Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Wednesday, 4 November 2015

Resensi Film The Longest Ride: Bahkan Nicholas Sparks memungut cinta di-Black Mountain


Produksi        : FOX 2000 Picture

Sutradara      : George Tillman, Jr


Biaya              : USD 34 juta







Dimanapun cinta terbit selalu diharapkan berakhir bahagia, dan setiap film-film cinta romantis yang happy ending maka Nicholas Sparks adalah jagoannya. Iya. Bila sedang kusut, bete dan sedang mood jelek, cobalah untuk tonton salah satu film-nya maka semua bayanganmu tentang dunia akan menjadi lebih manis. Paling tidak, Itu-lah yang saya rasakan setiap menonton film yang diadaptasi dari novel pria Amerika ini. Saya menjadi salah satu fans berat laki-laki 50 tahun itu. Sejak The Notebook, Walk To Remember, Save Haven, Lucky One dan beberapa lainnya sampai yang terakhir The Best of Me. Meski jujur, saya mengenal Sparks bukan dari novel-novelnya. Sutradara-sutradara handal yang kreatif berhasil menjembatani novel-novel itu menjadi film hingga membuat saya mencari tahu siapa Nicholas Sparks lalu menunggui karya-nya seperti menunggui mangga matang persis dibawah pohonnya. Hahaha, 
Ah, sudahlah.. siapa yang tak pernah nonton The Notebook? Message in a Bottle? Eh, Belum? malang sekali.

Anyway, The Longest Ride merupakan film terbaru Nicholas Sparks yang disutradarai George Tillman, Jr dan menampilkan Scott Eastwood dan Britt Robertson sebagai pasangan muda yang jatuh cinta meski memiliki banyak perbedaan. Oona Castila Chaplin, cucu dari superstar Inggris Charlie Chaplin ikut ambil bagian di film ini. Dia apik sekali memainkan peran Ruth Levinson seorang wanita yang begitu mencintai seni. Begitu mencintai kehidupan.

Well, saya tidak perlu risau menceritakan bagaimana alur film, tontonlah dan hakimi sendiri. Beberapa kritikus film memang tidak terlalu antusias pada The Longest Ride bahkan faktanya, film ini gagal melampaui Fast and Furious 8 di Box Office tapi saya tidak peduli. Bagi saya film ini keren. Okey, benar memang kisah cinta-nya mudah ditebak dengan akhir yang membuat semua orang bertepuk tangan. Bukan karena itu. Edan. Lupakan Luke Collins. Percayalah.. dia pasti akan berakhir bahagia dengan Sophia Danko. Dan Ira Levinson apakah dia bisa bertemu lagi dengan Ruth-nya? Aihh, barangkali, Saat ini mereka sedang berpelukan di-surga sambil menertawai kita yang sibuk menerka-nerka. Hahaha..

Saya takjub pada latar filmnya, North Carolina.
North Carolina adalah salah satu dari ketigabelas Koloni pertama, dahulunya dikenal sebagai Carolina. Joara, sebuah desa berpenduduk asli Amerika. Pada 1567 negara bagian ini menjadi lokasi Fort San Juan, pemukiman kolonial Spanyol yang pertama di pedalaman dari apa yang kemudian menjadi Amerika Serikat. Negara bagian ini juga merupakan lokasi koloni Inggris pertama di benua Amerika. Panorama-nya yang western banget sudah membuat saya jatuh hati.




Secara khusus, film ini lagi lagi membuat konsentrasi saya terusik hingga harus mencari tahu tentang Black Mountain College  (1933-1957). Sekolah seni yang didirikan pada tahun 1933 di North Carolina, sebagai percobaan dari “Pendidikan dalam Demokrasi," dengan ide bahwa seni kreatif dan tanggung jawab praktis sama pentingnya dengan perkembangan intelek. Penekanannya adalah belajar dan hidup itu harus terhubung erat. Drama, musik, dan seni rupa dianggap sebagai bagian integral dari kehidupan kampus. Sekolah itu menjadi satu titik penting dalam sejarah pendidikan di Amerika yang menjadi antitesis model pendidikan tradisional saat itu. Sekolah itu mendidik siswanya dengan semangat kebebasan, lintas disiplin, seni, tidak memisahkan antara bekerja dan bermain, serta hubungan egaliter antara guru dan siswa dimana guru dan siswa sama-sama bekerja dalam mengurus kampus (bangunan, administrasi, hingga makan siang). Pada akhirnya Black Mountain College sudah tak lagi ada, namun jejaknya sangat berpengaruh dalam sejarah perkembangan seni di Amerika. Menjadi salah satu hasil kreasi yang tak biasa sepanjang sejarah peradaban manusia. Dan inilah yang membuat saya mengernyitkan dahi, bagaimana Nicholas Sparks menggabungkan ide tersebut? Menjadikan sekolah yang bahkan tak pernah terakreditasi serta dijalankan dengan anggaran minim itu sebagai monumen lalu membungkusnya dengan kisah cinta dua zaman hingga layak untuk di tonton. Tentu saja peran George Tillman, Jr sutradara kulit hitam yang terkenal dengan Man of Honour-nya ini juga harus diacungin jempol. Yeah! Gegara dua orang ini, saya jadi punya impian untuk melanjutkan study ke  North Carolina University. (aminnn) hahaha..
Siyal... Siapa yang tidak mau ke Grandfather Mountain, Lake Norman, Asheville, Neuse River, Old Salem Museum? Jockey's Ridge State Park, International Civil Rights Center, The Blowing Rock? Mordecai Museum? Museum of the Cherokee Indian, Pullen Park, Cataloochee Ski Area? Atau Horn in the West, Topsail Island? dan North Carolina Music Factory?dan tentu saja artefak Black Mountain College! Saya menyarankan, sebelum kiamat benar benar tiba, tempat tempat itu harus didatangi, hehehe.
Nicholas Sparks sudah memberi pesan bahwa dunia ternyata tak sependek jalan pikiran para jomblo dan cinta adalah sesuatu yang harus dirayakan. Mau bukti? Luke anak desa di North Carolina yang tidak tahu apa apa selain mengendarai banteng bisa membuat Sophia anak kuliahan rela untuk meninggalkan Manhattan.
Btw, Luke difilm ini juara dunia Rodeo loh.. :D


Friday, 1 May 2015

Apakah Negara telah begitu perkasa hingga menjadi Tuhan dan berhak menentukan hidup-mati manusia?

Tinjauan Politis terhadap Eksekusi Mati dan Hubungan Indonesia-Australia ditengah kritik Internasional


Perampasan hak hidup secara paksa atau penghilangan nyawa manusia adalah anomali dalam peradaban begitu juga hukuman mati merupakan hal yang sangat mengerikan. Meski sejarah hukuman mati hampir seumur dengan sejarah terbentuknya masyarakat namun dalam tatanan masyarakat modern yang menghargai kemanusiaan, hukuman mati seperti iblis yang keji. Bayangkan, hak hidup dirampas, tangis keluarga yang ditinggalkan, kesunyian didetik detik terakhir, lalu tembakan yang memecah sunyi. Kesedihan apalagi yang paling sentimentil dari itu?

Eksekusi mati Andrew Chan, Sukumaran, Zainal Abidin, dan yang lainnya hanya menyisakan kisah duka. Mereka sudah pergi, apapun yang kita lakukan untuk protes, tidak akan bisa mengembalikan hidup mereka. Semua orang turut berduka. Ini tragis! Mengatakan ini, bukan berarti kita mendukung peredaran narkoba. Tapi pemberian hukuman mati untuk kasus narkoba adalah hal yang perlu ditinjau ulang. Beda jawaban, jika pertanyaannya bagaimana dengan bandarbesar? pembunuhan berencana? pemerkosaan anak dibawah umur dan tentu saja, korupsi! Kita bisa berdebat panjang soal itu. Persoalan narkoba adalah persoalan kemiskinan. Ketika Negara gagal memberi jaminan kesejahteraan bagi warganya maka akan muncul para pengedar. Kroco kroco yang hanya punya pilihan sedikit dan jadi pengedar merupakan cara paling mudah untuk mendapatkan uang. Ditingkat paling bawah, Ini tentang kesejahteraan.

Lihat Mary Jane Veloso? Apa dia Bandar besar? Lihat mukanya? Lihat gesturnya? Lihat historinya? Sungguh konyol, jika kita mengatakan dia bandar besar. Mary Jane adalah potret kemiskinan di Filipina dan juga di Indonesia. Mary Jane seorang buruh migran, PRT yang nasibnya sama seperti TKI di Arab Saudi dan Malaysia. Vonis mati pada Mary Jane adalah kekeliruan terbesar. Sungguh menyenangkan eksekusinya ditunda meski untuk waktu yang tidak ditentukan. Paling tidak, mari kita berharap ada ampunan dari pemerintah Indonesia dan semoga lobi pemerintah Filipina mujarab.

Substansi dari hukuman adalah pertanggungjawaban. Ia kan? Sekarang pertanyaannya, apakah tepat hukuman mati dinegara ini? Ditengah system peradilan yang awut-awutan dan hukum yang rentan diperjualbelikan. Saya tidak bisa membayangkan jika seseorang yang tidak tahu apa-apa tapi dilibatkan dalam konspirasi, dikondisikan, dikriminalisasi atau dijebak seperti dalam film-film. Itu bukan mendramatisir tapi beberapa kasus seperti itu nyata didepan mata kita. System hukum kita belum bagus. Itu sudah jadi rahasia umum. Dengan system hukum yang seperti itu, apa kita bisa percaya pada hukuman mati? Ini tentang nyawa manusia. Berani main main dengan itu?
Hubungan indonesia dan Australia kembali memanas pasca eksekusi Chan dan Sukumaran namun ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya pada pemerintah Indonesia. Kegagalan diplomasi yang dilakukan Perdana Menteri Tony Abbott juga harus dikritisi. Saya tidak melihat keseriusan Abbott untuk menyelamatkan warganya. Pun jika Abbott serius, langkah diplomasi yang dia lakukan terlalu gegabah. Siapapun penasehat politik Abbott tentang Indonesia jelas sangat tidak memahami geopolitik di Indonesia. Apa Menlu Julia Bishop tidak punya pilihan lain selain mengungkit bantuan Aussy di Aceh? Itu konyol. Ketika Chan dan Sukumaran mulai mendapat simpati dari dalam negeri Indonesia. Langkah diplomasi yang dilakukan pemerintah Australia malah jadi boomerang. Barangkali, its a just politics. Semua orang tahu, popularitas Perdana Menteri Tony Abbott di Aussy menurun. Beberapa waktu lalu, Tony Abbot bahkan terancam di Impeachment akibat dituduh melakukan diskoneksi dalam pemberian gelar kebangsawanan tertinggi Australia terhadap Pangeran Philip dari Inggris. Parlemen Australia menghembuskan isu mosi tidak percaya pada Abbott.  Penyelamatan Chan dan Sukumaran seharusnya bisa menjadi momentum untuk mendongkrak popularitasnya. Tapi beliau gagal menjadikan itu sebagai senjatanya. Sebaliknya, justru membuktikan ketidakpiawaiannya.

Di indonesia sendiri, manuver pemerintah Australia demi menyelamatkan Chan dan Sukumaran mendapat reaksi negatif karena dianggap terlalu berlebihan. Ini yang menarik, Australia tidak melakukan pendekatan yang persuasif malah membuat gemas Indonesia dengan pernyataan yang terdengar kekanak-kanakan. Tidak ada upaya yang ‘dalam dan intens’ yang bisa mereka lakukan. Apalagi ketika Sekjen PBB Ban Ki Moon dilibatkan dengan pernyataannya yang sebenarnya tidak punya legalitas formal dalam mencampuri yuridiksi satu negara. Juga beberapa komentar sinis para pesohor dunia dari vokalis legendaris Guns N Roses hingga band metal Carcass malah membuat isu ini menjadi bias. Jelas tidak membantu apa-apa bahkan makin runyam.

Mengapa jadi runyam?  Well..  Pemerintah Indonesia sudah show off ketika eksekusi gelombang pertama. Jika Jokowi membatalkan eksekusi tahap kedua hanya karena tekanan dari luar. Itu tidak mungkin. Taruhan politiknya besar. Harus diingat, ketika pilpres Jokowi dihembus isu sebagai antek asing dan diprediksi ‘lembek’ dalam diplomasi luar negeri. Bagi masyarakat indonesia rival Jokowi ketika pilpres yaitu Prabowo dianggap jauh lebih tegas. Adalah hal yang bodoh bila Jokowi mempertaruhkan itu. Eksekusi para terpidana narkoba ini menjadi langkah strategisnya demi memperlihatkan kepada masyarakat indonesia bahwa dia berani, dia tidak selembek yang orang pikir. Gokilnya, momentumnya tepat sekali selepas hajatan Konfrensi Asia Afrika dimana pidatonya yang mengobok-obok PBB, Bank Dunia dan ADB.

“Saya  tidak setuju atas pemberlakuan hukuman mati di Indonesia tapi saya juga tidak suka pada kecaman dunia luar atas yuridiksi dinegara ini” kata seorang teman. Astaga. Isunya bergeser kesoal nasionalisme. Tepuk tangan! Presiden Jokowi itu politikus handal dan harus diakui dia berani ambil resiko. Kecaman dunia internasional justru membantu dia secara politis karena menambah dukungan pelaksanaan eksekusi. Didalam negeri indonesia, masyarakat yang awalnya menolak eksekusi mulai pasif dan bahkan diam. Ini berbahaya! Padahal penolakan hukuman mati itulah substansinya.

Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi besar didunia, tentu bukan satu-satunya negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Amerika yang diklaim sebagai penjaga demokrasi hingga hari ini juga memasukkan hukuman mati dalam kaidah hukumnya.
Pertanyaan, apa ada negara yang bisa mengobok-obok itu? Tentu saja, ini soal posisi tawar. Semua orang dikolong langit tahu, sesuper power apa amerika. Itu lelucon! Anda tidak akan berani mengkritisi sesuatu yang lebih kuat daripada anda, apalagi jika anda punya kepentingan besar terhadapnya, benar kan? Dan jika Aussy berani sama Indonesia, atau Brazil atau Perancis yang terang terangan bereaksi keras, nah itu tadi. Ini bicara soal posisi tawar. Bisa dibayangkan posisi Indonesia dimata mereka?
Sekarang mari kita kembali soal Australia dan Indonesia.

Australia menarik untuk dibicarakan karena selain warganya yang tersandera dalam kasus hukum di Indonesia, Aussy adalah tetangga yang strategis dan menjadi pintu gerbang indonesia kebarat. Dalam soal ini, saya membayangkan Perdana menteri Tony Abbott lebih rendah hati dalam melakukan lobi-lobi diplomatik. Jika itu terjadi, mungkin hasilnya akan berbeda. Catatan untuk Abbott, cara orang Indonesia melihat Australia itu beda dengan cara orang Indonesia melihat Filipina. Protes di Filipina tidak terlalu banyak mendapat sorotan dimedia media Indonesia. Beda dengan Australia, sekecil apapun protes yang orang Australia lakukan akan selalu menjadi santapan media Indonesia. Indonesia melihat Australia itu sebagai negara besar yang bisa menjadi gangguan begitu juga sebaliknya. Isu penyadapan tempo hari masih membekas bagi Indonesia. Seharusnya Abbott lebih sensitive. Penarikan dubes Australia dari jakarta hanya memperkeruh suasana. Hubungan Australia dan Indonesia mengalami pasang surut dan sejauh ini pemerintah kedua negara belum bisa dikatakan akur. Tidak usah kita menulis detil tentang hubungan perdagangan kedua negara. Itu beda, karena urusannya untung rugi. Ini soal Trust, mau akui atau tidak? pemerintah Indonesia dan Australia belum bisa saling percaya.

Tapi sudahlah.. Australia adalah negara yang indah. Saya sangat menyukai Australia. Tentu saja saya menghormati negara itu. Saya punya beberapa teman di Australia. They are such a wonderful people. Kritikan saya diatas hanya soal diplomasi luar negeri Austalia yang tergesa-gesa. Diplomasi arogan Tony Abbott yang membuat gejolak di indonesia. Sungguh disesalkan karena pada akhirnya isu penolakan hukuman mati menjadi bias lalu bergeser kepersoalan nasionalisme.

Beralih kedalam negeri.
Saya tidak bangga dengan apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi dengan hukuman mati. Tapi mari kita lihat kebelakang sejenak, karena kita harus memberi applause kepada rezim sebelumnya, mengapa? Beberapa kasus hukuman mati terjadi sejak era pemerintahan SBY, ini PR dari pemerintahan beliau. Politik pencitraan yang dilakukan rezim sebelumnya dengan tidak berani ambil resiko secara tidak langsung membuat nasib para terpidana hukuman mati terkatung-katung. Ketika terjadi suksesi  di indonesia dan pemerintahan berganti kepresiden Jokowi, yang diasumsikan akan ‘main aman’ malah terbalik 180 derajat.  Banyak orang tidak menyangka presiden Jokowi berani melakukan eksekusi bahkan ditengah kritik dunia internasional. Hal yang tidak mungkin dilakukan rezim sebelumnya.

Tapi ini tidak sesederhana itu! saya tidak melihat ini sebagai persoalan hukum semata. Ini juga punya hitung-hitungan politis. Presiden Jokowi melakukan gambling. Beliau jelas lebih memperhatikan kondisi politik dalam negeri dari pada peduli dengan kritikan dunia internasional. Seperti kita ketahui bersama, parlemen kita dikuasai oleh KIH, dan dinegara ini tidak ada partai atau orang diparlemen yang terang-terangan mengaku menolak hukuman mati. Hanya LSM-LSM yang itupun menjadi ambigu karena dicurigai dibiayai asing. Banyak pemikiran konservatif bercokol diparlemen. Oleh karena partai partai yang berkuasa diparlemen adalah oposisi pemerintah maka dengan eksekusi ini, PKS, PPP, PAN dan lain sebagainya akan mendukung karena sejalan dengan garis partai mereka. Mengingat PDIP, partai asal presiden Jokowi berkesan ‘menjauh’ maka Jokowi membutuhkan dukungan oposisi demi menciptakan stabilitas politik dalam negeri. Itu penting demi memuluskan  program dipemerintahanya. Oposisi sudah tidak bisa lagi menghembuskan isu bahwa Jokowi antek asing. Para haters Jokowi ditingkat bawah tidak bisa lagi menuduh dia lembek, lemah atau yang sejenisnya. Dan yang paling penting bagi presiden Jokowi, dia menunjukan bahwa dia lebih berani dari rezim SBY.

Kesimpulannya, secara politis isu hukuman mati telah dimenangkan oleh presiden Jokowi tapi gagal dimainkan dengan baik oleh Tony Abbott. This is politics. Tidak ada batasan didalamnya, didalam negeri maupun didunia internasional semua kasus, semua peristiwa punya hitung-hitungan. Dan akhirnya muncul pertanyaaan. Apakah eksekusi mati terpidana narkoba telah dijadikan komoditi politik atau tidak? Silahkan simpulkan sendiri.

*noted, maaf jika ini jadi berbeda dari tulisan - tulisan sebelumnya. ini pertama kali saya menulis soal politik dan hubungan internasional

Wednesday, 19 November 2014

Resensi Film Interstellar: "ketika sumber daya alam menjadi langka, peradaban bumi terancam mundur dan masyarakat agraris diambang kehancuran"

Interstellar

Sutradara: Christopher Nolan

Produksi: Warner Bro’s, Paramount



" Marahlah pada cahaya yang mulai meredup, usia tua harus membara dipenghujung jalan, jangan masuk pada malam indah dengan cara yang mudah"



Saya curiga, Christopher Nolan bukan manusia tapi mahluk dari planet luar. Sutradara berkebangsaan Inggris dan Amerika ini seakan terobsesi hidup digalaxy lain, deretan film yang disutradarainya seperti melewati batasan batasan imajinasi. Kegilaan Nolan adalah kegeniusannya, kegilaan yang membuatnya pantas diperhitungkan dalam dunia perfilm-an, sebut saja Memento (2000), Insomnia (2002), Batman Begins (2005), The Prestige (2006), The Dark Night (2008), Inception (2010), The Dark Night Rises (2012) dan yang terbaru Interstellar adalah bukti, sutradara buta warna (merah-hijau) ini benar benar percaya jika akal manusia mampu menyingkap rahasia semesta.

Interstellar adalah film yang  terilhami dari teori relativitas fisikawan Kip S Thorne mengenai Wormhole (lubang cacing) dan medan gravitasi. Kip S Thorne meyakini bila Wormhole (lubang cacing) adalah medan yang mempunyai gravitasi kuat dan dapat dipakai sebagai mesin waktu.

Film ini dibintangi oleh Matthew McConaughey, Anne Hathaway, Matt Damon, Jessica Chastain, Mackenzie Foy, Casey Affleck, Michael Caine, Topher Grace, Wes Bentley, Ellen Burstyn, Bill Irwin, John Lithgow, David Gyasi, Timothee Chalamet, David Oyelowo.

Tersebutlah, ketika bumi terancam tak lagi layak untuk dihuni. Badai debu dan krisis makanan memaksa manusia harus mencari alternatif lain diluar bumi untuk ditinggali. Cooper (Matthew McConaughey), duda yang ditinggal mati istrinya adalah mantan pilot NASA yang menjadi petani dan tinggal bersama ayah mertuanya, anak laki lakinya dan putrinya yang berumur 10 tahun bernama Murphy (Mackenzie Foy) .

Murphy, bocah perempuan yang sangat dekat dengan ayahnya percaya kamarnya dihantui dan hantu itu mencoba berkomunikasi dengannya. Pada awalnya Cooper mengabaikan celotehan putrinya namun ketika badai debu melanda rumah mereka, Cooper dan Murphy melihat pesan dari sosok tak berbentuk yang mereka sebut hantu itu, pesan yang dikirim dengan menggunakan gelombang gravitasi, pesan yang mengungkap koordinat biner dalam debu dan mengarahkan mereka menuju instalasi rahasia milik NASA yang dipimpin oleh Profesor Merek (Michael Caine ) .

Kedatangan Cooper ke instalasi rahasia NASA menjadi awal drama difilm ini, apalagi ketika Profesor Merek mencoba merekrut Cooper dalam misi Lazarus, misi untuk menjelajahi angkasa demi menemukan planet baru sebagai pengganti bumi yang sudah tidak lagi layak untuk di huni, profesor Merek mengungkapkan bahwa Wormhole (lubang cacing) ternyata diciptakan oleh suatu kecerdasan alien, kecerdasan alien itu menawarkan kesempatan bagi kelangsungan hidup manusia di planet baru. NASA telah mengidentifikasi tiga planet berpotensi untuk dihuni yang mengorbit dilubang hitam Gargantua.

Pada misi tersebut, Cooper bergabung dengan putri Merek, seorang ahli biologi Amelia Merek (Anne Hathaway), fisikawan Romilly (David Gyasi), ahli geografi Doyle (Wes Bentley) dan dua robot buatan cerdas, TARS (disuarakan oleh Bill Irwin) dan CASE (disuarakan oleh Josh Stewart). Keputusan Cooper bergabung dalam misi tersebut menghancurkan hati putrinya, Murphy. Perpisahan Cooper dengan putri kesayangannya pada akhirnya membuatnya mampu menembus rahasia ruang waktu

Film berdurasi hampir tiga jam ini memang cukup menyita konsentrasi. Bagaimanapun juga pilihan Warner Bro’s mempercayakan Interstellar kepada Christopher Nolan adalah keputusan yang sangat tepat. Apalagi adiknya Jonathan Nolan membantunya sebagai penulis scrip.

Interstellar, luarbiasa!

Monday, 10 November 2014

Resensi Film: John Wick "Keanu Reeves memang ditakdirkan untuk menjadi keren!"

 John Wick
Sutradara: Chad Stahelski
Produksi: Summit Entertaimen

 


Keane Reeves itu keren dan dia ditakdirkan untuk menjadi keren. John Wick adalah salah satu bukti bagaimana dia menjadi keren. Sejujurnya, saya tidak pernah menyukai film film Keanu Reeves yang bergenre action. Disaat dulu The Matrix menjadi trendsetter, saya adalah orang yang tidak pernah menyukai film itu, bahkan bagi saya Ronin pun bukan menjadi destinasi. Saya lebih menyukai Keanu Reeves di film-film drama semisal Lake House atau Sweet November. Dan sesungguhnya wajahnya yang lembut lebih manis jika difilm drama, menurut saya.

John Wick adalah film yang saya nonton secara tidak sengaja dan mau tidak mau mengubah semua persepsi. Film itu adalah salah satu film yang dari scene awal hingga akhir membuat saya tidak mau mengedipkan mata. Menegangkan. Meski harus diakui, alur cerita difilm ini juga mainstream, namun Chad Stahelski lebih inovatif mengemas film ini menjadi tontonan yang menarik. Seakan tidak ada drama yang kadang disisipkan dalam film action. Film ini murni tentang balas dendam. Darah, kemarahan juga senjata yang dikokang menjadi pelajaran bahwa didunia ini semua ada harganya.

Tersebutlah John Wick (Keanu Reeves), mantan pembunuh bayaran yang ditakuti karena kepiawaiannya dalam menghabisi orang tanpa ampun. Kematian istrinya membuatnya begitu sentimentil. Satu satunya kenangan dari istrinya adalah seekor anjing yang jadi pelipur kesendiriannya
Sayang sekali, anjing itu dibunuh oleh aksi ugal ugalan Ioasev Tarasov (Alfie Allen)  pemuda tanggung anak bos besar mafia yang juga mencuri mobil mustang milik John Wick. Ioasev menganggap itu remeh, apalagi ayahnya Viggo Tarasov (Michael Niqvist) adalah mafia besar yang memberinya banyak kemudahan. Ketika ayahnya yang juga pernah menjadi klien John Wick dimasalalu mengetahui persoalan itu, ayahnya gentar. Viggo tahu betul John Wick, dan dia juga tahu bahwa dia harus mendahului jika tidak anaknya akan terbunuh.

Disisi lain, John Wick seperti dihadapkan pada pilihan untuk kembali menjadi dirinya dimasalalu. Kemarahannya tak bisa dibendung, anjing yang dibunuh dengan sadis itu adalah satu satunya yang tersisa dari mendiang istrinya. John membara dan dia menginginkan nyawa Ioasev sebagai pertanggungjawaban. Walau anak itu dijaga oleh kaki tangan Viggo, John tak kenal ampun. Pada akhirnya, aksi ugal ugalan Ioasev menghancurkan semua yang sudah dibangun oleh ayahnya sendiri. Kebrutalan John Wick dalam memburu Ioasev seperti pembunuh berdarah dingin yang menganggap nyawa manusia sekedar lembaran daun daun kering.

Film ini mengajarkan bahwa hal hal kecil yang kita lakukan bisa berakibat fatal, hal hal yang kita tidak anggap sebagai masalah justru menjadi kutukan yang mengejar kemanapun kita pergi. Dalam Film berdurasi 101 menit ini, Chad Stahelski juga dibantu David Leitch dalam penyutradaraan. Bagi David Leitch film ini adalah debutnya setelah sebelumnya, Leitch hanya dikenal sebagai aktor, pemeran pengganti, penulis naskah dan juga koordinator pemeran pengganti.

Film ini keren! Dan Keanu Reeves itu luarbiasa keren.