Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Showing posts with label Resensi. Show all posts
Showing posts with label Resensi. Show all posts

Thursday 3 March 2016

Spotlight: Film Mainstream paling Nekat yang menyentil Vatikan.

Spotlight

Produksi    :    Universal
Sutradara  :    Tom McCarthy
Biaya         :    20 juta USD


Damn! Itu kata pertama yang harus dikatakan setelah menyaksikan film ini, for sure.. itu bukan makian kepada mereka yang disorot dalam keseluruhan cerita film. Itu kekaguman, edan! Ini film ter’berani’ yang pernah saya tonton. Maksud saya, film Box Office. Okeylah, banyak film diluar sana yang jauh lebih berani dari ini. Film-film yang menyuarakan kritikan atau kebencian yang terang-terangan pada sesuatu tapi itu film-film kelas dua. Pengerjaannya pun abal-abal, film yang bahkan tidak beredar dibioskop. Guys, Spotlight ini beda. Saya sudah menyaksikan ribuan film bahkan saking banyaknya saya sudah tidak bisa lagi mengingat judul tapi ini adalah film mainstream paling nekat yang pernah saya tonton. Saya tidak tahu apa yang ada dibenak Tom McCarthy menyutradarai film ini. Barangkali dia memang nekat, sekedar mencari kontroversi? atau memang tanggungjawab profesionalnya? What the hell... Setelah semua ini, apa dia masih berani datang ke Vatikan?

Yeah.. Film ini adalah film yang diambil dari kisah nyata tentang sekelompok jurnalis dari surat kabar Boston Globe yang mempublikasikan kisah pelecehan sexual anak dibawah umur dalam Keuskupan Boston ditahun 2001 pasca 9/11. Tak tanggung-tanggung 70 lebih Pastur terlibat didalamnya. Film ini dibintangi Mark Ruffalo, Michael Keaton, Rachel McAdams, Liev Schreiber, John Slattery, Stanley Tucci. Mereka memainkan perannya dengan baik. Saya tidak mau mengatakan mereka luar biasa karena karakter yang mereka perankan tidak butuh energi extra seperti Gretta yang ketakutan difilm The Boy, atau peran konyol nan sadis Ryan Renolds di film Deadpool. Mereka tidak memainkan karakter anthem seperti Di Caprio difilm The Revenant. Tidak juga seperti karakter hening yang diperankan Colin Farell di film The Lobster. Atau peran epic nan megah Liam Hemsworth di film In The Heart of The Sea. No! Titik fokus saya adalah apa yang coba diutarakan dalam film. Para jurnalis di film ini, benar benar menohok langsung ke jantung Vatikan. Keberanian mereka mengungkap pelecehan sexual di-Boston seakan kotak pandora yang membuka ratusan kisah pelecehan lain diseluruh dunia dalam Gereja Katolik. Sutradara McCarthy mengerjakan ini dengan segala kemampuannya. Setting awal tahun 2000-an, ketika bunyi telepon genggam masih polyponic juga komputer kantor masih dengan monitor tabung.  Semi klasik. 

Saya menyaksikan Spotlight dengan perasaan campur aduk, ada ketakutan dan kemarahan didalamnya. Perasaan perasaan yang berjalan semakin jauh. Film ini menegaskan bahwa institusi keagamaan bukan hal suci untuk dikritik, tak perduli itu Katolik, Kristen, Islam, Yahudi, Budha, Hindu, Kong Hucu, Zoroaster dan sebagainya. Para jurnalis Boston Globe mempublikasikan hampir 600 kisah tentang skandal ini sepanjang tahun 2002 yang akhirnya membuat 249 Pastor dan Biarawan didakwa didepan umum. Bulan desember 2002, Kardinal Law mengundurkan diri dari Keuskupan Boston. Setelah keberhasilam tim Spotlight membongkar skandal pencabulan tersebut menyusul beberapa tempat didunia juga ikut diungkap dan lebih dari 200 wilayah yang membentang dari Eropa, Amerika, Afrika, Australia dan Asia. Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa keseluruhan institusi agama bisa menjadi sangat cacat akibat ulah segelintir orang didalamnya, yang semakin buruk ketika dilakukan oleh mereka mereka yang dianggap sebagai representasi Tuhan dan itu terjadi pada hampir semua agama. Bukan sekedar pencabulan tapi lebih dari itu. Sejujurnya, saya tidak mau menyalahkan agama karena apa yang terjadi didalam agama baik dan buruk barangkali memang bukan salah Tuhan. Whatever.

Well.. film ini bukan tanpa kritik, sebuah artikel 8 Januari 2016, di The New York Times mengatakan bahwa Spotlight keliru tentang bagaimana Gereja menangani kasus-kasus pelecehan seksual. Dalam artikel itu menuliskan cacat terbesar Spotlight adalah kegagalannya untuk memerankan efek psikolog para pejabat Gereja. Bagaimana para imam yang terlibat bisa aman kembali ke pelayanan setelah menjalani perawatan terapi. Film ini seakan mengabadikan mitos dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dari kisah nyata pelecehan.
Lepas dari itu, saya angkat topi untuk kedewasaan Vatikan yang justru bijak dalam menghadapi kontroversi film Spotlight. Surat kabar Vatikan, L'Osservatore Romano, bahkan memuji Spotlight sebagai upaya meyakinkan untuk menunjukkan penyalahgunaan dan hal yang ditutup-tutupi dalam gereja Katolik. Saya tidak yakin, institusi agama lain akan melakukan hal yang sama seperti Vatikan. Surat kabar L'Osservatore Romano menerbitkan editorial pada halaman depan dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan sutrdara Tom McCarthy bukan sesuatu yang anti-Katolik. Editorial tersebut menyebutkan film Spotlight disajikan sebagai upaya gereja untuk mempertahankan diri dalam menghadapi kenyataan menghebohkan. “Tidak semua monster memakai jubah”. Tulis editorial itu. Pedofilia tidak selalu timbul dari kaul kemurnian, hal itu akan dijadikan pembelajaran bahwa dalam institusi agama beberapa orang lebih sibuk dengan citra lembaga daripada tindakan.

Anyway, dengan segala kontroversinya kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Spotlight mendapatkan puluhan penghargaan termasuk ratusan nominasi diseluruh dunia. Memenangkan BAFTA Awards 2016 dalam katageori Best Original Screenplay, kemudian Hollywood Film Awards dalam katagori Screenwriter of The Year. Di tetapkan sebagai Movie of The Year oleh AFI Awards USA 2016. Alliance of Women Film Journalist memberi Spotlight kemenangan dalam katageri Best Director, Best Writing dan Best Original Screenplay. Film ini juga mencatatkan namanya dalam Autralian Film Institute, Independent Spirit Awards, International Cinephile Society Awards, London Critics Cirlce Film Awards, Toronto International Film Festival, Venice Film Festival dan banyak lagi hingga puncaknya meraih Oscar 2016 dalam katagori Best Motion Picture of the Year, Best Writing dan Best Original Screenplay. Siapa yang meragukan film ini?

Pada akhirnya film hanyalah sekedar film. Interpretasi visual atas peristiwa yang terjadi dimana kebenarannya kadang menyisakan perdebatan. Kekuatan dalam film ini adalah keberaniannya menunjukan pada dunia anomali anomali yang begitu tabu untuk diungkap. 

Mengutip dialog dalam film ini

“ We gotta show people that nobody can get away with this”



Tuesday 1 March 2016

Review Film September Dawn: Kisah Gereja Mormon dan Keberagaman Kita

 


Film ini beredar tahun 2007, diangkat dari kisah nyata berawal dari tewasnya Josep Smith atau seorang yang dianggap Rasul oleh Gereja Mormon atau Latter Day Saints, di Indonesia dikenal dengan Gereja Orang Orang Suci Zaman Akhir. Kemudian memunculkan pembalasan orang orang Mormon. Berangkat dari peristiwa di-bulan September tahun 1857 yang menceritakan pembantaian di Mountain Meadows dengan mengambil nyawa 120 pria, wanita, dan anak-anak. Korban itu adalah mereka yang bepergian dari Arkansas menuju California. Tentu saja film ini meninggalkan kontroversi. Bagi penganut Mormon film September Dawn adalah distorsi sejarah. Namun terlepas dari itu, sutradara Christopher Kain  menggunakan penayangan yang artistik dalam pembuatan film ini untuk memberi kesan bahwa film ini tidak diabaikan dari fakta yang sebenarnya.

Saya mencoba keluar dari kontroversi dengan menarik lebih jauh tentang kekerasan atas nama agama. Sejak awal berdirinya, Mormon dianggap menyimpang dari ajaran Yesus. Namun seiring berjalannya waktu ajaran Mormon berkembang pesat diseluruh dunia. Bahkan politisi Partai Republik Mitt Romney eks Gubernur Massachusetts yang juga calon presiden Amerika ditahun 2012 adalah penganut Mormon yang taat. Ryan Gosling yang terkenal dengan Film The Notebook adalah seorang aktor yang tumbuh besar dalam ajaran Mormon. Saya membayangkan jika film ini adalah film yang menyerang agama mayoritas di Indonesia pasti akan menimbulkan keributan atau bahkan huru hara yang luarbiasa. Kita tidak bisa membayangkan jika salah satu Gubernur di Indonesia dari Ahmadiyah, Syiah, Mormon atau Saksi Jehovah, apa bisa eksis di negara ini? Tentu saja, kita tidak bisa menyamakan Amerika dan Indonesia. Namun sebagai salah satu negara demokrasi terbesar didunia pada saatnya Indonesia akan kompromi dengan hal hal tersebut. Whatever.

Hari ini, kekerasan atas nama agama marak diberbagai tempat di Indonesia. Perang ideologi yang menampilkan sisa doktrin Orde Baru dengan aksi aksi ormas yang melarang peredaran buku, film, acara dan sebagainya. Argumentasi dilawan dengan ancaman. Debat kritis diberangus tanpa memberikan penjelasan rasional. Ironisnya peran negara seakan akan tidak ada. Begitu banyak orang phobia dengan komunisme, liberal atau paham paham dari luar. Barangkali kita sudah lupa, bahwa bahkan agama pun kita impor. Saya meyakini, komunisme sudah jadi bangkai dan pun jika harus bangun lagi hanya sekedar teori diatas meja, hanya sekedar perdebatan intelektual. (sorry to say) Tidak mesti harus setuju dengan Fukuyama namun mau akui atau tidak tapi demokrasi liberal sudah menang sejak politik perestroika Gorbachev lahir. Komunisme sudah tidak perlu ditakuti, apa yang dibawa Marxisme saat ini hanya sebagai acuan ilmu sosial. Tidak lebih.

Kembali ke film tadi, kita harus mengakui, bahwa negara ini terlambat beberapa abad dari negara negara demokrasi lainnya dalam membangun komitmen keberagaman. September Dawn memang hanya soal interpretasi. Namun jika menyimak film itu jelas itu adalah kampanye yang akan membuat penonton membenci Gereja Mormon-Latter Day Saints. Lihat bagaimana dramatisnya peristiwa itu. Wanita dan anak anak dibawa menuju ladang pembantaian lalu ditembak seperti hewan. Sangat vulgar. Anehnya, tidak ada perlawanan-nya yang berarti dari Latter Day Saints untuk membendung opini yang dibangun dalam film ini. Padahal Rasul kedua mereka, Brigham Young dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut. Okeylah.. Mereka menolak membenarkan namun tidak ada hura hara. Tidak ada teror. Tidak ada gesekan yang berarti.
Well, bagaimanapun juga memang tidak bisa membawa hal-hal seperti itu ke indonesia. Kondisi geopol dan sejarah masyarakat kita berbeda dengan negara lain. Namun sekali lagi, kita harus melihat fakta bahwa saat ini Indonesia sedang coba dibawa menghadap ke Timur tengah, Arab, Suriah. Beberapa lainnya mencoba membawa kita ke Barat. Ada juga yang mencondongkan kita ke Rusia, China. Whatever... Keberagaman memperkaya kita. Dan karena keberagaman itulah Indonesia masih tetap eksis hingga hari ini.

Mengutip kata terakhir di-film September Dawn’

"The story of hate will eventually die but the story of love will last forever"


Saturday 26 December 2015

In The Heart of The Sea

Gagal di film Blackhat tapi Chris Hemsworth berhasil menebusnya difilm ini. Salah satu film keren yang pernah gue nonton di tahun 2015. Barangkali, karena dibesarkan dipesisir pantai dengan laut maha luas persis belakang rumah membuat gue jadi bernostalgia. hehehe..

 "When i saw the sea it feels like home"

Wednesday 11 November 2015

Reviews Film The Stanford Prison Experiment: Ketika Prilaku Manusia Diubah Oleh Kekuasaan


Sutradara: Kyle Patrick Alvarez

Produksi  : IFC Film









If you want total security, go to prison. There you're fed, clothed, given medical care and so on. The only thing lacking... is freedom.

-D. D. Eisenhower-












Institusi dimana kita berada secara nyata memberi efek para prilaku kita. Berbagai macam penelitian membuktikan hal tersebut. Seperti yang terjadi difilm ini, sebuah studi klasik tentang psikologi didalam penjara dimana topik itu sering dibahas dalam pengantar psikologi. Film ini diambil dari buku berjudul Lucifer Efffect yang didasarkan oleh kisah nyata. Buku itu ditulis sendiri oleh pelaku-nya Dr Philip Zimbardo seorang Profesor psikology dari Stanford University.
The Stanford Prison Experiment diputar perdana pada bulan Januari 2015 di Sundance Film Festival. Disutradari oleh Kyle Patrick Alvarez dengan beberapa aktor ternama semisal Billy Crudup, Ezra Miller dan Michael Angarano. Pada film ini, Dr Philip Zimbardo yang diperankan Billy Crudup dengan beberapa koleganya melakukan sebuah eksperimen simulasi penjara dengan menempatkan para tahanan dan sipir selama dua minggu. Eksperimen tersebut dilakukan di kampus Stanford pada musim panas ditahun 1971. Dimana ruangan dalam kampus dibuat semacam penjara lengkap dengan lorong-lorongnya. Sel-sel penjara tiruan kecil dibentuk, ada ruang kecil untuk halaman penjara, kurungan, dan ruang yang besar untuk para sipir. Para tahanan tinggal di sel mereka sampai akhir penelitian. Para peneliti mengadakan sesi orientasi sebelum masa eksperimen, mereka memerintahkan para sipir untuk tidak secara fisik membahayakan para tahanan. Para sipir disediakan tongkat kayu untuk membangun status mereka, pakaian yang mirip dengan sipir penjara yang sebenarnya dan kacamata hitam untuk menghindari kontak mata. Tahanan mengenakan pakaian yang tidak nyaman, dengan stocking topi, serta rantai di salah satu pergelangan kaki. Sipir telah diperintahkan untuk memanggil para tahanan dengan nomor yang ditetapkan, bukan dengan nama.

"Kalian bisa membuat para tahanan untuk merasa bosan juga takut, kalian dapat membuat ide sewenang-wenang bahwa hidup mereka benar-benar dikontrol oleh kita, oleh anda, saya, oleh sistem! Dan mereka tidak akan memiliki privasi. Artinya, dalam situasi ini kita memiliki kekuasaan dan mereka tidak.”


Pada awalnya, Zimbardo dan timnya bertujuan untuk menguji hipotesis bahwa ciri-ciri kepribadian yang melekat dari tahanan dan sipir merupakan penyebab utama perilaku kasar di penjara. Peserta direkrut melalui iklan di surat kabar dan dari  75 responden mereka memilih 24 laki-laki yang dianggap yang paling stabil dan sehat secara psikologis. Para pesertanya rata rata dari kelas menengah. Film ini hampir mirip semi dokumenter, tentu sedikit membosankan dengan latar yang berputar ditempat yang sama. Konflik yang terjadi difilm ini seputar pertentangan antara sipir penjara dan tahanan dan diluar dari itu hanya perenungan batin Dr Philip Zombardo karena secara tidak langsung dia mulai  terlibat secara emosi dalam simulasi yang dibuat-nya sendiri. Ketika beberapa koleganya tidak tahan lalu memilih berhenti, Zombardo pun sadar bahwa eksperimen itu tidak akan selesai dari waktu yang direncanakan. Lihat, bagaimana dalam simulasi itu para sipir penjara yang dihari pertama masih normal hingga menjadi berubah kejam dalam prosesnya. Ironisnya, para tahanan lambat laun mulai merasa bahwa apa yang terjadi para mereka bukan lagi simulasi tapi sebuah kenyataan. Intimidasi yang mereka rasakan memperlemah daya juang mereka. Percobaan tersebut hanya berlangsung 6 hari dari dua minggu yang direncanakan. Bahkan dua diantara 9 tahanan memilih keluar padahal simulasi belum juga seminggu.
Saya melihat film ini sebagai studi psikology, dimana prilaku akan berubah drastis ketika orang memiliki resourche of power. Setiap orang yang memiliki kekuasaan akan cenderung intimidatif, karena mereka merasa memiliki legitimasi untuk itu. Perubahan prilaku bisa disebabkan oleh sebab-sebab alamiah namun keadaan disekitar, institusi dimana kita berada sangat berperan dalam menentukan perubahan prilaku kita.
Film ini cocok bagi mereka yang belajar psikology. Sutradara Kyle Patrick Alvarez memang tidak menawarkan banyak drama sebagaimana  adanya film film dokumenter  tapi setiap adegan dalam film menarik untuk ditunggui. Bagaimana orang-orang yang awalnya baik kemudian bisa berubah drastis akibat legitimasi kekuasaan ditangannya. Film ini bagi saya adalah sebuah kritik terhadap kehidupan penjara.





Wednesday 4 November 2015

Resensi Film The Longest Ride: Bahkan Nicholas Sparks memungut cinta di-Black Mountain


Produksi        : FOX 2000 Picture

Sutradara      : George Tillman, Jr


Biaya              : USD 34 juta







Dimanapun cinta terbit selalu diharapkan berakhir bahagia, dan setiap film-film cinta romantis yang happy ending maka Nicholas Sparks adalah jagoannya. Iya. Bila sedang kusut, bete dan sedang mood jelek, cobalah untuk tonton salah satu film-nya maka semua bayanganmu tentang dunia akan menjadi lebih manis. Paling tidak, Itu-lah yang saya rasakan setiap menonton film yang diadaptasi dari novel pria Amerika ini. Saya menjadi salah satu fans berat laki-laki 50 tahun itu. Sejak The Notebook, Walk To Remember, Save Haven, Lucky One dan beberapa lainnya sampai yang terakhir The Best of Me. Meski jujur, saya mengenal Sparks bukan dari novel-novelnya. Sutradara-sutradara handal yang kreatif berhasil menjembatani novel-novel itu menjadi film hingga membuat saya mencari tahu siapa Nicholas Sparks lalu menunggui karya-nya seperti menunggui mangga matang persis dibawah pohonnya. Hahaha, 
Ah, sudahlah.. siapa yang tak pernah nonton The Notebook? Message in a Bottle? Eh, Belum? malang sekali.

Anyway, The Longest Ride merupakan film terbaru Nicholas Sparks yang disutradarai George Tillman, Jr dan menampilkan Scott Eastwood dan Britt Robertson sebagai pasangan muda yang jatuh cinta meski memiliki banyak perbedaan. Oona Castila Chaplin, cucu dari superstar Inggris Charlie Chaplin ikut ambil bagian di film ini. Dia apik sekali memainkan peran Ruth Levinson seorang wanita yang begitu mencintai seni. Begitu mencintai kehidupan.

Well, saya tidak perlu risau menceritakan bagaimana alur film, tontonlah dan hakimi sendiri. Beberapa kritikus film memang tidak terlalu antusias pada The Longest Ride bahkan faktanya, film ini gagal melampaui Fast and Furious 8 di Box Office tapi saya tidak peduli. Bagi saya film ini keren. Okey, benar memang kisah cinta-nya mudah ditebak dengan akhir yang membuat semua orang bertepuk tangan. Bukan karena itu. Edan. Lupakan Luke Collins. Percayalah.. dia pasti akan berakhir bahagia dengan Sophia Danko. Dan Ira Levinson apakah dia bisa bertemu lagi dengan Ruth-nya? Aihh, barangkali, Saat ini mereka sedang berpelukan di-surga sambil menertawai kita yang sibuk menerka-nerka. Hahaha..

Saya takjub pada latar filmnya, North Carolina.
North Carolina adalah salah satu dari ketigabelas Koloni pertama, dahulunya dikenal sebagai Carolina. Joara, sebuah desa berpenduduk asli Amerika. Pada 1567 negara bagian ini menjadi lokasi Fort San Juan, pemukiman kolonial Spanyol yang pertama di pedalaman dari apa yang kemudian menjadi Amerika Serikat. Negara bagian ini juga merupakan lokasi koloni Inggris pertama di benua Amerika. Panorama-nya yang western banget sudah membuat saya jatuh hati.




Secara khusus, film ini lagi lagi membuat konsentrasi saya terusik hingga harus mencari tahu tentang Black Mountain College  (1933-1957). Sekolah seni yang didirikan pada tahun 1933 di North Carolina, sebagai percobaan dari “Pendidikan dalam Demokrasi," dengan ide bahwa seni kreatif dan tanggung jawab praktis sama pentingnya dengan perkembangan intelek. Penekanannya adalah belajar dan hidup itu harus terhubung erat. Drama, musik, dan seni rupa dianggap sebagai bagian integral dari kehidupan kampus. Sekolah itu menjadi satu titik penting dalam sejarah pendidikan di Amerika yang menjadi antitesis model pendidikan tradisional saat itu. Sekolah itu mendidik siswanya dengan semangat kebebasan, lintas disiplin, seni, tidak memisahkan antara bekerja dan bermain, serta hubungan egaliter antara guru dan siswa dimana guru dan siswa sama-sama bekerja dalam mengurus kampus (bangunan, administrasi, hingga makan siang). Pada akhirnya Black Mountain College sudah tak lagi ada, namun jejaknya sangat berpengaruh dalam sejarah perkembangan seni di Amerika. Menjadi salah satu hasil kreasi yang tak biasa sepanjang sejarah peradaban manusia. Dan inilah yang membuat saya mengernyitkan dahi, bagaimana Nicholas Sparks menggabungkan ide tersebut? Menjadikan sekolah yang bahkan tak pernah terakreditasi serta dijalankan dengan anggaran minim itu sebagai monumen lalu membungkusnya dengan kisah cinta dua zaman hingga layak untuk di tonton. Tentu saja peran George Tillman, Jr sutradara kulit hitam yang terkenal dengan Man of Honour-nya ini juga harus diacungin jempol. Yeah! Gegara dua orang ini, saya jadi punya impian untuk melanjutkan study ke  North Carolina University. (aminnn) hahaha..
Siyal... Siapa yang tidak mau ke Grandfather Mountain, Lake Norman, Asheville, Neuse River, Old Salem Museum? Jockey's Ridge State Park, International Civil Rights Center, The Blowing Rock? Mordecai Museum? Museum of the Cherokee Indian, Pullen Park, Cataloochee Ski Area? Atau Horn in the West, Topsail Island? dan North Carolina Music Factory?dan tentu saja artefak Black Mountain College! Saya menyarankan, sebelum kiamat benar benar tiba, tempat tempat itu harus didatangi, hehehe.
Nicholas Sparks sudah memberi pesan bahwa dunia ternyata tak sependek jalan pikiran para jomblo dan cinta adalah sesuatu yang harus dirayakan. Mau bukti? Luke anak desa di North Carolina yang tidak tahu apa apa selain mengendarai banteng bisa membuat Sophia anak kuliahan rela untuk meninggalkan Manhattan.
Btw, Luke difilm ini juara dunia Rodeo loh.. :D


Wednesday 19 November 2014

Resensi Film Interstellar: "ketika sumber daya alam menjadi langka, peradaban bumi terancam mundur dan masyarakat agraris diambang kehancuran"

Interstellar

Sutradara: Christopher Nolan

Produksi: Warner Bro’s, Paramount



" Marahlah pada cahaya yang mulai meredup, usia tua harus membara dipenghujung jalan, jangan masuk pada malam indah dengan cara yang mudah"



Saya curiga, Christopher Nolan bukan manusia tapi mahluk dari planet luar. Sutradara berkebangsaan Inggris dan Amerika ini seakan terobsesi hidup digalaxy lain, deretan film yang disutradarainya seperti melewati batasan batasan imajinasi. Kegilaan Nolan adalah kegeniusannya, kegilaan yang membuatnya pantas diperhitungkan dalam dunia perfilm-an, sebut saja Memento (2000), Insomnia (2002), Batman Begins (2005), The Prestige (2006), The Dark Night (2008), Inception (2010), The Dark Night Rises (2012) dan yang terbaru Interstellar adalah bukti, sutradara buta warna (merah-hijau) ini benar benar percaya jika akal manusia mampu menyingkap rahasia semesta.

Interstellar adalah film yang  terilhami dari teori relativitas fisikawan Kip S Thorne mengenai Wormhole (lubang cacing) dan medan gravitasi. Kip S Thorne meyakini bila Wormhole (lubang cacing) adalah medan yang mempunyai gravitasi kuat dan dapat dipakai sebagai mesin waktu.

Film ini dibintangi oleh Matthew McConaughey, Anne Hathaway, Matt Damon, Jessica Chastain, Mackenzie Foy, Casey Affleck, Michael Caine, Topher Grace, Wes Bentley, Ellen Burstyn, Bill Irwin, John Lithgow, David Gyasi, Timothee Chalamet, David Oyelowo.

Tersebutlah, ketika bumi terancam tak lagi layak untuk dihuni. Badai debu dan krisis makanan memaksa manusia harus mencari alternatif lain diluar bumi untuk ditinggali. Cooper (Matthew McConaughey), duda yang ditinggal mati istrinya adalah mantan pilot NASA yang menjadi petani dan tinggal bersama ayah mertuanya, anak laki lakinya dan putrinya yang berumur 10 tahun bernama Murphy (Mackenzie Foy) .

Murphy, bocah perempuan yang sangat dekat dengan ayahnya percaya kamarnya dihantui dan hantu itu mencoba berkomunikasi dengannya. Pada awalnya Cooper mengabaikan celotehan putrinya namun ketika badai debu melanda rumah mereka, Cooper dan Murphy melihat pesan dari sosok tak berbentuk yang mereka sebut hantu itu, pesan yang dikirim dengan menggunakan gelombang gravitasi, pesan yang mengungkap koordinat biner dalam debu dan mengarahkan mereka menuju instalasi rahasia milik NASA yang dipimpin oleh Profesor Merek (Michael Caine ) .

Kedatangan Cooper ke instalasi rahasia NASA menjadi awal drama difilm ini, apalagi ketika Profesor Merek mencoba merekrut Cooper dalam misi Lazarus, misi untuk menjelajahi angkasa demi menemukan planet baru sebagai pengganti bumi yang sudah tidak lagi layak untuk di huni, profesor Merek mengungkapkan bahwa Wormhole (lubang cacing) ternyata diciptakan oleh suatu kecerdasan alien, kecerdasan alien itu menawarkan kesempatan bagi kelangsungan hidup manusia di planet baru. NASA telah mengidentifikasi tiga planet berpotensi untuk dihuni yang mengorbit dilubang hitam Gargantua.

Pada misi tersebut, Cooper bergabung dengan putri Merek, seorang ahli biologi Amelia Merek (Anne Hathaway), fisikawan Romilly (David Gyasi), ahli geografi Doyle (Wes Bentley) dan dua robot buatan cerdas, TARS (disuarakan oleh Bill Irwin) dan CASE (disuarakan oleh Josh Stewart). Keputusan Cooper bergabung dalam misi tersebut menghancurkan hati putrinya, Murphy. Perpisahan Cooper dengan putri kesayangannya pada akhirnya membuatnya mampu menembus rahasia ruang waktu

Film berdurasi hampir tiga jam ini memang cukup menyita konsentrasi. Bagaimanapun juga pilihan Warner Bro’s mempercayakan Interstellar kepada Christopher Nolan adalah keputusan yang sangat tepat. Apalagi adiknya Jonathan Nolan membantunya sebagai penulis scrip.

Interstellar, luarbiasa!

Monday 10 November 2014

Resensi Film: John Wick "Keanu Reeves memang ditakdirkan untuk menjadi keren!"

 John Wick
Sutradara: Chad Stahelski
Produksi: Summit Entertaimen

 


Keane Reeves itu keren dan dia ditakdirkan untuk menjadi keren. John Wick adalah salah satu bukti bagaimana dia menjadi keren. Sejujurnya, saya tidak pernah menyukai film film Keanu Reeves yang bergenre action. Disaat dulu The Matrix menjadi trendsetter, saya adalah orang yang tidak pernah menyukai film itu, bahkan bagi saya Ronin pun bukan menjadi destinasi. Saya lebih menyukai Keanu Reeves di film-film drama semisal Lake House atau Sweet November. Dan sesungguhnya wajahnya yang lembut lebih manis jika difilm drama, menurut saya.

John Wick adalah film yang saya nonton secara tidak sengaja dan mau tidak mau mengubah semua persepsi. Film itu adalah salah satu film yang dari scene awal hingga akhir membuat saya tidak mau mengedipkan mata. Menegangkan. Meski harus diakui, alur cerita difilm ini juga mainstream, namun Chad Stahelski lebih inovatif mengemas film ini menjadi tontonan yang menarik. Seakan tidak ada drama yang kadang disisipkan dalam film action. Film ini murni tentang balas dendam. Darah, kemarahan juga senjata yang dikokang menjadi pelajaran bahwa didunia ini semua ada harganya.

Tersebutlah John Wick (Keanu Reeves), mantan pembunuh bayaran yang ditakuti karena kepiawaiannya dalam menghabisi orang tanpa ampun. Kematian istrinya membuatnya begitu sentimentil. Satu satunya kenangan dari istrinya adalah seekor anjing yang jadi pelipur kesendiriannya
Sayang sekali, anjing itu dibunuh oleh aksi ugal ugalan Ioasev Tarasov (Alfie Allen)  pemuda tanggung anak bos besar mafia yang juga mencuri mobil mustang milik John Wick. Ioasev menganggap itu remeh, apalagi ayahnya Viggo Tarasov (Michael Niqvist) adalah mafia besar yang memberinya banyak kemudahan. Ketika ayahnya yang juga pernah menjadi klien John Wick dimasalalu mengetahui persoalan itu, ayahnya gentar. Viggo tahu betul John Wick, dan dia juga tahu bahwa dia harus mendahului jika tidak anaknya akan terbunuh.

Disisi lain, John Wick seperti dihadapkan pada pilihan untuk kembali menjadi dirinya dimasalalu. Kemarahannya tak bisa dibendung, anjing yang dibunuh dengan sadis itu adalah satu satunya yang tersisa dari mendiang istrinya. John membara dan dia menginginkan nyawa Ioasev sebagai pertanggungjawaban. Walau anak itu dijaga oleh kaki tangan Viggo, John tak kenal ampun. Pada akhirnya, aksi ugal ugalan Ioasev menghancurkan semua yang sudah dibangun oleh ayahnya sendiri. Kebrutalan John Wick dalam memburu Ioasev seperti pembunuh berdarah dingin yang menganggap nyawa manusia sekedar lembaran daun daun kering.

Film ini mengajarkan bahwa hal hal kecil yang kita lakukan bisa berakibat fatal, hal hal yang kita tidak anggap sebagai masalah justru menjadi kutukan yang mengejar kemanapun kita pergi. Dalam Film berdurasi 101 menit ini, Chad Stahelski juga dibantu David Leitch dalam penyutradaraan. Bagi David Leitch film ini adalah debutnya setelah sebelumnya, Leitch hanya dikenal sebagai aktor, pemeran pengganti, penulis naskah dan juga koordinator pemeran pengganti.

Film ini keren! Dan Keanu Reeves itu luarbiasa keren.

Sunday 2 November 2014

Resensi Film: Left Behind "Film ini menegaskan kebangkrutan Nicolas Cage "

 Left Behind

Produksi: Entertaiment One/ Stoney Lake Entertaiment

Sutradara: Vic Amstrong


Beberapa waktu lalu saya mendengar desas desus, Nicolas Cage dikabarkan sedang berjuang melawan kebangkrutan. Awalnya saya kurang yakin, namun film ini menegaskan asumsiku Nicolas Cage sudah benar benar bangkrut hingga mau menerima tawaran main di film ini. Sorry om Nicky! Saya menghabisimu disini
Left Behind adalah film yang dibuat berdasarkan buku seri karya Tim Lahaye dan Jerry Jenkins yang telah terjual 65 juta kopi diseluruh dunia. Dalam buku tersebut alur ceritanya diambil dari nubuat pengangkatan yang dikisahkan Yohanes dalam kitab wahyu. Saya tidak tahu apa motivasi Nicolas Cage berperan di film religi ini. Mark Cage, kakaknya adalah seorang pendeta dan Mark merupakan orang dibalik keikutsertaan Nicky difilm ini. Bisa saja, itu untuk mengatakan kepada dunia soal keimanannya. Apapun alasannya, film ini adalah film Nicolas Cage yang paling jelek yang pernah saya tonton.

Om Nicky, mungkin pacar pacar kami menyukaimu dan film ini adalah tempat terbaik memakimu



Saya curiga, Hollywood mulai kehabisan ide atau trend baru di dunia film, entahlah. Film film religi bergenre sama seperti Kiamat Sudah Dekat di Indonesia mulai mewabah dilapak – lapak DVD bajakan.  Film film tersebut belum banyak yang berhasil masuk ke Box Ofice, kehadiran Left Behind di bioskop menjadi semacam penanda sebuah trend baru. What ever!

 Anyway, karakter Nicolas Cage sebagai Family guy dibeberapa film-nya juga bisa ditemukan di film ini. Vic Amstrong tidak mau melepaskan itu, sutradara yang juga pernah menggarap The Adventure of  Young Indiana Jones ini mungkin sadar bahwa itulah gimmick Nicolas Cage. Entah kebetulan atau tidak, beberapa film Nicolas Cage semacam Con Air, Face Off, Trespass atau Tokarev yang terbaru selalu memberinya peran sebagai seorang ayah yang memiliki anak perempuan. Pun di film ini.

Sayang sekali, saya tidak menemukan seorang Nicolas Cage yang biasanya, narasi dalam film yang datar. Memungkinkan saya untuk memaki Om Nicky. Left behind, film jelek!
Berperan sebagai seorang pilot yang berjibaku untuk menyelamatkan para penumpang ditengah dunia yang kocar kacir akibat orang orang menghilang secara tiba tiba. Nicolas Cage (Rayford Steele) berusaha menenangkan penumpang yang histeris. Pada akhirnya dia harus mendaratkan pesawat namun setiap bandara sudah tak lagi beroperasi.
Chloe (Cassi Thompson) adalah anak perempuannya, karakter anak gadis menjelang dewasa yang kebingungan ketika adiknya hilang dari genggaman tangannya. Chloe berusaha kembali kerumah namun tercengang ketika mendapati ibunya juga menghilang.

Diakhir film, Vic Amstrong gagal mendeskripsikan secara gamblang, bagaimana orang orang itu menghilang. Siapa yang bertanggungjawab atas itu semua? Dan ada dimana orang orang yang hilang itu? Di Surga? Wow!







 





Saturday 25 October 2014

Resensi Film: FURY "Perang adalah Neraka"

Fury

Sutradara: David Ayer

Produksi; Sony Picture

 

 
Ideology selalu bicara tentang perdamaian tapi sejarah selalu berisi kekerasan

Perang adalah antitesis humanisme, dalam perang tak pernah ada pemenang yang sesungguhnya karena yang kalah akan terbunuh dan yang menang pasti juga mati. David Ayer seperti sengaja membawa kita untuk  melihat langsung pertempuran darat jarak dekat, tank melawan tank, prajurit melawan prajurit, saling membunuh untuk mempertahankan hidup. David Ayer juga melibatkan mantan kru tank Perang Dunia II Peter Comfort (90), sebagai penasihat untuk film ini. Tak heran, kita seperti berada langsung didalam tank.

Film ini adalah kisah perjalanan beberapa tentara Amerika yang ditugaskan digaris depan untuk menggempur Nazi Jerman pada bulan April 1945. Mereka ditugaskan untuk masuk ke wilayah Jerman dengan bersenjatakan tank baja Sherman, yang diberi nama Fury.
Sersan Don Wardaddy yang diperankan apik oleh Brad Pitt dan tiga orang anak buahnya, Boyd Bible Swan (Shia LeBeouf), Grady Travis (Jon Bernthal) dan Trini Gordo Garcia (Michael Peña) baru saja kehilangan asisten pengemudi hingga kemudian Norman Ellison yang diperankan oleh Logan Lerman ditugaskan untuk bergabung dalam tim. Norman adalah seorang juru ketik yang baru 8 minggu bertugas dimiliter. Drama dimulai ketika remaja itu harus melihat sendiri perang dan kematian didepannya. Pergumulan emosi dan kepahlawanan menjadi satu dalam ribuan nyawa yang terkubur.

Sebelum kedatangan Norman, Don Wardaddy dan anak buahnya melihat perang dengan sinis, antara membunuh atau dibunuh, tak ada moralitas dalam perang. Mereka bahkan lupa berapa liter darah yang telah mereka tumpahkan atau berapa kawan seperjuangan yang telah terbunuh. Mereka tak begitu peduli soal nasionalisme, bagi mereka dimanapun Nazi harus tumbang.

Secara umum, film itu bertutur tentang pergolakan psikis para tentara. Bagaimana perang memaksa orang orang baik harus memburu nyawa dan kematian begitu dekat seperti bayangan yang mengejar karena setiap detik tak bisa diprediksi apakah esok masih ada atau tidak.

Setiap ideology adalah perdamaian tapi sejarah adalah kekerasan, begitu kata Don Wardaddy (Brad Pitt) ketika memaksa Norman Ellison ( Logan Lerman) untuk menembak tentara Nazi yang ditangkap. Norman tetap menolak untuk menembak meski akhirnya terpaksa diharus dia lakukan. Fury tidak menitik beratkan pada sosok Don Wardaddy yang heroistik. Pertentangan emosi Norman menjadi salah satu pemanis di film ini.  Juru ketik muda yang bahkan takut mendengar bunyi senjata, yang bahkan masih ngeri melihat darah pada akhirnya harus tegas menerima kondisi dan mulai terbiasa untuk membidik musuh.

David Ayer terbilang sukses meramu film menjadi tontonan yang menarik bagi para penggemar film film perang. Meski sedikit membosankan dengan durasi lebih dari dua jam dan alur yang agak lambat. Keterlibatan Peter Comfort sebagai mantan kru tank Perang Dunia II tak bisa dianggap biasa. Barangkali karena kehadiran Comfort menjadikan Fury seperti melihat perang dari dalam Tank.

Sunday 12 October 2014

Resensi Film: A Walk Among The Tombstones

A Awalk Among The Tombstone
Sutradara: Scott Frank
Produksi: Global Multimedia Video






Sejujurnya, saya selalu menyukai Liam Neeson dalam film film thriller. Ekspresi wajahnya dingin sangat pas memerankan ayah yang baik seperti dibeberapa sequel film Taken. Beberapa minggu lalu, saya juga menonton filmnya yang berjudul Third Person.Om yang satu ini memang tidak ada pudarnya! Di Film bergenre drama tersebut Liam Neeson berperan sebagai penulis yang memiliki affair dengan seorang perempuan muda.

Film A Walk Among The Tombstones diangkat dari novel misteri karangan Lawrence Block. Seperti film film action lainnya, arahnya sudah bisa ditebak. Selalu butuh penjahat dan selalu ada pahlawan. Liam Neeson berperan sebagai Matt Scudder seorang mantan polisi NYPD yang menjadi detektif swasta. Matt adalah alkoholik yang kemudian tobat dan mencoba melupakan masalalunya.

Ketika penculikan beberapa wanita yang terkait dengan bandar heroin menjadi misteri yang tak terpecahkan, Kenny Kristo ( Dan Stevens) sangat dendam saat istrinya diculik oleh dua orang yang menggunakan mobil Van. Meski dia sudah membayar uang tebusan, mereka tetap membunuh istrinya dengan brutal. Lewat adiknya, Peter Kristo (Boyd Holbrook) dia lalu menyewa Matt yang awalnya menolak karena tak ingin terlibat dalam balas dendam namun berubah pikiran ketika Kenny memperdengarkan rekaman pembunuhan istrinya. Petualangan Matt pun dimulai.

A Walk Among The Tombstones sempat menduduki peringkat kedua di Box Office dengan keuntungan 13, 1 juta dollar dipekan pertamanya meski demikian saya tidak beranggapan film ini istimewa, untuk ukuran film Thriller action film ini hanya menambah daftar koleksi yang ditonton saat senggang. Namun jika kalian penggemar Liam Neeson maka tak ada salahnya film ini dijadikan salah satu pilihan. Sutradara film, Scott Frank yang juga pernah terlibat dalam film Wolverine sepertinya sengaja mempertahankan karakter Liam Neeson sebagai aktor Thriller Action.
Kehadiran Brian Bradley, rapper cilik peserta X factor yang memerankan TJ, seorang bocah kulit hitam dengan antusiasme tinggi untuk membantu Matt Scudder cukup berhasil membuat film ini menghibur. Karakter bocah yang ingin menjadi pahlawan dengan keterbatasannya. Seru!

Well, berhasilkan Matt membongkar sindikat penculik ini? Mengapa korban selalu berhubungan dengan bandar heroin? Ayo ditonton, akting Om  Neeson masih memikat kok..

Friday 10 October 2014

Resensi Film Dracula Untold "terkadang pahlawan adalah mereka yang dihujat seperti setan"

Dracula Untold
Sutradara: Gary Shore
Produksi: Universal Picture
Biaya: USD 100 juta




"Terkadang didunia ini, orang-orang tidak lagi butuh pahlawan tapi mereka butuh monster"

 





Ada jutaan kelelawar yang menghancurkan balatentara, ada petir yang menyambar-nyambar ketika satu orang laki laki berlaga dimedan perang dan membunuhi ribuan pasukan. Matahari pun terlambat turun untuk memberi jalan bagi Sang Dracula menuntaskan aksinya. Begitulah, dengan biaya produksi yang mencapai 100 juta dollar, Universal sepertinya tidak mau main main dengan film ini. Efek suara dan tata cahaya yang dibuat maksimal menjadi bukti bahwa film Dracula Untold pantas untuk bertahta di Box Office.
“Kecantikanmu yang tiada tara membuat dunia begitu malu” rayu sang Pangeran.
“Rayuan adalah pengalihan dari kebenaran” jawab Permaisurinya

Film ini mengungkap sisi dramatis Dracula, seorang pangeran yang harus bersekutu dengan iblis demi keluarga dan kemerdekaan bangsanya. Tersebutlah ditahun 1444, ketika kerajaan kecil Transyvalnia berada dalam kekuasaan Turki. Anak anak dinegeri itu dipaksa untuk menjadi bala tentara Turki.
Pangeran Vlad (Luke Evans) yang menjadi penguasa Transyvalnia sebenarnya sudah mengalah, ketika utusan Sultan Mehmed (Dominic Cooper) mengambil upeti kerajaan. Namun semua berubah ketika Turki memaksa Transyvalnia harus menyerahkan 1000 anak dan putra laki lakinya yang bernama Ingretias (Art Parkinson) untuk dibawa ke Turki.
Vlad tidak punya pilihan lain, negosiasinya dengan Sultan Mehmed gagal. Meski istrinya, Mirena (Sarah Gadon) memohon dengan menangis agar putra mereka tak dibawa. Vlad tak bisa menolak keinginan Turki. Dia tahu, Transyvalnia akan hancur jika dia berani melawan.
Dracula Untold bukan saja film tentang monster bengis yang menghisap darah tapi tentang tanggung jawab seorang raja, seorang ayah. Bagaimana pedihnya pangeran Vlad ketika Ingretias putra satu satunya harus dibawa ke Turki. Sayangnya, dalam proses penyerahan itu tiba tiba Vlad berubah pikiran. Tanpa ampun dia membunuh utusan Turki yang akan membawa putranya.
Sultan Mehmed berang, pasukan pun dikirim untuk menghukum kerajaan kecil itu. Vlad tak punya pilihan lain, dia harus mencari cara untuk menyelamatkan kerajaannya.
“kadang kadang didunia ini orang orang tidak butuh pahlawan, mereka butuh monster” kata Vlad dalam film ini.

Diawal film, dibuka dengan perjalanan Vlad ke gunung gigi patah. Tempat Monster Dracula (Charles Dance) bersemayan. Demi bangsanya, Vlad pun harus kembali kesana tapi kali ini bukan sekedar berkunjung. Dia akan bersekutu. Menyerahkan jiwanya agar mendapatkan kekuatan untuk bertahan dari gempuran Turki. Sang Monster memberi dia waktu 3 hari, jika Vlad mampu bertahan tanpa menghisap darah manusia maka dia akan kembali normal. Sayang sekali, kematian Mirena membuat semua tak berjalan sesuai rencana. Dari situlah, kutukan Dracula bermula. Vlad harus meminum darah demi menyelamatkan anak satu-satunya.
Mampukah Vlad menyelamatkan Ingretias yang diculik pasukan Turki?  dan bagaimana Vlad harus memberikan penjelasan kepada rakyatnya yang marah karena dia bersekutu dengan iblis? Apa ada kehidupan lain yang akan mempertemukannya dengan sang istri?

“Kenapa kita harus takut berpisah jika ternyata kita telah dipertemukan dikehidupan sebelumnya”










Resensi Film: Annabelle "ini bukan film horor, tapi lebih konyol dari film drama"

Annabelle
Sutradara: John Leonetti
Produksi: Warner bro's 2014
Biaya USD 5 juta



Salah jika kalian mengira bahwa Film Annabelle akan sama atau melebihi seremnya The Conjuring. Salah banget! saya pun harus membuang ekspetasi itu ditong sampah.
Annabelle yang diproyeksikan sebagai spin off dari The Conjuring malah terkesan sekedar mendompleng kesuksesan film yang disutradarai James Wan itu.
Tagline di poster film yang bertuliskan Before Conjuring there was Annabelle itu terdengar seperti pepesan kosong. Saya tidak menemukan benang merah antara The Conjuring dan Annabelle. Barangkali, karena di film ini James Wan hanya berperan sebagai produser? Entahlah.
Film ini mengajak kita mundur di tahun 70an di California, ketika sepasang suami istri: Mia (Annabelle Wallis)  dan John (Ward Horton) sedang mencoba menikmati kehidupan pernikahan mereka. Teror dimulai saat John memberikan Mia hadiah boneka bergaun putih. Entah bagaimana kehadiran boneka tersebut malah mengakibatkan hal hal yang aneh, dimulai dari tetangga yang kerasukan hingga terjadi pembunuhan lalu rumah mereka kebakaran dan memaksa keluarga kecil itu berpindah tempat tinggal.
Tempat tinggal baru Mia dan John adalah sebuah apartemen tapi teror tidak berhenti malah makin bertambah. Boneka yang telah dibuang John tiba tiba muncul kembali. Mia belum mengetahui jika sumber dari kengerian itu justru boneka yang diletakan dikamar bayi perempuan mereka.
Well, ada banyak  kejanggalan dalam Annabelle misalnya apa hubungan sekte Charles Manson yang ditampilkan diawal-awal film dengan Mia dan John? Jika Annabelle adalah prequel dari The Conjuring, mengapa sepasang paranormal pemburu hantu Ed dan Lorainne Warren yang dulu diperankan Patrick Wilson dan Vera Farmiga tidak dimunculkan difilm ini? Alasan apa yang mendasari hingga Evelyn (Alfre Woodard) harus mengorbankan nyawanya demi Mia diakhir film?
Narasi yang dibangun dalam film ini sangat gamblang, konflik pun datar dan cenderung mudah ditebak. Darah, teriakan ketakutan yang biasanya ditampilkan maksimal dalam film film horor sangat minim difilm ini. Saya sendiri harus mengatakan bahwa film film horor buatan rumah produksi abal abal pun masih jauh lebih ‘nyeremin’.  Annabelle adalah film horor paling buruk yang pernah saya nonton dibioskop. Dibandingkan The Counjuring dengan budget 17 juta Dollar, biaya untuk film Annabelle hanya 5 juta dollar memang jauh lebih murah. Hanya saja, itu tidak bisa dijadikan pembenaran. John Leonetti sepenuhnya gagal memaksimalkan prequel dari The Conjuring ini. Lantaran kesan horor dalam film sangat biasa, seorang temen bahkan sinis mengatakan kalau Annabelle itu bukan film horor tapi film drama. Astaga!




Thursday 9 October 2014

Resensi Film: The Maze Runner

Film The Maze Runner
Sutradara: Wes Ball
Produksi: Twentieth Century Fox 2014
Biaya: USD 34 juta

Bayangkan, bagaimana jika sejauh mata memandang hanya tembok tinggi yang membatasi kita dari dunia luar. Memenjarakan kita dari kenyataan, menjauhkan kita dari kebebasan bahkan impian kita berada dalam kontrol orang lain. Pasti ada jalan keluar dari itu, ada rahasia yang harus diungkap.



Paling tidak, begitulah pesan dalam Film The Maze Runner. Meski sampai diakhir film, saya masih bingung apa yang membuat Thomas (Dylan O'Brien) begitu istimewa. Saat dia pertama kali tiba tiba muncul dan bergabung bersama anak anak lain di Glade. Seperti yang lain, Thomas juga kehilangan ingatan dengan berbagai macam pertanyaaan, kenapa dia ada disini? Dari mana dia datang? Siapa dirinya?
Pada saatnya, Thomas harus meyakinkan Alby (Aml Ameen) sang pemimpin kelompok bahwa mereka tidak bisa selamanya berada dalam labirin.

Film ini diangkat dari novel karya James Dashner, kisah tentang para remaja yang tersesat dalam labirin lalu mencoba untuk keluar dari dunia kecil yang mereka sebut Glade, sayangnya tempat tersebut dibatasi oleh tembok menjulang dengan pintu yang terbuka saat matahari terbit dan tertutup saat matahari terbenam. Yang membuat film ini menjadi dramatis , didalam labirin tersebut hidup beberapa monster mengerikan yang mereka sebut Griever. Monster yang tidak akan membiarkan mereka keluar begitu saja.

Tentu, untuk keluar tidak semudah seperti rencana Thomas apalagi ketika Alby disengat Griever dan Gely (Will Poulter) mulai menunjukan prilaku yang tidak bersahabat.
Bersama Minho (Ki Hong Lee) ketua kelompok pelari, Thomas mencoba mencari cara agar keluar hingga akhirnya Minho  menunjukan peta labirin yang mereka coba susun selama tiga tahun.
“ Hampir tidak ada jalan keluar” desis Minho pesimis.
“ Mengapa kamu tidak memberi tahu yang lain” tanya Thomas.

Minho hanya diam lalu mengatakan bahwa  Alby sang pemimpin sudah mengetahuinya. Justru Alby melarang Minho untuk mengatakan kepada yang lain agar tidak membuat mereka kehilangan harapan.

Pada dasarnya film ini adalah teka teki tentang harapan. Saat kita mulai terbiasa dengan keadaan, dunia yang terlihat dan orang orang yang datang hanya itu-itu saja. Kehidupan berlangung sebagaimana adanya, waktu berjalan cepat hingga kemunculan Teresa (Kaya Scodelario) -gadis pertama yang ada dilabirin sekaligus yang terakhir datang. Kehadirannya membuat semua makin sulit bagi Thomas. Apalagi ketika pertama kali terbangun dari dalam kotak, Teresa menyebut nama Thomas.
Film ini seperti memberi pesan agar kita terus berjuang untuk sesuatu yang kita percayai. Berani berbuat atau selamanya terpenjara, tentang harapan yang tidak boleh putus dan rahasia yang melingkupi labirin. The Maze Runner seakan kembali melanjutkan kesuksesan film film lain yang diangkat dari novel, seperti pendahulunya Twilight, Divergent, The Fault In Our Stars yang juga sukses merajai Box Office.

Well, Berhasilkah Thomas membebaskan mereka dari labirin? Apakah impian Chuck (Blake Cooper) untuk memberi cenderamata pada orang tua yang tidak pernah dia ketahui akan terlaksana? Mampukah para remaja itu mengalahkan Griever demi melihat dunia luar? Siapa mereka semua? Dan alasan apa yang membuat mereka harus tersesat didalam labirin?
Wes Ball Sang Sutradara The Maze Runner seakan berteriak kencang. Dude, do something! Die trying or nothing at all.