Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Tuesday 5 January 2010

Perempuan: Patriarki & Feminisme


catatan ini adalah hormatku untukmu wahai perempuan, yang kutulis ketika dingin salju tak lagi mampu menghangatkan sesalku saat kemuliaanmu di injak oleh kaki biadab sepanjang zaman sejarah' tulisan ini untukmu, yang kuwarnai dengan darah perawanmu, saat kontruksi social dunia modern merobek-robeknya lalu menghakiminya, kudedikasikan ini untukmu wahai perempuan: dengan kerendahan hati serta rasa bersalah yang kupikul akibat dogma keunggulan kaumku para laki-laki, ini untukmu wahai perempuan’ dengan segenap cinta dan rasa hormatku…



Sejarah Masyarakat Adalah Sejarah Penindasan Perempuan



Perempuan adalah mahakarya agung yang mencipta dirinya dari harum bunga dan ranting-ranting rimba, dihiasi oleh kelembutan, dilindungi kemarahan, ditaburi keindahan juga di dibalut kebengisan: Perempuan adalah selekta warna-warna yang memiliki pertarungan abadi: sopan tapi angkuh, melankolis sekaligus tegar, lembut namun ganas. Keseluruhan dari dirinya -emosi, tubuh maupun pikirannya- merupakan relasi utuh yang membentuk dunia sekaligus mampu menghancurkannya, perempuan adalah laki-laki yang dipisahkan oleh system social dan reproduksi kapitalisme.
Menurut sensus, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1 berbanding 3, dengan argumen ini pula perempuan secara de facto menjadi tenaga kerja paling banyak dan murah dalam akumulasi dan perputaran modal. Perempuan mengambil tempat paling banyak dalam aktifitas sosial namun ironisnya semua aktifitas tersebut jauh dari citra kesetaraan karena posisi-posisi utama yang berhubungan dengan segala kebijakan tidak memberikan perempuan peran yang jauh lebih aktif. Jika demokrasi adalah partisipasi suara mayoritas di parlemen maka demokrasi adalah parody menjijikan bagi perempuan – kenyataannya, di semua belahan dunia, parlemen-nya selalu didominasi oleh kaum laki-laki. (*meski demokrasi sesungguhnya memiliki kelemahan-kelemahan yang mereduksi hak laki maupun perempuan tapi saat ini, gw gak bicara demokrasi). Penindasan perempuan telah berlangsung berabad-abad hingga tak akan mampu digambarkan oleh relief-relief sejarah karena ditulis menggunakan tinta darah dan air mata, penderitaan perempuan tersimpan dengan rapi dan berkesan indah karena dijaga oleh mitos, dogma dan norma-norma social. Dari masa ke masa, perempuan hanya dipandang “apa dia seharusnya bukan dia sebenarnya”. Perempuan di jadikan objek sex, komoditi, sebatas nilai tukar pun hari ini, perempuan kerap dijadikan symbol transaksi bisnis para laki-laki. Perempuan hampir tidak memiliki kemerdekaan pada tubuh dan hidupnya apalagi dalam masa pancaroba kapitalisme dan di wilayah-wilayah miskin, perempuan hanyalah warga kelas dua dan bagi para perempuan proletar, mereka adalah budak dari para budak (simone de beavoir, second sex). Perempuan proletar selain dihisap oleh system ekonomi politik juga di miskinkan perannya oleh budaya patriarki yang masih berjaya di diwilayah-wilayah dimana tingkat pengetahuan tidak setara khususnya dinegeri dunia ketiga.


PATRIARKI



Terimalah sesak ini diparu-parumu, sesak yang kubagi dari paru-paruku lewat angin laut yang kencang dan bintang di langit jauh. Resah yang sama dimatamu, seperti itu pun dimataku, kau dengarkan suara hidupku, seperti nyanyian hidupmu yang dilantunkan di pendapa suci dan dijaga norma-norma. kudengarkan selalu bisikan hatimu yang datang melaju kearah jantungku sambil kau bisikan “kita adalah sama karena kau dan aku telah di lebur cinta yang bebas, tak ada identitas pembeda diantara kita, semua hilang oleh kesetaraan karena kita sama merasakannya, letih sama kita asah, airmata sama kita teteskan, bahagia sama kita bangun walau tembok-tembok tirani mencoba membangun jarak di sekeliling kita”
(dedicated untuk seseorang tak bernama’)




Melacak jejak penindasan perempuan dan era munculnya patriarki dimulai berabad-abad yang lalu. Beberapa pemikir kontemporer meletakan pemisahan gender ketika manusia primitive mulai menetap dan mendomestikasi binatang dan tanaman hingga tercipta pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, ini berkisar setelah zaman es berakhir-(neolitikum), saya sendiri, beranggapan bahwa pemisahan gender terindikasi dimulai sebelum zaman es, ketika hominid sebagai primata pertama (homo sapiens 250.000 tahun setelahnya) mulai intents mengkonsumsi daging pada masa awal perburuan. Hominid merupakan primata pertama yang berdasarkan relief gigi maupun bentuk fisikal lainnya merupakan vegetarian karena mereka tidak memiliki cakar juga gigi yang tajam sebagaimana karnivora. Meskipun mereka juga mengkonsumsi daging binatang namun pola makan pada dasarnya terpaut pada tumbuhan. Pada masa masyarakat pemetik (peramu-pemburu-hunter gatherer) pemisahan gender belum terinstitusikan karena dalam proses mencari makanan mereka hanya terikat pada tumbuhan dan jenis tanaman. Ketika intensitas memakan daging binatang mulai signifikan karena kondisi yang lebih dingin dimana tumbuhan semakin sulit untuk didapatkan maka di titik itu terjadi pemisahan gender yang secara implisit juga menciptakan hirarki, control, dominasi dan munculnya negara dan property privat (pada point ini saya bergabung dengan para vegetarian untuk membenarkan bahwa penindasan, dominasi, kontrol dan lahirnya hirarkis kelas dimulai ketika manusia mulai aktif memangsa binatang). Berburu binatang juga menunjukan jejak awal transformasi aktivitas manusia yang bebas kedalam sesuatu yang mirip kerja. Aktifitas berburu merangsang terciptanya privilege laki-laki dan dominasi mereka terhadap perempuan. Menjelang zaman es datang, ketika makanan semakin sulit untuk didapatkan maka berburu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian tertentu (kegesitan, kekuatan, skill). Pada era ini, dominasi laki-laki belum begitu permanen karena perempuan juga masih turut berburu namun secara umum, budaya patriarki mulai terindikasi dari sini karena laki-laki merupakan jenis kelamin terbanyak yang melakukan aktifitas berburu dengan keistimewaan inilah maka peran laki-laki mulai istimewa karena memiliki akses utama terhadap makanan. Setelah zaman es berakhir dan dimulai pola hidup menetap, pemdomestikasian binatang dan tanaman maka dipoint ini pula, imperium mulai berkembang, property privat, control, dominasi dan hirarki klas seimbang dengan peran perempuan yang terpinggirkan karena hanya sebatas menjaga anak, rumah serta mengurus ladang. Dititik ini patriarki menjadi mapan dan subordinasi perempuan lalu bersifat struktural karena dibenarkan dalam praktek dan lembaga-lembaga social.
Di zaman feodal, kekuasaan seorang raja di ukur dengan seberapa banyak gundik, selir yang dia punya, raja memiliki kekuasaan yang tak terbantahkan untuk memperoleh akses terhadap kepuasaan libidonya (para raja, mang brengsek). Perempuan dianggap hanya sebagai hiasan, sekedar identitas, pun dalam legenda maupun mitos-mitos rakyat, peran perempuan terpinggirkan sama sekali. Jejak perempuan sebagai komoditi merupakan silsilah lama dalam masyarakat patriakri, lelaki kaya (bangsawan, raja, saudagar) memiliki lebih dari satu gundik dan anak-anak perempuan dianggap sebagai hak milik keluarga yang dapat dicampakkan sekehendak hati ayahnya. Sebaliknya anak laki-laki penting, mereka menjadi milik keluarga asalnya dan bagi masyarakat kolot ini, hanya dari garis keturunan lelaki-lah keturunan sebuah keluarga dapat dilacak, perempuan berada diluar lingkaran. Tubuh mereka hanya sekedar sarana bagi para laki-laki mengabadikan dirinya. Perempuan hanya sekedar media, identitas bagi laki-laki.
Pada abad 18, ketika Johan Gutenberg menemukan mesin cetak, perkembangan ilmu pengetahuan meluas, buku-buku menyebar dan memberikan beragam pengetahuan, dunia pun memulai era baru hingga meluas pada perjuangan gender, meski beberapa agama mengklaim bahwa sebelum modernitas terproklamirkan, mereka sudah menyatakan kesetaraan gender jauh sebelumnya (tp gw gak pengen berdebat ttg klaim-klaim itu) modernisme juga memberi blue print bagi kapitalisme yang sedang menuntut daerah-daerah baru selain sebagai perluasan pasar juga sebagai eksploitasi sumber daya baru, industri kapal dibangun sebelum wright bersaudara menemukan pesawat. Kolonialismepun menjadi hal yang lumrah di berbagai belahan dunia hingga sejarah mencatat beberapa imperium besar menjadi penghancur kebudayaan-kebudayaan lokal- para imperilalis itu menjejakan kakinya di daerah-daerah yang diklaim terbelakang. Colombus menemukan Amerika, pelayaran bersejarah Magelhaens di Filipina, Albuerque-que di Afrika hingga Bartholomos diaz, mereka adalah penakluk-penakluk daerah baru yang dipuja negaranya sebagai pahlawan tapi dikutuk sebagai penjajah di koloninya.
Perluasan industri demi perputaran modal pun masuk ke wilayah tak bertuan, pegunungan, kampung juga dusun-dusun terpencil, industri yang ditandai dengan pabrik-pabrik, televisi, radio juga beragam tetek bengek media lainnya bergerak dengan garang dan menghancurkan hutan, sawah, ladang juga sungai dan laut biru, bersama dengan itu, ikatan kekeluargaan yang selama ini merupakan penopang kekerabatan local juga ikut di binasakan. Efek nyata dari perkembangan ilmu pengetahuan modern adalah runtuhnya budaya local, kearifan adat istiadat dan lain sebagainya, meskipun sebagian dari dogma itu itu merupakan ketidakadilan bagi perempuan namun di sisi lain, modernisme juga memiliki kontradiksi yang pada akhirnya juga membawa perempuan menuju puncak kesengsaraannya. Berkuasanya modal, dominasi/kontrol negara dan lain sebagainya merupakan item-item ketidakadilan yang menghisap tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki. Pada negara-negara liberal, kesetaraan bagi perempuan tidak lagi menjadi isu yang romantis karena perjuangan persamaan gender telah mencapai tahap yang signifikan meskipun belum maksimal (juga menyimpan banyak kontradiksi) karena pada dasarnya perempuan tetaplah dijadikan sebatas komoditi, dihisap, diperkosa hak-haknya, di lebur dalam mesin industri yang tidak punya mata.
Reproduksi kapitalisme dewasa ini semakin samar untuk di kenali, apalagi dimusuhi- system ini bermetamorfosa dalam berbagai wajah manis, kekuatannya juga terletak pada cara-nya memanipulasi kesadaran, gencarnya iklan dan tawaran-tawaran barang merupakan trigger aktif konsumerisme, dilevel produksi tak pernah ada keadilan, pertumbuhan ekonomi yang belakangan ini diberitakan, hanya kampanye para eksekutif-eksekutif di world bank, kolaborasi dengan penguasa-penguasa local memudahkan jalan bagi para liberal-liberal itu memuluskan jalannya. (hmm, tentang ini, udh terlalu sering dibahas,). Jika ada pertumbuhan ekonomi maka jangan pernah percaya dengan slogan pemerataannya, pembangunan di sector-sektor industri malah menjadikan manusia seperti sapi perah bagi para pemodal, dan perempuan adalah yang paling menderita dibanding laki-laki (termasuk para transgender, homo atau lesbian,). Perempuan benar-benar dititik terendah, paling banyak menderita dalam piramida kehidupan. Ketidakadilan ekonomi, akses terhadap uang (pekerjaan, kalo masih ada yang percaya kerja), juga budaya patriarki yang belum juga tuntas dalam masyarakat membuat kondisi perempuan semakin menyedihkan. Kemiskinan, kelaparan yang menakutkan, dan bagi perempuan kelas menengah, keinginan-keinginan untuk membeli barang mewah membuat perempuan semakin dekat dengan bisnis pelacuran. Sungguh ironi, dunia modern dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang menjanjikan kemegahan bagi kehidupan manusia ternyata menyimpan tangisan kaum perempuan didalamnya, dunia modern yang konon kabarnya memiliki kekuatan nilai-nilai religius dimana penghormatan pada ikatan kekeluargaan yang kokoh dijunjung tinggi juga aturan moralitas sexual yang setara ternyata justru menyimpan jeritan pilu kaum perempuan, jeritan yang disembunyikan di rumah bordil, penjara dunia kerja, pabrik-pabrik bahkan didalam rumah tangga. (so’ jangan tanyakan moral universal di dunia yang kaya gini, gak ada moral’ karena moralitas telah lama di kuasai dan dijadikan alat kendali para bangsat-bangsat itu, termasuk didalamnya politisi, pemimpin juga para pengkhotbah).




FEMINISME




emansipasi bermula dalam jiwa seorang perempuan, dalam proses emansipasi internal, perempuan tertindas dapat mengetahui nilai mereka, menghargai diri dan budaya yang mereka miliki. hanya dengan proses ini, mereka dapat berada dalam posisi yang efektif untuk melawan dan mengatasi penindasan dan tingkah laku eksternal. hanya ketika kamu menghargai dirimu sendiri, kamu akan dapat meminta orang lain untuk menghargaimu juga. –Emma Goldman-


Proyek feminisme secara umum percaya bahwa jenis kelamin dan gender merupakan ciptaan social dan kultur yang tidak dapat direduksi menjadi sekedar perbedaan biologys. Feminisme sebagai teori politik juga sangat plural dan menciptakan banyak opsi-opsi dalam gerakannya (feminisme sosialis, feminisme hijau, feminisme liberal, feminisme perbedaan/radikal, feminisme hitam/pasca-colonial maupun feminisme post-strukturalis). Para feminis kontemporer berpendapat bahwa feminitas dan maskulinitas bukanlah esensi universal dan kategori yang kekal tetapi merupakan ciptaan wacana, (*jika mengambil teory kuasa pengetahuan dari Foucault, jelaslah sudah bahwa posisi perempuan terpinggirkan karena sejak lama akses terhadap penciptaan citra tertutup hingga dogma sejarah terpelihara bahwa perempuan harus selalu dibawah laki-laki).
Dominasi dan subordinasi terhadap perempuan merupakan hubungan yang tidak hanya terjadi antar bangsa atau kelompok etnis, citra perempuan yang terpinggirkan juga digambarkan dengan stereotip cultural yang mereposisi peranan jenis kelamin. Kaum laki-laki biasanya ditampilkan sebagai bersifat dominant, aktif, agresif dan otoritatif yang digambarkan dapat melakukan berbagai macam peranan yang penting, beragam, profesionalitas, rasional dengan kekuatan yang menjamin mereka melakukan semua hal dengan berhasil. Sedangkan perempuan, biasanya ditampilkan subordinate, pasiv, marjinal dengan menjalankan pekerjaan yang sekunder dan tak menarik yang terbatas pada jenis kelamin mereka, emosi mereka maupun domestikasi mereka.
Selain itu, feminisme melihat sex/kelamin sebagai sebuah sumbu organisasi fundamental dan sangat sulit direposisikan kembali. Dengan demikian, perhatian utama kaum feminis adalah pada jenis kelamin sebagai prinsip pengaturan kehidupan yang sarat dengan relasi kekuasaan (lihat: lagi-lagi kekuasaan, kekuasaan itu merusak makanya harus dihancurin)
Perbedaan laki-laki dan perempuan disebut berakar dari pengalaman menjadi ibu, pengalaman itu di kritik sebagai mode penindasan historis tetapi juga di rayakan sebagai kekuatan perempuan dan potensi-potensinya. Kelamin dianggap sebagai aspek biologys tubuh sedangkan gender merupakan asumsi dan praktik-praktik kultur yang mengatur kontruksi social lelaki, perempuan dan relasi social mereka. Bagi para feminis poststrukturalis, variasi-variasi kultur yang membedakan perempuan dan laki-laki dianggap menunjukan bahwa tidak ada kategori perempuan atau kategori laki-laki, lintas tersebut dapat dialami oleh semua orang karena yang ada hanya berbagai mode feminitas dan maskulinitas yang diperagakan.
Feminisme sosialis merupakan wacana kritik patriarki yang diletakan bersamaan dengan kritik terhadap kapitalisme dengan menganggap bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan bukanlah akibat dari factor biologys yang abadi melainkan konsep sosio - ekonomi cultural, dengan menekankan kesetaraan di segala bidang. Feminisme sosialis menujukan keterkaitan antara kelas social dan gender termasuk ketidakadilan gender yang mendasar dalam reproduksi kapitalisme. Subordinasi perempuan dibawah laki-laki dipandang sebagai sesuatu yang intrinsic dalam kapitalisme maka dengan demikian, untuk membebaskan perempuan secara total, organisasi dan kelas social harus ditumbangkan terlebih dahulu. Para feminis sosialis percaya bahwa kerja domestic perempuan merupakan inti dari reproduksi tenaga kerja baik secara fisik maupun secara cultural. Perempuan merupakan stok tenaga kerja termurah dan fleksibel yang dapat dipulangkan kerumah jika dibutuhkan. Bagi mereka untuk mensetarakan perempuan dan laki-laki maka kapitalisme harus di hancurkan terlebih dahulu berikut semua organisasi pendukungnya. (gw sepakat dear…!!)


V untuk perempuan!!!!
Artikel Terkait

0 komentar: