Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Monday, 18 January 2010

CERITA DALAM KARDUS …


Aku ingin menulis tentang kenangan, tentang pengalaman, tentang ingatan lama yang hampir usang di sudut memory barangkali sebentar lagi lapuk di almari ingatan berdebu, tentang sepenggal kisah yang hadir sesaat, pernah membekas, pernah begitu hidup dan pernah hilang…



Tulisan ini di mulai sore tadi, ketika aku sudah hampir sudah tidak punya ide untuk melakukan apa-apa, saat rasa bosan yg sentimentil hadir menyapa dinding kamar yg diam, lalu ada selimut dan bantal guling, tempat sembunyi terindah dari cuaca dingin akibat sisa hujan pagi yang masih membekas di atap kamarku. Jenuh!! Moment itu mengambil durasi terbanyak hari ini, sementara inspirasi untuk mencipta tak jua hadir, barangkali tubuhku menginginkan ranjang untuk bertemu mimpi yang lupa kusapa semalam. Aku mencoba untuk tidur meski hari sudah hampir gelap, hari ini benar-benar membosankan!! Seharian berita TV hanya mengupas tentang skandal century, selain radio yang memutar musik yang itu-itu saja, sedangkan untuk melakukan kesenangan berfesbuk ria, aku agak malas, selain karena lemotnya loading computerku juga suasana kamar yang mulai kusadari tak lagi kondusif, karpet dan rak-rak buku telah begitu banyak menyimpan debu. (aku lupa, kapan terakhir membersihkan lemari buku ini) Ketika kesadaran itu muncul, akhirnya rasa kantuk sekejap hilang!! Bergegas ku bersihkan rak-rak bukuku berlomba dengan matahari yang mulai malu-malu turun dari tahtanya. Sepertinya’ senja tak akan kunikmati di beranda, terlalu banyak buku dan kotak kardus yang harus kelepaskan dari jaring laba-laba yang ternyata sudah mendirikan imperium nya lama sekali…
Setengah jam waktu yang kubutuhkan sebelum kotak kardus berwarna putih yang mulai pudar di makan usia menampar sudut mataku, anehnya’ aku sudah lupa isi didalamnya, kotak ini sudah tak pernah kubuka bahkan sejak aku belum menetap dikamar ini- yeaah!! Ketika kubuka: didalamnya aku menemukan tiga buku diaryku yang pernah kunyatakan hilang, didalamnya juga tersimpan foto-foto lama dan beberapa lembar teks surat berwarna biru langit dengan title “The Story of Courteous Girl VS Naughty Boy” dan dalam tiga detik,dadaku sesak, mataku luruh kesudut yang tak lagi kubisa kuraba, ingatanku melayang menembus waktu ditahun 2003!!



Ini bukan tentang kalian yang pernah duduk manis di hari-hariku, ini tentang seseorang yang lupa ku sisir dirambutku, tentang seseorang yang hampir hilang di dalam kotak kardus, tentang seorang sahabat…


Denpasar, Pecalang dan Langit malam...



Pada agustus 2003, sebuah organisasi mahasiswa yang dipayungi institusi besar dinegeri ini, mengadakan muktamar di denpasar bali, aku bukan bagian dari organisasi itu, secara kebetulan kakak sepupuku aktif disana dan cukup punya peran penting di organisasi itu, karena aksesnyalah, hingga aku dipercaya untuk membuat lirik lagu dan notasi nada untuk dijadikan “mars lagu” pada pembukaan acara. Aku dibiayai kesana, fasilitas penginapan, akomodasi serta transportasi ditanggung panitia. Waktu itu aku belum begitu peduli dengan tetek bengek isme-isme dan segala varian2nya, bagiku: satu lagu untuk menebus liburan kebali…’its not big deal! (kapan lagi kebali gratis?? Hehe…) tapi aku tidak ingin membahas tentang organisasi atau benturan-benturan ideology didalamnya, bukan karena sekarang aku menolak organisasi tapi ada kisah indah tersimpan disana, yang terlalu manis untuk dilupakan, kisah yang biru tentang langit-langit malam di bali, tentang pantai kuta, tentang turis-turis telanjang, tentang suasana senja di jalan renon denpasar juga tentang seraut wajah manis yang kukenal disana….
Muktamar itu diadakan di auditorium kampus Universitas Udayana dan aku menginap di sebuah penginapan yang tak jauh dari lokasi acara. Aku diberi ID card yang bertugas sebagai sie acara panitia, otomatis aku berangkat seminggu sebelum kegiatan dimulai untuk berkordinasi dengan panitia daerah dan mempersiapkan lagu yang akan dinyanyikan oleh kelompok paduan suara local…
Beruntungnya aku, laguku tidak jadi di jadikan ikon acara (mars muktamar) karena perwakilan dari kota Malang sudah duluan mengirimkan lagu lengkap dengan not balok dan telah disosialisasikan di sana, lagu yang kubuat hanya akan di jadikan pelengkap pada sesi penutupan dan akan dibawakan oleh perwakilan dari Jakarta yang selama ini sudah sering mereka nyanyikan sebelum aku berangkat kesini. Fakta ini, kemudian menguntungkanku karena aku tidak perlu repot-repot berkordinasi dengan panitia local, yeah!! Akhirnya’ aku bisa menikmati kota denpasar dengan leluasa…!!
Hari pertama kulewati dengan mencoba berbaur dengan situasi, melihat-lihat, mengamati juga berusaha mengenal beberapa orang, di hari kedua pun demikian!!
Pada hari ketiga’ aku mengenalnya….
Dia wanita yang sangat menarik dan kebetulan, dia juga bukan bagian dari organisasi itu. menurut ceritanya, dia hanya membantu kawannya yang kebetulan panitia local di bali. Dia tinggal di daerah tuban denpasar dan kuliah di salah satu universitas swasta di bali. Karena bukan bagian dari organisasi itu, maka kami pun tidak terikat secara administrasi dengan panitia acara. Aku sering menghabiskan waktu bersamanya, berjalan-jalan atau sekedar ngobrol, dia seperti gambaran umum masyarakat minoritas di bali. Pasca ledakan bom di legian sedikit banyak juga memberi imbas pada kehidupan disana. Aku sering bertanya padanya tentang pohon-pohon besar yang diberi kain berwarna hitam putih disepanjang jalan yang kami lewati dan dengan bahasa yang lugas di menjelaskan padaku semua yang ingin kuketahui. Hanya dua minggu waktu yang kami punya untuk dekat dan menjadi sahabat… yeah!! Dia hanya kawan, meski ku akui, aku kagum dengan sikap, pola pikir juga pesona yang tersirat jelas di wajah manisnya. Beberapa teman mengira kami telah berhubungan lebih serius karena seringnya kami menghabiskan waktu berdua. aku sudah hampir lupa moment-moment saat itu, beberapa yang tertulis jelas di buku diaryku saja yang masih bisa kuraba, pernah sekali kami di bentak oleh petugas adat (pencalang) karena bernyanyi agak keras di tengah malam, akhh!! Aku lupa.. benar-benar lupa! Tiga hari menjelang acara selesai kami sempat menghabiskan waktu di pelataran robinson mall denpasar, duduk bersama kawan-kawan yang lain (ironisnya: semua yang ada malam itu pun sudah tak lagi ku ingat, nama dan mereka sekarang dimana) yang kuingat hanya tentang langit, tentang bintang-bintang dan obrolan-obrolan kecil kami. Mall sudah tutup jadi kami hanya duduk dipelatarannya menjelang tengah malam selesai. Akhh!! manis sekali untuk dilupakan…
Setelah penutupan acara’ aku tidak sempat menemuinya’ meski untuk mengucapkan selamat tinggal, sempitnya waktu karena jadwal keberangkatan ke Jakarta sudah ditentukan hari itu juga, memaksaku bergegas dan lupa. Belakangan kuketahui’ dia menunggu di lapangan parkir hotel, ketika kendaraan yang mengantar rombongan kami pulang ke Jakarta aku memang sempat melihatnya duduk dibelakang setir mobilnya…
Selepas itu, komunikasi kami tidak terputus seketika meski juga tidak intents, hingga 7 bulan setelahnya, dia menemani kakaknya yg kebetulan melakukan operasi kesehatan di Jakarta. Kami pun berjumpa lagi namun hanya berdurasi setengah jam berhubung 3 jam berikutnya’ dia harus mengejar pesawat, setelah ini, komunikasi kami mulai tersendat, hanya sekedar kartu pos (berisi ucapan selamat ulang tahun dan gelang-gelang kecil) dia juga pernah beberapa kali menelponku namun tragisnya: handphoneku hilang dan semua nomor pun ludes, Kami pun lost contact… !!!
Aku sudah benar-benar lupa hingga kotak kardus berwarna putih ini mengingatkanku lagi padanya, seorang temen yang pernah dekat, pernah kukenal tapi tak lagi ku ketahui dimana. Barangkali saat ini’ dia terikat dalam kontruksi pernikahan dengan seorang laki-laki yang memberinya bayi mungil yang lucu, entahlah… aku tidak bisa menerka! Akh, sudahlah! Aku merasa malam ini indah karena tlah berhasil menelanjangi memoryku’ salam manis untukmu kawan’ dan panjang umur, peluk hangat utk 7 tahun yang lalu…

Ini hanya tentang kenangan, yang barangkali semua orangpun pernah mengalaminya, Simpanlah kenangan mu kawan karena kenanganlah yang menjadikanmu seperti hari ini…

MALAIKAT HUJAN..


Malaikat itu baik sayang..
Dia gak egois’ gak punya tendensi!!
Bergerak berdasarkan naluri baik tanpa nafsu…
hanya bermetamorfosa berdasarkan dalil dari semua kitab suci agama2 didunia!!
tidak menyerang, tidak menindas, tidak juga punya kebencian!!

Tapi gw kurang suka sama malaikat…
Karena hanya memberi’ bertindak tanpa rasa apapun’
Dia gak nangis, gak marah, gak sedih… sok hebat banget y’
padahal disini semua manusia sempurna dari zaman aristoteles, Nieczthe sampe zamannya Pramudya udh megap2 dilindas praduga dunia yg indah tapi sinis ini!!!

Kadang-kadang gw pengen menjadi iblis loh beib..
Beringas, liar dan buas…
Menyumpah, memaki atw tertawa terbahak-bahak..
Bebas, lepas gak ada aturan, hukum, norma atw perangkat sosial lainnya yg mengikat!!
Hanya gw, gw dan gw!!!!Tapi kaya’nya gak mungkin…
Sebagai mahluk sosial’ tindakan gw otomatis berimbas pada dunia yg gw pijak..
Sial…Albert Camus bener y’ Didunia yg absurd ini kita pengen berontak tapi gak tau mau berontak pada siapa”… hahahaha..
eksitensial nihilistik katanya Betrand Russel…

dear'
Malaikat gw udh pernah datang’ tapi pergi lagi..
Singgah sebentar doank’ lindungi gw dari hujan, panas, dingin, saat marah, menangis atw sekedar memberi semangat kala gw bener2 rapuh!!
Sekarang dia terbang lagi’ namanya juga malaikat'..
Klo pergi gak bilang2’ hahahahaha..
Dan sekarang’ kondisi gw juga sama seperti lo, mereka semua org2 diluar sana..
Gw juga lagi menunggu malaikat gw..
Sebentar lagi dia pasti datang’ bayangannya juga udh muncul…
Memantul di sunset’ wow..
senja mulai turun’ burung2 pada nyanyiin lagu2nya Beethoven...
Karena dia datang ketika hujan’ maka dia gw namain ”Angel of Rain”

Thursday, 7 January 2010

SEJARAH SENI MUSIK SEBAGAI MEDIA PROPAGANDA DI INDONESIA *sebuah catatan singkat -


Di Indonesia, sejarah kesenian (musik) dalam menjadi mesin propaganda telah berkembang sejak masa kolonial. Ketika Belanda berkuasa dibumi pertiwi, lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dilarang beredar. Rekaman lagu itu dibuat sangat terbatas dan judulnya pun dirubah menjadi “Indoness Indoness karena lagu tersebut dapat mengugugah jiwa patriotisme anak-anak muda. Zaman pendudukan Jepang, situasi mulai sedikit berubah. Pemerintah fasis Jepang memanfaatkan seniman-seniman pribumi untuk kepentingan propaganda “Negara Asia Timur Raya”. Pada Maret 1942 Jepang mendirikan “Radio Hosyo Kanri Kyoku” yang disiarkan dari Tokyo dan untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya (versi 3 stanza) dikumandangkan secara luas dengan iringan Orkes Simponi “Nippon Kosyo Kanri”. Ironisnya dibulan April tahun 1942, secara sepihak Perdana Menteri Jenderal Tojo Hideki mengeluarkan pengumuman melalui radio Hosyo Kanri Kyoku melarang pemutaran lagu Indonesia Raya dan upacara pengibaran bendera Merah Putih. Pemerintah Jepang lalu mengeluarkan Undang-Undang no 4 yang mewajibkan rakyat Indonesia mendengarkan lagu kebangsaan Jepang “Kimigayo” dan melaksanakan upacara pengibaran bendera “Himomaru”. Setelah itu, Jepang mendirikan Badan Pusat Kesenian Indonesia (BPKI) diketuai oleh Sanusi Pane. Organisasi itu didirikan pada bulan Oktober ditahun yang sama. Tujuan pendirian BPKI tersebut dimaksudkan sebagai siasat untuk memanfaatkan para seniman Indonesia agar mau ikut mensukseskan Negara Kesatuan Asia Timur Raya. Dimasa itulah “Cornell Simandjuntak” menciptakan lagu“Hancurkanlah Musuh Kita, Itulah Inggris dan Amerika”yang menjadi slogan perjuangan dan sangat populer pada masa itu. Di tahun 1943, Jepang kembali merekrut seniman Indonesia dibawah bimbingan komponis “Nobuo Lida” untuk mensosialisasikan lagu-lagu propaganda Jepang (Nippon Seishin). Seniman-seniman yang tergabung diantaranya antara lain, Cornell Simandjuntak, Kusbini, Bintang Sudibyo dan Ismail Marzuki. Lagu-lagu yang berhasil diciptakan contohnya adalah, Menanam Kapas, Bikin Kapal, Bekerja, Menabung, bersatu, Buta Huruf, Fajar, Kereta Apiku, Sayang, Asia Sudah Bangun, Bagimu Negri, Maju Putra-Putri Indonesia (setelah merdeka, lagu ini dirubah menjadi Maju Tak Gentar), Menanam Jagung, dan lain-lain. Keseluruhan dari lagu itu seakan-akan merepresentasikan dukungan rakyat Indonesia terhadap perjuangan Jepang melawan sekutu. Propaganda Jepang ini tidak berlangsung lama. Pasca kekalahannya oleh Sekutu, seniman-seniman Indonesia merubah ulang lagu-lagu tersebut demi kepentingan perjuangan. Pada tahun 1946 para alumni “Hollandsch Inlandsche Kweekschool” (HIK) membentuk paduan suara Pemuda Nusantara yang secara rutin menyanyikan lagu-lagu perjuangan di RRI Kotabaru, Yogyakarta. Mereka cukup sukses mengobarkan semangat kebangsaan didada para anak-anak muda untuk ikut berjuang demi kemerdekaan.

Pasca proklamasi 17 agustus, seni kembali dihadapkan pada kepentingan politik. Berawal dari sikap politik Soekarno yang anti barat hingga pelarangan segala hal yang berbau western. Baik produk ekonomi hingga menyentuh ruang estetika. Dengan kebijakan itulah maka personil ”Koeswoyo Bersaudara” ditangkap karena dianggap memainkan musik yang bertentangan dengan budaya Indonesia. Disini estetika dimaknai sebagai sesuatu yang bisa bermuatan politik. Presiden Soekarno mencanangkan irama lenso sebagai musik yang sesuai dengan budaya bangsa dan didukung oleh Jack Lesmana, Titiek Puspa, Lilis Suryani, dan Bing Slamet. Presiden RI pertama itu juga merangkul beberapa seniman untuk kepentingan propaganda. Lilis Suryani, penyanyi yang dekat dengan Sukarno menciptakan lagu berjudul “Oentoek Paduka Jang Moelia” lagu itu berorientasi untuk mengkultuskan figur Bung Karno. Beberapa lagu juga berhasil diciptakan untuk kepentingan politik semisal propaganda “Pergi Pedjoeang” dalam konfrontasi Indonesia dan Malaysia.

Diera Orde Baru Soeharto, musik lebih banyak digunakan untuk kampanye dalam mensukseskan program-program pemerintah. Seperti Mars Pemilu, Mars Keluarga Berencana, ACI (aku cinta Indonesia) dan lain sebagainya. Titik Puspa menciptakan lagu berjudul “Bapak Pembangunan”. Lagu itu didedikasikannya untuk pimpinan Orde Baru.

Pada perkembangan selanjutnya, kesenian (musik) terus bermutasi dalam panggung-panggung politik. Era Reformasi, para penguasa silih berganti menggunakan musik demi kepentingan agitasi. Para politikus kerap menghadirkan seniman dalam kampanye-kampanye mencari dukungan. Ada juga yang menggunakan musik untuk sosialisasi. Lihat, beberapa pemimpin partai politik belakangan ini sering membuat album musik. Dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan album “Rinduku Padamu” hingga Soetiyoso mantan Gubernur DKI Jakarta dengan album Campur Sari berjudul “Adem Panas”. Pada album ini, Sutiyoso, menyumbangkan suaranya pada lagu “Yeng Ing Tawang Ono Lintang”. Lain halnya dengan Amien Rais, capres yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) pada pilpres 2004. Meminta “Nomo Koeswoyo” untuk dibuatkan lagu. Hasilnya lagu “Putra Nusantara” pun diciptakan sesuai pesanan Mantan Ketua MPR itu. Selain itu, contoh yang lebih jelas adalah saat kampanye baik pilkada maupun pemilu. Partai-partai selalu menghadirkan seniman (artis Musik, Film, Sinetron) dalam mengambil perhatian massa. Disini seni menunjukan dirinya sebagai titik sentral agitasi dan propaganda.

berapa banyak hutang negeri ini pada kesenian, seni musik menopang berdirinya republik ini -

*tulisan ini adalah tulisan yg objektif tanpa bermaksud turut campur antara dukung mendukung atau antara sepakat dan tidak sepakat pada adanya negara, hanya sebuah tinjauan historis!

Tuesday, 5 January 2010

Perempuan: Patriarki & Feminisme


catatan ini adalah hormatku untukmu wahai perempuan, yang kutulis ketika dingin salju tak lagi mampu menghangatkan sesalku saat kemuliaanmu di injak oleh kaki biadab sepanjang zaman sejarah' tulisan ini untukmu, yang kuwarnai dengan darah perawanmu, saat kontruksi social dunia modern merobek-robeknya lalu menghakiminya, kudedikasikan ini untukmu wahai perempuan: dengan kerendahan hati serta rasa bersalah yang kupikul akibat dogma keunggulan kaumku para laki-laki, ini untukmu wahai perempuan’ dengan segenap cinta dan rasa hormatku…



Sejarah Masyarakat Adalah Sejarah Penindasan Perempuan



Perempuan adalah mahakarya agung yang mencipta dirinya dari harum bunga dan ranting-ranting rimba, dihiasi oleh kelembutan, dilindungi kemarahan, ditaburi keindahan juga di dibalut kebengisan: Perempuan adalah selekta warna-warna yang memiliki pertarungan abadi: sopan tapi angkuh, melankolis sekaligus tegar, lembut namun ganas. Keseluruhan dari dirinya -emosi, tubuh maupun pikirannya- merupakan relasi utuh yang membentuk dunia sekaligus mampu menghancurkannya, perempuan adalah laki-laki yang dipisahkan oleh system social dan reproduksi kapitalisme.
Menurut sensus, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1 berbanding 3, dengan argumen ini pula perempuan secara de facto menjadi tenaga kerja paling banyak dan murah dalam akumulasi dan perputaran modal. Perempuan mengambil tempat paling banyak dalam aktifitas sosial namun ironisnya semua aktifitas tersebut jauh dari citra kesetaraan karena posisi-posisi utama yang berhubungan dengan segala kebijakan tidak memberikan perempuan peran yang jauh lebih aktif. Jika demokrasi adalah partisipasi suara mayoritas di parlemen maka demokrasi adalah parody menjijikan bagi perempuan – kenyataannya, di semua belahan dunia, parlemen-nya selalu didominasi oleh kaum laki-laki. (*meski demokrasi sesungguhnya memiliki kelemahan-kelemahan yang mereduksi hak laki maupun perempuan tapi saat ini, gw gak bicara demokrasi). Penindasan perempuan telah berlangsung berabad-abad hingga tak akan mampu digambarkan oleh relief-relief sejarah karena ditulis menggunakan tinta darah dan air mata, penderitaan perempuan tersimpan dengan rapi dan berkesan indah karena dijaga oleh mitos, dogma dan norma-norma social. Dari masa ke masa, perempuan hanya dipandang “apa dia seharusnya bukan dia sebenarnya”. Perempuan di jadikan objek sex, komoditi, sebatas nilai tukar pun hari ini, perempuan kerap dijadikan symbol transaksi bisnis para laki-laki. Perempuan hampir tidak memiliki kemerdekaan pada tubuh dan hidupnya apalagi dalam masa pancaroba kapitalisme dan di wilayah-wilayah miskin, perempuan hanyalah warga kelas dua dan bagi para perempuan proletar, mereka adalah budak dari para budak (simone de beavoir, second sex). Perempuan proletar selain dihisap oleh system ekonomi politik juga di miskinkan perannya oleh budaya patriarki yang masih berjaya di diwilayah-wilayah dimana tingkat pengetahuan tidak setara khususnya dinegeri dunia ketiga.


PATRIARKI



Terimalah sesak ini diparu-parumu, sesak yang kubagi dari paru-paruku lewat angin laut yang kencang dan bintang di langit jauh. Resah yang sama dimatamu, seperti itu pun dimataku, kau dengarkan suara hidupku, seperti nyanyian hidupmu yang dilantunkan di pendapa suci dan dijaga norma-norma. kudengarkan selalu bisikan hatimu yang datang melaju kearah jantungku sambil kau bisikan “kita adalah sama karena kau dan aku telah di lebur cinta yang bebas, tak ada identitas pembeda diantara kita, semua hilang oleh kesetaraan karena kita sama merasakannya, letih sama kita asah, airmata sama kita teteskan, bahagia sama kita bangun walau tembok-tembok tirani mencoba membangun jarak di sekeliling kita”
(dedicated untuk seseorang tak bernama’)




Melacak jejak penindasan perempuan dan era munculnya patriarki dimulai berabad-abad yang lalu. Beberapa pemikir kontemporer meletakan pemisahan gender ketika manusia primitive mulai menetap dan mendomestikasi binatang dan tanaman hingga tercipta pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, ini berkisar setelah zaman es berakhir-(neolitikum), saya sendiri, beranggapan bahwa pemisahan gender terindikasi dimulai sebelum zaman es, ketika hominid sebagai primata pertama (homo sapiens 250.000 tahun setelahnya) mulai intents mengkonsumsi daging pada masa awal perburuan. Hominid merupakan primata pertama yang berdasarkan relief gigi maupun bentuk fisikal lainnya merupakan vegetarian karena mereka tidak memiliki cakar juga gigi yang tajam sebagaimana karnivora. Meskipun mereka juga mengkonsumsi daging binatang namun pola makan pada dasarnya terpaut pada tumbuhan. Pada masa masyarakat pemetik (peramu-pemburu-hunter gatherer) pemisahan gender belum terinstitusikan karena dalam proses mencari makanan mereka hanya terikat pada tumbuhan dan jenis tanaman. Ketika intensitas memakan daging binatang mulai signifikan karena kondisi yang lebih dingin dimana tumbuhan semakin sulit untuk didapatkan maka di titik itu terjadi pemisahan gender yang secara implisit juga menciptakan hirarki, control, dominasi dan munculnya negara dan property privat (pada point ini saya bergabung dengan para vegetarian untuk membenarkan bahwa penindasan, dominasi, kontrol dan lahirnya hirarkis kelas dimulai ketika manusia mulai aktif memangsa binatang). Berburu binatang juga menunjukan jejak awal transformasi aktivitas manusia yang bebas kedalam sesuatu yang mirip kerja. Aktifitas berburu merangsang terciptanya privilege laki-laki dan dominasi mereka terhadap perempuan. Menjelang zaman es datang, ketika makanan semakin sulit untuk didapatkan maka berburu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian tertentu (kegesitan, kekuatan, skill). Pada era ini, dominasi laki-laki belum begitu permanen karena perempuan juga masih turut berburu namun secara umum, budaya patriarki mulai terindikasi dari sini karena laki-laki merupakan jenis kelamin terbanyak yang melakukan aktifitas berburu dengan keistimewaan inilah maka peran laki-laki mulai istimewa karena memiliki akses utama terhadap makanan. Setelah zaman es berakhir dan dimulai pola hidup menetap, pemdomestikasian binatang dan tanaman maka dipoint ini pula, imperium mulai berkembang, property privat, control, dominasi dan hirarki klas seimbang dengan peran perempuan yang terpinggirkan karena hanya sebatas menjaga anak, rumah serta mengurus ladang. Dititik ini patriarki menjadi mapan dan subordinasi perempuan lalu bersifat struktural karena dibenarkan dalam praktek dan lembaga-lembaga social.
Di zaman feodal, kekuasaan seorang raja di ukur dengan seberapa banyak gundik, selir yang dia punya, raja memiliki kekuasaan yang tak terbantahkan untuk memperoleh akses terhadap kepuasaan libidonya (para raja, mang brengsek). Perempuan dianggap hanya sebagai hiasan, sekedar identitas, pun dalam legenda maupun mitos-mitos rakyat, peran perempuan terpinggirkan sama sekali. Jejak perempuan sebagai komoditi merupakan silsilah lama dalam masyarakat patriakri, lelaki kaya (bangsawan, raja, saudagar) memiliki lebih dari satu gundik dan anak-anak perempuan dianggap sebagai hak milik keluarga yang dapat dicampakkan sekehendak hati ayahnya. Sebaliknya anak laki-laki penting, mereka menjadi milik keluarga asalnya dan bagi masyarakat kolot ini, hanya dari garis keturunan lelaki-lah keturunan sebuah keluarga dapat dilacak, perempuan berada diluar lingkaran. Tubuh mereka hanya sekedar sarana bagi para laki-laki mengabadikan dirinya. Perempuan hanya sekedar media, identitas bagi laki-laki.
Pada abad 18, ketika Johan Gutenberg menemukan mesin cetak, perkembangan ilmu pengetahuan meluas, buku-buku menyebar dan memberikan beragam pengetahuan, dunia pun memulai era baru hingga meluas pada perjuangan gender, meski beberapa agama mengklaim bahwa sebelum modernitas terproklamirkan, mereka sudah menyatakan kesetaraan gender jauh sebelumnya (tp gw gak pengen berdebat ttg klaim-klaim itu) modernisme juga memberi blue print bagi kapitalisme yang sedang menuntut daerah-daerah baru selain sebagai perluasan pasar juga sebagai eksploitasi sumber daya baru, industri kapal dibangun sebelum wright bersaudara menemukan pesawat. Kolonialismepun menjadi hal yang lumrah di berbagai belahan dunia hingga sejarah mencatat beberapa imperium besar menjadi penghancur kebudayaan-kebudayaan lokal- para imperilalis itu menjejakan kakinya di daerah-daerah yang diklaim terbelakang. Colombus menemukan Amerika, pelayaran bersejarah Magelhaens di Filipina, Albuerque-que di Afrika hingga Bartholomos diaz, mereka adalah penakluk-penakluk daerah baru yang dipuja negaranya sebagai pahlawan tapi dikutuk sebagai penjajah di koloninya.
Perluasan industri demi perputaran modal pun masuk ke wilayah tak bertuan, pegunungan, kampung juga dusun-dusun terpencil, industri yang ditandai dengan pabrik-pabrik, televisi, radio juga beragam tetek bengek media lainnya bergerak dengan garang dan menghancurkan hutan, sawah, ladang juga sungai dan laut biru, bersama dengan itu, ikatan kekeluargaan yang selama ini merupakan penopang kekerabatan local juga ikut di binasakan. Efek nyata dari perkembangan ilmu pengetahuan modern adalah runtuhnya budaya local, kearifan adat istiadat dan lain sebagainya, meskipun sebagian dari dogma itu itu merupakan ketidakadilan bagi perempuan namun di sisi lain, modernisme juga memiliki kontradiksi yang pada akhirnya juga membawa perempuan menuju puncak kesengsaraannya. Berkuasanya modal, dominasi/kontrol negara dan lain sebagainya merupakan item-item ketidakadilan yang menghisap tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki. Pada negara-negara liberal, kesetaraan bagi perempuan tidak lagi menjadi isu yang romantis karena perjuangan persamaan gender telah mencapai tahap yang signifikan meskipun belum maksimal (juga menyimpan banyak kontradiksi) karena pada dasarnya perempuan tetaplah dijadikan sebatas komoditi, dihisap, diperkosa hak-haknya, di lebur dalam mesin industri yang tidak punya mata.
Reproduksi kapitalisme dewasa ini semakin samar untuk di kenali, apalagi dimusuhi- system ini bermetamorfosa dalam berbagai wajah manis, kekuatannya juga terletak pada cara-nya memanipulasi kesadaran, gencarnya iklan dan tawaran-tawaran barang merupakan trigger aktif konsumerisme, dilevel produksi tak pernah ada keadilan, pertumbuhan ekonomi yang belakangan ini diberitakan, hanya kampanye para eksekutif-eksekutif di world bank, kolaborasi dengan penguasa-penguasa local memudahkan jalan bagi para liberal-liberal itu memuluskan jalannya. (hmm, tentang ini, udh terlalu sering dibahas,). Jika ada pertumbuhan ekonomi maka jangan pernah percaya dengan slogan pemerataannya, pembangunan di sector-sektor industri malah menjadikan manusia seperti sapi perah bagi para pemodal, dan perempuan adalah yang paling menderita dibanding laki-laki (termasuk para transgender, homo atau lesbian,). Perempuan benar-benar dititik terendah, paling banyak menderita dalam piramida kehidupan. Ketidakadilan ekonomi, akses terhadap uang (pekerjaan, kalo masih ada yang percaya kerja), juga budaya patriarki yang belum juga tuntas dalam masyarakat membuat kondisi perempuan semakin menyedihkan. Kemiskinan, kelaparan yang menakutkan, dan bagi perempuan kelas menengah, keinginan-keinginan untuk membeli barang mewah membuat perempuan semakin dekat dengan bisnis pelacuran. Sungguh ironi, dunia modern dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang menjanjikan kemegahan bagi kehidupan manusia ternyata menyimpan tangisan kaum perempuan didalamnya, dunia modern yang konon kabarnya memiliki kekuatan nilai-nilai religius dimana penghormatan pada ikatan kekeluargaan yang kokoh dijunjung tinggi juga aturan moralitas sexual yang setara ternyata justru menyimpan jeritan pilu kaum perempuan, jeritan yang disembunyikan di rumah bordil, penjara dunia kerja, pabrik-pabrik bahkan didalam rumah tangga. (so’ jangan tanyakan moral universal di dunia yang kaya gini, gak ada moral’ karena moralitas telah lama di kuasai dan dijadikan alat kendali para bangsat-bangsat itu, termasuk didalamnya politisi, pemimpin juga para pengkhotbah).




FEMINISME




emansipasi bermula dalam jiwa seorang perempuan, dalam proses emansipasi internal, perempuan tertindas dapat mengetahui nilai mereka, menghargai diri dan budaya yang mereka miliki. hanya dengan proses ini, mereka dapat berada dalam posisi yang efektif untuk melawan dan mengatasi penindasan dan tingkah laku eksternal. hanya ketika kamu menghargai dirimu sendiri, kamu akan dapat meminta orang lain untuk menghargaimu juga. –Emma Goldman-


Proyek feminisme secara umum percaya bahwa jenis kelamin dan gender merupakan ciptaan social dan kultur yang tidak dapat direduksi menjadi sekedar perbedaan biologys. Feminisme sebagai teori politik juga sangat plural dan menciptakan banyak opsi-opsi dalam gerakannya (feminisme sosialis, feminisme hijau, feminisme liberal, feminisme perbedaan/radikal, feminisme hitam/pasca-colonial maupun feminisme post-strukturalis). Para feminis kontemporer berpendapat bahwa feminitas dan maskulinitas bukanlah esensi universal dan kategori yang kekal tetapi merupakan ciptaan wacana, (*jika mengambil teory kuasa pengetahuan dari Foucault, jelaslah sudah bahwa posisi perempuan terpinggirkan karena sejak lama akses terhadap penciptaan citra tertutup hingga dogma sejarah terpelihara bahwa perempuan harus selalu dibawah laki-laki).
Dominasi dan subordinasi terhadap perempuan merupakan hubungan yang tidak hanya terjadi antar bangsa atau kelompok etnis, citra perempuan yang terpinggirkan juga digambarkan dengan stereotip cultural yang mereposisi peranan jenis kelamin. Kaum laki-laki biasanya ditampilkan sebagai bersifat dominant, aktif, agresif dan otoritatif yang digambarkan dapat melakukan berbagai macam peranan yang penting, beragam, profesionalitas, rasional dengan kekuatan yang menjamin mereka melakukan semua hal dengan berhasil. Sedangkan perempuan, biasanya ditampilkan subordinate, pasiv, marjinal dengan menjalankan pekerjaan yang sekunder dan tak menarik yang terbatas pada jenis kelamin mereka, emosi mereka maupun domestikasi mereka.
Selain itu, feminisme melihat sex/kelamin sebagai sebuah sumbu organisasi fundamental dan sangat sulit direposisikan kembali. Dengan demikian, perhatian utama kaum feminis adalah pada jenis kelamin sebagai prinsip pengaturan kehidupan yang sarat dengan relasi kekuasaan (lihat: lagi-lagi kekuasaan, kekuasaan itu merusak makanya harus dihancurin)
Perbedaan laki-laki dan perempuan disebut berakar dari pengalaman menjadi ibu, pengalaman itu di kritik sebagai mode penindasan historis tetapi juga di rayakan sebagai kekuatan perempuan dan potensi-potensinya. Kelamin dianggap sebagai aspek biologys tubuh sedangkan gender merupakan asumsi dan praktik-praktik kultur yang mengatur kontruksi social lelaki, perempuan dan relasi social mereka. Bagi para feminis poststrukturalis, variasi-variasi kultur yang membedakan perempuan dan laki-laki dianggap menunjukan bahwa tidak ada kategori perempuan atau kategori laki-laki, lintas tersebut dapat dialami oleh semua orang karena yang ada hanya berbagai mode feminitas dan maskulinitas yang diperagakan.
Feminisme sosialis merupakan wacana kritik patriarki yang diletakan bersamaan dengan kritik terhadap kapitalisme dengan menganggap bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan bukanlah akibat dari factor biologys yang abadi melainkan konsep sosio - ekonomi cultural, dengan menekankan kesetaraan di segala bidang. Feminisme sosialis menujukan keterkaitan antara kelas social dan gender termasuk ketidakadilan gender yang mendasar dalam reproduksi kapitalisme. Subordinasi perempuan dibawah laki-laki dipandang sebagai sesuatu yang intrinsic dalam kapitalisme maka dengan demikian, untuk membebaskan perempuan secara total, organisasi dan kelas social harus ditumbangkan terlebih dahulu. Para feminis sosialis percaya bahwa kerja domestic perempuan merupakan inti dari reproduksi tenaga kerja baik secara fisik maupun secara cultural. Perempuan merupakan stok tenaga kerja termurah dan fleksibel yang dapat dipulangkan kerumah jika dibutuhkan. Bagi mereka untuk mensetarakan perempuan dan laki-laki maka kapitalisme harus di hancurkan terlebih dahulu berikut semua organisasi pendukungnya. (gw sepakat dear…!!)


V untuk perempuan!!!!