Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Saturday, 16 March 2019

Review Film Captain Marvel: Ketika Perempuan Menjadi Penyelamat Alam Semesta.

" Apa kalian siap jika salah satu Superhero Marvel ternyata seorang Gay? Atau mungkin Lesbian? MCU: Marvel Cinematik Universe sedang berusaha memainkan kontroversi ditengah penayangan film terbaru mereka, Captain Marvel. Kali ini, saya akan mereview film ini diluar desas desus yang sensasional itu."




Ini bukan satu satunya film Marvel yang terbaik tapi ini adalah muasal-nya, semacam causa prima, seperti ledakan besar tempat sejarah alam semesta dimulai karena ini lah maka semua film Marvel layak ditunggu.  Jika Avengers telah menciptakan pasar tersendiri dan mewarnai kebudayaan kita dengan deretan superhero yang bahu membahu menyelamatkan dunia maka Captain Marvel adalah prolognya. Tak akan ada Avengers tanpa Captain Marvel, paling tidak itu bisa kita ketahui dari nama Avengers yang  diambil dari kepingan tulisan di pesawat Carol Danvers. Lagi pula, agen Fury niscaya tak akan membentuk Avengers bila dia tidak mengenal Captain Marvel dan menyadari bumi berada dalam ancaman mahluk mahluk dari planet lain. 
Memberikan kursi sutradara kepada Anna Boden dan Ryan Fleck adalah perjudian besar bagi MCU ditengah kesuksesan DC dengan Aquaman-nya. MCU cukup percaya diri bahkan ketika Brie Larson dipercaya untuk menjadi Captain Marvel. Faktanya, Brie Larson jarang sekali mendapatkan peran utama, film ini adalah peluang terbesar dalam karirnya. So? Sutradaranya medioker, artis-nya spesialis Cameo? Lalu apa?

Hasilnya? Monument raksasa Marvel  telah dibangun di film ini. Sentuhan fiksi yang didramatisasi dengan rangkaian cerita yang dibuat sambung menyambung dimana Captain Marvel  adalah muaranya. MCU tak lagi peduli siapa sutradara atau pemerannya karena apa yang mereka jual adalah nama Marvel itu sendiri

Alien  Ketika separuh dari isi alam semesta musnah dalam Avengers: Infinity wars, maka film ini adalah celah untuk memberi jalan bagi film Avengers: Endgame yang juga akan tayang tahun ini. MCU, ingin mengatakan kepada penggemarnya bahwa, kalian harus menonton ini dulu untuk mengetahui siapa sosok yang akan menyelamatkan dunia ketika para superhero Avengers sudah tidak berdaya?  

Boden dan Fleck tak punya pengalaman cukup untuk bermain-main dengan fantasi futuristic dunia komik, pasangan sutradara yang tinggal di Brooklyn New York ini akan sulit menahan kritikan karena kurangnya efek visual dalam Captain Marvel. CGI nya memang tidak lebih baik dari film film Marvel yang pernah ada.

Alur cerita yang lambat di awal film, skenario yang panjang mirip drama keluarga hampir membuat kita bosan. Tapi situasi perlahan lahan berubah seiring adegan yang bergerak maju.  Persahabatan Carol Danvers dan Maria Rambeau menyisakan misteri tersendiri. Karakter Talos, pemimpin bangsa Skrul yang diperankan oleh Ben Mendelshon sangat membantu dengan memperlihatkan sikap jahat diawal awal film. Ben rupanya dipercaya Boden karena mereka juga pernah bekerja sama dalam film Mississippi Grind ditahun 2015. Terlalu sering aktor hebat tersesat dalam peran alien yang jahat tapi Ben Mendelshon sukses membuat alien skrull jadi lebih manusiawi.

Bagaimana dengan, Samuel L Jackson, orang tua ini sudah tak perlu lagi diragukan, dia sudah terlalu tinggi untuk disentuh dengan kritikan. Coba perhatikan! Dibalik kesuksesan Avengers ada kontribusi cukup besar seorang Samuel L Jackson. Superhero Avengers datang silih berganti dengan aktor aktor hebat tapi Samuel L Jackson tak akan tergantikan. Bahkan jika dia bermain dalam film Dilan, maka film itu akan masuk nominasi Oscar. Barangkali loh yah  Kehadiran Flerken, kucing alien yang bernama Goose harusnya bisa menjadi Spin off karena menyelipkan warna tersendiri dalam film. Perjumpaanya dengan Nick Fury menjawab teka teki mengapa agent Fury tampil dengan satu mata dalam semua film Avengers.  Bagaimana dengan Jude Law? Ini pengecualian, karekter Yon Rogg harusnya bisa dibuat lebih beringas. Sayangnya, nama besar Jude Law harus menutupi kekurangannya di film ini.

Secara umum, film ini memberi porsi besar untuk unsur drama meski tanpa kisah cinta. Toh Kita tidak butuh ciuman untuk memberi label sebuah film drama. 
Pertempuran langit dengan muntahan senjata berwarna warni, berkilau disinari matahari lalu pesawat jatuh di padang tandus merupakan visi paling spektakuler ditengah kurangnya efek visual. Berlatar  tahun 90an, ketika wabah musik Seattle Sound menguasai budaya pop bahkan Nirvana juga ambil bagian di film ini.  Klimaksnya adalah kemunculan seorang perempuan untuk menyelamatkan alam semesta, memberi wanita kepercayaan itu merupakan intisari dari Captain Marvel. 
Brie Larson sangat representative untuk karakter itu, matanya sejuk tapi menyiratkan kepercayaan diri, sangat tenang tapi mematikan. Apalagi ketika dia menjadikan langit seperti taman bermain. Unsur feminisme dicampur dengan aksi aksi luarbiasa, manis tapi maskulin menjadikan film ini layak sebagai kado Hari perempuan Sedunia.

Anyway, MCU  sudah memberi tanggung jawab kepada Captain Marvel untuk memikul nama besar franchise mereka, raksasa waralaba itu memahat dirinya dalam difilm ini, anggap saja sama seperti mereka mempercayakan film ini kepada Anna Boden. Sutradara yang filmnya masih bisa dihitung dengan satu jari tangan. 
Kenapa harus takut? Bukankah sudah bisa ditebak? Para superhero Avengers yang terancam punah di Infinity wars akan diselamatkan Carol Danvers di Avengers: Endgame? 

*Versi Video In Youtube
https://www.youtube.com/watch?v=8QsqpfEErLI

Wednesday, 6 February 2019

Blackkklansman: Klu Klux Klan, Piala Oscar dan Rasisme





Prolog




Well..
Dalam sejarah perhelatan piala Oscar, ada 6 orang sutradara afro amerika yang pernah masuk nominasi dan cuma satu yang berhasil membawa pulang Academy Awards, yakni  Jordan Peele ditahun 2018.  Dia menjadi yang terbaik dalam kategori Best Original Screenplay  dalam film Get Out yang rilis tahun 2017. Sementara untuk para pemain watak, hanya 14 orang actor dan artis afro amerika (dalam berbagai kategori) yang pernah meraih Oscar termasuk Halle Berry dalam film Monster Ball tahun 2001 dan Jamie Foxx dalam film Ray tahun 2004.
Ditengah hegemoni kulit putih dan eskalasi gerakan politik sayap kanan yang meningkat, Oscar juga mulai digoyang oleh isu rasial dan gesekan gesekan gender. Jordan Peele bahkan dalam sebuah wawancara pernah mengatakan bahwa perbincangan soal ras tidak akan pernah selesai. Selama tidak ada yang mengawasi soal kesetaraan maka itu akan jadi perbincangan besar. Katanya.

Sebelumnya,,
#Oscarsowhite sebuah hastag yang beredar dimedia sosial menjadi viral ditahun 2015, sebagai simbol perlawanan yang mengkritik hegemoni kulit putih dalam Academy Awards. Hastag tersebut berhasil mencuri perhatian para petinggi Academy of Motion Picture Arts and Science sebagai pemegang lisensi Oscar. Beberapa aktor senior Hollywood juga ikut serirama dengan gerakan itu. Fakta, di tahun 2015 tak ada satupun wakil kulit berwarna yang berjalan dikarpet merah Dolby Theater Los Angeles. (tempat piala Oscar diumumkan). Jangankan menang, masuk sebagai nominasipun sangat sulit. Membuat beberapa kalangan mengancam untuk memboikot penyelenggaraan Oscar termasuk Will Smith. Tahun 2015, memang tahun paling kelam dan jika tidak ada perubahan radikal dikuatirkan bisa menggerus legitimasi Oscar dan itu berbahaya.
Setelah 2015, tahun tahun selanjutnya seakan menjadi titik balik bagi para pekerja film untuk mempertimbangkan isu isu diluar film dalam proses penjurian. Kemudian pihak Academy of Motion Picture Arts and Science mulai merombak komposisi juri yang dulunya berlaku seumur hidup kini dibatasi 10 tahun untuk insan film yang belum mencapai 30 tahun karir. Pihak Academy juga melakukan regenerasi dengan menambah tiga dewan gubernur serta keanggotaan wanita dalam penjurian. Hal tersebut dimaksudkan agar ada keragaman dalam Oscar.
Pada akhirnya.. setelah hiruk pikuk 2015, sutradara Jordan Peele memenangkan Oscar pertama untuk ras nya tahun lalu. Kemenangan itu juga ikut meredam kecurigaan rasisme dalam Oscar. Kemenangan Jordan Peele membuat hastag #oscarsowhite tiarap sejenak.
So.. bagaimana dengan tahun ini?
Masih relevan kah hastag Oscarsowhite?
Sutradara Spike Lee memantaskan diri untuk menjadi wakil bagi Afro Amerika dengan berjaya dalam 6 kategori Oscar, Filmnya yang berjudul Blackklansman tahun 2018 masuk dalam nominasi Best Picture, Best Director, Best Adapted Screenplay, Best Original Score, Best Editing dan Best Supporting Aktor Hal ini merupakan pencapaian ketiga bagi Lee setelah pada tahun 1990 filmnya Do The right thing masuk nominasi Best Original Screenplay dan pada tahun 1998, filmnya yang berjudul 4 lilttle Girls dinominasikan sebagai Best Documentary Feature. Tahun ini, Spike lee tentu saja berharap bisa memenanginya.
Blackklansman adalah film yang diadaptasi dari buku biographi Ron Stallworth. Seorang detektif polisi afro amerika yang bertugas di kepolisian Colorado Springs. Buku tersebut menceritakan petualangannya berhasil menyusup kedalam  organisasi Klu Klux Klan (KKK) organisasi rasis yang mengusung supremasi kulit putih.
Film itu ikut diproduseri oleh Jordan Peele dan memunculkan putra Danzel Washington sebagai aktor utama. John David Washington memerankan Ron Stallworth. Dibantu oleh Adam Driver sebagai Zipp Zimmerman. Film yang menelan biaya sekitar 15 juta dollar ini sudah meraup keuntungan di Box Office sebesar 89, 4 juta. Tentu saja, Focus Features sebagai pihak distributor sedang sibuk menghitung uang banyak saat ini.
Film ini memang  menarik dengan alur cerita yang mengangkat isu rasial ditengah gonjang ganjing Oscar semakin mempertegas bahwa film ini muncul disaat yang benar.. ibarat panah arjuna yang tepat menghantam dada sang Karna. Sebuah timing yang pas dan terarah.
Tapi jika pertanyaannya adalah, apakah Blackkklansman benar benar bagus? Apakah film ini layak masuk dalam 4 nominasi tersebut? Bahkan Rotten Tomatos situs yang suka nyinyir memberi apresiasi cukup besar untuk film ini. Luarbiasa.
Mari kita breakdown.
Film dibuka dengan pidato tokoh fiktif Dr Kennebrew beauregard, diperankan Alec Baldwin, seseorang yang digambarkan sebagai orator ternama dengan pidato berapi-api untuk mengingatkan warga kulit putih amerika atas ancaman kebangkitan kulit hitam dan orang yahudi. Sangat epic dengan tangkapan layar hitam putih dan bendera konfederasi. Isi pidato yang penuh kebencian sudah memberi sensasi tersendiri di awal film. tapi bukan itu punchline nya, melainkan tulisan “Dis joint based upon some fo’ real and so real sh*t” merupakan tulisan pembuka yang keren.
wow.. thas was so nigga! Tipikal film afro banget. Dititik itu,  ekspetasi sudah tinggi. Keren nih! Apalagi ketika Ron Stallworth masuk kedalam kantor polisi untuk mendaftar sebagai anggota kepolisian. Dia ditanya.. apa kamu siap jika dalam tugas ada orang yang sinis dan memanggilmu nigga? Lucu..

Sepertinya ini akan jadi film komedi yang unik.

Adegan demi adegan berjalan dengan pelan, saking pelannya waktu pun terasa lama. Yeah.. plot film ini sangat lambat di setengah jam pertama. Setting film berlatar tahun 70an sebenarnya kolosal. Pemilihan make up dan fashion klasik menambah daya tarik Blackkklansman. Kemunculan Kwame Ture seorang pelopor perjuangan kaum kulit hitam dalam rapat akbar perkumpulan mahasiwa Afro Amerika menimbulkan kesan bahwa film ini akan sarat dengan tema tema politik yang serius.
Film semakin menarik ketika Ron mulai masuk dalam pusaran Klux Klux Klan, dibantu opsir Zipp Zimmerman yang kebetuan seorang Yahudi mereka menyusup kedalam organisasi KKK lewat aksi aksi konyol. Dalam film ini, digambarkan ada dua pihak yang sedang berhadap-hadapan. Perkumpulan mahasiswa kulit hitam versus KKK.


Jauhkan dulu ekspetasi soal bagaimana penyusupan yang dilakukan Ron. Karena itu bukan sesuatu yang rumit malah sangat sederhana dengan hanya melalui sambungan telepon. Spike Lee tidak memberi unsur petualangan menjadi lebih hati hati justru terlihat sangat mudah. Bagaimana Ron meyakinkan anggota KKK lewat telepon lalu mengutus Zipp menyamar sebagai dirinya. Tentu saja, organisasi KKK harus merevolusi proses perekrutannya setelah menonton film ini.
Karakter Ron yang dimainkan oleh John David Washington harus diakui tidak memiliki akar yang kuat. John David memang tidak terlalu menonjol. Sama seperti filmnya... tanggung banget! Antara mau melucu atau serius. Blackkklansman juga gagal memenuhi keduanya. Tidak cukup untuk jadi drama tapi juga tidak terlalu lucu untuk menjadi komedi.  Adam Driver yang masuk dalam nominasi best supporting Actor memang sedikit lebih baik dari John David tapi masih terlalu datar untuk memperlihatkan karakter polisi Yahudi Amerika. Pertentangan batinnya antara menjadi seorang Yahudi Amerika atau anak kulit putih biasa tidak juga di ekspos dengan tajam. Malah dingin.

Ada banyak ruang untuk mengkritisi tapi ada juga tepuk tangan untuk Blackkklansman, karena film ini sangat sukses membuat organisasi rasis Klu Klux Klan menjadi sekedar sekumpulan badut yang tidak punya panggung. Adegan ketika Ron berfoto dengan petinggi KKK, David Duke semacam tamparan terhadap kedangkalan nalar rasisme. Di film ini, kita bebas menertawai KKK sambal makan es krim. Menyudutkan mereka kepinggir lapangan. Membuat organisasi berbahaya tersebut sekedar pertunjukan Stand Up Comedy. Film ini seakan menjadi antithesis Mississippi Burning 1988.


Okey! Blackkklansman memang bagus, tapi tidak bisa dikatakan spektakuler.
Spike Lee barangkali memahami bahwa keberutungannya hanya soal waktu dan film ini merajalela dalam Oscar juga karena akurasinya. Penayangannya dilesatkan ditengah isu rasial. Dibidik sempurna kejantung para petinggi The Academy. Lee seakan menodongkan pistolnya dikepala dewan gubernur sambil mengancam dengan jenaka. Hey Whats up bro? this is my Nigga Soldier! Take this to the Dolby or I ll blowing ur head..  Dan Jika peristiwa 2015 adalah prolognya, Blackkkklansan adalah Martin Luther King.
Anyway
Apakah film Blackkklansman mampu memukul para bajingan rasis dinegaranya dengan cara yang sama ketika Donald Trump memukul mundur para imigran meksiko dengan tembok palsunya?
Apa juri juri Oscar takut diterpa isu rasial makanya Spike Lee dijadikan tameng? Atau memang film ini bagus?


Tidak perlu dijawab dengan lugas, begini saja.. rasisme memang kejahatan yang harus dilawan karena rasisme adalah penyakit bagi peradaban manusia. Tapi, jika ada seorang nigga yang jahat dan criminal maka tidak perlu ditutupi. Pun sebaliknya, Jika seorang kulit putih itu ternyata orang baik maka tidak salah juga untuk dibesar-besarkan. Film tetaplah film, tak peduli siapa sutradara atau pemainnya. Mau dia Afro, Jews, Hispanik, Asia atau Kulit putih. Jika bagus silahkan tepuk tangan dan jika jelek maka orang juga bebas untuk mengkritik. Oscar harusnya sudah keluar dari perdebatan diluar film.

Sekedar informasi, Spike Lee adalah salah satu sutradara yang mengkritik penyelenggaraan Oscar tahun 2015 dan mengancam tidak akan menghadiri pengumuman Oscar. Apakah karena itu pihak Academy memberinya reward? Tapi sikap Lee yang terkesan intimidatif juga tidak bisa mengelimir fakta bahwa masih ada kesenjangan dalam penjurian Oscar. Mayoritas pekerja film Amerika yang menjadi pemilik suara adalah kulit putih. Tentu ada pihak-pihak yang lebih dominan meski tidak disengaja.
Juri-juri Oscar punya subjektifitas namun bila film ini dianggap sebagai representasi kaum kulit hitam maka bagaimana dengan Marvel yang menampilkan banyak pemain kulit berwarna dalam film Black Panther? Yang saat ini juga masuk dalam beberapa nominasi termasuk Best Picture. Bukanlah lebih representative?
Spike Lee dengan jumawa mengatakan “ketika para sejarawan melihat karya seni yang mencerminkan apa yang terjadi sekarang, maka mereka akan melihat film ini sebagai sisi kanan sejarah”.
Oh ya?

Well.. Mari kita tunggu.





Thursday, 17 January 2019

Review Film Glass 2019: Trilogi ini diakhiri dengan cara yg keterlaluan, Anti Klimaks!


Bayangkan apa jadinya dunia ketika tiga orang yang memiliki kekuatan super bertemu dirumah sakit khusus kejiwaan?








Glass merupakan penutup dari trilogy yang dimulai sejak 19 tahun lalu. Unbreakable (2000), Split (2017) dan ditutup oleh Glass (2019). Ini adalah trilogi yang mungkin paling rumit dari semua film-film trilogi yang ada karena potongan potongan kisahnya hampir tidak tersambung dengan jelas satu sama lain. Dua sequel sebelumnya,Unbreakble dan Split hanya terhubung oleh adegan terakhir ketika David Dunn yang diperankan oleh Bruce Willis muncul di akhir film. Setelah James McAvoy yang berperan sebagai Kevin Wendel Crumb, orang gila dengan 24 kepribadian berhasil melarikan diri dari kasus penculikannya.

Berangkat dari dua sequel yang tidak sempurna itu maka Glass diharapkan untuk  menjadi potongan terakhir yang menyatukan narasi Unbreakable 2000 dan Split 2016. Ini adalah film yang mengharuskan kalian untuk menonton dua sequel sebelumnya demi menemukan benang merah. Tentu saja, Elijah Price alias Mr. Glass, yang diperankan oleh Samuel L. Jackson kembali muncul setelah 19 tahun hilang. Tubuhnya yang lemah dengan 94 kali patah tulang tak menghalanginya untuk percaya bahwa ada kekuatan yang dimilikinya. Dari balik kursi roda, ia meyakini bahwa ada orang orang istimewa yang memiliki kekuatan super diluar sana. Kepercayaan yang diambil dari  buku buku komik yang dia baca sejak kecil. Glass juga mencurigai bahwa ada sebuah komunitas didunia ini yang menghalangi orang orang istimewa itu untuk mengembangkan potensi mereka. Menghalangi mereka untuk menunjukan diri. Kedengaran gila memang.. awalnya.

M. Night Shyamalan rupanya berusaha keras agar film ini menjadi penutup yang sempurna setelah kesuksesan Split yang meraih banyak penghargaarn. Glass harusnya bisa lebih baik dari Split, sayangnya kesuksesan James McAvoy dalam memerankan Kevin Wendel Crumb kini menjadi sekedar mitos yang membebani film ini. 

Alur cerita memang berhasil diselamatkan dengan plot yang nyaris sempurna, seperti bagaimana tiga orang ini terhubung oleh kecelakaan kereta Eastrail 177 19 tahun lalu. Fakta bahwa ayah Kevin juga salah satu korban dalam tragedi kereta berdarah itu. Menjawab keraguan bahwa trilogy ini akhirnya terkoneksi secara alamiah tanpa dipaksakan. 

David Dunn sebagai satu satunya orang yang selamat dari tragedy tersebut, kini juga berhasil menyelamatkan 4 orang gadis yang diculik oleh Kevin Wendel Crumb. Upaya penyelamatan itu malah membawanya ke rumah sakit khusus kejiwaan. Di rumah sakit itu, tiga orang itu bertemu dan ditangani secara khusus oleh Dr. Ellie Staple yang diperankan dengan manis oleh Sarah Paulson.
Trilogy ini menggabungkan unsur-unsur thriller, pahlawan super dan juga psikologis ilmiah. Night Shyamalan memang  berpengalaman dengan film film jenis ini. Bisa dilacak dari film-filmnya yang pernah ia garap sejak Praying With Anger di tahun 1992, The Sixth Sense, The Village, The Visit, dan beberapa lainnya. Jika kalian ingin melihat kelebihan dan kelemahan M. Night Shyamalan maka Glass adalah jawabannya. 

Dengan biaya 20 juta dollar atau dua kali lipat dari film Split yang hanya menelan 9 juta dollar, Glass harusnya bisa menjadi lebih berjaya, apalagi didukung oleh aktor aktor ikonik Hollywood.  Nyatanya, film ini tidak lugas memunculkan karakter seperti dalam film Split. Plotnya lambat dan patah juga setting film yang sebagian besar hanya berkutat di Raven Hill Memorial membuat durasi terasa panjang dan membosankan. Ironisnya, Elijah Price alias Mr Glass yang menjadi judul film malah gagal ditampilkan dengan baik. Kekuatan kognitif yang merupakan ciri khasnya tenggelam oleh dialog yang melelahkan. Jika David Dunn mampu menjebol baja atau Kevin Wendel Crumb mampu memunculkan karakter The Beast dalam dirinya. Mr. Glass justru hilang dari adegan adegan kunci. Bagaimana Mr Glass berhasil keluar dari sel nya sangat kabur diperlihatkan

Bruce Willis luar biasa, Samuel L Jackson tak perlu diragukan, James McAvoy sempurna apalagi dia mendapatkan tambahan karakter dari 24 kepribadian yang tidak dimunculkan dalam Split. Tiga actor ini terlihat bersenang senang dengan peran yang mereka mainkan. Hanya saja, terasa ada yang kurang
Kesuksesan Split seakan memberi lisensi bagi Shyamalan untuk bertindak ceroboh dalam memberi ending pada film yang berawal sejak 19 tahun lalu ini.  Bukan waktu yang pendek tapi diakhiri dengan cara yang keterlaluan. Film ini sangat mengecewakan. Sialnya, orang orang yang telah menonton dua sequel sebelumnya mau tidak mau harus membeli tiket untuk memaki diri mereka sendiri karena gagal mencapai klimaks. Mengerikan.

Pada dasarnya, Trilogi ini memang bukan film yang ringan karena mengharuskan penontonnya untuk berpikir. Apa yang membuat frustasi adalah narasi didalam film Glass yang berjalan lurus dan mudah ditebak. Rahasia utama bahwa Dr Ellie Staple ternyata bagian dari komunitas anti hero yang dicurigai oleh Mr Glass tidak cukup memuaskan justru makin membingungkan. Dititik ini, Shyamalan seperti membawa kita tersesat dalam pikirannya yang rumit.. Film ini memang menyedihkan namun tidak sepenuhnya gagal. Paling tidak, 19 tahun sudah diakhiri meski tanpa apa-apa. Glass mungkin sukses menyatukan Unbreakable milik Disney Buena Vista dan Split milik Universal Studio untuk bekerja sama. barangkali, itu adalah kerjasama pertama dalam sejarah film tapi Glass tidak bisa menyatukan imajinasi kita. Setelah pulang kerumah, kita tidak akan lagi mengingat bahwa pernah ada trilogi ini dalam sejarah film. Jika ada yang harus disalahkan maka itu adalah ekspetasi kita.


Thursday, 10 January 2019

ESCAPE ROOM: FILM BAGUS NAMUN GAGAL SEJAK ADEGAN PEMBUKA


Escape Room adalah film thriller tentang enam orang asing yang tidak saling mengenal dipertemukan pada sebuah ruangan dan mereka harus menemukan petunjuk untuk keluar atau harus mati. Sebuah teka teki yang membawa kita pada ketegangan yang menyenangkan
Film karya Adam Robitel ini jelas bukan film orisinal, tetapi cukup menghibur bila ingin mengawali tahun 2019 dengan lompatan lompatan adrenalin didalam bioskop. 

Skenarionya lumayan dengan narasi cepat  yang mau tidak mau menarik kita untuk terus menatap layar. Plot seperti ini jelas bukan yang pertama, beberapa film sejenis pernah muncul seperti Cube, SAW, Belko Experiment, Exam dan beberapa lainnya. Tidak ada yang istimewa

Escape Room mempertemukan jiwa jiwa yang kesepian dan asing satu sama lain. 6 orang ini dipersatukan oleh kesamaan pengalaman masalalu. Mereka semua adalah penyintas terakhir dari tragedy yang meraka alami. Tak satu pun dari mereka yang mempertanyakan keanehan ketika masing-masing dari mereka menerima kotak aneh sebagai pengganti undangan tradisional. Diperankan oleh Logan Miller, Deborah Ann Woll, Taylor Russell, Tyler Labine, Jay Ellis, dan Nik Dodani. Sutradara Adam Robitel juga ikut ambil peran sebagai Gabe.

Zoey seorang pelajar yang pemalu, Ben seorang pekerja keras, pebisnis muda Jason, veteran perang Amanda, mantan penambang Mike dan dan Danny seorang penggemar video game. Mereka harus memecahkan teka-teki di Escape Room dengan iming iming $ 10.000 jika mereka berhasil melarikan diri. Ketika Ben mencoba meninggalkan ruangan, gagang pintu terputus, mengunci mereka di dalam dan memperlihatkan pengukur suhu oven yang terus meningkat. Petualangan mereka dimulai, dari suhu yang panas menuju ruang bersalju yang pada akhirnya menewaskan Danny hingga satu persatu dari mereka mati menyisakan Ben dan Zoey. 
Soundtrack John Carey dan Brian Tyler benar-benar menambah getaran pada setiap momen yang disesaki oleh musik elektronik yang memaksa kita untuk merasakan sensasi seperti sedang menonton film horror. Memang, Adam Robitel tidak terlalu jauh dari film film horror, dia pernah menjadi penulis sekaligus sutradara dalam film The Taking Of Deborah Logan pada tahun 2014, juga terlibat dalam penulisan Paranormal Activity The Ghost Dimension pada tahun 2015 dan menjadi sutradara pada film Insidious The Last Key. Mungkin itu menjadi alasan bagi Colombia Pictures mempercayakan film ini kepadanya.

Escape room memiliki potensi untuk menjadi Thriller yang menawan karena hampir setiap teka-teki utama benar-benar menggetarkan, tetapi karakter itu sendiri yang merupakan masalah terbesar Escape Room. Karakter tokoh yang tidak tajam serta plot yang sederhana menghalangi potensi film ini untuk bergerak maju. Salah satu kegagalan Escape Room yang paling nyata adalah pada adegan pembuka ketika Ben mencoba keluar dari ruangan yang ingin menghimpitnya. Jelas sekali ini langsung menjawab teka teki siapa yang akan selamat terakhir dari game ini. Dipenghujung ujian, saat Ben terlibat perkelahian dengan Jason, kita sudah tutup mata karena sudah ketahuan siapa pemenangnya.
 
Adegan pembuka yang fatal karena menghancurkan kegembiraan. Escape Room juga tidak menawarkan hal yang baru, hanya sekedar penggabungan dari ide-ide dari beberapa film yang pernah ada dan tidak pernah berhasil menjadi orisinil. Meskipun menyegarkan melihat film berbiaya 10 juta dollar ini dengan pemeran utama wanita afro amerika namun film ini masih jauh untuk meledak. Endingnya pun berantakan dengan experiment kecelakaan pesawat untuk menegaskan kepada penonton agar menunggu sequel keduanya. Lagi lagi Adam Robitel menggagalkan film keduanya dengan spoiler dari film pertama ini.  Mari berharap tidak.