Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Showing posts with label Resensi. Show all posts
Showing posts with label Resensi. Show all posts

Thursday 25 September 2014

Resensi Film: Good People

Good People
Sutradara:  Henrik Ruben Genz
Produksi:    Millennium Entertainment


Cobalah pikirkan ketika hidup menjadi begitu sulit dengan tagihan yang terus datang, kartu kredit, cicilan rumah,cicilan kendaraan dan sebagainya. Tiba tiba setumpuk uang seperti jatuh dari langit. Peduli setan, uang itu berasal dari mana? Toh,  ada didalam rumah, tepat didepan mata. Uang yang mampu menyelesaikan semua permasalahan.
Mungkin seperti itu pesan dalam film ini.



Tom Wright (James Franco) dan Anna Wright (Kate Hudson) adalah pasangan muda yang belum begitu lama tinggal di London. Dikejar utang dengan resiko kehilangan rumah membuat pasangan ini seperti pupus harapan.
Kondisi tersebut berubah ketika Tom mendapati penyewa dilantai bawah rumah mereka terbunuh dan meninggalkan uang yang cukup banyak. Antara melaporkan kepada polisi atau tidak, Tom memilih untuk menyimpan uang tersebut. Uang yang akhirnya membawa pasangan itu pada petualangan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Dikejar penjahat paling keji di London.
Pada akhirnya film ini hanyalah film biasa, tidak memiliki keistimewaan seperti film film bergenre yang sama. Kehadiran Kate Hudson tak banyak menolong. Meski akting perempuan kelahiran ,,,, ini cukup ciamik. Sayang, tak ada kejutan apa apa dialur cerita.
Saya tak paham mengapa Henrik Ruben Genz bisa menduetkan Kate Hudson dan James Franco difilm ini. Sangat tidak cocok.


Thursday 20 January 2011

Perempuan-Perempuan Dalam Kerajaan Rock


Introduction!

*catatan ini merupakan catatan pembuka pada artikel berjudul sama yang saya tulis dan terbit majalah urgensi.

Ketika telinga publik terlelap dalam nina-bobo musik dominan, kecenderungan yang terlahir dari industri musik kita yang sekarat, semakin hari semakin seragam. Lalu terbesit kegelisahan banyak orang yang miris melihat perkembangan musik dalam negeri. Helaan napas sinis muncul dari ruang-ruang gelap, serupa jeritan hingga berubah menjadi keputus-asaan dan itu lebih menakutkan dari sikap pesimis. Musik rock mati suri!! Silogisme itu lebih mirip pernyataan bukan lagi pertanyaan, hal yang akan di iyakan oleh banyak kalangan, tentu saja dengan alibi masing-masing. Tiba-tiba muncul bayangan seorang laki-laki macho dengan rambut panjang, sepatu boot, jeans ketat tanpa baju, tatto, pierching juga gelang dan kalung besi lalu meraungkan gitarnya dan sang vokalis berteriak sambil menunjukan jari tengahnya di iringi pedal drum yang supercepat menghentak-hentak diatas panggung. Inilah musik rock dalam kacamata mainstream, begitu liar, begitu maskulin. Image itu dikontruksikan selama berabad-abad merasuk dalam kesadaraan lalu melahirkan persepsi meski kadangkala muncul pengecualian tetapi itu tak selalu bisa di terima khususnya di negeri ini, dimana laki-laki hampir menjadi segalanya, lalu bagaimana dengan para wanita? layakkah mereka ikut meramaikan kerajaan musik rock yang hingar bingar, masih pantaskan mereka ada di ruang pengap penuh asap dan ramai orang bermoshing ria. Apa mereka cukup kuat berdiri menunjukan eksitensinya yang bisa saja justru lebih gahar dari distorsi gitar jutaan watt. Tanda tanya ini telah lahir dari panggung yang lelah, buku sejarah bisa saja hilang dan terbakar namun kenyataan tak bisa dipungkiri walau kematian mengintip di balik pintu.
Kisah ini bermula nun jauh disana, sebelum Amy Evanescence menguasai panggung musik era milenium, sebelum album Avril Lavigne membuat laki-laki diseluruh dunia tergila-gila, jauh sekali bahkan jauh sebelum rekaman rock pertama milik Chuck Berry dirillis oleh Chess Record. Adalah sesuatu yang pasti bahwa bintang-bintang blues awal ternyata di kuasai oleh para wanita. Hal ini bukan rahasia yang di ungkap oleh Richie Utenberger dalam tulisannya yang berjudul “Classic Female Blues Singers”, ini seperti kotak pandora yang lapuk di makan usia dan yang jauh lebih pasti kiranya lagu Crazy Blues yang direkam oleh penyanyi wanita Mamie Smith pada tahun 1920 adalah rekaman komersial pertama dari apa yang kemudian dikenal dengan nama blues sebagai akar musik kontemporer. Rekaman yang terjual 75.000 eksemplar di bulan pertama itu ternyata rillis sebelum Elvis Presley menggoncang dunia. Sukses Mamie Smith membuka pintu bagi perempuan lain, sebut saja: Ida Cox, Sippie Wallace, Victoria Spivey, Lucille Bogan, Bessie Smith, Ethel Waters dan Alberta Hunter adalah beberapa nama yang cukup terkenal, hingga memuncak pada Janis Joplin dan Tracy Nelson yang menggemparkan dunia di dekade tahun 60-an. Ritchie Utenberger dalam tulisannya malah berani menyebutkan nama-nama perempuan di dekade tahun 40-an dan 50-an yang bernyanyi dengan gaya yang mendekati atau memasuki rock & roll, penyanyi R & B seperti Faye Adams, Big Mama Thornton, dan Big Maybelle, beberapa lainnya memainkan piano boogie, seperti Camille Howard, Ruth Brown dan Laverne Baker yang direkam oleh label Atlantik, mereka dianggap sebagai penyanyi perempuan paling penting yang berpartisipasi dalam transisi R & B menuju rock & roll. Wanita di rockabilly relatif jarang -Sparkle Moore dan Janis Martin adalah nama-nama yang hanya diketahui sedikit sekali orang. Wanda Jackson bisa dibilang sebagai penyanyi rockabilly terbaik dengan suaranya yang serak, agresif dan liar. Era British Invasion juga mencatat nama-nama penyanyi perempuan yang turut berpengaruh seperti; Shirelles, Little Eva, Dusty Springfield, Lulu, Marianne Faithfull dan sebagainya.
Selain Janis Joplin dalam The Big Brothers & Holding Company, tercatat beberapa nama perempuan hebat yang tergabung dalam band laki-laki seperti Maureen Tucker drumer Velvet Underground, Honey Lantree dari The Honeycombs, Grace Slick vokalis Jefferson Airplane lalu kita bisa menemukan beberapa nama lain yang berdiri sendiri seperti Suzi Quatro, Lita Ford, Patti Smith, Deborah Harry, Siouxsie Sioux, Joan Jet, Bjork, Sinead O conner, Hanin Elias dan masih banyak lagi dari generasi mereka yang pantas untuk di bingkai dengan emas padahal era kegemilangan Motown dengan The Supremes, The Marvelettes, Martha & The Vandellas belum juga padam. Barangkali Mamie Smith tidak sempat membaca buku The Second Sex milik Simone de Beauvouir namun rekaman komersialnya sangat berharga karena memberi warna pada sejarah kemegahan perempuan yang secara tak langsung menunjukan tanda bahwa perempuan sebagai pioner ternyata sudah ada dalam ranah musik justru sebelum buku The Second Sex yang fenomenal itu terbit ditahun 1949. Persoalan feminisme jelas akan membuka ladang ranjau perdebatan pun dalam ranah musik. Beberapa kritikus dan pendengar bersikeras bahwa wanita tidak boleh dihakimi hanya karena jenis kelamin semata tetapi harus di lihat dari kualitas musikalitasnya karena itu yang terpenting. Lainnya menyatakan bahwa apresiasi unsur feminin dari musik mereka perlu diperhitungkan terutama bila mengingat peran perempuan baik dalam industri musik maupun dalam struktur masyarakat telah sering ditindas dan kurang terwakili. Ini tak diragukan lagi padahal fakta jelas menunjukan bahwa perempuan telah mengambil peran yang cukup besar terhadap progresifitas musik dunia.

Merespon semua kenyataan tersebut tentu akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan di Indonesia?? Apakah kisah emas sejarah musik kita hanya di kuasai oleh para laki-laki, sebut saja Godbless, AKA SAS, The Rollies, Giant Step, Grass Rock, Andromeda, Slank, Jet Liar, Edane dan lain sebagainya yang melukiskan gegap gempita musik rock negeri ini dan di ruangan lain kita juga bisa menemukan Alien Scream, Sucker Head, Rotor, Roxx, Grausig, Tengkorak, The Idiots, Anti Septic, Trauma, Ritual Doom, Betrayer, Adaptor dan lainnya. Dapat dipastikan bahwa nama-nama itu tercatat dalam tinta emas ensiklopedia musik dalam negeri, petualangan musik mereka serupa bara api yang membara sepanjang zaman ini berjalan. Eksitensi mereka mau tidak mau semakin memperteguh kemaskulinan laki-laki dalam kerajaan musik rock.
Sedikit sekali dari generasi ini yang mencium fakta bahwa sejarah musik indonesia tak hanya tentang para laki-laki Didekade tahun 60-an, pernah ada Dara Puspita yang agresif berjingkrak-jingkrak di atas panggung, di era yang sama saat Led Zeppelin dan Deep Purple mentransformasikan rocknroll kedalam bentuk yang saat ini di kenal dengan Heavy Metal. Sebelum musik metal melahirkan beragam varian. Dara Puspita sudah duluan berkibar bahkan sebelum Steppenwolf band dari Kanada menulis kata Heavy Metal dalam lagunya Born To Be Wild. Dara Puspita merupakan band yang tepat dikatakan sebagai pelopor eksitensi band-band perempuan di Indonesia selain fakta bahwa show 3,5 tahun mereka di Eropa menjadi catatan sejarah paling fenomenal dalam ranah musik negeri ini. Selain Dara Puspita kita bisa menemukan The female, Yanti bersaudara, The Beach Girls. Medio tahun 70 hingga 80an juga pernah mencatat The Orchid yang melambungkan nama Silvia Saartje, ada juga Aria Yunior, Antiq Clique band, beberapa nama seperti: Nicky Astria, Atick CB, Reny Jayusman, Mel Shandy dan masih banyak lagi. Mereka adalah gambaran perempuan Indonesia dalam musik rock walau mungkin pengkategorian rock zaman itu tak lagi bisa didefenisikan sama untuk hari ini dan ketika musik rock mengalami pancaroba dengan beragam genre serta varian-variannya, negeri ini juga melahirkan generasi rocker perempuan yang memainkan musik extreem, dari death metal, thrash metal, hardcore, punk rock dan sejenisnya, tercatat pada medio tahun 90, beberapa band yang digawangi perempuan seperti Toilet den band yang sering mencover lagu-lagu The Misfits ini kemudian diklaim sebagai band perempuan pertama dalam scene musik underground pada paruh 90-an, kemudian ada Joystik, band ini diperkuat Acir Lazuardi sebagai gitaris sekaligus vokal, didampingi Kristin dan Indah. Lalu ada Toxic, Scrath, Wondergel, Punktat dan beberapa lainnya hingga kemudian banyak dari band-band itu membelah diri lalu memunculkan nama-nama seperti Viska Vivi Selviana yang menjadi gitaris Ritual Doom bersama tandemnya Yuli, ada Niken yang menjadi Guitaris Adaptor, Jill dari Stepforward, Rince dari band Gelap, Ferika Orchid vokalis Hidden, Hooker dan Es Coret, Rika Dreamer, Cindy Fatikasari Galery, Belakangan terbit Prissa Adinda gitaris muda dari Vandetta, Tashea Nicole Delaney vokalis sekaligus gitaris Painkiller. Begitu banyak nama yang akan terbit serupa matahari pagi lalu sejarah pun tercipta!
Perdebatan feminisme jelas akan menimbulkan banyak perpektif namun penegasan bahwa perempuan dalam musik rock bukan sesuatu yang tabu, sebaliknya merupakan keragaman yang harus di beri ruang yang sama dengan laki-laki. Agresifitas, keliaran di atas panggung adalah salah satu cara mengapresiasikan diri dan hal tersebut berlaku sama karena teory apapun sulit menyangkal bahwasanya musik rock tidak mengenal perbedaan!



*lebih lengkapnya ada di majalah urgensi

Friday 12 November 2010

Jump Car Red: Perpaduan Musik dan Monolog Puisi


Musik adalah bahasa universal yang terkadang secara verbal merepresentasikan keinginan, harapan maupun hasrat tak berbentuk. Notasi dan lirik berfungsi sebagai katalisator bagi para seniman musik untuk menyampaikan cinta, rindu, kemarahan, protes bahkan pemberontakan. Adalah Jum Car Red, sebuah band yang juga memilih musik dalam menyuarakan eksitensinya. Di tengah erosi dunia kerja yang menjadikan manusia seperti mesin tanpa emosi dan berbagai persoalan keseharian membuat anak-anak muda ini tak ragu untuk menjadikan musik sebagai kendaraan perang mereka dalam melawan kenyataan semu. Lirik lagu yang sarat makna serta referensi musikal yang juga tidak asal-asalan ditambah lagi aksi panggung yang memadukan unsur teatrikal dan kegenitan rock n’ roll membuat band ini sangat layak ditunggu kehadirannya.
Tersebutlah di tahun 2005, ketika itu Dody Setiadi sedang masa liburan semester lalu menyempatkan diri mengunjungi rumah Okta Purnomo, salah seorang sahabat masa SMA-nya. “Pada waktu itu kami berbincang tentang apa saja, mulai soal perkuliahan yang tak kunjung rampung hingga berbagai persoalan yang dihadapi Okta selama mengarungi dunia kerja. Kemudian kami sampai pada pokok bahasan yang tak kunjung dapat kami selesaikan,” kenang Dody tentang awal terbentuknya Jum Car Red. Ihwal tersebut terus mengganggu perbincangan dua pemuda itu, kegundahan akan masa depan yang menantang, kepenatan dunia kerja, kuliah dan berbagai persoalan lain mau tidak mau menggugah mereka untuk melakukan sesuatu. “Kami sadar peradaban ini tak akan berhenti membenamkan dan menggerus kemanusiaan kami. Di tubir malam, kami sepakat agar tak terjerumus dalam stagnansi lalu kami putuskan untuk menggila. Berdialog dengan hidup menggunakan cara kami. Kami ingin menjadi keras dan terus bergulung agar tetap survive. Dan boom! kami putuskan untuk kembali bermusik,” lanjut Dodi berapi-api.
Tentu saja bagi Dody cs musik tidak lagi sebagai sekedar musik namun menjadi semacam pelepasan sekaligus media mereka dalam berdialektika dengan kehidupan. Sayangnya keinginan untuk mendirikan band baru terealisasi pada tahun 2006. Selepas Dody Setiadi merampungkan kuliahnya dan kembali ke Jakarta. Satu per satu karib lama semasa SMA-nya pun dikumpulkan hingga pada bulan kelima di tahun 2006, dengan komitmen seadanya dalam sebuah sesi latihan di studio sewaan di bilangan Jakarta utara terbentuklah kelompok musik tanpa nama. Itu lah cikal bakal Jump Car Red (JCR). Dari pelafazan, nama Jump Car Red mungkin sedikit asing untuk lidah orang Indonesia. Jelas nama ini tidak sekali-kali dimaksudkan untuk dimaknai menurut aturan gramatikal dalam bahasa Inggris, sebab nama tersebut keluar dari aturan itu namun bagi para punggawanya pemberian nama Jump Car Red memiliki alasan khusus. “Nama Jump Car Red sepenuhnya dimaksudkan untuk dipahami sesuai dengan ungkapan bahasa Indonesia, yakni: Jam Karet, awalnya setiap kali latihan selalu saja ada beberapa kawan yang tidak bisa datang tepat waktu. Dari ungkapan spontan yang berpagar makna leksikal itulah lahir nama Jump Car Red. Sedangkan untuk cara penulisannya yang menuruti gramatika bahasa Inggris sekedar lucu-lucuan saja. Anggap saja sebagai sindiran kepada masyarakat Indonesia yang kebarat-baratan,” ujar Dody tertawa. Meski dari segi nama band ini agak nyeleneh namun mereka tidak bisa dikatakan tidak serius. Ciri menarik dari band ini adalah konsep pementasannya yang mencoba memadu-padankan berbagai macam bentuk pementasan, mulai dari teater baik monolog, drama, puisi, art performance, video art, dan sejenisnya untuk kemudian dihadirkan kehadapan pemirsanya sebagai sebuah sensasi tontonan. Namun hingga saat ini, band ini baru mampu menghadirkan monolog serta puisi dalam berbagai pementasannya. Mereka mengakui bahwa puisi adalah yang paling praktis untuk ditampilkan dalam setiap pementasan, maka hampir dapat dipastikan pembacaan puisi selalu lekat dalam setiap penampilan mereka. “Sejak mula kami bercita-cita untuk menjadikan band ini sebagai penerus semangat band-band rock-teatrikal yang banyak muncul pada sekira tahun 60/70an baik di dalam negeri maupun mancanegara,” tutur Dodi Setiadi.
Sebagaimana layaknya band yang sedang berjuang mengibarkan benderanya, Jump Car Red juga telah mengalami beberapa kali pergantian personel dan kini ditukangi oleh Dody Setiadi (vokal), Okta Purnomo (bas), Rio Madino (drum), Akmal Fauzan (gitar), Muhammad Artan Januar (gitar), Dimas Anindito (kibord) dan saat ini tengah bersiap untuk merilis mini album mereka setelah lama mengembara dari gigs ke gigs. Beberapa lagu Jump Car Red pun sudah tersebar di mana-mana meski secara formal band ini belum mengeluarkan album. Salah satu lagu yang telah sering mereka mainkan ketika tampil di beberapa event musik adalah lagu yang berjudul “Confessions On The Dance Floor”. Sebuah lagu yang fresh dengan suntikan irama yang mengajak orang yang mendengarnya ikut berdendang. Ada juga lagu yang berjudul “Metafora” dengan lirik yang sangat filosofis. Jump Car Red juga memiliki tendensi yang sama dengan banyak orang dalam menyoal kondisi yang terjadi hari ini. Segala pikiran kritis mereka akan termanifestasikan dalam mini album yang sedang proses perilisan dan menurut rencana akan diberi tajuk The First Half of Life. “Konsepnya mini album dengan lima lagu, kami menyoal feminisme dan bias gender dalam lagu berjudul “Katastropi”, berhala dan Tuhan baru dalam lagu “Phedolaboria”, sikap monotafsir dalam melakoni kehidupan dalam lagu “Metafora”, gaya hidup dalam lagu “Confessions on the dance floor” dan juga cinta dalam lagu “My J-Lammy Blues”. Semua itu adalah periodesasi hidup, interpretasi kami atas kehidupan. Mini album ini direncanakan sebagai album konsep yang antara lagu satu dengan lagu lainnya memiliki hubungan. Hubungan tersebut dapat dilihat berdasarkan lirik, urutan lagu serta musik ilustrasi antara yang akan menghubungkan lagu satu dengan lagu lainnya. Insya Allah akan rampung sebelum akhir tahun 2010 ini,” jelas Dody soal mini album Jump Car Red.
Dody Setiadi juga berharap bahwa scene musik independen dapat berkembang untuk memberi wadah dan berimbas baik terhadap musik dalam negeri. “Saya sangat yakin bahwa tumbuh dan berkembangnya sebuah scene itu sangat bergantung oleh media yang mendukungnya. Scene menjadi signifikan jika didukung oleh media yang tepat dan massif Media bisa apa saja dan dalam bentuk apa saja. Dengan kemajuan teknologi media seperti sekarang ini itu tidak sulit,” kata frontman Jump Car Red ini. Tentu saja tidak ada scene musik yang berdirinya dibiayai oleh lembaga donor atau investor terlebih lagi oleh negara. Scene berdiri sebab berkumpulnya orang yang suka terhadap musik atau band tertentu. Di tengah lesunya scene musik independen, Jump Car Red tidak takut untuk tidak menjadi seragam, bahkan mereka mencoba berusaha untuk tidak sama dengan apa yang selama ini tersedia secara massal dalam industri musik. “Vox populi vox dei” itu ngawur karena yang kebanyakan belum tentu baik, belum tentu benar. Kesadaran mekanis adalah kesadaran yang membebek. Ia akan segera rapuh berganti-ganti dari yang saat ini melayu menuju entah apalagi,” demikian statement Dody Setiadi tentang industri musik. Secara tersirat pria yang juga menyenangi filsafat ini mengakui keresahan yang dialami banyak orang. “Saya bukan ingin melecehkan genre musik tertentu, saya menghargai semuanya. Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa menjadi tugas industri musik di tanah air untuk menyediakan berbagai macam genre kehadapan publik. Pilihan akan membuat publik menjadi cerdas, dan tidak membeo,” sambungnya.
Bagi Jump Car red, musik menjadi sebuah media tempat mereka mengungkapkan apa yang mereka rasakan. “Dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore, kami gadaikan jiwa dan raga kami untuk bekerja pada perusahaan tempat di mana kami memperoleh nafkah. Bukan berarti kami tidak bahagia melakukan pekerjaan itu, namun hal itu belum cukup menentramkan individualitas kami. Untuk itu kami berkarya dalam musik yang berfungsi sebagai penawar bathin kami,” ungkap Dody. Interpretasi mereka tidak hanya diwujudkan sebatas musik namun juga pertunjukan teatrikal yang memukau. Dan di panggung, Jump Car Red seakan berada dalam dunia mereka sendiri, menciptakan sejarah dengan lagu yang membawa mereka menuju proses kreatifnya. “Bagi kami rock and roll itu adalah terus menerus melakukan dialog dengan kehidupan,” papar Dodi menutup perbincangan malam itu.

(By me to likethis.com)
http://www.likethisentertainment.com/story/main-band-profile/462-jump-car-red-perpaduan-musik-dan-monolog-puisi-.html

Wednesday 10 November 2010

IRON MAIDEN: Menjawab Penantian Panjang Para Pengemarnya di Indonesia


Katakan saja bahwa menunggu itu memang sangat melelahkan akui saja dengan bangga bahwa penantian panjang ini akhirnya terjawab dengan cukup melegakan. Sejak beberapa bulan yang lalu rumor kedatangan Iron Maiden santer berhembus dan membuat banyak kalangan khususnya para penggemar fanatiknya gelisah hingga akhirnya kabar mendebarkan itu menemukan pembenarannya. Iron Maiden dipastikan mendarat di Indonesia pada bulan februari 2011. Original Production yang dikomandoi Tommy Pratama adalah pihak yang berjasa band bersejarah itu. Setelah sukses menggelar konser beberapa band seperti Megadeth, Extreem, Firehouse dan penyanyi Michael Bolton ke Indonesia, kini Original Production seakan menawarkan klimaks bagi para pecinta musik rock tanah air dengan salah satu legenda Heavy Metal dunia. Konser Iron Maiden kali ini merupakan rangkaian The Final Frontier World 2011 yang juga menjadi titel studio terbaru mereka. Pada press confrence yang diadakan di Hard Rock CafĂ© Jakarta (Senin/08/11/2010) Tommy Pratama mengatakan Iron Maiden akan memuaskan dahaga para penggemarnya dengan menggelar konser di dua kota: Jakarta dan Bali. Stadion Gelora Bung Karno akan menjadi saksi penampilan mereka pada tanggal 17 februari 2011 lalu Garuda Wisnu Kencana – Bali pada tanggal 20 februari 2011. “Kami sudah sekitar 5 tahun yang lalu berhubungan dengan manajemen Iron Maiden” kata Tommy Pratama“ Mereka juga sangat antusias bisa konser disini mengingat penggemar mereka di Indonesia terbilang cukup besar”. Lebih jauh, Tommy Pratama berharap dengan kedatangan Iron Maiden dapat memberi pengaruh positif terhadap citra Indonesia dimata dunia bahkan promotor kawakan ini tidak memungkiri jika hal sukses dapat membuat beberapa band legendaris bersedia datang ke Indonesia. “Semoga salah satu dari The Big Four yang lain tahun depan dapat kita bawa kesini, bisa Metallica, atau yang

Iron Maiden yang saat ini diperkuat oleh Bruce Dickinson (vocal), Steve Harris (Bass), Dave Murray (gitar), Janick Gers (gitar), Adrian Smith (gitar) dan Nicko McBrain (drums) telah merilis total kolektif tiga puluh satu yang terdiri dari lima belas studio, tujuh live, empat EP, dan lima kompilasi. Sebagai salah satu legenda rock dunia, kehadiran mereka tentu saja sangat dinantikan oleh banyak penggemarnya. Dalam press confrence yang juga di hadiri para fans Iron Maiden yang tergabung dalam Indonesia Iron Maiden Troopers (IIMT), Syam Iman ketua IIMT didaulat naik ke mimbar pembicara bersama Arthur Kaunang (bassist AKA/SAS). Tommy Pratama terang-terangan mengucapkan terimakasih kepada Indonesian Iron Maiden Troopers yang menurutnya sangat memotivasi hingga Original Production berani mengundang Iron Maiden,”Saya sempat mengatakan kepada manajemen Iron Maiden, lihat itu penggemar anda”

Pihak Original Production menegaskan Iron Maiden akan membawa 70 orang dengan maksimal 20 ton beban peralatan konser yang diangkut dengan menggunakan pesawat Boeing 757 kepunyaan mereka. Pesawat yang juga berjuluk Flight 666 akan dipiloti langsung oleh vokalis Iron Maiden, Bruce Dickinson. Ketika ditanya perihal tempat landasan pesawat jika sampai di Jakarta, Tommy Pratama belum bisa memberitahu. “Bisa di Bandara Sukarno- Hatta dan bisa di Halim Perdana Kusuma” pungkasnya tersenyum. Salah seorang wartawan bergurau barangkali kerahasiaan itu untuk menghindari ledakan pengunjung yang melihat pesawat itu. Seperti diketahui, Bruce Dickinson yang bergabung menjadi vokalis pada tahun 1981 memiliki pekerjaan sampingan sebagai instruktur bagi para pilot disalah satu maskapai penerbangan di Inggris. “Dia juga pernah menjadi atlet anggar nasional dari Inggris” cerita SyamIman ketua Indonesia Iron Maiden Troopers.



Hingga konferensi pers berlangsung, Original Production belum mendapat kepastian apakah konser ini juga menghadirkan opening act. “ selama ini manajemen Iron Maiden mengatakan no suporting act dan kalau pun ada itu bisa saja dibawa sendiri oleh mereka” katanya. Terlepas dari hal itu, kehadiran Iron Maiden adalah sesuatu yang sangat membanggakan mengingat konser mereka di Asia hanya diselenggarakan di dua negara. Indonesia dan Singapura. “Harapan kami penggemar mereka dari Malaysia, Philipina atau negara-negara lain akan datang ke Indonesia, target kami memang para turis makanya kami memilih Bali setelah Jakarta bahkan saya sempat mendengar kabar penggemar mereka dari Australia ada yang menonton konser Iron Maiden di Bali bukan di negara mereka” imbuh Tommy

Antisipasi keamanan juga disiapkan secara maksimal oleh panitia meski demikian Tommy mengakui ada kemajuan dalam konser-konser musik saat ini “Kesadaran orang untuk menonton konser itu sekarang berbeda dibanding dulu, sekarang orang nonton konser untuk enjoy bukan untuk rusuh kami tetap memaksimalkan keamanan” tandasnya. Lebih lanjut Tommy juga mengatakan Iron Maiden di Indonesia, Original Production juga bekerja sama dengan sponsor saat ini beliau masih belum bisa menyebutkan nama-nama sponsor . “ Biasanya sih H-30 baru terpasang atribut sponsor, strategi sponsor lah itu”. Sementara itu, untuk tiket presale Original Production hanya akan membuka penjualan satu hari yakni: tanggal 14 November mendatang hanya 3000 tiket yang dilepas itupun hanya kelas Festival. “Untuk kelas tribun mungkin tidak ada presalenya, mengantisapi membludaknya antrian” katanya.

Menariknya kedatangan Iron Maiden kali ini juga memberi arti besar bagi Original Production yang tahun depan berusia dua dekade. “Anggap saja ini sebagai perayaan dua dekade Original Production” timpal MC dari atas mimbar pembicara. Tommy Pratama hanya tersenyum mendengar hal .

Arthur Kaunang yang juga menjadi pembicara dalam press confrence itu terlihat antusias mengisahkan kiprah Original Production. “saya ingat sekitar tahun 1992, Original Production mengundang kami (SAS) main pada malam tahun baru di Ancol, waktu itu mereka belum lama berdiri” kenang Bassit yang juga kompatriot Alm Ucok Harahap itu. Beliau juga memuji kesuksesan Original Production membujuk Iron Maiden untuk datang ke Indonesia. “Iron Maiden memiliki jiwa rock yang tidak bisa dipungkiri walau usia mereka sudah tidak muda lagi konser mereka diTentu saja para Troopers Indonesia juga berterimakasih pada Original Production atas The Final Frontier World 2011 ini, Indonesia Iron Maiden Troopers yang mensupport Original Production Iron Maiden saat ini berjumlah lebih dari 13.000 pengikut dijejaring sosial facebook telah menanti kehadiran Iron Maiden sejak lama dan Stadion Utama Gelora Bung Karno akan menjadi saksi sejarah berkumpulnya para Troopers Indonesia selain Garuda Wisnu Kencana. Mari berharap Flight 666 yang menerbangkan para dedengkot Heavy Metal itu sukses menggelar lagu-lagunya di Indonesia. [EL]

(by me publshed on Indonesian Hits)http://indonesia-hits.com/iron-maiden-menjawab-penantian-panjang-para-pengemarnya-di-indonesia/

Saturday 29 May 2010

Album of The Day: AC/DC – Iron Man 2


Jelas ini bukan album yang memuat lagu-lagu terbaru AC/DC, dengan itu tampaknya Angus Young cs masih percaya bahwa dua lagu klasik–”Shoot to Thrill” dan “Highway to Hell” mampu menjadi nyawa dalam sekuens film Iron Man 2. Dan perilisan album ini menjadi suatu cara tersendiri bagi AC/DC untuk menunjukkan eksistensinya pada generasi sekarang–khususnya pecinta film.

Terlepas dari filmnya, album ini cukup mampu menyegarkan ingatan saya pada kegemilangan band asal Australia ini. Album diawali “Shoot to Thrill”, lagu yang diambil dari album Back in Black (1980). Lagu itu sebaiknya didengarkan dengan konsentrasi maksimal untuk bisa mendengar dengus kemarahan dari vokal Brian Johnson. “Shoot to Thrill” tidak sepopuler “Back In Black”, yang sudah lebih dulu mereka dedikasikan di film Iron Man. Namun, jika diperhatikan baik-baik, lagu ini seharusnya bisa menjadi jalan untuk menuju kepopuleran lebih awal bagi AC/DC. Cukup sulit untuk melupakan Bon Scott. Track kedua “Rock ‘n’ Roll Damnation” menyisakan kenangan tentang album Powerage (1978) dan saat Bon Scott masih berdiri sebagai rockstar. Album Iron Man 2 menjadi seperti pertempuran antara Brian Johnson melawan Bon Scott karena mereka bergantian untuk menyumbangkan suara pada album ini. Tapi Angus Young tetaplah sebagai pemenangnya. Riff-riff gitarnya tak bisa tidak merupakan karakter abadi band ini.

Lima belas lagu yang ada di album seakan ini tidak diperuntukkan bagi mereka yang sudah memiliki koleksi lengkap AC/DC. Namun, jika Anda adalah kolektor sejati sebaiknya album ini dijadikan sebagai pelengkap. Sampul album yang bergambar dua orang Iron Man berdiri dengan tulisan AC/DC di sisi atas terlihat klise. Tapi booklet yang berisi foto-foto Angus Young cs bisa membuat saya bahagia. Foto paling menarik perhatian adalah gambar Angus Young terbaring di atas panggung berlumur darah akibat tertancap gitar. Mungkin AC/DC sedang berkata kepada seluruh penggemarnya bahwa semua lagu di album ini harus didengarkan dengan volume maksimal untuk membuatnya menjadi fantastis.

“Back in Black”, “T.N.T.”, “Highway to Hell” tak diragukan kesakralannya. Namun lagu-lagu seperti “Hell Ain’t a Bad Place to Be”, “Have a Drink on Me”, “Evil Walks”, “The Razords Edge”, “Let There Be Rock”, “War Machine”, “Guns For Hire”, “Cold Hearted Man”, “Thunderstruck”, “If You Want Blood (You’ve Got It)” tak kalah memiliki sesuatu yang membuat pendengarnya kesulitan membedakan surga dan neraka.
(Review By Me to urgensi.com/ crativedick.com

http://creativedisc.com/reviews/album-of-the-day/album-of-the-day-acdc-iron-man-2/