Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Friday, 6 November 2015

Dunia bisa saja terlihat indah saat kita online, namun belum tentu sama saat kita offline!



"Barangkali, status-status menyenangkan dan emoticon smile atau like yang kau tulis di media sosial hanyalah topeng untuk menutupi karaktermu yang membosankan didunia nyata"


Hari ini,
Kita begitu gegap gempita dengan kemajuan zaman. Dunia memasuki babak baru dimana revolusi teknologi menjadi konsekuensi logis dari masyarakat konsumtif. Gadget, handphone pintar, laptop dengan layar sentuh atau televisi super canggih dengan koneksi internet yang mampu menjelajah melebihi kecepatan pesawat. Teknologi telegram sudah usang, pita kaset jadi sejarah, film film hitam putih dimuseumkan. Wartel tidak di-ingat lagi, dan telepon koin? Sudah mati.
Kita disuguhkan pada pemandangan delutif tentang bagaimana berkomunikasi yang lebih efisien. Menjalin konektifitas, bersosialisasi hanya bermodalkan layar sentuh. Semuanya mudah, nyaman, langsung dan cepat.

Media sosial menjadi bagian tak terhindari dari perilaku keseharian kita. Ditengah kompetisi hidup dengan pressure tinggi. Tentu saja, hampir sudah tidak ada waktu untuk bersosialisasi sekedar menyapa tetangga, teman, atau bersua dengan kerabat bahkan bercinta dengan kekasih. Pekerjaan telah merampas lebih dari sebagian waktu yang dimiliki para pekerjanya. Media sosial adalah penemuan paling fenomenal di-era ini. Geger-nya melampaui kegegeran dunia ketika Alessandro Volta menemukan listrik dipermulaan abad 18. Media sosial adalah obat mujarab bagi penyakit keterasingan dunia modern. Pelipur lara bagi kesepian manusia manusia robotic. Tentu saja, itu adalah sebuah terobosan super hebat.
Kita bisa menjalin pertemanan erat dimedia sosial, gadis-gadis bisa arisan hanya lewat facebook, kita bisa mengkritisi pejabat di twitter, melihat trailer film baru di youtube. Mendownload musik dari dailymotion, torrent, ganool dan sebagainya. Mengupload foto makanan di Instagram, path, pinterest, mencari informasi tentang Tuhan di Google, Bing, Yahoo. Mendengarkan khutbah tentang kitabsuci dengan live streaming. Kita juga bisa bercinta lewat chating di whatsapp, di-snapchat, BBM dan aplikasi yang bertebaran dihandphone pintar.
Semua aktifitas itu bisa kita lakukan dimana saja. Di-kantor, di rumah, di halte, di dalam taxy, dalam bus, didalam bajaj, bahkan diatas motor ojek yang sedang melaju. Sambil nyetir, sambil tiduran, sambil makan, sambil buang air pun kita bisa membalas komentar kenalan dimedia sosial. Saat sedang meeting pun kita bisa sambil meretwit banyolan Mario Teguh. Dalam perjalanan pulang kerja kita bisa update status atau membalas chat kawan di-Eropa meski kita lagi nangkring ditoilet umum. Kita juga bisa menunjukan diri lewat skype untuk kekasih jauh (yang tidak percaya bahwa kita sedang beribadah di masjid, gereja atau di pura). Hebatnya lagi, kita-pun bisa orgasme hanya dengan video call.


Yeah, karena begitu mudahnya... maka Teknologi tidak saja mengubah cara manusia berkomunikasi tapi merevolusi bagaimana manusia bercinta. 



Kemajuan teknologi komunikasi dan perkembangan media sosial berhasil membebaskan kita dari keterbatasan waktu. Mengubah rutinitas monoton menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Bayangkan, kita tidak perlu membuang-buang waktu untuk mengunjungi handai taulan yang sedang hajatan. Sekedar mengucapkan selamat ulang tahun atau belasungkawa bisa dilakukan dimedia sosial. Bukan hal yang aneh jika kita melihat orang senyum-senyum sendiri sambil memandangi handphone-nya atau orang yang ngamuk-ngamuk dengan memelototi gadget. Bukan hal lucu lagi jika permusuhan terjadi karena komentar-komentar di media sosial. Lihat? Semua realitas terserap dilayar sentuh itu. Apakah itu benar-benar membebaskan kita? Iya! Awalnya. Hingga kemudian dunia pun menjadi autis dengan sendirinya. Keramaian disekitar kita tak ada artinya, semua itu tak pernah terjadi jika orang lain tidak melihatnya berupa foto atau video dimedia sosial. No pict itu hoax. Orang orang tak lagi diam,semua punya aktifitas masing masing dengan kybord berukuran mini di handphone-nya. Seorang pertapa didalam goa yang hanya berteman bau dupa dan anjing kecil pun tidak akan merasa sunyi jika memiliki koneksi internet. Siapa yang tahu? Jika didalam goa itu dia sedang sibuk twitwar di twitter? Atau sedang asyik masyuk membalas komentar di foto-nya yang baru di upload di-facebook. Atau bisa saja di goa itu, sekedar untuk selfie atau update status lokasi-nya di Path?  Coba tanyakan itu pada anjing kecilnya.
Media sosial telah mengobati kesepian, menyelamatkan kebosanan, menyelamatkan banyak hal. Lihat saja, beberapa dinasti politik di Timur tengah luluh-lantah? dari Tunisia, Kairo, Libia hingga Suriah bergolak karena pesan berantai dimedia sosial.
Kerennya lagi, media sosial adalah tempat sembunyi paling rahasia dari kenyataan hidup yang pahit. Kita bisa berpura-pura baik di twitter untuk menyembunyikan karakter kita yang pendendam. Kita juga bisa berperan sebagai manusia bijaksana difacebook untuk menyembunyikan prilaku kita yang koruptif. Barangkali, kita adalah pribadi yang sangat membosankan didunia nyata tapi dimedia sosial kita bisa jadi apa saja. Kita bisa menjadi pribadi yang menyenangkan, terlihat begitu ceria, bahagia dan bersahabat. Walau saat kita offline, bahkan tetangga-pun tidak tahu siapa kita. Hey bukankah dunia ini begitu manis saat kita online?


Hari ini, kualitas hidup tidak ditentukan dari berapa banyak orang yang berkunjung kerumah kita, atau berapa orang kawan yang datang saat kita terbaring dirumah sakit. Kualitas hidup kita dinilai berdasarkan berapa banyak teman di facebook, berapa ‘like’ dialbum foto virtual,  berapa followers kita di instagram, di twitter atau dari berapa banyak emoticon smile di path saat kita update status. Itulah kualitas hidup kita.


Jelas, keterasingan sudah dibebaskan oleh perkembangan media sosial namun pada akhirnya semua itu segera memunculkan keterasingan lain yang lebih mengerikan, lebih terkutuk. Keterasingan yang lebih menggigil dari dingin kutub utara. Kita sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang virtual, mana yang real. Dunia menjadi delusional. Orang orang sibuk menghitung statistik pertemanan bukan diruang nyata. Para laki-laki robotic jumawa dengan twit-twitnya yang diretwit ratusan orang dan para wanitanya terbuai oleh berapa banyak ‘Like’ dialbum virtualnya. Ke-maya-an yang bermetamorfosis menjadi hyperrealitas. Ironisnya, bukan hal yang aneh jika portal berita memberitakan trending topik di twitter dan apa yang sedang ramai di facebook atau di youtube. Karena apa yang sedang jadi viral dimedia sosial lebih dibaca orang daripada harga cabe yang melambung tinggi.


Kau bisa mengupload foto atau video apa saja dimedia sosial tapi kau tidak akan pernah bisa mengupload cinta. Kau bisa menemukan siapa saja yang ingin kau temukan, mendownload lagu atau video-video yang membuatmu senang tapi kau tidak akan pernah bisa mendownload kebahagiaan.


Kita bisa jadi apapun yang kita mau diruang virtual, mencitrakan diri sebebas-bebasnya. Memenangkan kompetisi ke-maya-an, Kita bisa menciptakan realitas sesuai keinginan kita tapi realitas itu hanya eksis ketika kita online karena pertempuran hidup yang sesungguhnya adalah saat semua gadget, handphone atau laptop berubah offline. Lalu suara disekitar kita berbisik " Hey, sudah makan belum" Itulah hidup yang sesungguhnya.
Karena didunia yang begini sulit, apakah ada yang lebih menyenangkan dari jabat tangan seorang kawan? Apakah ada yang lebih membahagiakan selain pelukan seorang kekasih? Dan semua itu tidak ada dimedia sosial.
Dan sebagaimana layaknya media, jadikanlah media sosial sekedar media yang hanya eksis sebagai media. Bukan sebuah realitas utuh


Jakarta, November 2015

note: source gbr .kompasiana.com


Thursday, 5 November 2015

Quavadis Ateisme




We need to find God, and he cannot be found in noise and restlessness. God is the friend of silence. See how nature - trees, flowers, grass- grows in silence; see the stars, the moon and the sun, how they move in silence. We need silence to be able to touch souls 
"Mother Teresa"


                          Silence is the language of god, all else is poor translation.-Jalalludin Rumi-

Pada abad 18 dan 19, Ateisme dianggap sebagai pandangan yang baik dan memberikan kebebasan bagi ilmu pengetahuan untuk menentukan masa depan umat manusia. Pemikiran ini banyak dipegang para pemikir modern. Sejak nubuat Niezctche ttg “Kematian Tuhan” dan kemudian diikuti Heideger, para pemikir Modern mengganggap semua nilai transenden hilang secara pasti dan kemanusiaan dianggap sebagai hal yang utama dari nilai-nilai diluar alam. Mereka percaya bahwa hanya dengan “kehilangan Tuhan” maka segalanya akan menjadi mungkin. Dalam pandangan itu, pemikir modern menekankan bahwa tidak ada standar objektif bagi keseluruhan kesadaran manusia.
Menjelang millennium, dengan Metode dekontruksi “Derida” hingga munculnya pemikiran Postmodern yang menggugat materialisme modern dan kerinduan akan nilai-nilai religiutas hingga mengambil kembali metafisika yang di era modern dikalahkan oleh materialisme mekanik. Para pemikir postmodern mulai mengkaji konsekwensi negative Ateisme!! Dengan berlatar pada munculnya dekadensi moral, genocide, perang dunia 11 dan ancaman global warm serta perang nuklir yang mengubah wajah dunia dalam penderitaan yg panjang. Bagi pemikir postmodern, Materialisme mekanik modern sudah selayaknya ditinggalkan karena terbukti tidak bisa dijadikan acuan bagi berlangsungnya kehidupan dunia. konsekwensi negative ATEISME antara lain.
1. “Nihilisme”
Pandangan ini menekankan bahwa bagaimana menjalani hidup dan termasuk cara kita memperlakukan org lain akhirnya sudah tidak penting lagi. (scr pribadi saya berasumsi pemikiran ini juga melanda kaum eksitensial yang menggugat ketidakbermaknaan hidup) pandangan ini bisa mengakibatkan keputus-asaan yang panjang, bunuh diri, hingga kejatuhan moral. Jika pandagan seperti ini dipegang oleh manusia dgn kekuatan penghancur ditangannya akan menghasilkan dunia yg sangat berbahaya.
2. “Materialisme ateistik”
Pandangan ini menekankan bahwa manusia tidak berhenti menjadi religius tanpa beriman pada satu objek religius tradisional. Materi adalah realitas tertinggi alam semesta. Pandangan ini, bisa mengakibatkan nafsu tak terpuaskan dalam mengejar bentuk-bentuk materi. Pemikiran ini melahirkan “Darwinisme sosial” dengan etika “Survival for the Fittest”. Persaingan tak terkendali dan menciptakan dunia dgn menyisihkan semua yang gagal bersaing. Bayangkan akan seperti apa dunia?
3. “Militerisme dan Nuklirisme”
Pandangan yang menganggap bahwa hanya mahluk-mahluk fisik saja yang memiliki pengalaman indrawi. Sehingga tak ada norma objektif yg mempengaruhi tindakan manusia. Pemikiran ini menghasilkan kesimpulan bahwa hanya kekuatan pemaksa satu-satunya cara untuk mempengaruhi org lain. Realpolitik “Machiavellian” akhirnya menjadi ciri dunia hari ini. bayangkan??
4. “ Neotribalisme”
Pandangan yang menekankan perbedaan antara “kita” dan “mereka”dan menyatakan bahwa norma-norma moral yg berlaku pada kita tidak berlaku bagi mereka. Rasisme akhirnya menjadi pola dasar dalam keseluruhan kesadaran.
Akhirnya,,
Manusia menjadi tenaga penghancur kehidupan tata surya, nilai Transendensi mungkin akan menjadi medan perdebatan paling sengit dewasa ini. Tapi apapun itu harus disadari bahwa kemanusiaan manusia tidak bisa menjamin kehidupan sosial yang baik. Manusia cenderung lemah ketika berhadapan dgn hukum-hukum alam. Dan bagi kaum postmodernis hanya Percaya pada Tuhan-lah yang bisa menyelamatkan dunia dari ancaman dehumanisasi.

Zat tertinggi tidak harus diperdebatkan sebagai mahluk ber-pribadi, memiliki karakter atau berjenis kelamin, Namun bagi postmo percaya pada Tuhan adalah satu-satunya penolong manusia dari keruntuhan moral. Tanpa terjebak pada antroposentrisme yg menganggap mahluk lain hanya untuk kepentingan manusia. Bagi Postmo, hukum-hukum moral adalah nilai tertinggi bagi ilmu pengetahuan. Tanpa itu, kecerdasan manusia hilang bersama keniscayaan kejatuhan tata surya.


Tiba tiba, pengusung modernis bertanya?


Mengapa atas nama Tuhan kita justru menindas orang lain? mengapa dengan mengatasnamakan Tuhan, kita kehilangan kemanusiaan kita? 


Ber-Tuhan-
Tanpa harus memikirkan Tuhan orang lain, tanpa harus mencurigai kepercayaan orang lain. Menghormati tanpa mereduksi, Toleransi tanpa prasangka karena Tuhan adalah Tuhan yang tidak pernah menindas.




Wednesday, 4 November 2015

Resensi Film The Longest Ride: Bahkan Nicholas Sparks memungut cinta di-Black Mountain


Produksi        : FOX 2000 Picture

Sutradara      : George Tillman, Jr


Biaya              : USD 34 juta







Dimanapun cinta terbit selalu diharapkan berakhir bahagia, dan setiap film-film cinta romantis yang happy ending maka Nicholas Sparks adalah jagoannya. Iya. Bila sedang kusut, bete dan sedang mood jelek, cobalah untuk tonton salah satu film-nya maka semua bayanganmu tentang dunia akan menjadi lebih manis. Paling tidak, Itu-lah yang saya rasakan setiap menonton film yang diadaptasi dari novel pria Amerika ini. Saya menjadi salah satu fans berat laki-laki 50 tahun itu. Sejak The Notebook, Walk To Remember, Save Haven, Lucky One dan beberapa lainnya sampai yang terakhir The Best of Me. Meski jujur, saya mengenal Sparks bukan dari novel-novelnya. Sutradara-sutradara handal yang kreatif berhasil menjembatani novel-novel itu menjadi film hingga membuat saya mencari tahu siapa Nicholas Sparks lalu menunggui karya-nya seperti menunggui mangga matang persis dibawah pohonnya. Hahaha, 
Ah, sudahlah.. siapa yang tak pernah nonton The Notebook? Message in a Bottle? Eh, Belum? malang sekali.

Anyway, The Longest Ride merupakan film terbaru Nicholas Sparks yang disutradarai George Tillman, Jr dan menampilkan Scott Eastwood dan Britt Robertson sebagai pasangan muda yang jatuh cinta meski memiliki banyak perbedaan. Oona Castila Chaplin, cucu dari superstar Inggris Charlie Chaplin ikut ambil bagian di film ini. Dia apik sekali memainkan peran Ruth Levinson seorang wanita yang begitu mencintai seni. Begitu mencintai kehidupan.

Well, saya tidak perlu risau menceritakan bagaimana alur film, tontonlah dan hakimi sendiri. Beberapa kritikus film memang tidak terlalu antusias pada The Longest Ride bahkan faktanya, film ini gagal melampaui Fast and Furious 8 di Box Office tapi saya tidak peduli. Bagi saya film ini keren. Okey, benar memang kisah cinta-nya mudah ditebak dengan akhir yang membuat semua orang bertepuk tangan. Bukan karena itu. Edan. Lupakan Luke Collins. Percayalah.. dia pasti akan berakhir bahagia dengan Sophia Danko. Dan Ira Levinson apakah dia bisa bertemu lagi dengan Ruth-nya? Aihh, barangkali, Saat ini mereka sedang berpelukan di-surga sambil menertawai kita yang sibuk menerka-nerka. Hahaha..

Saya takjub pada latar filmnya, North Carolina.
North Carolina adalah salah satu dari ketigabelas Koloni pertama, dahulunya dikenal sebagai Carolina. Joara, sebuah desa berpenduduk asli Amerika. Pada 1567 negara bagian ini menjadi lokasi Fort San Juan, pemukiman kolonial Spanyol yang pertama di pedalaman dari apa yang kemudian menjadi Amerika Serikat. Negara bagian ini juga merupakan lokasi koloni Inggris pertama di benua Amerika. Panorama-nya yang western banget sudah membuat saya jatuh hati.




Secara khusus, film ini lagi lagi membuat konsentrasi saya terusik hingga harus mencari tahu tentang Black Mountain College  (1933-1957). Sekolah seni yang didirikan pada tahun 1933 di North Carolina, sebagai percobaan dari “Pendidikan dalam Demokrasi," dengan ide bahwa seni kreatif dan tanggung jawab praktis sama pentingnya dengan perkembangan intelek. Penekanannya adalah belajar dan hidup itu harus terhubung erat. Drama, musik, dan seni rupa dianggap sebagai bagian integral dari kehidupan kampus. Sekolah itu menjadi satu titik penting dalam sejarah pendidikan di Amerika yang menjadi antitesis model pendidikan tradisional saat itu. Sekolah itu mendidik siswanya dengan semangat kebebasan, lintas disiplin, seni, tidak memisahkan antara bekerja dan bermain, serta hubungan egaliter antara guru dan siswa dimana guru dan siswa sama-sama bekerja dalam mengurus kampus (bangunan, administrasi, hingga makan siang). Pada akhirnya Black Mountain College sudah tak lagi ada, namun jejaknya sangat berpengaruh dalam sejarah perkembangan seni di Amerika. Menjadi salah satu hasil kreasi yang tak biasa sepanjang sejarah peradaban manusia. Dan inilah yang membuat saya mengernyitkan dahi, bagaimana Nicholas Sparks menggabungkan ide tersebut? Menjadikan sekolah yang bahkan tak pernah terakreditasi serta dijalankan dengan anggaran minim itu sebagai monumen lalu membungkusnya dengan kisah cinta dua zaman hingga layak untuk di tonton. Tentu saja peran George Tillman, Jr sutradara kulit hitam yang terkenal dengan Man of Honour-nya ini juga harus diacungin jempol. Yeah! Gegara dua orang ini, saya jadi punya impian untuk melanjutkan study ke  North Carolina University. (aminnn) hahaha..
Siyal... Siapa yang tidak mau ke Grandfather Mountain, Lake Norman, Asheville, Neuse River, Old Salem Museum? Jockey's Ridge State Park, International Civil Rights Center, The Blowing Rock? Mordecai Museum? Museum of the Cherokee Indian, Pullen Park, Cataloochee Ski Area? Atau Horn in the West, Topsail Island? dan North Carolina Music Factory?dan tentu saja artefak Black Mountain College! Saya menyarankan, sebelum kiamat benar benar tiba, tempat tempat itu harus didatangi, hehehe.
Nicholas Sparks sudah memberi pesan bahwa dunia ternyata tak sependek jalan pikiran para jomblo dan cinta adalah sesuatu yang harus dirayakan. Mau bukti? Luke anak desa di North Carolina yang tidak tahu apa apa selain mengendarai banteng bisa membuat Sophia anak kuliahan rela untuk meninggalkan Manhattan.
Btw, Luke difilm ini juara dunia Rodeo loh.. :D


Friday, 1 May 2015

Apakah Negara telah begitu perkasa hingga menjadi Tuhan dan berhak menentukan hidup-mati manusia?

Tinjauan Politis terhadap Eksekusi Mati dan Hubungan Indonesia-Australia ditengah kritik Internasional


Perampasan hak hidup secara paksa atau penghilangan nyawa manusia adalah anomali dalam peradaban begitu juga hukuman mati merupakan hal yang sangat mengerikan. Meski sejarah hukuman mati hampir seumur dengan sejarah terbentuknya masyarakat namun dalam tatanan masyarakat modern yang menghargai kemanusiaan, hukuman mati seperti iblis yang keji. Bayangkan, hak hidup dirampas, tangis keluarga yang ditinggalkan, kesunyian didetik detik terakhir, lalu tembakan yang memecah sunyi. Kesedihan apalagi yang paling sentimentil dari itu?

Eksekusi mati Andrew Chan, Sukumaran, Zainal Abidin, dan yang lainnya hanya menyisakan kisah duka. Mereka sudah pergi, apapun yang kita lakukan untuk protes, tidak akan bisa mengembalikan hidup mereka. Semua orang turut berduka. Ini tragis! Mengatakan ini, bukan berarti kita mendukung peredaran narkoba. Tapi pemberian hukuman mati untuk kasus narkoba adalah hal yang perlu ditinjau ulang. Beda jawaban, jika pertanyaannya bagaimana dengan bandarbesar? pembunuhan berencana? pemerkosaan anak dibawah umur dan tentu saja, korupsi! Kita bisa berdebat panjang soal itu. Persoalan narkoba adalah persoalan kemiskinan. Ketika Negara gagal memberi jaminan kesejahteraan bagi warganya maka akan muncul para pengedar. Kroco kroco yang hanya punya pilihan sedikit dan jadi pengedar merupakan cara paling mudah untuk mendapatkan uang. Ditingkat paling bawah, Ini tentang kesejahteraan.

Lihat Mary Jane Veloso? Apa dia Bandar besar? Lihat mukanya? Lihat gesturnya? Lihat historinya? Sungguh konyol, jika kita mengatakan dia bandar besar. Mary Jane adalah potret kemiskinan di Filipina dan juga di Indonesia. Mary Jane seorang buruh migran, PRT yang nasibnya sama seperti TKI di Arab Saudi dan Malaysia. Vonis mati pada Mary Jane adalah kekeliruan terbesar. Sungguh menyenangkan eksekusinya ditunda meski untuk waktu yang tidak ditentukan. Paling tidak, mari kita berharap ada ampunan dari pemerintah Indonesia dan semoga lobi pemerintah Filipina mujarab.

Substansi dari hukuman adalah pertanggungjawaban. Ia kan? Sekarang pertanyaannya, apakah tepat hukuman mati dinegara ini? Ditengah system peradilan yang awut-awutan dan hukum yang rentan diperjualbelikan. Saya tidak bisa membayangkan jika seseorang yang tidak tahu apa-apa tapi dilibatkan dalam konspirasi, dikondisikan, dikriminalisasi atau dijebak seperti dalam film-film. Itu bukan mendramatisir tapi beberapa kasus seperti itu nyata didepan mata kita. System hukum kita belum bagus. Itu sudah jadi rahasia umum. Dengan system hukum yang seperti itu, apa kita bisa percaya pada hukuman mati? Ini tentang nyawa manusia. Berani main main dengan itu?
Hubungan indonesia dan Australia kembali memanas pasca eksekusi Chan dan Sukumaran namun ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya pada pemerintah Indonesia. Kegagalan diplomasi yang dilakukan Perdana Menteri Tony Abbott juga harus dikritisi. Saya tidak melihat keseriusan Abbott untuk menyelamatkan warganya. Pun jika Abbott serius, langkah diplomasi yang dia lakukan terlalu gegabah. Siapapun penasehat politik Abbott tentang Indonesia jelas sangat tidak memahami geopolitik di Indonesia. Apa Menlu Julia Bishop tidak punya pilihan lain selain mengungkit bantuan Aussy di Aceh? Itu konyol. Ketika Chan dan Sukumaran mulai mendapat simpati dari dalam negeri Indonesia. Langkah diplomasi yang dilakukan pemerintah Australia malah jadi boomerang. Barangkali, its a just politics. Semua orang tahu, popularitas Perdana Menteri Tony Abbott di Aussy menurun. Beberapa waktu lalu, Tony Abbot bahkan terancam di Impeachment akibat dituduh melakukan diskoneksi dalam pemberian gelar kebangsawanan tertinggi Australia terhadap Pangeran Philip dari Inggris. Parlemen Australia menghembuskan isu mosi tidak percaya pada Abbott.  Penyelamatan Chan dan Sukumaran seharusnya bisa menjadi momentum untuk mendongkrak popularitasnya. Tapi beliau gagal menjadikan itu sebagai senjatanya. Sebaliknya, justru membuktikan ketidakpiawaiannya.

Di indonesia sendiri, manuver pemerintah Australia demi menyelamatkan Chan dan Sukumaran mendapat reaksi negatif karena dianggap terlalu berlebihan. Ini yang menarik, Australia tidak melakukan pendekatan yang persuasif malah membuat gemas Indonesia dengan pernyataan yang terdengar kekanak-kanakan. Tidak ada upaya yang ‘dalam dan intens’ yang bisa mereka lakukan. Apalagi ketika Sekjen PBB Ban Ki Moon dilibatkan dengan pernyataannya yang sebenarnya tidak punya legalitas formal dalam mencampuri yuridiksi satu negara. Juga beberapa komentar sinis para pesohor dunia dari vokalis legendaris Guns N Roses hingga band metal Carcass malah membuat isu ini menjadi bias. Jelas tidak membantu apa-apa bahkan makin runyam.

Mengapa jadi runyam?  Well..  Pemerintah Indonesia sudah show off ketika eksekusi gelombang pertama. Jika Jokowi membatalkan eksekusi tahap kedua hanya karena tekanan dari luar. Itu tidak mungkin. Taruhan politiknya besar. Harus diingat, ketika pilpres Jokowi dihembus isu sebagai antek asing dan diprediksi ‘lembek’ dalam diplomasi luar negeri. Bagi masyarakat indonesia rival Jokowi ketika pilpres yaitu Prabowo dianggap jauh lebih tegas. Adalah hal yang bodoh bila Jokowi mempertaruhkan itu. Eksekusi para terpidana narkoba ini menjadi langkah strategisnya demi memperlihatkan kepada masyarakat indonesia bahwa dia berani, dia tidak selembek yang orang pikir. Gokilnya, momentumnya tepat sekali selepas hajatan Konfrensi Asia Afrika dimana pidatonya yang mengobok-obok PBB, Bank Dunia dan ADB.

“Saya  tidak setuju atas pemberlakuan hukuman mati di Indonesia tapi saya juga tidak suka pada kecaman dunia luar atas yuridiksi dinegara ini” kata seorang teman. Astaga. Isunya bergeser kesoal nasionalisme. Tepuk tangan! Presiden Jokowi itu politikus handal dan harus diakui dia berani ambil resiko. Kecaman dunia internasional justru membantu dia secara politis karena menambah dukungan pelaksanaan eksekusi. Didalam negeri indonesia, masyarakat yang awalnya menolak eksekusi mulai pasif dan bahkan diam. Ini berbahaya! Padahal penolakan hukuman mati itulah substansinya.

Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi besar didunia, tentu bukan satu-satunya negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Amerika yang diklaim sebagai penjaga demokrasi hingga hari ini juga memasukkan hukuman mati dalam kaidah hukumnya.
Pertanyaan, apa ada negara yang bisa mengobok-obok itu? Tentu saja, ini soal posisi tawar. Semua orang dikolong langit tahu, sesuper power apa amerika. Itu lelucon! Anda tidak akan berani mengkritisi sesuatu yang lebih kuat daripada anda, apalagi jika anda punya kepentingan besar terhadapnya, benar kan? Dan jika Aussy berani sama Indonesia, atau Brazil atau Perancis yang terang terangan bereaksi keras, nah itu tadi. Ini bicara soal posisi tawar. Bisa dibayangkan posisi Indonesia dimata mereka?
Sekarang mari kita kembali soal Australia dan Indonesia.

Australia menarik untuk dibicarakan karena selain warganya yang tersandera dalam kasus hukum di Indonesia, Aussy adalah tetangga yang strategis dan menjadi pintu gerbang indonesia kebarat. Dalam soal ini, saya membayangkan Perdana menteri Tony Abbott lebih rendah hati dalam melakukan lobi-lobi diplomatik. Jika itu terjadi, mungkin hasilnya akan berbeda. Catatan untuk Abbott, cara orang Indonesia melihat Australia itu beda dengan cara orang Indonesia melihat Filipina. Protes di Filipina tidak terlalu banyak mendapat sorotan dimedia media Indonesia. Beda dengan Australia, sekecil apapun protes yang orang Australia lakukan akan selalu menjadi santapan media Indonesia. Indonesia melihat Australia itu sebagai negara besar yang bisa menjadi gangguan begitu juga sebaliknya. Isu penyadapan tempo hari masih membekas bagi Indonesia. Seharusnya Abbott lebih sensitive. Penarikan dubes Australia dari jakarta hanya memperkeruh suasana. Hubungan Australia dan Indonesia mengalami pasang surut dan sejauh ini pemerintah kedua negara belum bisa dikatakan akur. Tidak usah kita menulis detil tentang hubungan perdagangan kedua negara. Itu beda, karena urusannya untung rugi. Ini soal Trust, mau akui atau tidak? pemerintah Indonesia dan Australia belum bisa saling percaya.

Tapi sudahlah.. Australia adalah negara yang indah. Saya sangat menyukai Australia. Tentu saja saya menghormati negara itu. Saya punya beberapa teman di Australia. They are such a wonderful people. Kritikan saya diatas hanya soal diplomasi luar negeri Austalia yang tergesa-gesa. Diplomasi arogan Tony Abbott yang membuat gejolak di indonesia. Sungguh disesalkan karena pada akhirnya isu penolakan hukuman mati menjadi bias lalu bergeser kepersoalan nasionalisme.

Beralih kedalam negeri.
Saya tidak bangga dengan apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi dengan hukuman mati. Tapi mari kita lihat kebelakang sejenak, karena kita harus memberi applause kepada rezim sebelumnya, mengapa? Beberapa kasus hukuman mati terjadi sejak era pemerintahan SBY, ini PR dari pemerintahan beliau. Politik pencitraan yang dilakukan rezim sebelumnya dengan tidak berani ambil resiko secara tidak langsung membuat nasib para terpidana hukuman mati terkatung-katung. Ketika terjadi suksesi  di indonesia dan pemerintahan berganti kepresiden Jokowi, yang diasumsikan akan ‘main aman’ malah terbalik 180 derajat.  Banyak orang tidak menyangka presiden Jokowi berani melakukan eksekusi bahkan ditengah kritik dunia internasional. Hal yang tidak mungkin dilakukan rezim sebelumnya.

Tapi ini tidak sesederhana itu! saya tidak melihat ini sebagai persoalan hukum semata. Ini juga punya hitung-hitungan politis. Presiden Jokowi melakukan gambling. Beliau jelas lebih memperhatikan kondisi politik dalam negeri dari pada peduli dengan kritikan dunia internasional. Seperti kita ketahui bersama, parlemen kita dikuasai oleh KIH, dan dinegara ini tidak ada partai atau orang diparlemen yang terang-terangan mengaku menolak hukuman mati. Hanya LSM-LSM yang itupun menjadi ambigu karena dicurigai dibiayai asing. Banyak pemikiran konservatif bercokol diparlemen. Oleh karena partai partai yang berkuasa diparlemen adalah oposisi pemerintah maka dengan eksekusi ini, PKS, PPP, PAN dan lain sebagainya akan mendukung karena sejalan dengan garis partai mereka. Mengingat PDIP, partai asal presiden Jokowi berkesan ‘menjauh’ maka Jokowi membutuhkan dukungan oposisi demi menciptakan stabilitas politik dalam negeri. Itu penting demi memuluskan  program dipemerintahanya. Oposisi sudah tidak bisa lagi menghembuskan isu bahwa Jokowi antek asing. Para haters Jokowi ditingkat bawah tidak bisa lagi menuduh dia lembek, lemah atau yang sejenisnya. Dan yang paling penting bagi presiden Jokowi, dia menunjukan bahwa dia lebih berani dari rezim SBY.

Kesimpulannya, secara politis isu hukuman mati telah dimenangkan oleh presiden Jokowi tapi gagal dimainkan dengan baik oleh Tony Abbott. This is politics. Tidak ada batasan didalamnya, didalam negeri maupun didunia internasional semua kasus, semua peristiwa punya hitung-hitungan. Dan akhirnya muncul pertanyaaan. Apakah eksekusi mati terpidana narkoba telah dijadikan komoditi politik atau tidak? Silahkan simpulkan sendiri.

*noted, maaf jika ini jadi berbeda dari tulisan - tulisan sebelumnya. ini pertama kali saya menulis soal politik dan hubungan internasional