Aku, kau, dia dan mereka yang kemudian menjadi kita merupakan sekumpulan metafora dalam kebenaran sosiologis. Kita (baca: aku, kau dia dan mereka) lahir didunia yang sudah ada sebelum kita dilahirkan. Kita mengeja hidup dengan menggunakan bahasa yang digunakan jauh sebelum kita menetas dibumi, lalu kita membentuk symbol-symbol yang juga telah diwariskan oleh mereka yang telah duluan ada. Artinya, kita disusun menjadi individu melalui proses social dengan menggunakan bahan-bahan yang bersifat social.
Semua menjadi ironis ketika dalam relasi social kita diperhadapkan pada kondisi yang jauh dari harapan, mimpi juga keinginan-keinginan kita. Kemudian kita mempertanyakan diri, mempertanyakan dunia bahkan sibuk menyalahkan semua hal diluar kita sebagai proyeksi kegagalan kita dalam merespon perubahan radikal yang mengancam eksitensi kita.
Krisis legitimasi (krisis pengakuan) merupakan salah satu penyakit social yang melanda semua mahluk berakal diplanet ini. Kegagalan-kegagalan menciptakan diri kita seperti dalam dunia khayal merubah kesadaran kita menjadi tidak kondusif hingga tanpa sadar kita terperangkap dalam delusi social disertai opini-opini buruk atau bad interpretasion terhadap segala sesuatu diluar kita. Kesemua hal itu dikarenakan kita menjadikan diri kita seakan-akan sebagai titik sentral alam semesta dengan memandang orang lain hanya melihat kegunaannya bagi kita (antroposentrisme). Egosentris tersebut menjadikan manusia semakin terasing dalam eksitensinya. Kita sedih, marah, kecewa, sakit hati lalu beranggapan bahwa galaksi bimasakti akan hancur tanpa kita. Seakan-akan diri kita adalah poros utama berlansungnya kehidupan. Kita melupakan realitas lain diluar diri kita, melupakan eksitensi orang lain terhadap dirinya, terhadap lingkungannya termasuk terhadap kita. Kebenarannya adalah ternyata kita hanya satu titik kecil yang berhasil ditangkap radar kosmos. Keberadaan kita tidak akan punya arti apa-apa tanpa keberadaan orang lain. Nilai kita sebagai manusia ditentukan bukan oleh kita atau orang lain semata tetapi ditentukan oleh relasi social kita (termasuk pergaulan sehari-hari). Pendek kata, tanpa akulturasi social kita akan terus berkubang dalam krisis legitimasi. Akulturasi social adalah fondasi kita dalam merumuskan diri kita, momentum dalam menentukan diri kita sekaligus membentuk identitas social kita.
A- IDENTITAS
Identitas merupakan produk khas budaya yang bersifat contingent (tdk tetap). Menjadi seseorang sepenuhnya bersifat social dan cultural karena identitas merupakan seperangkat produk social yang tidak dapat exist diluar representasi sosio-historis.
Identitas dalam dua defenisi’
1. identitas diri.
2. identitas social.
Identitas diri adalah otoritas keaku-anku, konsep perihal diriku menurut diriku. Sedangkan identitas social adalah harapan, pendapat juga konsep orang lain diluar aku yg terasosiasi dan terakulturasi didalam konsep yang dipegang oleh diriku. Peleburan konsep-konsep tersebut melahirkan sebuah kesepakatan yg kompromis antara subjek-subjek yg terposisikan dalam pemisahan asbtrak seperti suku, agama, ras, gender dan lain sebagainya dalam sebuah relasi social. Kesepakatan informal tersebut lalu menjadi acuan dalam proyek solidaritas yang bertujuan menjaga keharmonisan dan posisi antar subjek tanpa terdistorsi oleh klaim kekuasaan, gap kelas dsb.
Identitas diri tdk bisa lepas dari identitas social karena individu bukan hanya sekedar sekumpulan subjek yang mengobjek didalam relasi social namun menjadi subjek yang merepresentasikan kondisi sosialnya. Identitas diri terbentuk melalui serangkaian proses dialektika yang terus menerus didalam identitas social. Identitas diri dibentuk oleh identitas social pun sebaliknya’ identitas social tidak bisa lepas dari kondisi histories inter-subjek. Kedua hal ini menjadi inheren dalam pemaknaannya. Manusia menciptakan identitas sosialnya sekaligus membentuk identitas dirinya.
B- IDENTITAS dan KONSUMERISME
Perkembangan kapitalisme semakin fleksibel dewasa ini, tidak bisa disangkal bahwa kapitalisme telah memodifikasi dirinya juga perangkat-perangkat pendukungnya menjadi lebih menarik dan semakin samar untuk disadari. Kolaborasi dengan intitusi kekuasaan menjadi matang dimana kekuasaan bertindak sebagai manager bagi kapitalisme. Eksploitasi kapitalisme tidak lagi sekedar membuka wilayah baru dalam ekspansi mencari sumber daya bagi kekuatan produksi tetapi juga membutuhkan individu sebagai komoditi yg konsumtif terhadap produk-produk baru para pemilik modal itu. Para capital ini juga bersaing dalam mengambil hati konsumen-konsumen pasif, maka dengan itu dibutuhkan iklan yang gencar untuk memberi identitas pada komoditi mereka. Disinilah identitas social terdistorsi dan menjadi ambigu dalam substansinya. Pada masyarakat konsumerisme, identitas hanya terlegitimasi dengan dinilai seberapa kuat daya konsumsi kita. Gencarnya tawaran iklan mengaburkan batas antara keterdesakan primer dan kebutuhan sekunder. Nilai komoditi bukan lagi pada kegunaanya tetapi dilihat dari makna-makna yang absurd. Seperti nilai prestise, gengsi, style dsb. Hal inilah yang membentuk identitas palsu dalam masyarakat. Citra ditingkat konsumsi yang dibentuk iklan mengaburkan realitas sesungguhnya bahwa ada ketidakadilan ekonomi dilevel produksi, bahwa semua barang dan jasa tidak bersifat demokratis dan bebas karena hal tersebut hanya terlihat ditingkat permukaan.
Aku ada karena aku membeli!! Kalimat ini sangat sinonim dengan pola hidup masyarakat hari ini. Membeli sebuah produk bukan lagi sekedar persoalan membeli barang semata tetapi juga persoalan membeli gaya hidup, membeli nilai-nilai dan membeli identitas. Daya konsumtif menjadi ukuran legitimasi social dengan pencitraan yang absurd. Identitas social yang terbangun kemudian mengasingkan identitas diri inter-subjek dalam realitas yang sesungguhnya. Nongkrong dimall, café, distro, endorse atau nonton diplanet holywood, twenty one bukan saja sekedar keterbutuhan tetapi juga membentuk identitas social. Absurditas ini merupakan modifikasi kapitalisme yang berhasil menciptakan kesadaran palsu pada masyarakat konsumerisme.
Identitas social tidak lagi dilihat sebagai bentuk solidaritas antar subjek, bukan lagi penghargaan akan adanya orang lain atau toleransi keberagaman, juga tidak lagi melihat keberadaan orang lain sebagai otoritas yang lain diluar diri tetapi hanya berkutat sejauh mana individu mampu membeli dengan mengabaikan tangis dan penderitaan orang lain. Dititik itu, keterasingan manusia semakin jatuh dalam pertikaian kelas yang tidak akan menemukan ujung sejarah komprominya. Perang, terror, gap-gap kelas semakin menekan seiring dengan tekanan para pemodal dalam memaksakan hegemoninya. Identitas diri menjadi kabur antara pro hegemoni vs kontra hegemoni.
Hanya dengan berpikir bahwa aku adalah kau yang meng-aku didalam kita, maka kehidupan akan mentransformasikan dunia khayal kedalam dunia realitas yang artinya tak ada perang, tak ada terror, tak ada penindasan, tidak ada eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi karena semua manusia menghargai perbedaan orang lain sebagai penghargaan atas dirinya, menghormati keberadaan orang lain sebagai solidaritas sesama mahluk yang hidup digalaksi yang sama. Dengan persamaan hak yang pada akhirnya menciptakan keindahan, dunia yang damai penuh cinta dan kasih seperti dinegeri pelangi dalam dongeng sebelum tidur.
Semoga itu akan terjadi’ mungkin suatu saat nanti………………
Friday, 21 August 2009
AKU adalah KAU yg meng-AKU- didalam KITA
14:28
EL Hendrie
Artikel Terkait
0 komentar:
Post a Comment