Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Friday 1 May 2015

Apakah Negara telah begitu perkasa hingga menjadi Tuhan dan berhak menentukan hidup-mati manusia?

Tinjauan Politis terhadap Eksekusi Mati dan Hubungan Indonesia-Australia ditengah kritik Internasional


Perampasan hak hidup secara paksa atau penghilangan nyawa manusia adalah anomali dalam peradaban begitu juga hukuman mati merupakan hal yang sangat mengerikan. Meski sejarah hukuman mati hampir seumur dengan sejarah terbentuknya masyarakat namun dalam tatanan masyarakat modern yang menghargai kemanusiaan, hukuman mati seperti iblis yang keji. Bayangkan, hak hidup dirampas, tangis keluarga yang ditinggalkan, kesunyian didetik detik terakhir, lalu tembakan yang memecah sunyi. Kesedihan apalagi yang paling sentimentil dari itu?

Eksekusi mati Andrew Chan, Sukumaran, Zainal Abidin, dan yang lainnya hanya menyisakan kisah duka. Mereka sudah pergi, apapun yang kita lakukan untuk protes, tidak akan bisa mengembalikan hidup mereka. Semua orang turut berduka. Ini tragis! Mengatakan ini, bukan berarti kita mendukung peredaran narkoba. Tapi pemberian hukuman mati untuk kasus narkoba adalah hal yang perlu ditinjau ulang. Beda jawaban, jika pertanyaannya bagaimana dengan bandarbesar? pembunuhan berencana? pemerkosaan anak dibawah umur dan tentu saja, korupsi! Kita bisa berdebat panjang soal itu. Persoalan narkoba adalah persoalan kemiskinan. Ketika Negara gagal memberi jaminan kesejahteraan bagi warganya maka akan muncul para pengedar. Kroco kroco yang hanya punya pilihan sedikit dan jadi pengedar merupakan cara paling mudah untuk mendapatkan uang. Ditingkat paling bawah, Ini tentang kesejahteraan.

Lihat Mary Jane Veloso? Apa dia Bandar besar? Lihat mukanya? Lihat gesturnya? Lihat historinya? Sungguh konyol, jika kita mengatakan dia bandar besar. Mary Jane adalah potret kemiskinan di Filipina dan juga di Indonesia. Mary Jane seorang buruh migran, PRT yang nasibnya sama seperti TKI di Arab Saudi dan Malaysia. Vonis mati pada Mary Jane adalah kekeliruan terbesar. Sungguh menyenangkan eksekusinya ditunda meski untuk waktu yang tidak ditentukan. Paling tidak, mari kita berharap ada ampunan dari pemerintah Indonesia dan semoga lobi pemerintah Filipina mujarab.

Substansi dari hukuman adalah pertanggungjawaban. Ia kan? Sekarang pertanyaannya, apakah tepat hukuman mati dinegara ini? Ditengah system peradilan yang awut-awutan dan hukum yang rentan diperjualbelikan. Saya tidak bisa membayangkan jika seseorang yang tidak tahu apa-apa tapi dilibatkan dalam konspirasi, dikondisikan, dikriminalisasi atau dijebak seperti dalam film-film. Itu bukan mendramatisir tapi beberapa kasus seperti itu nyata didepan mata kita. System hukum kita belum bagus. Itu sudah jadi rahasia umum. Dengan system hukum yang seperti itu, apa kita bisa percaya pada hukuman mati? Ini tentang nyawa manusia. Berani main main dengan itu?
Hubungan indonesia dan Australia kembali memanas pasca eksekusi Chan dan Sukumaran namun ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya pada pemerintah Indonesia. Kegagalan diplomasi yang dilakukan Perdana Menteri Tony Abbott juga harus dikritisi. Saya tidak melihat keseriusan Abbott untuk menyelamatkan warganya. Pun jika Abbott serius, langkah diplomasi yang dia lakukan terlalu gegabah. Siapapun penasehat politik Abbott tentang Indonesia jelas sangat tidak memahami geopolitik di Indonesia. Apa Menlu Julia Bishop tidak punya pilihan lain selain mengungkit bantuan Aussy di Aceh? Itu konyol. Ketika Chan dan Sukumaran mulai mendapat simpati dari dalam negeri Indonesia. Langkah diplomasi yang dilakukan pemerintah Australia malah jadi boomerang. Barangkali, its a just politics. Semua orang tahu, popularitas Perdana Menteri Tony Abbott di Aussy menurun. Beberapa waktu lalu, Tony Abbot bahkan terancam di Impeachment akibat dituduh melakukan diskoneksi dalam pemberian gelar kebangsawanan tertinggi Australia terhadap Pangeran Philip dari Inggris. Parlemen Australia menghembuskan isu mosi tidak percaya pada Abbott.  Penyelamatan Chan dan Sukumaran seharusnya bisa menjadi momentum untuk mendongkrak popularitasnya. Tapi beliau gagal menjadikan itu sebagai senjatanya. Sebaliknya, justru membuktikan ketidakpiawaiannya.

Di indonesia sendiri, manuver pemerintah Australia demi menyelamatkan Chan dan Sukumaran mendapat reaksi negatif karena dianggap terlalu berlebihan. Ini yang menarik, Australia tidak melakukan pendekatan yang persuasif malah membuat gemas Indonesia dengan pernyataan yang terdengar kekanak-kanakan. Tidak ada upaya yang ‘dalam dan intens’ yang bisa mereka lakukan. Apalagi ketika Sekjen PBB Ban Ki Moon dilibatkan dengan pernyataannya yang sebenarnya tidak punya legalitas formal dalam mencampuri yuridiksi satu negara. Juga beberapa komentar sinis para pesohor dunia dari vokalis legendaris Guns N Roses hingga band metal Carcass malah membuat isu ini menjadi bias. Jelas tidak membantu apa-apa bahkan makin runyam.

Mengapa jadi runyam?  Well..  Pemerintah Indonesia sudah show off ketika eksekusi gelombang pertama. Jika Jokowi membatalkan eksekusi tahap kedua hanya karena tekanan dari luar. Itu tidak mungkin. Taruhan politiknya besar. Harus diingat, ketika pilpres Jokowi dihembus isu sebagai antek asing dan diprediksi ‘lembek’ dalam diplomasi luar negeri. Bagi masyarakat indonesia rival Jokowi ketika pilpres yaitu Prabowo dianggap jauh lebih tegas. Adalah hal yang bodoh bila Jokowi mempertaruhkan itu. Eksekusi para terpidana narkoba ini menjadi langkah strategisnya demi memperlihatkan kepada masyarakat indonesia bahwa dia berani, dia tidak selembek yang orang pikir. Gokilnya, momentumnya tepat sekali selepas hajatan Konfrensi Asia Afrika dimana pidatonya yang mengobok-obok PBB, Bank Dunia dan ADB.

“Saya  tidak setuju atas pemberlakuan hukuman mati di Indonesia tapi saya juga tidak suka pada kecaman dunia luar atas yuridiksi dinegara ini” kata seorang teman. Astaga. Isunya bergeser kesoal nasionalisme. Tepuk tangan! Presiden Jokowi itu politikus handal dan harus diakui dia berani ambil resiko. Kecaman dunia internasional justru membantu dia secara politis karena menambah dukungan pelaksanaan eksekusi. Didalam negeri indonesia, masyarakat yang awalnya menolak eksekusi mulai pasif dan bahkan diam. Ini berbahaya! Padahal penolakan hukuman mati itulah substansinya.

Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi besar didunia, tentu bukan satu-satunya negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Amerika yang diklaim sebagai penjaga demokrasi hingga hari ini juga memasukkan hukuman mati dalam kaidah hukumnya.
Pertanyaan, apa ada negara yang bisa mengobok-obok itu? Tentu saja, ini soal posisi tawar. Semua orang dikolong langit tahu, sesuper power apa amerika. Itu lelucon! Anda tidak akan berani mengkritisi sesuatu yang lebih kuat daripada anda, apalagi jika anda punya kepentingan besar terhadapnya, benar kan? Dan jika Aussy berani sama Indonesia, atau Brazil atau Perancis yang terang terangan bereaksi keras, nah itu tadi. Ini bicara soal posisi tawar. Bisa dibayangkan posisi Indonesia dimata mereka?
Sekarang mari kita kembali soal Australia dan Indonesia.

Australia menarik untuk dibicarakan karena selain warganya yang tersandera dalam kasus hukum di Indonesia, Aussy adalah tetangga yang strategis dan menjadi pintu gerbang indonesia kebarat. Dalam soal ini, saya membayangkan Perdana menteri Tony Abbott lebih rendah hati dalam melakukan lobi-lobi diplomatik. Jika itu terjadi, mungkin hasilnya akan berbeda. Catatan untuk Abbott, cara orang Indonesia melihat Australia itu beda dengan cara orang Indonesia melihat Filipina. Protes di Filipina tidak terlalu banyak mendapat sorotan dimedia media Indonesia. Beda dengan Australia, sekecil apapun protes yang orang Australia lakukan akan selalu menjadi santapan media Indonesia. Indonesia melihat Australia itu sebagai negara besar yang bisa menjadi gangguan begitu juga sebaliknya. Isu penyadapan tempo hari masih membekas bagi Indonesia. Seharusnya Abbott lebih sensitive. Penarikan dubes Australia dari jakarta hanya memperkeruh suasana. Hubungan Australia dan Indonesia mengalami pasang surut dan sejauh ini pemerintah kedua negara belum bisa dikatakan akur. Tidak usah kita menulis detil tentang hubungan perdagangan kedua negara. Itu beda, karena urusannya untung rugi. Ini soal Trust, mau akui atau tidak? pemerintah Indonesia dan Australia belum bisa saling percaya.

Tapi sudahlah.. Australia adalah negara yang indah. Saya sangat menyukai Australia. Tentu saja saya menghormati negara itu. Saya punya beberapa teman di Australia. They are such a wonderful people. Kritikan saya diatas hanya soal diplomasi luar negeri Austalia yang tergesa-gesa. Diplomasi arogan Tony Abbott yang membuat gejolak di indonesia. Sungguh disesalkan karena pada akhirnya isu penolakan hukuman mati menjadi bias lalu bergeser kepersoalan nasionalisme.

Beralih kedalam negeri.
Saya tidak bangga dengan apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi dengan hukuman mati. Tapi mari kita lihat kebelakang sejenak, karena kita harus memberi applause kepada rezim sebelumnya, mengapa? Beberapa kasus hukuman mati terjadi sejak era pemerintahan SBY, ini PR dari pemerintahan beliau. Politik pencitraan yang dilakukan rezim sebelumnya dengan tidak berani ambil resiko secara tidak langsung membuat nasib para terpidana hukuman mati terkatung-katung. Ketika terjadi suksesi  di indonesia dan pemerintahan berganti kepresiden Jokowi, yang diasumsikan akan ‘main aman’ malah terbalik 180 derajat.  Banyak orang tidak menyangka presiden Jokowi berani melakukan eksekusi bahkan ditengah kritik dunia internasional. Hal yang tidak mungkin dilakukan rezim sebelumnya.

Tapi ini tidak sesederhana itu! saya tidak melihat ini sebagai persoalan hukum semata. Ini juga punya hitung-hitungan politis. Presiden Jokowi melakukan gambling. Beliau jelas lebih memperhatikan kondisi politik dalam negeri dari pada peduli dengan kritikan dunia internasional. Seperti kita ketahui bersama, parlemen kita dikuasai oleh KIH, dan dinegara ini tidak ada partai atau orang diparlemen yang terang-terangan mengaku menolak hukuman mati. Hanya LSM-LSM yang itupun menjadi ambigu karena dicurigai dibiayai asing. Banyak pemikiran konservatif bercokol diparlemen. Oleh karena partai partai yang berkuasa diparlemen adalah oposisi pemerintah maka dengan eksekusi ini, PKS, PPP, PAN dan lain sebagainya akan mendukung karena sejalan dengan garis partai mereka. Mengingat PDIP, partai asal presiden Jokowi berkesan ‘menjauh’ maka Jokowi membutuhkan dukungan oposisi demi menciptakan stabilitas politik dalam negeri. Itu penting demi memuluskan  program dipemerintahanya. Oposisi sudah tidak bisa lagi menghembuskan isu bahwa Jokowi antek asing. Para haters Jokowi ditingkat bawah tidak bisa lagi menuduh dia lembek, lemah atau yang sejenisnya. Dan yang paling penting bagi presiden Jokowi, dia menunjukan bahwa dia lebih berani dari rezim SBY.

Kesimpulannya, secara politis isu hukuman mati telah dimenangkan oleh presiden Jokowi tapi gagal dimainkan dengan baik oleh Tony Abbott. This is politics. Tidak ada batasan didalamnya, didalam negeri maupun didunia internasional semua kasus, semua peristiwa punya hitung-hitungan. Dan akhirnya muncul pertanyaaan. Apakah eksekusi mati terpidana narkoba telah dijadikan komoditi politik atau tidak? Silahkan simpulkan sendiri.

*noted, maaf jika ini jadi berbeda dari tulisan - tulisan sebelumnya. ini pertama kali saya menulis soal politik dan hubungan internasional

Artikel Terkait

2 komentar:

Anonymous said...

MAKAN tuhh !! idola lo...JANGAN MUNAFIK !!!

EL Hendrie said...

ini maksudnya apa ya? siapa yg mengidolakan siapa?
saya mengidolakan AC/DC. salah ya? haha :D :D :D