, hoby juga sarana perjuangan. Konsep tentang seni sebagai ekpresi tidak selalu dibahasakan secara sama. Ada yang membahasakannya dengan imitasi seperti “Aristoteles”, sedangkan “Tolstoy” membahasakannya sebagai representasi /komunikasi, ada juga yang beranggapan seni sebagai objektifikasi atau seni sebagai penjelmaan, simbolisasi dan lain sebagainya. (*Mudji Sutrisno, Teks-teks Kunci Estetika). Meskipun istilahnya berbeda-beda dan mungkin agak rumit untuk diulas secara spesifik, namun semua itu mengacu pada satu penegasan bahwa ekpresi kesenian bukan melulu ekpresi tentang diri pribadi, bukan ekpresi dari perasaan-perasaan actual pribadi tetapi ekpresi dari pengetahuan tentang perasaan-perasaan manusia secara umum. Jadi ekpresi kesenian bukan sekedar pelepasan emosi pribadi namun sebuah ekspresi artistic dari kualitas-kualitas emosi yang berinteraksi dengan pengalaman. Sebuah gambaran mental atau pengejawantahan emosi secara umum yang dilahirkan kreator (seniman) dalam membahasakan pengalaman subjektifnya. Ketika kreatifitas itu diwacanakan ditengah public maka seni itu sudah tidak lagi memiliki independensinya. Tergantung bagaimana penikmat menerima kesan yang ada didalamnya dan tentu saja tidak akan pernah bisa dipaksakan harus sama dengan keinginan penciptanya. Mengekpresikan suasana hati atau perasaan sedih dalam lantunan musik tidak sama dengan membangkitkan suasana hati pendengarnya. Tidak selalu akan sukses membuat orang lain ikut merasakan kesedihan itu. 

Secara umum kesenian adalah proses kreatif seniman dalam renungan intuisinya, kepekaan nuraninya ketika berhadapan dengan problematika masyarakat, persoalan-persoalan hidup ataupun gugatan rasa religiusitas, idealisme yang dilandasi kejujuran dalam menyikapi segala sesuatu disekitarnya. Seni terpaksa menciptakan bentuk fisik agar dirinya terhadirkan. Ia wajib memiliki bentuk agar mampu dirasakan karena jika gagal, sungguh seni telah menghancurkan tujuannya sendiri.
Berbagai macam bentuk kesenian yang melingkupi kehidupan manusia dan turut memberi andil dalam perubahan sosial. Seni lukis, teater, seni patung, sastra juga seni musik dideskripsikan sebagai media ekspresi, media untuk menuangkan beragam gagasan, bakat bahkan untuk ekonomisasi tetapi tidak bisa disangkal kesenian juga cenderung dijadikan alat untuk sebuah tujuan politik. Karena langsung berhadapan dengan orang banyak maka berkaitan erat dengan stabilitas menurut retorika penguasa. Kemerdekaan berkreasi selalu berhadapan dengan kepentingan penguasa. Kesenian yang berlawanan dengan kebijakan penguasa selalu terpasung bahkan dibumihanguskan.

Manusia tidak bisa hidup tanpa berkesenian, ketika ruang untuk menumpahkan eksplorasi kreatifitasnya terpasung maka individu tersebut akan teralienasi bahkan oleh dirinya sendiri, kehilangan nilai untuk menyempurnakan hidupnya. Kesenian juga merupakan hal esensial bagi hidup manusia. Penciptaan ruang untuk mengaspirasikan kreatifitas kesenian adalah sesuatu yang niscaya bagi setiap orang untuk mengasah intuisinya. Peradaban dibangun bukan saja dengan teknologi. Daya cipta seni turut andil mewarnai perjalanan sejarah.




Sejarah Singkat Rocknroll.

Rocknroll adalah sebuah istilah yang ditemukan Alan Freed, seorang DJ asal Cleveland-Amerika yang memandu acara disebuah radio bertema ”Mondog’s Rocknroll party ditahun 1951. istilah ini belum merujuk pada Elvis Presley dari Misisippi yang diklaim sebagai Raja Rocknroll. (Bandingkan dengan Rilisan Elvis pertama pada Tahun 1954). Bentuk dari istilah ini, sebelum dikuasai oleh band-band Inggris (British Invasion) telah esthalished jauh sebelumnya didada kaum budak amerika. Penindasan dan hirarkis kelas memaksa mereka menyuarakan musik sederhana sebisa mereka. Ketika penghisapan tuan tanah menyatu dalam keringat mereka, saat segregasi rasial merupakan kebenaran tunggal, Revolusi rocknroll dimulai dari perkebunan-perkebunan tersebut. Dalam keringat kaum budak yang menyuarakan kebebasannya. Lahirlah ”Blues” . (*David N Townshend, Changing The World, Rocknroll Ideology and Culture). Blues merupakan peletak dasar dan fondasi paling awal Roots Musicology Kontemporer. Saat musik hanya bisa didengarkan diruang-ruang mewah para tuan tanah dengan anggur dan salsa, kaum budak merevolusi paradigma itu. DJ Alan Freed menggunakan istilah Rocknroll untuk mengganti istilah Rock’n’Rhytem yang terlalu identik dengan musik kaum budak. Saat itu, Pendengar musik kulit putih amerika & eropa belum terbiasa dengan Rock’n’Rhytem, karena istilah itu bagi mereka bertendensi eufemisme budak Afrika dalam gerakan-gerakan seksual. Hadirnya istilah rocknroll menjadi saksi bahwa rocknroll adalah bentuk kompromi kaum putih terhadap musik para budak. Mercusuar diterimanya musik hitam dalam piringan musik amerika!! Atau dengan kata lain sebagai moment sejarah dimana ide-ide anti perbudakan mulai memasuki wacana pemikiran mainstream orang amerika dan eropa!!

Secara musicology, Gelombang pertama rocknroll adalah percampuran antara musik R&B kulit hitam dengan musik Country kulit putih dari selatan. Dimainkan dengan gitar elektrik, piano, saksofon dan dobble bass. Lagu-lagu seperti Blackboard Jungle, Rock around The Clock berhasil menunjukan akan keterbutuhan suatu bentuk musik yang baru karena Jive dan Jitterburg masih merupakan bagian dari gaya musik swing yang lama. Musik ini kemudian cukup subversive dan menjadi trade mark bagi para calon pemberontak. Rocknroll sejak awal dianggap gila dan liar dengan memastikan hubungan kenakalan rocknroll dan pikiran public. Citra ”Sampah dari selatan” tidak menyurutkan rocknroll keselokan sampah malah semakin mengukuhkan eksistensinya dalam pencerahan universalnya!! Dibuktikan dengan gemerlap Gelombang kedua rocknroll yang melahirkan Elvis Presley, Chuck Berry, Eddie Cohrane, Lee Lewis, Gene Vincent, Bill Haley dan lain sebagainya.
Gelombang Ketiga rocknroll bermuara di Inggris sebelum The Beatles dirampok parlophone record’s dan Bryan Jones beserta The Rolling Stones merevolusi style manis flamboyant ala Beatles. Sebelum era emas mereka, Para peniru trend musik amerika ini meningkat dari dunia Skiffle, British Psychadelic yang lalu ditelurkan para impresario seperti Tommy Steele, Clifft Richard, Adam Faith, Bill Fury dan Mary Wilde yang menggabungkan nyanyian bersuara rendah dengan rock dan tampil parade dalam hit. Meski media penyiaran juga pers Inggris memboikot musik ini dengan mengatakan ancaman amerikanisasi namun tidak menghalangi rocknroll bermetamorfosa sebagai salah satu Ikon Perubahan. Rocknroll orisinal selain sebuah genre mutasi juga merupakan gaya musik yang memperkenalkan cemooh pada konvensi-konvensi kuno borjuis yang secara terbuka menyumbangkan sikap, etos libertarian yang genre musikologynya didaur ulang juga dihidupkan kembali pada decade2 selanjutnya. Pada akhir tahun 60-an bentuk-bentuk musik yang terinspirasi rocknroll mewabah di Inggris. (Heavy Metal, Punk, Prog Rock, Hard Rock, Glam Rock Bahkan Folk Rock) (*Jhon Thorne, Fad’s,Fashion and Cults)



II Kultur dan Subkultur yang membentuk Ideology Rocknroll

A. Periode Romantik

Menjelang akhir abad 18, di Eropa terjadi sebuah ledakan sosial yang besar. Kesenian mulai memasuki tahapan yang tak lagi eksklusif. Jika diabad-abad sebelumnya, kesenian, baik seni patung, teater, puisi juga seni musik hanya gunakan sebagai alat pemujaan terhadap sesuatu yang bersifat transenden dalam arti kesenian hanya dipakai sebagai media untuk peribadatan pada dewa-dewa, alam dan sebagainya, maka dipenghujung abad itu terjadi pergeseran pemahaman. Momentum itu dimulai di Jerman. Saat Imanuel Kant mempublikasikan tesis2nya “Das ding an sich” atau dunia diluar persepsi manusia. Bagaimana objektifikasi estetika lepas dari segala atribut akal. Dunia maupun kesenian bebas dari kesan indra manusia. Setelah rumusan itu, berimbas pada pemujaan ego yang besar sehingga terjadi pengagung-agungan jenius kesenian-an. Inilah dalam sejarah dikenal dengan “Periode Romantik”. Seperti halnya zaman Renaisance, kaum romantik juga menyakini pentingnya seni bagi kesadaran manusia. Pada periode ini, kesenian yang dulu cenderung ekslusif disubversi kembali kejalanan. Kesenian tidak lagi hanya milik altar-altar pemujaan namun berkembang menuju alam kesadarannya sendiri. Diera ini, kesenian mengalami kemajuan yang luar biasa. Seni musik, puisi juga bidang seni yang lain mengalami ejakulasi pemikiran. Sambutan masyarakat terhadap kesenian sangat apresiatif bahkan berlebih-lebihan. Ketika “Goethe”, menulis novel berjudul “ Sorows Of Young Wether (1774)” novel yang mengisahkan seorang pemuda yang menembak dirinya sendiri setelah gagal mendapatkan gadis pujaannya. Berimbas pada angka bunuh diri yang meningkat tajam hingga untuk sementara buku itu dilarang beredar di Denmark dan Norwegia. Selain itu, “Johann Gottfried Von Herder” mulai merintis kesenian rakyat dengan mengumpulkan lagu-lagu rakyat dari belahan negeri dan diberi judul “Voice Of People”. Diperiode ini pula, lahir seorang “Ludwig Van Beethoven”, pianis yang musiknya mengungkapan perasaan dan kerinduannya yang otonom, berbeda dengan musisi klasik zaman Barok (Baroque) seperti “Johann Sebastian Bach” maupun “George Frideric Handel” yang menyusun karya-karyanya untuk memuliakan Tuhan dalam bentuk musik yang kaku. (*Jostein Gaarder, Dunia Sophie). Pada jaman Barok, piano belum ditemukan, dan komposisi dikarang untuk hapsicord. Partitur musik di jaman Barok ditandai dengan tidak adanya iringan atau polifoni. Musik Barok lazimnya hanya mencerminkan satu jenis emosi saja. Dibanding dengan Musik Romantik, musik Barok jarang mempunyai modulasi atau rubato. (*Wikipedia, Sejarah Musik). Zaman Romantik dalam sejarah musik Barat berlangsung dari sekitar awal 1800-an sampai dengan dekade pertama abad ke-20. Musik zaman Romantik dikaitkan dengan gerakan Romantik pada sastra, seni, dan filsafat, walaupun pembatasan zaman yang digunakan dalam musikologi berbeda dari pembatasan zaman dalam seni yang lain.


B. Beat Movement.


Sekitar tahun 1952, “Jhon Clellon Holmes menerbitkan sebuah novel berjudul ”Go”. Dalam novel ini ditemukan Istilah ”Beatittude”. Frasa ini kemudian diterapkan pada sejumlah kecil seniman, penulis dan orang-orang bohemian yang aktifitas dan keyakinannya dicatat dalam prosa dan puisi otobiografis, mistis serta eksperimental. Kemudian ditahun 1957, Jack Kerouac seorang penulis Amerika menelurkan istilah Beat Movement pada novelnya yang berjudul ”On The Road”. Hingga mengilhami generasi-generasi muda yang dengan bangga menyebut diri mereka sebagai Beat dan mengadopsi nilai-nilai herois para pahlawan dalam buku itu’. Komunitas Beat Movement ini sangat terpengaruh oleh ”Dadaisme” dan pencerahan romantic. Mereka sering bertemu dan sama-sama menemukan kegairahan individual dengan melakukan penolakan terhadap masyarakat borjuis serta gaya hidup tanpa akar. Keutamaan romantisisme, eksperimental serta unsur-unsur religi timur dan pengunaan alcohol menjadi sesuatu yang niscaya bagi komunitas ini. Wacana-wacana nihilsitik dan eksistensialisme juga sangat mempengaruhi gerakan ini. Tidak bisa disangkal, bahwa pengaruh pengaruh ideology Post-Marxis sedang melanda dunia. Perkawinan pemikiran tersebut lalu melahirkan mazhab-mazhab eksistensialisme yang memadukannya dengan Nihilistik Nietzchean. Pemikiran-pemikiran tersebut berhasil mengkooptasi subkultur-subkulture didunia juga gerakan Beat. (namun hal tersebut tidak akan dibahas spesifik disini, agar tidak lari dari konteks). Pada akhir tahun 50-an, gerakan Beat berkembang di kalangan seniman-seniman avant garde di Inggris. Bob Dylan tak bisa memungkiri bahwa Folk revolusioner yang dibawa nya adalah anak kandung dari Beat Movement. Musim panas 1965, Allens Gisnberg, Gregory Courso bergabung dengan Trocchi, Heff Nuttal serta Michael Horovitz dan para penyair lainnya untuk membacakan sajak di Albert Hall-London. (*Jhon Thorne, Fad’s,Fashion and Cults). Peristiwa ini menjadi titik balik bergabungnya gerakan counter culture eropa dan amerika yang juga mengilhami hadirnya generasi kritis selanjutnya yang dinamakan ”Flower Generation beserta para Hippies pengusung kebebasan”!! Sebagai catatan gw (pen), Beat Movement belum menggunakan rocknroll sebagai landasan perjuangannya. Movement ini sangat terpengaruh oleh musik Jazz, Psycadelic dan Folk.



C. Flower Generation.

Imbas dari periode Romantic dan Beat Movement adalah kemunculan kaum hippies era berikutnya, dengan rambut panjang, menggelandang kemana-mana, suka memetik gitar merupakan ciri utama kaum hippies. Gerakan ini berkembang di-Amerika awal tahun 60-an, mereka menyuarakan kebebasan lepas dari dogma-dogma tradisional, kebebasan sex, drugs, kesetaraan hak-hak lesbian, homoseksual dsb, dari sini bisa dilihat bahwa isu-isu yang dibawa Flower Power sudah melampui apa yang diperjuangkan generasi sebelumnya. Pengaruh kelahiran gerakan ini cukup berimbas didalam bidang kehidupan yang lain. Kemunculan kaum hippies ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan “Flower Generation” (Generasi bunga) Momentum Utama semangat anti kemapanan yang tersusup dalam subculture musik kontemporer. Flower generation adalah momentum yang memuncak dari kontemplasi para seniman yang menolak patuh terhadap budaya popular dengan segenap pakem-pakemnya yang dogmatis, anak-anak muda yang menolak perang, militeristik, fasisme juga mengkritik gaya hidup kelas menengah. Motivasi gerakan ini juga bermuara pada persoalan politik saat Amerika menginvasi Vietnam ditahun 1959. Hingga berdialektika dan menemukan perlawanannya didalam kerajaan seni (musik). Flower generation adalah inkarnasi dari pemikiran romantik yang tersusupi ideologi. Sistem yang berlaku di Amerika umumnya adalah sekolah dan kuliah yang rajin, lulus dengan nilai baik, mendapatkan perkerjaan dengan gaji bagus dan hidup terhormat. Para anak muda yang masih dalam tahap pencarian jati diri, cenderung eksplosif, pemberontak dan kritis berusaha berontak terhadap sistem kemapanan semu ini. Belum lagi isu rasial, perang dingin dan ancaman perang nuklir yang juga menjadi trigger lain dari kelahiran Flower Generation. Gerakan ini seakan menjadi bom waktu yang hanya menunggu waktu yang tepat untuk di ledakkan dan ledakannya menyebar ke seluruh dunia. Bom waktu itu meledak juga. Pada tahun 1959 dimulailah perang Vietnam. Para kumpulan anak muda yang sudah merasa muak dengan sistem kemapanan dan perang, berkumpul menjadi satu dan lahirlah sebuah generasi baru, Generasi Bunga. Disinilah, Rocknroll menemukan bentuknya yang paling real!! Pergerakan musik era Flower Generation ini mencapai titik kulminasi pada tahun 1969. Sebuah lahan pertanian seluas 240 hektar milik Max Yasgur yang terletak di Bethel, New York menjadi saksi bisu dari sebuah acara legendaris yang diadakan mulai tanggal 15 – 18 Agustus. Woodstock adalah nama pagelaran itu. Sebuah pagelaran musik raksasa yang melambangkan etos solidaritas dan semangat. The Rolling Stones, Santana, The Grateful Dead, CCR, The Who, Jhonny Winter dan Saudaranya, Edgar Winter, Janis Joplin, The Beatles dan ditutup oleh sang dewa gitar, Jimi Hendrix, adalah beberapa nama yang tampil di Woodstock paling legendaris itu. Diperkirakan lebih dari 500.000 hippies datang dan menyaksikan acara ini.(*MUNTAHBERAK wordpress.com). Harus dipertegas bahwa kekalahan amerika dalam perang Vietnam sedikit banyak juga terindikasi dengan generasi bunga yang tegas-tegas menolak wajib militer.

* Catatan Pengingat.

Untuk subculture2 di Inggris tidak dibahas diruang ini, mengingat subculture yang berkembang di Inggris pada awal 50 -an masih berkutat dengan style dan fashion. Lihat Teddy Boys yang terpengaruh gaya ”Edwardian” dengan menggunakan jas panjang dan celana drainpipe. Atau subculture “Mod” yang mengadopsi gaya pakaian Italia, dasi-dasi sempit, skuter dsb. Meskipun subkulture2 tersebut kemudian menjadi trend namun masih belum ada muatan ideologist (bedakan dengan beat movement dan Flower generation di Amerika). Kooptasi ideologist di Inggris baru mulai sekitar awal tahun 70-an saat generasi Punk awal berkembang. Anak-anak Mod yang menjadi Skin Head, Teddy boys yang terpengaruh rocknroll atau Generasi-generasi Rocker yang terinspirasi Heavy metal (sebutan Rocker awalnya untuk para geng-geng motor -bikers- di Inggris). Benturan-benturan ideology di Inggris meruncing pada pertengahan tahun 70-an hingga pertengahan 80-an. Dimana kepentingan2 politik ikut ambil bagian.
*(semoga ada kesempatan untuk membahasnya)


III . ESTETIKA KRITIS

Setiap peristiwa selalu menimbulkan gejolak. Apapun yang terjadi selalu mendapat respon dimasyarakat. Baik respon positive maupun penolakan. Bermacam cara manusia dalam merespon aktifitas disekitarnya. Wahaha estetika merupakan bagian dari media ekspresi manusia dalam merespon pengalaman subjektifnya. Telah ditegaskan sebelumnya bahwa seni juga bisa merepresentasikan kondisi sosio history. Segelintir kalangan menilai bahwa dalam musik rock, punk, metal dan varian2 lainnya, lirik lagu tidak begitu penting. Komposisi musik didalam lagu adalah segalanya. Hal Ini merupakan kesalahan subtansial. Klaim yang mencitrakan kedangkalan persepsi. Bagaimana mungkin bila dalam musik (rock), lirik dikatakan tidak begitu penting. Bagaimana menyuarakan pesan lewat komposisi musik. Pesan apa yang terkandung didalam lagu. Apa tujuannya??. Tokh, komposisi musik hanya bisa diresapi intuisi. Sedangkan intuisi berkembang dan diperoleh dari serangakaian sensasi. Sensasi merupakan unsur pasif dalam diri manusia. Didapatkan dari rangsangan-rangsangan ketika kita melihat sesuatu. Dari sensasi tersebut kita mendapatkan representasi gambaran mental atas sesuatu. Kemudian representasi ini mendapatkan wujudnya dalam ekspresi. Lewat intuisilah sensasi mendapatkan sintesisnya sebagai bagian dari aktifitas spiritual. (*Benedetto Croce, Aestetics as Sciense of ekspresion and general linguistics). Jika sensasi yang melahirkan intuisi itu bersifat spiritual atau berdasarkan interaksi terhadap pengalaman maka sudah tentu sangat subjektif. Lagu yang menceritakan tentang keindahan alam raya tetapi tanpa lirik yang tegas, tujuannya akan sulit diterima oleh pendengarnya.

Dalam musik rock (metal atau punk), komposisi musik memang cukup primer untuk membakar darah pendengar. Membuat orang bisa merespon dengan mossing atau berpogo-ria. Dangdut pun diciptakan agar mampu membuat orang berjoget. Barangkali dengan itu bisa menghilangkan kepenatan. Sejenak merefresh otak dari bermacam rutinitas. Subculture lain seperti para cluber yang dalam seminggu bisa beberapa kali clubbing didiskotik juga menjelaskan respon terhadap musik dalam hal ini musik disko (House music, Hip-Hop, Rnb, Tehno, dll) dan disini lirik lagu tidak lagi begitu penting. Melainkan bagaimana musik membuat orang bergoyang dalam irama disko. (untuk ini masih terlalu luas untuk membahasnya). Begitu tidak pentingkah lirik dari sebuah komposisi musik. Jika demikian maka pertanyaannya adalah adakah pesan didalam lagu itu??. Nilai-nilai apa yang terkandung didalam komposisi musik yang membuat orang bisa berjoget, Mossing, Pogo, Headbanging atau berdisko. Apakah irama dalam musik tersebut hanya sekedar untuk pelepasan hasrat ataukah ada nilai-nilai lain yang sebenarnya terkandung didalamnya. Demikian sulit untuk mengupas hal ini. Secara histories musik tercipta sebagai sarana untuk pemujaan. Sebelum ditemukannya hapsicord, musik adalah media untuk mengungkapkan kekaguman/pujian terhadap hal-hal yang bersifat religiutas. Hampir semua tempat dibumi ini memiliki kekhas-an musik tersendiri yang biasa disebut musik etnik. Tentu saja dengan alat musik yang sangat tradisional.

Sejarah estetika merupakan bagian dari ekspresi manusia dalam menunjukan kekagumannya terhadap hal-hal yang bernuansa transenden (tuhan atau alam raya) yang direpresentasikan dalam karya-karya seni. Pada zaman klasik ketika hapsicord dan piano ditemukan musik berkembang dengan sangat pesat. Namun tujuannya masih tersimpan dialtar-altar pemujaan. Berbeda dengan blues atau jazz yang merepresentasikan kehidupan kaum budak di-Amerika. Sejarah blues adalah sejarah underground. Musik mereka merupakan gambaran ketidakadilan, diskriminasi rasial dan penindasan kolonial. Ketika musik klasik menjadi arus utama. Musik blues berdendang diperkebunan-perkebunan. Menyatu dalam keringat para budak dan caci maki tuan tanah. (*David N Townshend, Changing The World, Rocknroll Ideology and Culture). Sebelum para rockstar awal mendendangkan lagu-lagu mereka. Blues telah berdiri sendiri hingga dikapitalisasi dan kemudian melahirkan varian-varian baru dalam literature musik dunia. Elvis Presley barangkali merupakan kompromi kaum kulit putih dalam merampas tradisi blues kaum negro. Ketika rythem’ n blues sangat identik dengan kaum kulit hitam dan segregasi rasial masih kuat maka kehadiran Elvis menjadi jawaban diterimanya blues dalam piringan hitam kulit putih. Hingga kemudian berkembang pesat diseluruh penjuru alam raya. Tentu saja lirik lagu dan komposisi masih berjalan seiring.

Telah dijelaskan diawal, ketika Amerika menginvasi Vietnam. Gejolak penolakan bermunculan dimana-mana. Kehadiran kaum hippies yang tegas menolak perang, wajib militer juga kritik terhadap kelas menengah yang hidup dalam standar eksklusifitas mengejawantahkan peran estetika memasuki lingkup yang lebih luas. Dari mereka kemudian lahir budaya baru dimana estetika menjadi wahana perjuangan. Disinilah lirik lagu dalam musik menjadi begitu penting dalam menyuarakan pesan. Klaim bahwa lirik lagu tidak begitu penting dibanding komposisi jelas merupakan kekeliruan. Hanya dengan lirik lagu, pesan mampu disuarakan kepada pendengar. Tidak melulu memerlukan intuisi untuk meresponnya. Dengan lirik lagu, musik langsung menembus otak dan menyerap kedalam tubuh. Komposisi memang penting untuk mengidentikkan genre sebuah musik. Tentu sangat berbeda komposisi/irama antara musik punk dan musik disko. Atau antara musik metal dan lagu dangdut. Formnya menjelaskan fisik lagu dengan kata lain komposisi sebuah lagu akan menjelaskan letak genrenya. Sedangkan lirik adalah pesan luas dari pengalaman creator yang coba diwacanakan kepada pendengarnya.
Didalam kesenian ada kualitas-kualitas emosi tertentu yang dituangkan dengan berbagai bentuk. Ekpresi kesedihan atau kegembiraan. Dalam sastra dipaparkan lewat gaya bahasa/kata, dalam lukisan lewat warna, dalam tari lewat gerak, dalam musik dituangkan lewat suara/irama. Tetapi ada juga ekpresi dari suatu objek yang sulit ditangkap para penikmat seni. Seperti kelesuan, kemurungan, kelembutan sikap, kemarahan alam raya, hembusan angin sepoi saat pagi hari, debur ombak tengah malam. Ekspresi semacam ini akan sulit diterima apabila penikmat belum memiliki pengalaman yang sama. Pengalaman mengendarai mobil balap tidak dimiliki oleh mereka yang tidak mempunyai atau dekat dengan mobil balap. Demikian juga pengalaman yang mengetengahkan kehidupan digurun pasir tidak dimiliki oleh mereka yang tidak pernah berada atau setidaknya dekat dengan gurun pasir. Tentu saja ada perintang dalam mengapresiasikan karya seni. Untuk itu diperlukan penjelasan, misalnya dalam karya sastra diberi catatan pengantar, dalam lukisan diberi judul dan dibuatkan penjelasan dalam catalog, dalam tarian ada penjelasan histories lisan. Dalam musik tentu saja diperlukan lirik sebagai mediator untuk menjelaskan tujuan, pesan dan harapan-harapan penciptanya. Sesubjektif apapun tapi paling tidak penjelasan-penjelasan tersebut dapat menguak makna yang diekspresikan.




V. MUSIK sebagai KREASI, KRITIK DAN WAHANA PERUBAHAN SOSIAL.

Beberapa pemikir klasik percaya bahwa seni juga merupakan citra yang menegaskan status social. Kesenian yang diciptakan masyarakat kelas menengah atas tentu berbeda dengan daya cipta seni bagi mereka yang hidup dipinggir-pinggir sungai juga perkampungan kumuh, seni kaum borjuis berbeda dengan seni kaum proletar. Apresiasi terhadap seni masyarakat metropolitan berbeda dengan konsumsi seni penduduk pedesaan. Dalam menyikapi segala bentuk pengetahuan dunia baik ideology, kesenian, hukum dan lain sebagainya setiap individu tidak akan pernah lepas dari kondisi sosialnya. Bob Marley menciptakan lagu “Redemption Song” berangkat dari situasi politik di-Jamaika. Lingkungan selain sebagai tempat bagi pengalaman juga secara tidak langsung sangat mempengaruhi kesadaran manusia. Kesadaran individu, daya kreasi juga sikap dalam merespon sesuatu merupakan ekspresi yang muncul dari dalam hati, manifestasi dari pandangannya terhadap dunia.
Dalam sosiologi, setiap kelas sosial memiliki bahasa, perasaan, pikiran, semangat, kerawanan, kecenderungan dan terutama cita-cita. Lebih khusus lagi adalah cara dalam melihat segala sesuatu. Coba lihat pada seorang penyair borjuis. Apa yang dikeluhkannya?? Apa aspirasinya?? Keinginannya atau ketidaksenangannya?? Bagaimana dia melihat dunia dan kehidupan? Bahkan bahasa yang ia gunakan tak selamanya dapat dimengerti oleh kaum tertindas. Karena dua orang dari kelas social yang berbeda dan berbicara dengan satu bahasa yang persepsinya berbeda. Sepatah kata tidak memiliki esensi, rasa, aroma dan nilai yang sama. Kata “nasi” bagi kaum budak yang membajak sawah dikedinginan musim dingin dan panas terik kemarau untuk mendapatkan sesuap nasi. Tentu berbeda dengan pendapat kaum kapitalis yang makan daging panggang diiringi musik lembut, pelayan yang setia dengan ditemani gundik yang cantik, tarian dan anggur penambah selera. Sama sekali tidak mengandung jiwa yang sama. Apa maksudnya??. Bukan saja kedua kelas ini tidak berbicara dengan spirit yang sama dan bukan hanya makna sepatah kata tidak sama bagi seorang budak dan tuan tanah tetapi ukuran matematika dan materialpun tidak sama dimata dua kelas itu. Eksperimen psikologi telah membuktikan hal tersebut. (*Dr. Ali Syariati,Paradigma kaum Tertindas)

Musik sebagai esensi kreasi yang bermutasi menjadi media perjuangan. Sejak berabad-abad lalu kesenian selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Tanpa bermaksud membenturkan antara para seniman yang berpikir “seni untuk seni” dan seniman yang menggunakan seni sebagai media untuk agitasi ideology. Pertanyaan yang muncul adalah apakah seni itu netral??? Barangkali terlalu muluk untuk mencari teory pembenaran atas dua pertanyaan itu. Mungkin tidak menarik bagi para pekerja seni bebas nilai, bagi para seniman generasi postmodernisme dan bagi mereka yang secara sadar menyatakan seni untuk seni. Banyak orang bilang, warisan diskursus tentang “seni untuk seni” versus “seni untuk tujuan tertentu” memang sudah harus disingkirkan. Cara pandang postmodernisme atau mereka yang tidak mau tahu, hingga tidak mengijinkan kritik seni berangkat dari paradigma ideologi tertentu, norma tertentu, dan hukum tertentu. Sejarah dikotomi antara seni abstrak dan realis sudah tak menarik lagi dibicarakan. Seni sebagai perjuangan sosial terkadang gampang dituding sebagai mainan para politisi, antek-antek dari ideology tertentu dsb. Modernitas dengan liberalisme politik telah mengajarkan kepada generasi-generasi seni abad ini untuk lebih memilih cara pandang eksistensialis ketimbang cara pandang perjuangan kelas sosial. Di sini, komitmen sosial jutsru jadi barang usang yang selalu dianggap penyebab matinya kreativitas seni. Bagi seniman anti politik, seni lepas dari jerat sosial dan tidak ada tempat bagi tujuan seni untuk kemajuan, keselamatan, kemanusiaan. Kalaupun seni masuk ke wilayah sosial, biasanya yang berperan bukan seni itu sendiri, melainkan aktivitas sosial seorang seniman. Seni tetaplah seni. Otonom. Ia hanyalah sejenis ekspresi simbolis dari pemikiran seniman. Namun jika dirunut lebih jauh pandangan yang menyatakan bahwa seni untuk seni dan non ideology bisa terjebak pada komersialisasi seni. Seni baginya hanyalah wujud ekspresi kemanusiaan yang murni tanpa tendensi apapun padahal ekonomisasi seni merupakan imbas dari pemikiran para seniman yang tidak memiliki ideology dalam kreatifitasnya dan secara tidak langsung kehilangan “bargaining posisition”. Hingga dengan mudah mereka akan masuk dalam jaring industri yang dikuasai oleh kaum kapitalis. Walau tidak bisa dipungkiri berlangsungnya kreatifitas juga harus dilandaskan pada kekuatan ekonomi. Namun kematangan ideology juga daya berpikir kritis adalah bagian penting untuk menjaga privacy seni dari pihak industri yang hanya mengedepankan nilai provit, ideology akan menjadi filter dalam menyikapi pembodohan. Sedangkan bagi seniman yang memiliki jiwa sosial, seni yang netral justru tidak bermakna. Mengutip Nietzsche, “seni demi seni, ilmu demi ilmu atau puisi demi puisi adalah kedok yang digunakan untuk menutup-nutupi watak jahat seniman atau ilmuwan serta memberikan pembenaran atas sikapnya dalam menghindari tanggung jawab sosial.” Ungkapan ini kemudian menuntut fungsi dari seorang seniman bukan sekedar menjadi “seniman” melainkan justru sebagai bagian dari pada kehidupan sosial. (*Faiz Manshur, Seni, Sosial dan Kritik). Setiap manusia diwajibkan bertanggung jawab pada diri dan lingkungannya. Perubahan ataupun perjalanan sejarah ditentukan oleh gerak individu. Apapun alasannya, individu tetaplah mahluk sosial dan kreatifitasnya merupakan bagian dari kehidupan sosial politik. Pada dasarnya seni sulit diasumsikan “bebas nilai”. Kesenian sebagai daya cipta kreasi kerap terjebak pada perdebatan ideology. Seni tetaplah memiliki muatan sosial. Apapun bentuknya, kesenian selalu dihadapkan pada nilai-nilai dimasyarakat. Kreatifitas kesenian merupakan gambaran dari kondisi masyarakat. Apakah imajinasi itu netral?? Freud seorang psikoanalisis percaya bahwa dinamika kehidupan alam bawah sadar memberi warna pada estetika. Menurut Freud, aktifitas ketidaksadaran, imajinasi juga mimpi merupakan luapan dari keinginan manusia yang direpresi. Konflik-konflik bawah sadar akan terus mencari celah untuk keluar menuju alam sadar. Ilham atau inspirasi bagi seorang seniman dalam melahirkan kreatifitas seni juga merupakan jembatan antara alam bawah sadarnya dan alam sadarnya. Sedangkan alam bawah sadar adalah sesuatu yang pernah ada dan terlupa hingga tersembunyi didasar ketidaksadaran akibat direpresi. Berangkat dari hal tersebut maka bisa diasumsikan bahwa kreatifitas kesenian dalam hal ini imajinasi merupakan proyeksi keinginan individu. Pendeknya, kesenian tidak ada yang netral dan bebas nilai. Aktifitas imajinasi juga representasi dari kondisi sosio history. Kesenian yang sifatnya desktruktif barangkali gambaran dari masyarakat yang sakit, bisa jadi akibat kemerosotan sosial, tingginya kemiskinan juga demoralisasi.

Dewasa ini dikotomi antara seni untuk seni dan seni dengan muatan politik semakin sulit untuk dibedakan. Benturan kepentingan dengan tujuan yang berbeda-beda telah memutasi kesenian menjadi sebuah media untuk propaganda.
Dari beberapa wacana diatas, semakin jelas dalam menguraikan peran seni dalam menjawab kebutuhan ideology. Terjawab sudah, bahwa Seni telah memanifestasikan dirinya untuk tujuan-tujuan particular. Saat ini bagaimana peran seniman untuk lebih kritis dalam melaksanakan tugasnya sebagai bagian dari agen perubahan. Hingga kemudian kesenian itu mampu menguniversalkan kutub-kutub yang selama ini terkontaminasi kepentingan kapitalisme. Tantangan dunia kesenian dekade ini terletak pada kekuatan kritik seniman sebagai kreator dan penikmat sebagai kritikusnya. Dengan daya berpikir kritis maka kesenian akan mampu berperan dalam mendorong bola salju kearah perubahan!! Satu harapan tersisa ”semoga kesenian mampu mewadahkan perjuangan pembebasan, anti kapitalisme, neoliberal juga menghilangkan hirarki kelas dan mampu mewujudkan otonomisasi individu tanpa otoritas kekuasaan!!






Panjang umur rocknroll
EL HENDRIE









Sejarah Propaganda Indonesia kedalam Musik

Di Indonesia, sejarah kesenian (musik) dalam menjadi media propaganda telah berkembang sejak masa kolonial. Ketika Belanda berkuasa dibumi pertiwi, lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dilarang beredar. Rekaman lagu itu dibuat sangat terbatas dan judulnya pun dirubah menjadi “Indoness Indoness” karena lagu tersebut dapat mengugugah jiwa patriotisme anak-anak bangsa. Zaman pendudukan Jepang, situasi mulai sedikit berubah. Pemerintah fasis Jepang memanfaatkan seniman-seniman pribumi untuk kepentingan propaganda “Negara Asia Timur Raya”. Pada Maret 1942 Jepang mendirikan “Radio Hosyo Kanri Kyoku” yang disiarkan dari Tokyo dan untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya (versi 3 stanza) dikumandangkan secara luas dengan iringan Orkes Simponi “Nippon Kosyo Kanri”. Ironisnya dibulan April tahun 1942, secara sepihak Perdana Menteri Jenderal Tojo Hideki mengeluarkan pengumuman melalui radio Hosyo Kanri Kyoku melarang pemutaran lagu Indonesia Raya dan upacara pengibaran bendera Merah Putih. Pemerintah Jepang lalu mengeluarkan Undang-Undang no 4 yang mewajibkan rakyat Indonesia mendengarkan lagu kebangsaan Jepang “Kimigayo” dan melaksanakan upacara pengibaran bendera “Himomaru”. Setelah itu, Jepang mendirikan Badan Pusat Kesenian Indonesia (BPKI) diketuai oleh Sanusi Pane. Organisasi itu didirikan pada bulan Oktober ditahun yang sama. Tujuan pendirian BPKI tersebut dimaksudkan sebagai siasat untuk memanfaatkan para seniman Indonesia agar mau ikut mensukseskan Negara Kesatuan Asia Timur Raya. Dimasa itulah “Cornell Simandjuntak” menciptakan lagu “Hancurkanlah Musuh Kita, Itulah Inggris dan Amerika” yang menjadi slogan perjuangan dan sangat populer pada masa itu. Di tahun 1943, Jepang kembali merekrut seniman Indonesia dibawah bimbingan komponis “Nobuo Lida” untuk mensosialisasikan lagu-lagu propaganda Jepang (Nippon Seishin). Seniman-seniman yang tergabung diantaranya antara lain, Cornell Simandjuntak, Kusbini, Bintang Sudibyo dan Ismail Marzuki. Lagu-lagu yang berhasil diciptakan contohnya adalah, Menanam Kapas, Bikin Kapal, Bekerja, Menabung, bersatu, Buta Huruf, Fajar, Kereta Apiku, Sayang, Asia Sudah Bangun, Bagimu Negri, Maju Putra-Putri Indonesia (setelah merdeka, lagu ini dirubah menjadi Maju Tak Gentar), Menanam Jagung, dan lain-lain. Keseluruhan dari lagu itu seakan-akan merepresentasikan dukungan rakyat Indonesia terhadap perjuangan Jepang melawan sekutu. Propaganda Jepang ini tidak berlangsung lama. Pasca kekalahannya oleh Sekutu, seniman-seniman Indonesia merubah ulang lagu-lagu tersebut demi kepentingan perjuangan. Pada tahun 1946 para alumni “Hollandsch Inlandsche Kweekschool” (HIK) membentuk paduan suara Pemuda Nusantara yang secara rutin menyanyikan lagu-lagu perjuangan di RRI Kotabaru, Yogyakarta. Mereka cukup sukses mengobarkan semangat kebangsaan didada para anak-anak muda untuk ikut berjuang demi kemerdekaan. (*Nn’ Musik sebagai Alat politik, Artikel memperingati 100 tahun kebangkitan nasional).

Pasca proklamasi 17 agustus, seni kembali dihadapkan pada kepentingan politik. Berawal dari sikap politik Soekarno yang anti barat hingga pelarangan segala hal yang berbau western. Baik produk ekonomi hingga menyentuh ruang estetika. Dengan kebijakan itulah maka personil ”Koeswoyo Bersaudara” ditangkap karena dianggap memainkan musik yang bertentangan dengan budaya Indonesia. Disini estetika dimaknai sebagai sesuatu yang bisa bermuatan politik. Presiden Soekarno mencanangkan irama lenso sebagai musik yang sesuai dengan budaya bangsa dan didukung oleh Jack Lesmana, Titiek Puspa, Lilis Suryani, dan Bing Slamet. Presiden RI pertama itu juga merangkul beberapa seniman untuk kepentingan propaganda. Lilis Suryani, penyanyi yang dekat dengan Sukarno menciptakan lagu berjudul “Oentoek Paduka Jang Moelia” lagu itu berorientasi untuk mengkultuskan figur Bung Karno. Beberapa lagu juga berhasil diciptakan untuk kepentingan politik semisal propaganda “Pergi Pedjoeang” dalam konfrontasi Indonesia dan Malaysia.

Diera Orde Baru Soeharto, musik lebih banyak digunakan untuk kampanye dalam mensukseskan program-program pemerintah. Seperti Mars Pemilu, Mars Keluarga Berencana, ACI (aku cinta Indonesia) dan lain sebagainya. Titik Puspa menciptakan lagu berjudul “Bapak Pembangunan”. Lagu itu didedikasikannya untuk pimpinan Orde Baru.

Pada perkembangan selanjutnya, kesenian (musik) terus bermutasi dalam panggung-panggung politik. Era Reformasi, para penguasa silih berganti menggunakan musik demi kepentingan agitasi. Para politikus kerap menghadirkan seniman dalam kampanye-kampanye mencari dukungan. Ada juga yang menggunakan musik untuk sosialisasi. Lihat, beberapa pemimpin partai politik belakangan ini sering membuat album musik. Dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan album “Rinduku Padamu” hingga Soetiyoso mantan Gubernur DKI Jakarta dengan album Campur Sari berjudul “Adem Panas”. Pada album ini, Sutiyoso, menyumbangkan suaranya pada lagu “Yeng Ing Tawang Ono Lintang”. Lain halnya dengan Amien Rais, capres yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) pada pilpres 2004. Meminta “Nomo Koeswoyo” untuk dibuatkan lagu. Hasilnya lagu “Putra Nusantara” pun diciptakan sesuai pesanan Mantan Ketua MPR itu. Selain itu, contoh yang lebih jelas adalah saat kampanye baik pilkada maupun pemilu. Partai-partai selalu menghadirkan seniman (artis Musik, Film, Sinetron) dalam mengambil perhatian massa. Disini seni menunjukan dirinya sebagai titik sentral agitasi dan propaganda.





*Rujukan rujukan pada semua tulisan ini.

(David N Townshend, Changing The World, Rocknroll,Ideology and Culture).
(Benedetto Croce, Aestetics as Sciense of ekspresion and general linguistics)
(Jhon Thorne, Fad’s,Fashion and Cults)
(Ominic Strinati, Budaya Popular)
(Jostein Gaarder, Sophie World)
(Mudji Sutrisno, Teks-teks Kunci Estetika).
(Faiz Manshur, Seni, Sosial dan Kritik).
(Dr. Ali Syariati,Paradigma kaum Tertindas)
(nn’ Musik sebagai Alat politik, Artikel untuk memperingati 100 tahun kebangkitan nasional).
(Wikipedia, Sejarah Musik).
(Muntahberak.Wordpress.com
)
dlll.....