Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Friday 30 September 2016

Gegap- Gempita Nara Masista dan Kegagalan Diplomasi Luar Negeri Indonesia




source picture/okezone
 Media sosial dihebohkan dengan beredarnya pidato diplomat muda Indonesia di PBB, Nara Masista Rakhmatia. Video tersebut menjadi viral dan diperbincangkan sedemikian rupa. Hampir dipastikan dengan segala puja-puji. Tontonan tersebut seperti film laga, tokoh utamanya adalah seorang perempuan muda dan orang jahatnya adalah pemimpin-pemimpin negara di Pasifik Selatan yang berani mengutak atik soal Papua. Pidato tersebut semakin heroik dengan mengutip pepatah lama sebagai penutup. ”Ketika seseorang menunjukkan jari telunjuknya pada orang lain, jari jemarinya secara otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri”  
Terlihat keren bukan?

Tapi saya melihatnya berbeda
Apa yang Nara Masista tunjukan bukan sebuah hal yang mampu memberi nilai plus pada diplomasi luar negeri kita. Dibalik semua itu, Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Luar Negeri) seperti menyembunyikan kegagalan-kegagalannya dalam membangun diplomasi terutama dalam kasus Papua. Diplomasi bukan sekedar sebuah aksi heroik yang ditunjukan secara jumawa, bukan juga sebuah pidato yang diberi tepuk tangan meriah. Pidato Nara Masista bagi saya hanya pintu masuk menuju hal yang lebih besar dan itu bukan sekedar isu HAM di Papua, isu kesejahteraan, isu separatisme atau yang lain lain. Saya mencoba menghindari topik itu dengan melihatnya dari sudut pandang diplomasi luar negeri (terlepas ada/tidaknya masalah serius di Papua) 

Mari kita masuk


Nara Masista berpidato di PBB dalam kapasitasnya sebagai perwakilan Indonesia dalam sidang MDGs. Tidak ada agenda sidang untuk membahas persoalan Papua hingga kemudian isu tersebut dikemukakan beberapa negara Pasifik dan tentu saja membuat Indonesia kaget terkejut. Memang, kita sudah mengetahui dengan pasti bahwa beberapa negara Pasifik yang tergabung dalam MSG (Melanesia Sparhead Group) concern terhadap isu Papua. Bahkan Vanuatu adalah satu diantara beberapa negara yang terang-terangan mendukung Papua lepas dari NKRI. Jelas? Betapa kecolongannya Indonesia hingga tak bisa menghentikan manuver yang dilakukan oleh Vanuatu, Tuvalu, Marshal Island, Tonga, juga Solomon. Artinya jauh sebelum pidato Nara, Kemenlu telah gagal menegosiasikan persoalan Papua bahkan dalam lingkaran MSG yang ironisnya setelah lebih dari 20 tahun MSG diprakarsai, Indonesia baru setahun yang lalu (2015) menjadi assosiciate member (sebelumnya sebagai peninjau) yang tentu saja dengan berbagai kontroversi didalamnya. 

Pertanyaanya
Kemana saja Kementerian Luar Negeri selama ini? Apa yang sudah mereka capai dalam diplomasi Indonesia dikawasan Pasifik? Untuk kawasan Pasifik, masukan apa yang sudah mereka berikan kepada kementerian terkait, apakah itu Kementerian Perdagangan, Pendidikan, Pertahanan dan sebagainya? Selama beberapa dekade apakah Kemenlu luput memperhatikan perkembangan dikawasan Pasifik dan efek dominonya?  Apa pekerjaan para diplomat kita selain membicarakan penempatan tugas di Eropa sambil menikmati salju yang dibiayai negara? Apakah kerjasama antar negara hanya fokus di Timur Tengah? Eropa? Amerika? Tentu kebodohan luarbiasa jika masalah Pasifik lepas dari pengamatan dan hari ini Kementrian Luar Negeri mulai menelan kebodohannya. Apakah aksi heroik Nara Marsista yang menyentil beberapa kepala negara Pasifik bisa menutup kegagalan itu? Come on!
Pada akhirnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa diplomasi luar negeri khususnya di kawasan Pasifik  memiliki beberapa pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Jika selama ini, ASEAN menjadi fokus utama Kementerian Luar Negeri dalam kerjasama regional maka sudah saatnya Indonesia mengubah fokusnya dengan meningkatkan kehadirannya di-kawasan Pasifik melalui kerjasama bilateral ataupun miltilateral disemua bidang. Mengingat pentingnya kawasan tersebut bagi Indonesia. Selain memperbaiki hubungan dagang, politik dan keamanan, goal-nya jelas terhadap persoalan kedaulatan.

Tinggalkan ASEAN beralih-lah ke Pasifik! 


Hubungan Indonesia dengan negara negara pasifik bisa dibilang ”begitu begitu saja” dan diantara beberapa negara Pasifik, Kepulauan Fiji dan Papua Nugini sedikit lebih baik. Kita nyaris tidak memiliki hubungan dagang yang berarti dikawasan Pasifik. Neraca perdagangan regional menitikberatkan kerjasama di kawasan ASEAN. Barangkali karena sesama Asia Tenggara maka Kementerian Luar Negeri lupa bahwa ada wilayah di Indonesia yang masuk dalam Sub-Melanesia-Polinesia yaitu Papua, Maluku, Nusa Tenggara (daerah selain Papua adalah sub Polinesia). Tidak bisa lagi Indonesia menyebut dirinya Pasifik namun melihat Pasifik sebagai kawasan jauh. Pasifik adalah bagian dari regional Indonesia dan ini harus diimplementasikan dalam kebijakan luar negeri.
Kunjungan Luhut Binsar Panjaitan beberapa waktu lalu di Fiji dan Papua Nugini berimbas dengan dukungan mereka menolak ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) menjadi member tetap MSG. Berhasil? Kelihatannya iya. Sayangnya, isu Papua sudah tidak bisa lagi dihentikan. Kegagalan Kemenlu sejak puluhan tahun lalu berimbas pada apa yang dihadapi Nara Marsista Rakhmatia disidang PBB kemarin dan pidatonya tidak bisa menutupi apa apa, bahkan memberi tanda agar Kementerian Luar Negeri sudah harus buka-bukaan, apa kerja para diplomatnya? 
Tentu kita semua setuju, bahwa kepentingan nasional adalah hal utama dalam diplomasi luar negeri



Wednesday 27 April 2016

The Reason Why We Should Support Ahok? (letter from Martian Ambassador to Martian Foreign Minister)



To Martian foreign minister Mr bla bla bla...

Dear sir,
With this letter, as a Martian ambassador to Indonesia and the Honorary Consulate for Southeast Asia covering Malaysia, Philippines, Thailand, Singapore, Cambodia and Timor-leste. I want to reporting several issues related to development of the political situation in Indonesia, particularly in Jakarta.
Jakarta governor election will be held in 2017, the political situation in Indonesia heated up from now. As the capital city of Jakarta, the succession of leadership not only spotlight for Jakarta area but has become a major focus throughout Indonesia. Basuki Tjahaya Purnama, better known by name Ahok and he still the governor of Jakarta has been announced to the public to be re-elected as Governor for the next election. However, Ahok not put in through by political party but as an independent candidate supported by the civil society movement calling itself "Teman Ahok". They work to collect identity cards to achieve these goals.
Ahok is a phenomenal figure in Indonesia not only because as governor of Jakarta derived from Chinese minorities and Christians, but his leadership methods are prone of violently outbursts thats going to overhauling the conventional style of the officials in Indonesia. Ahok successfully captured the hearts of Jakarta citizen with his character without compromised and his program to changing the bureaucracy to became more efficient and transparent
Anyway, Ahok success to directing Jakarta and the same time he has a lot of resistance around there, there are many  people didn’t  like what he did. By choose to refuse political party to be an independent candidate Ahok gets a reaction from some political parties officials. They accused “de-parpolization” on him. Of course it is polemical.
Indonesia is a country with a Muslim majority and Jakarta is the capital of Indonesia. By that fact, if Ahok re-elected as a governor again surely will be disliked by some people including political parties. Issues of racial disseminated in order to trip him recently. Media war occurred even in social media is getting harder and tend to be rough. Despite on that, Ahok has also many supporters including prominent figures of Islam. The Islamic organizations such as Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama be wise to address those issue. Moreover some leaders of both organizations it supports him too.
On the development of the situation, as a Canadian ambassador to Indonesia i had been doing political analysis and take some conclusions. Ahok is a ‘step forward’ for the democratization progress in Indonesia. As one of the largest democratic country also the largest Muslim country in the world, Indonesia is a strategic partner for campaign against terrorism and to prevent the development of a radical ideology that threatens our national interests. And for that, we must to support Ahok phenomenon. I was noted several issues related his political strategic. Ahok very reckless and his anger management not too good but he doing that as sales for his campaign. It might work but it is not efficient for Indonesian society are still conservative. Too much testimonial in media with full of cynicism. Thats useless. Enmity with legislative of jakarta-backed major parties became ‘red record’ for Ahok. As we know, when he leave Gerindra made him off from the circle of Prabowo -one of the bigest political opposition figure. Ahok not trying to improved his relations with him. What Ahok done as if a blunder for himself. He is not trying to gain support from leaders of political  but a lot of creating enemies unnecessarily instead.

Anyway, Ahok phenomenon is the way to assessing democracy in Indonesia progressing it's been the biggest challenge for them. So far, the security situation in jakarta still good despite the heated political atmosphere. This country already has experience to responding racial conflict although the Muslim culture were rooted in society but they has prominent figures of muslim moderate and ‘forward-thinking’. No needs to worry about our citizens who’s stay in Indonesia.
This report made by me and for further developments will be report regularly and continuously
Respectfully

Mr EL Hendrie
Martian ambassador to Indonesia






Kulihat diriku didalam dirimu...

Aku menghirup udara bisu malam ini, udara yang berhembus dari gunung tinggi tempatmu bertahta, ada rindu yang selalu datang menyerangku. Dipagi hari ketika aku terbangun dan menyebut namamu lalu kau pun berceloteh tentang hari yang kau jalani. Tentang kereta, tentang kuda poni, tentang ikan ikan dikolam yang lupa kau beri makan. Seiring matahari naik kepuncak langit menjadi musik latar ribuan pertanyaanmu, ini apa? Sepolos itu dunia memelukmu memberimu waktu untuk mencari apa yang ingin kau cari. Untuk melihat apa yang ingin kau lihat..

Bila kelak, ketika kau pun menua dan rambutmu memutih, kulitmu bersandar pada tulangmu yang ringkih sambil mengenang masa mudamu. Barangkali, aku sudah tidak ada disana... kenanglah, petualangan petualangan kecilmu, masa dimana ketika kau gusar dan labil, hal-hal gila yang menakjubkan. Tapi saat ini, nikmati dulu dirimu,  lepaskan ikatan agar kau bebas untuk bermain dengan dunia tanpa filsafat, tanpa ideologi ideology, tanpa doktrin dan rumus rumus eksata, bebaskan dirimu dari ketiadaan karena apapun yang kelak kau miliki akan memilikimu.


Aku adalah kata kata yang kau sebut ketika pertama kali kau belajar mengendarai awan dan irama yang mengiringimu berdansa didalam hujan itu adalah aku yang menjaga untuk tetap hangat. Maaf, jika aku pernah lupa melukis salju dan abai membiarkan dingin menggelitikmu. Jubah kecil dan topi putih tak akan pernah bisa mengganti apapun namun akan tiba saatnya ketika kau tak bisa lagi jauh. Didalam lingkaran mataku, dalam jangkauan dekapanku. Karena didalam diriku ada dirimu dan aku selalu melihat dirimu didalam diriku.

 

 

  *kepada huruf R yang sedang bermain...











Thursday 3 March 2016

Spotlight: Film Mainstream paling Nekat yang menyentil Vatikan.

Spotlight

Produksi    :    Universal
Sutradara  :    Tom McCarthy
Biaya         :    20 juta USD


Damn! Itu kata pertama yang harus dikatakan setelah menyaksikan film ini, for sure.. itu bukan makian kepada mereka yang disorot dalam keseluruhan cerita film. Itu kekaguman, edan! Ini film ter’berani’ yang pernah saya tonton. Maksud saya, film Box Office. Okeylah, banyak film diluar sana yang jauh lebih berani dari ini. Film-film yang menyuarakan kritikan atau kebencian yang terang-terangan pada sesuatu tapi itu film-film kelas dua. Pengerjaannya pun abal-abal, film yang bahkan tidak beredar dibioskop. Guys, Spotlight ini beda. Saya sudah menyaksikan ribuan film bahkan saking banyaknya saya sudah tidak bisa lagi mengingat judul tapi ini adalah film mainstream paling nekat yang pernah saya tonton. Saya tidak tahu apa yang ada dibenak Tom McCarthy menyutradarai film ini. Barangkali dia memang nekat, sekedar mencari kontroversi? atau memang tanggungjawab profesionalnya? What the hell... Setelah semua ini, apa dia masih berani datang ke Vatikan?

Yeah.. Film ini adalah film yang diambil dari kisah nyata tentang sekelompok jurnalis dari surat kabar Boston Globe yang mempublikasikan kisah pelecehan sexual anak dibawah umur dalam Keuskupan Boston ditahun 2001 pasca 9/11. Tak tanggung-tanggung 70 lebih Pastur terlibat didalamnya. Film ini dibintangi Mark Ruffalo, Michael Keaton, Rachel McAdams, Liev Schreiber, John Slattery, Stanley Tucci. Mereka memainkan perannya dengan baik. Saya tidak mau mengatakan mereka luar biasa karena karakter yang mereka perankan tidak butuh energi extra seperti Gretta yang ketakutan difilm The Boy, atau peran konyol nan sadis Ryan Renolds di film Deadpool. Mereka tidak memainkan karakter anthem seperti Di Caprio difilm The Revenant. Tidak juga seperti karakter hening yang diperankan Colin Farell di film The Lobster. Atau peran epic nan megah Liam Hemsworth di film In The Heart of The Sea. No! Titik fokus saya adalah apa yang coba diutarakan dalam film. Para jurnalis di film ini, benar benar menohok langsung ke jantung Vatikan. Keberanian mereka mengungkap pelecehan sexual di-Boston seakan kotak pandora yang membuka ratusan kisah pelecehan lain diseluruh dunia dalam Gereja Katolik. Sutradara McCarthy mengerjakan ini dengan segala kemampuannya. Setting awal tahun 2000-an, ketika bunyi telepon genggam masih polyponic juga komputer kantor masih dengan monitor tabung.  Semi klasik. 

Saya menyaksikan Spotlight dengan perasaan campur aduk, ada ketakutan dan kemarahan didalamnya. Perasaan perasaan yang berjalan semakin jauh. Film ini menegaskan bahwa institusi keagamaan bukan hal suci untuk dikritik, tak perduli itu Katolik, Kristen, Islam, Yahudi, Budha, Hindu, Kong Hucu, Zoroaster dan sebagainya. Para jurnalis Boston Globe mempublikasikan hampir 600 kisah tentang skandal ini sepanjang tahun 2002 yang akhirnya membuat 249 Pastor dan Biarawan didakwa didepan umum. Bulan desember 2002, Kardinal Law mengundurkan diri dari Keuskupan Boston. Setelah keberhasilam tim Spotlight membongkar skandal pencabulan tersebut menyusul beberapa tempat didunia juga ikut diungkap dan lebih dari 200 wilayah yang membentang dari Eropa, Amerika, Afrika, Australia dan Asia. Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa keseluruhan institusi agama bisa menjadi sangat cacat akibat ulah segelintir orang didalamnya, yang semakin buruk ketika dilakukan oleh mereka mereka yang dianggap sebagai representasi Tuhan dan itu terjadi pada hampir semua agama. Bukan sekedar pencabulan tapi lebih dari itu. Sejujurnya, saya tidak mau menyalahkan agama karena apa yang terjadi didalam agama baik dan buruk barangkali memang bukan salah Tuhan. Whatever.

Well.. film ini bukan tanpa kritik, sebuah artikel 8 Januari 2016, di The New York Times mengatakan bahwa Spotlight keliru tentang bagaimana Gereja menangani kasus-kasus pelecehan seksual. Dalam artikel itu menuliskan cacat terbesar Spotlight adalah kegagalannya untuk memerankan efek psikolog para pejabat Gereja. Bagaimana para imam yang terlibat bisa aman kembali ke pelayanan setelah menjalani perawatan terapi. Film ini seakan mengabadikan mitos dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dari kisah nyata pelecehan.
Lepas dari itu, saya angkat topi untuk kedewasaan Vatikan yang justru bijak dalam menghadapi kontroversi film Spotlight. Surat kabar Vatikan, L'Osservatore Romano, bahkan memuji Spotlight sebagai upaya meyakinkan untuk menunjukkan penyalahgunaan dan hal yang ditutup-tutupi dalam gereja Katolik. Saya tidak yakin, institusi agama lain akan melakukan hal yang sama seperti Vatikan. Surat kabar L'Osservatore Romano menerbitkan editorial pada halaman depan dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan sutrdara Tom McCarthy bukan sesuatu yang anti-Katolik. Editorial tersebut menyebutkan film Spotlight disajikan sebagai upaya gereja untuk mempertahankan diri dalam menghadapi kenyataan menghebohkan. “Tidak semua monster memakai jubah”. Tulis editorial itu. Pedofilia tidak selalu timbul dari kaul kemurnian, hal itu akan dijadikan pembelajaran bahwa dalam institusi agama beberapa orang lebih sibuk dengan citra lembaga daripada tindakan.

Anyway, dengan segala kontroversinya kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Spotlight mendapatkan puluhan penghargaan termasuk ratusan nominasi diseluruh dunia. Memenangkan BAFTA Awards 2016 dalam katageori Best Original Screenplay, kemudian Hollywood Film Awards dalam katagori Screenwriter of The Year. Di tetapkan sebagai Movie of The Year oleh AFI Awards USA 2016. Alliance of Women Film Journalist memberi Spotlight kemenangan dalam katageri Best Director, Best Writing dan Best Original Screenplay. Film ini juga mencatatkan namanya dalam Autralian Film Institute, Independent Spirit Awards, International Cinephile Society Awards, London Critics Cirlce Film Awards, Toronto International Film Festival, Venice Film Festival dan banyak lagi hingga puncaknya meraih Oscar 2016 dalam katagori Best Motion Picture of the Year, Best Writing dan Best Original Screenplay. Siapa yang meragukan film ini?

Pada akhirnya film hanyalah sekedar film. Interpretasi visual atas peristiwa yang terjadi dimana kebenarannya kadang menyisakan perdebatan. Kekuatan dalam film ini adalah keberaniannya menunjukan pada dunia anomali anomali yang begitu tabu untuk diungkap. 

Mengutip dialog dalam film ini

“ We gotta show people that nobody can get away with this”



Tuesday 1 March 2016

Review Film September Dawn: Kisah Gereja Mormon dan Keberagaman Kita

 


Film ini beredar tahun 2007, diangkat dari kisah nyata berawal dari tewasnya Josep Smith atau seorang yang dianggap Rasul oleh Gereja Mormon atau Latter Day Saints, di Indonesia dikenal dengan Gereja Orang Orang Suci Zaman Akhir. Kemudian memunculkan pembalasan orang orang Mormon. Berangkat dari peristiwa di-bulan September tahun 1857 yang menceritakan pembantaian di Mountain Meadows dengan mengambil nyawa 120 pria, wanita, dan anak-anak. Korban itu adalah mereka yang bepergian dari Arkansas menuju California. Tentu saja film ini meninggalkan kontroversi. Bagi penganut Mormon film September Dawn adalah distorsi sejarah. Namun terlepas dari itu, sutradara Christopher Kain  menggunakan penayangan yang artistik dalam pembuatan film ini untuk memberi kesan bahwa film ini tidak diabaikan dari fakta yang sebenarnya.

Saya mencoba keluar dari kontroversi dengan menarik lebih jauh tentang kekerasan atas nama agama. Sejak awal berdirinya, Mormon dianggap menyimpang dari ajaran Yesus. Namun seiring berjalannya waktu ajaran Mormon berkembang pesat diseluruh dunia. Bahkan politisi Partai Republik Mitt Romney eks Gubernur Massachusetts yang juga calon presiden Amerika ditahun 2012 adalah penganut Mormon yang taat. Ryan Gosling yang terkenal dengan Film The Notebook adalah seorang aktor yang tumbuh besar dalam ajaran Mormon. Saya membayangkan jika film ini adalah film yang menyerang agama mayoritas di Indonesia pasti akan menimbulkan keributan atau bahkan huru hara yang luarbiasa. Kita tidak bisa membayangkan jika salah satu Gubernur di Indonesia dari Ahmadiyah, Syiah, Mormon atau Saksi Jehovah, apa bisa eksis di negara ini? Tentu saja, kita tidak bisa menyamakan Amerika dan Indonesia. Namun sebagai salah satu negara demokrasi terbesar didunia pada saatnya Indonesia akan kompromi dengan hal hal tersebut. Whatever.

Hari ini, kekerasan atas nama agama marak diberbagai tempat di Indonesia. Perang ideologi yang menampilkan sisa doktrin Orde Baru dengan aksi aksi ormas yang melarang peredaran buku, film, acara dan sebagainya. Argumentasi dilawan dengan ancaman. Debat kritis diberangus tanpa memberikan penjelasan rasional. Ironisnya peran negara seakan akan tidak ada. Begitu banyak orang phobia dengan komunisme, liberal atau paham paham dari luar. Barangkali kita sudah lupa, bahwa bahkan agama pun kita impor. Saya meyakini, komunisme sudah jadi bangkai dan pun jika harus bangun lagi hanya sekedar teori diatas meja, hanya sekedar perdebatan intelektual. (sorry to say) Tidak mesti harus setuju dengan Fukuyama namun mau akui atau tidak tapi demokrasi liberal sudah menang sejak politik perestroika Gorbachev lahir. Komunisme sudah tidak perlu ditakuti, apa yang dibawa Marxisme saat ini hanya sebagai acuan ilmu sosial. Tidak lebih.

Kembali ke film tadi, kita harus mengakui, bahwa negara ini terlambat beberapa abad dari negara negara demokrasi lainnya dalam membangun komitmen keberagaman. September Dawn memang hanya soal interpretasi. Namun jika menyimak film itu jelas itu adalah kampanye yang akan membuat penonton membenci Gereja Mormon-Latter Day Saints. Lihat bagaimana dramatisnya peristiwa itu. Wanita dan anak anak dibawa menuju ladang pembantaian lalu ditembak seperti hewan. Sangat vulgar. Anehnya, tidak ada perlawanan-nya yang berarti dari Latter Day Saints untuk membendung opini yang dibangun dalam film ini. Padahal Rasul kedua mereka, Brigham Young dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut. Okeylah.. Mereka menolak membenarkan namun tidak ada hura hara. Tidak ada teror. Tidak ada gesekan yang berarti.
Well, bagaimanapun juga memang tidak bisa membawa hal-hal seperti itu ke indonesia. Kondisi geopol dan sejarah masyarakat kita berbeda dengan negara lain. Namun sekali lagi, kita harus melihat fakta bahwa saat ini Indonesia sedang coba dibawa menghadap ke Timur tengah, Arab, Suriah. Beberapa lainnya mencoba membawa kita ke Barat. Ada juga yang mencondongkan kita ke Rusia, China. Whatever... Keberagaman memperkaya kita. Dan karena keberagaman itulah Indonesia masih tetap eksis hingga hari ini.

Mengutip kata terakhir di-film September Dawn’

"The story of hate will eventually die but the story of love will last forever"


Wednesday 24 February 2016

Martina Gedeck, My fave one



Martina Gedeck was born 14 September 1961 in Munich, West Germany. she's one of the best German actrees. I m being her fan when the first time i watched her film by title Baader Meinhof Complex. Which story about underground movement againts capitalism in german at 1970s. By that time i figured out her movies and i’ ve seen some of them. Like The wall, The Live of others, Atomised, Sommer 42, Mostly Martha etc. Gedeck has a good carieer. She’s very talented. In the movie title Atomised she’s playing hard on her character. Acting as a women with sexual adventures. in that film, She was playing with Moritz Bleibtreu who’s the same actor involved in Baader Meinhof Complex. In 2013, Gedeck was a member of the jury at the 70th Venice International Film Festival.
well, Madam.., you rockin me anyway.

Luiz Suarez, Tupamaros Uruguay dalam Guerra Dela Triple Alianza


Giginya memang tidak setajam pisau Guillotine yang memancung raja Louis XVI di Paris. Tapi giginya sukses menjadi isu yang berhembus kencang bagi para postmo kulit bundar, bisa saja aksi gigitannya adalah bentuk sabotase, emosi yang meledak ledak atau sekedar iseng, atau gemas mungkin? Tentu saja, apapun itu tetap tidak bisa dibenarkan dalam peraturan  FIFA, namun kali ini saya mencoba untuk keluar dari terminologi benar dan salah.




Well, Dia adalah pemuda Amerika Selatan biasa yang menjadi bintang dalam pengembaraannya. Menancapkan ketajaman kakinya (bukan saja giginya) di Belanda, Inggris hingga Spanyol dan pada saat tulisan ini dibuat, pemuda ini sedang berada di London Inggris bersama tim nya dari Catalonia bersiap menghadapi Arsenal dalam putaran Liga Champions Eropa.  Sebelum ke Spanyol, di Inggris dia adalah momok menakutkan bagi para bek-bek The Big Four. Selain mendapatkan tepuk tangan tentu saja ada cacian. Berapa makian yang dia dapatkan dari pendukung Manchester United (khususnya Helmi -teman saya pendukung MU berat-) ketika dia dituduh melakukan perbuatan rasis kepada Patrik Evra? Atau coba tanyakan pendukung Chelsea saat gigitannya berbekas ditubuh Branislav Ivanovic? Dan yang terakhir coba tanyakan pendukung Italia makian apa yang mereka berikan padanya ketika Chiellini harus meregang akibat gigitannya? El Pistolero manusia normal tapi bagi para pendukung lawannya dia seperti vampire. Barangkali dia memang vampire? Yang merobek robek jala gawang lawan-lawannya tanpa ampun, saya setuju dipoint terakhir.

Sebagai pemuda kelahiran Uruguay, dia tumbuh besar oleh cerita cerita disekelilingnya. Anyway... dia lahir ditahun 1987, atau tiga tahun sejak rezim militer Uruguay lengser setelah pemilu ditahun 1984. Pemuda ini juga ikut berpartisipasi pada pemilu tahun 2009, dimana Jose Mujica mantan gerilyawan beraliran kiri memenangkan pemilihan umum itu dengan mengalahkan kandidat konservatif dari Partai Nasional, Luis Alberto Lacalle. Jose Mujica yang menggemparkan dunia dengan dikenal sebagai Presiden termiskin didunia adalah mantan anggota Tupamaros yang didirikan sejak tahun 1960an sebagai respon dari kemerosotan ekonomi Uruguay kala itu. Tupamaros atau dikenal juga dengan nama lain Movimiento de Liberacion Nacional (MLN: Gerakan Pembebasan Nasional) pada awalnya adalah gerakan yang meminimalisir kekerasan bahkan langkah perjuangan mereka mirip seperti ‘Robin Hood’ dimulai pada permulaan dekade 1960-an di mana pada masa itu, mereka aktif menyerang dan merampok fasilitas-fasilitas bisnis seperti bank, kereta ransum atau gedung milik perusahaan swasta. Hasil rampokan tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada penduduk miskin di Montevideo, ibukota Uruguay. Sabotase mereka juga melebar dengan menculik lalu mempermalukan para penyelenggara negara.

Tahun 1967, Uruguay dibawah kendali Presiden Pacheco Areco yang menerapkan kebijakan tangan besi untuk meredam gerakan-gerakan protes, sehingga aparat keamanan Uruguay semakin leluasa dalam melakukan aksi kekerasan dengan dalih menjaga keamanan. Menyusul sikap pemerintah Uruguay dalam meredam aksi-aksi protes yang dianggap semakin brutal, Tupamaros pun semakin meningkatkan intensitas serangannya, utamanya aksi penculikan dan sabotase. Salah satu aksi mereka yang terkenal adalah aksi "pengadilan rakyat" di mana para anggota Tupamaros menculik tokoh politik atau pebisnis untuk diinterogasi sambil direkam, lalu hasil interogasinya (soal pengakuan korupsi) disebarkan ke pusat-pusat keramaian yang memiliki pengeras suara, misalnya di dalam stadion. Bentuk sabotase gerakan ini rasanya hanya ada didalam film namun nyatanya beberapa dekade setelahnya salah satu gerilyawan Tupamaros berhasil menjadi Presiden Uruguay.

Apakah El Pistolero terinspirasi oleh Tupamaros? 

Dengan aksi aksi gigitannya yang seakan menyabotase pertandingan pertandingan besar. Liga Premier? Piala Dunia? Saya tidak tahu dan tidak peduli. Sepengetahuanku, dia kelahiran Uruguay negara kecil di Laut Atlantik yang diapit Brazil dan Argentina dimana pada tahun 1864, negara itu menjadi pemantik perang paling kejam di Amerika Selatan yaitu perang Paraguay atau dikenal juga dengan ‘Perang Guerra Dela Triple Alianza” yang melibatkan Uruguay, Argentina dan Brazil disatu pihak dan Paraguay dipihak lain. Perang tersebut adalah perang paling berdarah dalam sejarah Amerika Selatan dan salah satu perang paling mematikan di abad ke-19. Jumlah korban tewas paling besar dipihak Paraguay yang kehilangan 300.000 nyawa rakyatnya alias lebih dari 60% populasi total negaranya. Di pihak lawan, jumlah korban tewas jika ditotal mencapai 100.000 jiwa di mana mayoritasnya adalah orang Brazil.
Lupakan soal perang berdarah, sekarang bayangkan Messi, Neymar, Suarez? Mereka adalah manifesto “Guerra Dela Triple Alianza” di masa sekarang. Messi dari Argentina, Neymar dari Brazil dan Suarez dari Uruguay. Perang mereka kali ini bukan untuk menghilangkan nyawa manusia tapi untuk menciptakan gol gol. Jika dahulu lawan mereka adalah Paraguay maka saat ini lawan mereka adalah semua klub sepakbola didunia yang memiliki gawang. Trio MSN ini menjadi trio paling menakutkan dalam sejarah sepakbola modern. Messi sudah tidak bisa diragukan lagi, pun juga Neymar namun Suarez adalah pelengkapnya. Suarez adalah mata rantai yang hilang dan belum ditemukan bahkan Amerigo Vespucci atau Colombus. Suarez baru ditemukan oleh direktur teknik Barcelona saat itu Andoni Zubizareta atas permintaan pelatih Luis Enrique
Well, Suarez memang tidak sepopuler Maradona di Amerika Selatan bahkan dunia. Dia juga tidak punya ambisi mempersatukan Amerika Selatan dalam satu negara seperti Simon Bolevar sang Liberator dari Venezuela. Tapi Luis Suarez adalah momok menakutkan bagi Rio Ferdinand, Smalling, Ramos, Pepe, John Terry dan seluruh bek bek sepakbola dunia. Pemain nomor 9 Barcelona ini menjadi salah satu dari GUERRA DELA TRIPLE ALIANZA. Trio penyerang paling mematikan di abad 20!

Luisito, Suarez! El Pistolero! 


Saya selalu percaya bahwa  kakimu lebih tajam dari gigimu...


'ditulis 30 menit menjelang kick off Arsenal VS Barcelona'


Saturday 26 December 2015

In The Heart of The Sea

Gagal di film Blackhat tapi Chris Hemsworth berhasil menebusnya difilm ini. Salah satu film keren yang pernah gue nonton di tahun 2015. Barangkali, karena dibesarkan dipesisir pantai dengan laut maha luas persis belakang rumah membuat gue jadi bernostalgia. hehehe..

 "When i saw the sea it feels like home"

Ketika Jack Sparrow dikalahkan lapak DVD bajakan


Film The Hateful Eight-nya Quentin Tarantino dan The Revenant-nya Leonardo Di Caprio sudah beredar di lapak2 DVD bajakan dan di situs2 free download. Luar biasa ini para pembajak, film-film itu bahkan poster-nya di Coming Soon XX1 aja belum ada. Saya pun ikut menikmatinya. Salute! :D




Wednesday 11 November 2015

Reviews Film The Stanford Prison Experiment: Ketika Prilaku Manusia Diubah Oleh Kekuasaan


Sutradara: Kyle Patrick Alvarez

Produksi  : IFC Film









If you want total security, go to prison. There you're fed, clothed, given medical care and so on. The only thing lacking... is freedom.

-D. D. Eisenhower-












Institusi dimana kita berada secara nyata memberi efek para prilaku kita. Berbagai macam penelitian membuktikan hal tersebut. Seperti yang terjadi difilm ini, sebuah studi klasik tentang psikologi didalam penjara dimana topik itu sering dibahas dalam pengantar psikologi. Film ini diambil dari buku berjudul Lucifer Efffect yang didasarkan oleh kisah nyata. Buku itu ditulis sendiri oleh pelaku-nya Dr Philip Zimbardo seorang Profesor psikology dari Stanford University.
The Stanford Prison Experiment diputar perdana pada bulan Januari 2015 di Sundance Film Festival. Disutradari oleh Kyle Patrick Alvarez dengan beberapa aktor ternama semisal Billy Crudup, Ezra Miller dan Michael Angarano. Pada film ini, Dr Philip Zimbardo yang diperankan Billy Crudup dengan beberapa koleganya melakukan sebuah eksperimen simulasi penjara dengan menempatkan para tahanan dan sipir selama dua minggu. Eksperimen tersebut dilakukan di kampus Stanford pada musim panas ditahun 1971. Dimana ruangan dalam kampus dibuat semacam penjara lengkap dengan lorong-lorongnya. Sel-sel penjara tiruan kecil dibentuk, ada ruang kecil untuk halaman penjara, kurungan, dan ruang yang besar untuk para sipir. Para tahanan tinggal di sel mereka sampai akhir penelitian. Para peneliti mengadakan sesi orientasi sebelum masa eksperimen, mereka memerintahkan para sipir untuk tidak secara fisik membahayakan para tahanan. Para sipir disediakan tongkat kayu untuk membangun status mereka, pakaian yang mirip dengan sipir penjara yang sebenarnya dan kacamata hitam untuk menghindari kontak mata. Tahanan mengenakan pakaian yang tidak nyaman, dengan stocking topi, serta rantai di salah satu pergelangan kaki. Sipir telah diperintahkan untuk memanggil para tahanan dengan nomor yang ditetapkan, bukan dengan nama.

"Kalian bisa membuat para tahanan untuk merasa bosan juga takut, kalian dapat membuat ide sewenang-wenang bahwa hidup mereka benar-benar dikontrol oleh kita, oleh anda, saya, oleh sistem! Dan mereka tidak akan memiliki privasi. Artinya, dalam situasi ini kita memiliki kekuasaan dan mereka tidak.”


Pada awalnya, Zimbardo dan timnya bertujuan untuk menguji hipotesis bahwa ciri-ciri kepribadian yang melekat dari tahanan dan sipir merupakan penyebab utama perilaku kasar di penjara. Peserta direkrut melalui iklan di surat kabar dan dari  75 responden mereka memilih 24 laki-laki yang dianggap yang paling stabil dan sehat secara psikologis. Para pesertanya rata rata dari kelas menengah. Film ini hampir mirip semi dokumenter, tentu sedikit membosankan dengan latar yang berputar ditempat yang sama. Konflik yang terjadi difilm ini seputar pertentangan antara sipir penjara dan tahanan dan diluar dari itu hanya perenungan batin Dr Philip Zombardo karena secara tidak langsung dia mulai  terlibat secara emosi dalam simulasi yang dibuat-nya sendiri. Ketika beberapa koleganya tidak tahan lalu memilih berhenti, Zombardo pun sadar bahwa eksperimen itu tidak akan selesai dari waktu yang direncanakan. Lihat, bagaimana dalam simulasi itu para sipir penjara yang dihari pertama masih normal hingga menjadi berubah kejam dalam prosesnya. Ironisnya, para tahanan lambat laun mulai merasa bahwa apa yang terjadi para mereka bukan lagi simulasi tapi sebuah kenyataan. Intimidasi yang mereka rasakan memperlemah daya juang mereka. Percobaan tersebut hanya berlangsung 6 hari dari dua minggu yang direncanakan. Bahkan dua diantara 9 tahanan memilih keluar padahal simulasi belum juga seminggu.
Saya melihat film ini sebagai studi psikology, dimana prilaku akan berubah drastis ketika orang memiliki resourche of power. Setiap orang yang memiliki kekuasaan akan cenderung intimidatif, karena mereka merasa memiliki legitimasi untuk itu. Perubahan prilaku bisa disebabkan oleh sebab-sebab alamiah namun keadaan disekitar, institusi dimana kita berada sangat berperan dalam menentukan perubahan prilaku kita.
Film ini cocok bagi mereka yang belajar psikology. Sutradara Kyle Patrick Alvarez memang tidak menawarkan banyak drama sebagaimana  adanya film film dokumenter  tapi setiap adegan dalam film menarik untuk ditunggui. Bagaimana orang-orang yang awalnya baik kemudian bisa berubah drastis akibat legitimasi kekuasaan ditangannya. Film ini bagi saya adalah sebuah kritik terhadap kehidupan penjara.





Friday 6 November 2015

Dunia bisa saja terlihat indah saat kita online, namun belum tentu sama saat kita offline!



"Barangkali, status-status menyenangkan dan emoticon smile atau like yang kau tulis di media sosial hanyalah topeng untuk menutupi karaktermu yang membosankan didunia nyata"


Hari ini,
Kita begitu gegap gempita dengan kemajuan zaman. Dunia memasuki babak baru dimana revolusi teknologi menjadi konsekuensi logis dari masyarakat konsumtif. Gadget, handphone pintar, laptop dengan layar sentuh atau televisi super canggih dengan koneksi internet yang mampu menjelajah melebihi kecepatan pesawat. Teknologi telegram sudah usang, pita kaset jadi sejarah, film film hitam putih dimuseumkan. Wartel tidak di-ingat lagi, dan telepon koin? Sudah mati.
Kita disuguhkan pada pemandangan delutif tentang bagaimana berkomunikasi yang lebih efisien. Menjalin konektifitas, bersosialisasi hanya bermodalkan layar sentuh. Semuanya mudah, nyaman, langsung dan cepat.

Media sosial menjadi bagian tak terhindari dari perilaku keseharian kita. Ditengah kompetisi hidup dengan pressure tinggi. Tentu saja, hampir sudah tidak ada waktu untuk bersosialisasi sekedar menyapa tetangga, teman, atau bersua dengan kerabat bahkan bercinta dengan kekasih. Pekerjaan telah merampas lebih dari sebagian waktu yang dimiliki para pekerjanya. Media sosial adalah penemuan paling fenomenal di-era ini. Geger-nya melampaui kegegeran dunia ketika Alessandro Volta menemukan listrik dipermulaan abad 18. Media sosial adalah obat mujarab bagi penyakit keterasingan dunia modern. Pelipur lara bagi kesepian manusia manusia robotic. Tentu saja, itu adalah sebuah terobosan super hebat.
Kita bisa menjalin pertemanan erat dimedia sosial, gadis-gadis bisa arisan hanya lewat facebook, kita bisa mengkritisi pejabat di twitter, melihat trailer film baru di youtube. Mendownload musik dari dailymotion, torrent, ganool dan sebagainya. Mengupload foto makanan di Instagram, path, pinterest, mencari informasi tentang Tuhan di Google, Bing, Yahoo. Mendengarkan khutbah tentang kitabsuci dengan live streaming. Kita juga bisa bercinta lewat chating di whatsapp, di-snapchat, BBM dan aplikasi yang bertebaran dihandphone pintar.
Semua aktifitas itu bisa kita lakukan dimana saja. Di-kantor, di rumah, di halte, di dalam taxy, dalam bus, didalam bajaj, bahkan diatas motor ojek yang sedang melaju. Sambil nyetir, sambil tiduran, sambil makan, sambil buang air pun kita bisa membalas komentar kenalan dimedia sosial. Saat sedang meeting pun kita bisa sambil meretwit banyolan Mario Teguh. Dalam perjalanan pulang kerja kita bisa update status atau membalas chat kawan di-Eropa meski kita lagi nangkring ditoilet umum. Kita juga bisa menunjukan diri lewat skype untuk kekasih jauh (yang tidak percaya bahwa kita sedang beribadah di masjid, gereja atau di pura). Hebatnya lagi, kita-pun bisa orgasme hanya dengan video call.


Yeah, karena begitu mudahnya... maka Teknologi tidak saja mengubah cara manusia berkomunikasi tapi merevolusi bagaimana manusia bercinta. 



Kemajuan teknologi komunikasi dan perkembangan media sosial berhasil membebaskan kita dari keterbatasan waktu. Mengubah rutinitas monoton menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Bayangkan, kita tidak perlu membuang-buang waktu untuk mengunjungi handai taulan yang sedang hajatan. Sekedar mengucapkan selamat ulang tahun atau belasungkawa bisa dilakukan dimedia sosial. Bukan hal yang aneh jika kita melihat orang senyum-senyum sendiri sambil memandangi handphone-nya atau orang yang ngamuk-ngamuk dengan memelototi gadget. Bukan hal lucu lagi jika permusuhan terjadi karena komentar-komentar di media sosial. Lihat? Semua realitas terserap dilayar sentuh itu. Apakah itu benar-benar membebaskan kita? Iya! Awalnya. Hingga kemudian dunia pun menjadi autis dengan sendirinya. Keramaian disekitar kita tak ada artinya, semua itu tak pernah terjadi jika orang lain tidak melihatnya berupa foto atau video dimedia sosial. No pict itu hoax. Orang orang tak lagi diam,semua punya aktifitas masing masing dengan kybord berukuran mini di handphone-nya. Seorang pertapa didalam goa yang hanya berteman bau dupa dan anjing kecil pun tidak akan merasa sunyi jika memiliki koneksi internet. Siapa yang tahu? Jika didalam goa itu dia sedang sibuk twitwar di twitter? Atau sedang asyik masyuk membalas komentar di foto-nya yang baru di upload di-facebook. Atau bisa saja di goa itu, sekedar untuk selfie atau update status lokasi-nya di Path?  Coba tanyakan itu pada anjing kecilnya.
Media sosial telah mengobati kesepian, menyelamatkan kebosanan, menyelamatkan banyak hal. Lihat saja, beberapa dinasti politik di Timur tengah luluh-lantah? dari Tunisia, Kairo, Libia hingga Suriah bergolak karena pesan berantai dimedia sosial.
Kerennya lagi, media sosial adalah tempat sembunyi paling rahasia dari kenyataan hidup yang pahit. Kita bisa berpura-pura baik di twitter untuk menyembunyikan karakter kita yang pendendam. Kita juga bisa berperan sebagai manusia bijaksana difacebook untuk menyembunyikan prilaku kita yang koruptif. Barangkali, kita adalah pribadi yang sangat membosankan didunia nyata tapi dimedia sosial kita bisa jadi apa saja. Kita bisa menjadi pribadi yang menyenangkan, terlihat begitu ceria, bahagia dan bersahabat. Walau saat kita offline, bahkan tetangga-pun tidak tahu siapa kita. Hey bukankah dunia ini begitu manis saat kita online?


Hari ini, kualitas hidup tidak ditentukan dari berapa banyak orang yang berkunjung kerumah kita, atau berapa orang kawan yang datang saat kita terbaring dirumah sakit. Kualitas hidup kita dinilai berdasarkan berapa banyak teman di facebook, berapa ‘like’ dialbum foto virtual,  berapa followers kita di instagram, di twitter atau dari berapa banyak emoticon smile di path saat kita update status. Itulah kualitas hidup kita.


Jelas, keterasingan sudah dibebaskan oleh perkembangan media sosial namun pada akhirnya semua itu segera memunculkan keterasingan lain yang lebih mengerikan, lebih terkutuk. Keterasingan yang lebih menggigil dari dingin kutub utara. Kita sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang virtual, mana yang real. Dunia menjadi delusional. Orang orang sibuk menghitung statistik pertemanan bukan diruang nyata. Para laki-laki robotic jumawa dengan twit-twitnya yang diretwit ratusan orang dan para wanitanya terbuai oleh berapa banyak ‘Like’ dialbum virtualnya. Ke-maya-an yang bermetamorfosis menjadi hyperrealitas. Ironisnya, bukan hal yang aneh jika portal berita memberitakan trending topik di twitter dan apa yang sedang ramai di facebook atau di youtube. Karena apa yang sedang jadi viral dimedia sosial lebih dibaca orang daripada harga cabe yang melambung tinggi.


Kau bisa mengupload foto atau video apa saja dimedia sosial tapi kau tidak akan pernah bisa mengupload cinta. Kau bisa menemukan siapa saja yang ingin kau temukan, mendownload lagu atau video-video yang membuatmu senang tapi kau tidak akan pernah bisa mendownload kebahagiaan.


Kita bisa jadi apapun yang kita mau diruang virtual, mencitrakan diri sebebas-bebasnya. Memenangkan kompetisi ke-maya-an, Kita bisa menciptakan realitas sesuai keinginan kita tapi realitas itu hanya eksis ketika kita online karena pertempuran hidup yang sesungguhnya adalah saat semua gadget, handphone atau laptop berubah offline. Lalu suara disekitar kita berbisik " Hey, sudah makan belum" Itulah hidup yang sesungguhnya.
Karena didunia yang begini sulit, apakah ada yang lebih menyenangkan dari jabat tangan seorang kawan? Apakah ada yang lebih membahagiakan selain pelukan seorang kekasih? Dan semua itu tidak ada dimedia sosial.
Dan sebagaimana layaknya media, jadikanlah media sosial sekedar media yang hanya eksis sebagai media. Bukan sebuah realitas utuh


Jakarta, November 2015

note: source gbr .kompasiana.com


Thursday 5 November 2015

Quavadis Ateisme




We need to find God, and he cannot be found in noise and restlessness. God is the friend of silence. See how nature - trees, flowers, grass- grows in silence; see the stars, the moon and the sun, how they move in silence. We need silence to be able to touch souls 
"Mother Teresa"


                          Silence is the language of god, all else is poor translation.-Jalalludin Rumi-

Pada abad 18 dan 19, Ateisme dianggap sebagai pandangan yang baik dan memberikan kebebasan bagi ilmu pengetahuan untuk menentukan masa depan umat manusia. Pemikiran ini banyak dipegang para pemikir modern. Sejak nubuat Niezctche ttg “Kematian Tuhan” dan kemudian diikuti Heideger, para pemikir Modern mengganggap semua nilai transenden hilang secara pasti dan kemanusiaan dianggap sebagai hal yang utama dari nilai-nilai diluar alam. Mereka percaya bahwa hanya dengan “kehilangan Tuhan” maka segalanya akan menjadi mungkin. Dalam pandangan itu, pemikir modern menekankan bahwa tidak ada standar objektif bagi keseluruhan kesadaran manusia.
Menjelang millennium, dengan Metode dekontruksi “Derida” hingga munculnya pemikiran Postmodern yang menggugat materialisme modern dan kerinduan akan nilai-nilai religiutas hingga mengambil kembali metafisika yang di era modern dikalahkan oleh materialisme mekanik. Para pemikir postmodern mulai mengkaji konsekwensi negative Ateisme!! Dengan berlatar pada munculnya dekadensi moral, genocide, perang dunia 11 dan ancaman global warm serta perang nuklir yang mengubah wajah dunia dalam penderitaan yg panjang. Bagi pemikir postmodern, Materialisme mekanik modern sudah selayaknya ditinggalkan karena terbukti tidak bisa dijadikan acuan bagi berlangsungnya kehidupan dunia. konsekwensi negative ATEISME antara lain.
1. “Nihilisme”
Pandangan ini menekankan bahwa bagaimana menjalani hidup dan termasuk cara kita memperlakukan org lain akhirnya sudah tidak penting lagi. (scr pribadi saya berasumsi pemikiran ini juga melanda kaum eksitensial yang menggugat ketidakbermaknaan hidup) pandangan ini bisa mengakibatkan keputus-asaan yang panjang, bunuh diri, hingga kejatuhan moral. Jika pandagan seperti ini dipegang oleh manusia dgn kekuatan penghancur ditangannya akan menghasilkan dunia yg sangat berbahaya.
2. “Materialisme ateistik”
Pandangan ini menekankan bahwa manusia tidak berhenti menjadi religius tanpa beriman pada satu objek religius tradisional. Materi adalah realitas tertinggi alam semesta. Pandangan ini, bisa mengakibatkan nafsu tak terpuaskan dalam mengejar bentuk-bentuk materi. Pemikiran ini melahirkan “Darwinisme sosial” dengan etika “Survival for the Fittest”. Persaingan tak terkendali dan menciptakan dunia dgn menyisihkan semua yang gagal bersaing. Bayangkan akan seperti apa dunia?
3. “Militerisme dan Nuklirisme”
Pandangan yang menganggap bahwa hanya mahluk-mahluk fisik saja yang memiliki pengalaman indrawi. Sehingga tak ada norma objektif yg mempengaruhi tindakan manusia. Pemikiran ini menghasilkan kesimpulan bahwa hanya kekuatan pemaksa satu-satunya cara untuk mempengaruhi org lain. Realpolitik “Machiavellian” akhirnya menjadi ciri dunia hari ini. bayangkan??
4. “ Neotribalisme”
Pandangan yang menekankan perbedaan antara “kita” dan “mereka”dan menyatakan bahwa norma-norma moral yg berlaku pada kita tidak berlaku bagi mereka. Rasisme akhirnya menjadi pola dasar dalam keseluruhan kesadaran.
Akhirnya,,
Manusia menjadi tenaga penghancur kehidupan tata surya, nilai Transendensi mungkin akan menjadi medan perdebatan paling sengit dewasa ini. Tapi apapun itu harus disadari bahwa kemanusiaan manusia tidak bisa menjamin kehidupan sosial yang baik. Manusia cenderung lemah ketika berhadapan dgn hukum-hukum alam. Dan bagi kaum postmodernis hanya Percaya pada Tuhan-lah yang bisa menyelamatkan dunia dari ancaman dehumanisasi.

Zat tertinggi tidak harus diperdebatkan sebagai mahluk ber-pribadi, memiliki karakter atau berjenis kelamin, Namun bagi postmo percaya pada Tuhan adalah satu-satunya penolong manusia dari keruntuhan moral. Tanpa terjebak pada antroposentrisme yg menganggap mahluk lain hanya untuk kepentingan manusia. Bagi Postmo, hukum-hukum moral adalah nilai tertinggi bagi ilmu pengetahuan. Tanpa itu, kecerdasan manusia hilang bersama keniscayaan kejatuhan tata surya.


Tiba tiba, pengusung modernis bertanya?


Mengapa atas nama Tuhan kita justru menindas orang lain? mengapa dengan mengatasnamakan Tuhan, kita kehilangan kemanusiaan kita? 


Ber-Tuhan-
Tanpa harus memikirkan Tuhan orang lain, tanpa harus mencurigai kepercayaan orang lain. Menghormati tanpa mereduksi, Toleransi tanpa prasangka karena Tuhan adalah Tuhan yang tidak pernah menindas.




Wednesday 4 November 2015

Resensi Film The Longest Ride: Bahkan Nicholas Sparks memungut cinta di-Black Mountain


Produksi        : FOX 2000 Picture

Sutradara      : George Tillman, Jr


Biaya              : USD 34 juta







Dimanapun cinta terbit selalu diharapkan berakhir bahagia, dan setiap film-film cinta romantis yang happy ending maka Nicholas Sparks adalah jagoannya. Iya. Bila sedang kusut, bete dan sedang mood jelek, cobalah untuk tonton salah satu film-nya maka semua bayanganmu tentang dunia akan menjadi lebih manis. Paling tidak, Itu-lah yang saya rasakan setiap menonton film yang diadaptasi dari novel pria Amerika ini. Saya menjadi salah satu fans berat laki-laki 50 tahun itu. Sejak The Notebook, Walk To Remember, Save Haven, Lucky One dan beberapa lainnya sampai yang terakhir The Best of Me. Meski jujur, saya mengenal Sparks bukan dari novel-novelnya. Sutradara-sutradara handal yang kreatif berhasil menjembatani novel-novel itu menjadi film hingga membuat saya mencari tahu siapa Nicholas Sparks lalu menunggui karya-nya seperti menunggui mangga matang persis dibawah pohonnya. Hahaha, 
Ah, sudahlah.. siapa yang tak pernah nonton The Notebook? Message in a Bottle? Eh, Belum? malang sekali.

Anyway, The Longest Ride merupakan film terbaru Nicholas Sparks yang disutradarai George Tillman, Jr dan menampilkan Scott Eastwood dan Britt Robertson sebagai pasangan muda yang jatuh cinta meski memiliki banyak perbedaan. Oona Castila Chaplin, cucu dari superstar Inggris Charlie Chaplin ikut ambil bagian di film ini. Dia apik sekali memainkan peran Ruth Levinson seorang wanita yang begitu mencintai seni. Begitu mencintai kehidupan.

Well, saya tidak perlu risau menceritakan bagaimana alur film, tontonlah dan hakimi sendiri. Beberapa kritikus film memang tidak terlalu antusias pada The Longest Ride bahkan faktanya, film ini gagal melampaui Fast and Furious 8 di Box Office tapi saya tidak peduli. Bagi saya film ini keren. Okey, benar memang kisah cinta-nya mudah ditebak dengan akhir yang membuat semua orang bertepuk tangan. Bukan karena itu. Edan. Lupakan Luke Collins. Percayalah.. dia pasti akan berakhir bahagia dengan Sophia Danko. Dan Ira Levinson apakah dia bisa bertemu lagi dengan Ruth-nya? Aihh, barangkali, Saat ini mereka sedang berpelukan di-surga sambil menertawai kita yang sibuk menerka-nerka. Hahaha..

Saya takjub pada latar filmnya, North Carolina.
North Carolina adalah salah satu dari ketigabelas Koloni pertama, dahulunya dikenal sebagai Carolina. Joara, sebuah desa berpenduduk asli Amerika. Pada 1567 negara bagian ini menjadi lokasi Fort San Juan, pemukiman kolonial Spanyol yang pertama di pedalaman dari apa yang kemudian menjadi Amerika Serikat. Negara bagian ini juga merupakan lokasi koloni Inggris pertama di benua Amerika. Panorama-nya yang western banget sudah membuat saya jatuh hati.




Secara khusus, film ini lagi lagi membuat konsentrasi saya terusik hingga harus mencari tahu tentang Black Mountain College  (1933-1957). Sekolah seni yang didirikan pada tahun 1933 di North Carolina, sebagai percobaan dari “Pendidikan dalam Demokrasi," dengan ide bahwa seni kreatif dan tanggung jawab praktis sama pentingnya dengan perkembangan intelek. Penekanannya adalah belajar dan hidup itu harus terhubung erat. Drama, musik, dan seni rupa dianggap sebagai bagian integral dari kehidupan kampus. Sekolah itu menjadi satu titik penting dalam sejarah pendidikan di Amerika yang menjadi antitesis model pendidikan tradisional saat itu. Sekolah itu mendidik siswanya dengan semangat kebebasan, lintas disiplin, seni, tidak memisahkan antara bekerja dan bermain, serta hubungan egaliter antara guru dan siswa dimana guru dan siswa sama-sama bekerja dalam mengurus kampus (bangunan, administrasi, hingga makan siang). Pada akhirnya Black Mountain College sudah tak lagi ada, namun jejaknya sangat berpengaruh dalam sejarah perkembangan seni di Amerika. Menjadi salah satu hasil kreasi yang tak biasa sepanjang sejarah peradaban manusia. Dan inilah yang membuat saya mengernyitkan dahi, bagaimana Nicholas Sparks menggabungkan ide tersebut? Menjadikan sekolah yang bahkan tak pernah terakreditasi serta dijalankan dengan anggaran minim itu sebagai monumen lalu membungkusnya dengan kisah cinta dua zaman hingga layak untuk di tonton. Tentu saja peran George Tillman, Jr sutradara kulit hitam yang terkenal dengan Man of Honour-nya ini juga harus diacungin jempol. Yeah! Gegara dua orang ini, saya jadi punya impian untuk melanjutkan study ke  North Carolina University. (aminnn) hahaha..
Siyal... Siapa yang tidak mau ke Grandfather Mountain, Lake Norman, Asheville, Neuse River, Old Salem Museum? Jockey's Ridge State Park, International Civil Rights Center, The Blowing Rock? Mordecai Museum? Museum of the Cherokee Indian, Pullen Park, Cataloochee Ski Area? Atau Horn in the West, Topsail Island? dan North Carolina Music Factory?dan tentu saja artefak Black Mountain College! Saya menyarankan, sebelum kiamat benar benar tiba, tempat tempat itu harus didatangi, hehehe.
Nicholas Sparks sudah memberi pesan bahwa dunia ternyata tak sependek jalan pikiran para jomblo dan cinta adalah sesuatu yang harus dirayakan. Mau bukti? Luke anak desa di North Carolina yang tidak tahu apa apa selain mengendarai banteng bisa membuat Sophia anak kuliahan rela untuk meninggalkan Manhattan.
Btw, Luke difilm ini juara dunia Rodeo loh.. :D


Friday 1 May 2015

Apakah Negara telah begitu perkasa hingga menjadi Tuhan dan berhak menentukan hidup-mati manusia?

Tinjauan Politis terhadap Eksekusi Mati dan Hubungan Indonesia-Australia ditengah kritik Internasional


Perampasan hak hidup secara paksa atau penghilangan nyawa manusia adalah anomali dalam peradaban begitu juga hukuman mati merupakan hal yang sangat mengerikan. Meski sejarah hukuman mati hampir seumur dengan sejarah terbentuknya masyarakat namun dalam tatanan masyarakat modern yang menghargai kemanusiaan, hukuman mati seperti iblis yang keji. Bayangkan, hak hidup dirampas, tangis keluarga yang ditinggalkan, kesunyian didetik detik terakhir, lalu tembakan yang memecah sunyi. Kesedihan apalagi yang paling sentimentil dari itu?

Eksekusi mati Andrew Chan, Sukumaran, Zainal Abidin, dan yang lainnya hanya menyisakan kisah duka. Mereka sudah pergi, apapun yang kita lakukan untuk protes, tidak akan bisa mengembalikan hidup mereka. Semua orang turut berduka. Ini tragis! Mengatakan ini, bukan berarti kita mendukung peredaran narkoba. Tapi pemberian hukuman mati untuk kasus narkoba adalah hal yang perlu ditinjau ulang. Beda jawaban, jika pertanyaannya bagaimana dengan bandarbesar? pembunuhan berencana? pemerkosaan anak dibawah umur dan tentu saja, korupsi! Kita bisa berdebat panjang soal itu. Persoalan narkoba adalah persoalan kemiskinan. Ketika Negara gagal memberi jaminan kesejahteraan bagi warganya maka akan muncul para pengedar. Kroco kroco yang hanya punya pilihan sedikit dan jadi pengedar merupakan cara paling mudah untuk mendapatkan uang. Ditingkat paling bawah, Ini tentang kesejahteraan.

Lihat Mary Jane Veloso? Apa dia Bandar besar? Lihat mukanya? Lihat gesturnya? Lihat historinya? Sungguh konyol, jika kita mengatakan dia bandar besar. Mary Jane adalah potret kemiskinan di Filipina dan juga di Indonesia. Mary Jane seorang buruh migran, PRT yang nasibnya sama seperti TKI di Arab Saudi dan Malaysia. Vonis mati pada Mary Jane adalah kekeliruan terbesar. Sungguh menyenangkan eksekusinya ditunda meski untuk waktu yang tidak ditentukan. Paling tidak, mari kita berharap ada ampunan dari pemerintah Indonesia dan semoga lobi pemerintah Filipina mujarab.

Substansi dari hukuman adalah pertanggungjawaban. Ia kan? Sekarang pertanyaannya, apakah tepat hukuman mati dinegara ini? Ditengah system peradilan yang awut-awutan dan hukum yang rentan diperjualbelikan. Saya tidak bisa membayangkan jika seseorang yang tidak tahu apa-apa tapi dilibatkan dalam konspirasi, dikondisikan, dikriminalisasi atau dijebak seperti dalam film-film. Itu bukan mendramatisir tapi beberapa kasus seperti itu nyata didepan mata kita. System hukum kita belum bagus. Itu sudah jadi rahasia umum. Dengan system hukum yang seperti itu, apa kita bisa percaya pada hukuman mati? Ini tentang nyawa manusia. Berani main main dengan itu?
Hubungan indonesia dan Australia kembali memanas pasca eksekusi Chan dan Sukumaran namun ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya pada pemerintah Indonesia. Kegagalan diplomasi yang dilakukan Perdana Menteri Tony Abbott juga harus dikritisi. Saya tidak melihat keseriusan Abbott untuk menyelamatkan warganya. Pun jika Abbott serius, langkah diplomasi yang dia lakukan terlalu gegabah. Siapapun penasehat politik Abbott tentang Indonesia jelas sangat tidak memahami geopolitik di Indonesia. Apa Menlu Julia Bishop tidak punya pilihan lain selain mengungkit bantuan Aussy di Aceh? Itu konyol. Ketika Chan dan Sukumaran mulai mendapat simpati dari dalam negeri Indonesia. Langkah diplomasi yang dilakukan pemerintah Australia malah jadi boomerang. Barangkali, its a just politics. Semua orang tahu, popularitas Perdana Menteri Tony Abbott di Aussy menurun. Beberapa waktu lalu, Tony Abbot bahkan terancam di Impeachment akibat dituduh melakukan diskoneksi dalam pemberian gelar kebangsawanan tertinggi Australia terhadap Pangeran Philip dari Inggris. Parlemen Australia menghembuskan isu mosi tidak percaya pada Abbott.  Penyelamatan Chan dan Sukumaran seharusnya bisa menjadi momentum untuk mendongkrak popularitasnya. Tapi beliau gagal menjadikan itu sebagai senjatanya. Sebaliknya, justru membuktikan ketidakpiawaiannya.

Di indonesia sendiri, manuver pemerintah Australia demi menyelamatkan Chan dan Sukumaran mendapat reaksi negatif karena dianggap terlalu berlebihan. Ini yang menarik, Australia tidak melakukan pendekatan yang persuasif malah membuat gemas Indonesia dengan pernyataan yang terdengar kekanak-kanakan. Tidak ada upaya yang ‘dalam dan intens’ yang bisa mereka lakukan. Apalagi ketika Sekjen PBB Ban Ki Moon dilibatkan dengan pernyataannya yang sebenarnya tidak punya legalitas formal dalam mencampuri yuridiksi satu negara. Juga beberapa komentar sinis para pesohor dunia dari vokalis legendaris Guns N Roses hingga band metal Carcass malah membuat isu ini menjadi bias. Jelas tidak membantu apa-apa bahkan makin runyam.

Mengapa jadi runyam?  Well..  Pemerintah Indonesia sudah show off ketika eksekusi gelombang pertama. Jika Jokowi membatalkan eksekusi tahap kedua hanya karena tekanan dari luar. Itu tidak mungkin. Taruhan politiknya besar. Harus diingat, ketika pilpres Jokowi dihembus isu sebagai antek asing dan diprediksi ‘lembek’ dalam diplomasi luar negeri. Bagi masyarakat indonesia rival Jokowi ketika pilpres yaitu Prabowo dianggap jauh lebih tegas. Adalah hal yang bodoh bila Jokowi mempertaruhkan itu. Eksekusi para terpidana narkoba ini menjadi langkah strategisnya demi memperlihatkan kepada masyarakat indonesia bahwa dia berani, dia tidak selembek yang orang pikir. Gokilnya, momentumnya tepat sekali selepas hajatan Konfrensi Asia Afrika dimana pidatonya yang mengobok-obok PBB, Bank Dunia dan ADB.

“Saya  tidak setuju atas pemberlakuan hukuman mati di Indonesia tapi saya juga tidak suka pada kecaman dunia luar atas yuridiksi dinegara ini” kata seorang teman. Astaga. Isunya bergeser kesoal nasionalisme. Tepuk tangan! Presiden Jokowi itu politikus handal dan harus diakui dia berani ambil resiko. Kecaman dunia internasional justru membantu dia secara politis karena menambah dukungan pelaksanaan eksekusi. Didalam negeri indonesia, masyarakat yang awalnya menolak eksekusi mulai pasif dan bahkan diam. Ini berbahaya! Padahal penolakan hukuman mati itulah substansinya.

Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi besar didunia, tentu bukan satu-satunya negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Amerika yang diklaim sebagai penjaga demokrasi hingga hari ini juga memasukkan hukuman mati dalam kaidah hukumnya.
Pertanyaan, apa ada negara yang bisa mengobok-obok itu? Tentu saja, ini soal posisi tawar. Semua orang dikolong langit tahu, sesuper power apa amerika. Itu lelucon! Anda tidak akan berani mengkritisi sesuatu yang lebih kuat daripada anda, apalagi jika anda punya kepentingan besar terhadapnya, benar kan? Dan jika Aussy berani sama Indonesia, atau Brazil atau Perancis yang terang terangan bereaksi keras, nah itu tadi. Ini bicara soal posisi tawar. Bisa dibayangkan posisi Indonesia dimata mereka?
Sekarang mari kita kembali soal Australia dan Indonesia.

Australia menarik untuk dibicarakan karena selain warganya yang tersandera dalam kasus hukum di Indonesia, Aussy adalah tetangga yang strategis dan menjadi pintu gerbang indonesia kebarat. Dalam soal ini, saya membayangkan Perdana menteri Tony Abbott lebih rendah hati dalam melakukan lobi-lobi diplomatik. Jika itu terjadi, mungkin hasilnya akan berbeda. Catatan untuk Abbott, cara orang Indonesia melihat Australia itu beda dengan cara orang Indonesia melihat Filipina. Protes di Filipina tidak terlalu banyak mendapat sorotan dimedia media Indonesia. Beda dengan Australia, sekecil apapun protes yang orang Australia lakukan akan selalu menjadi santapan media Indonesia. Indonesia melihat Australia itu sebagai negara besar yang bisa menjadi gangguan begitu juga sebaliknya. Isu penyadapan tempo hari masih membekas bagi Indonesia. Seharusnya Abbott lebih sensitive. Penarikan dubes Australia dari jakarta hanya memperkeruh suasana. Hubungan Australia dan Indonesia mengalami pasang surut dan sejauh ini pemerintah kedua negara belum bisa dikatakan akur. Tidak usah kita menulis detil tentang hubungan perdagangan kedua negara. Itu beda, karena urusannya untung rugi. Ini soal Trust, mau akui atau tidak? pemerintah Indonesia dan Australia belum bisa saling percaya.

Tapi sudahlah.. Australia adalah negara yang indah. Saya sangat menyukai Australia. Tentu saja saya menghormati negara itu. Saya punya beberapa teman di Australia. They are such a wonderful people. Kritikan saya diatas hanya soal diplomasi luar negeri Austalia yang tergesa-gesa. Diplomasi arogan Tony Abbott yang membuat gejolak di indonesia. Sungguh disesalkan karena pada akhirnya isu penolakan hukuman mati menjadi bias lalu bergeser kepersoalan nasionalisme.

Beralih kedalam negeri.
Saya tidak bangga dengan apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi dengan hukuman mati. Tapi mari kita lihat kebelakang sejenak, karena kita harus memberi applause kepada rezim sebelumnya, mengapa? Beberapa kasus hukuman mati terjadi sejak era pemerintahan SBY, ini PR dari pemerintahan beliau. Politik pencitraan yang dilakukan rezim sebelumnya dengan tidak berani ambil resiko secara tidak langsung membuat nasib para terpidana hukuman mati terkatung-katung. Ketika terjadi suksesi  di indonesia dan pemerintahan berganti kepresiden Jokowi, yang diasumsikan akan ‘main aman’ malah terbalik 180 derajat.  Banyak orang tidak menyangka presiden Jokowi berani melakukan eksekusi bahkan ditengah kritik dunia internasional. Hal yang tidak mungkin dilakukan rezim sebelumnya.

Tapi ini tidak sesederhana itu! saya tidak melihat ini sebagai persoalan hukum semata. Ini juga punya hitung-hitungan politis. Presiden Jokowi melakukan gambling. Beliau jelas lebih memperhatikan kondisi politik dalam negeri dari pada peduli dengan kritikan dunia internasional. Seperti kita ketahui bersama, parlemen kita dikuasai oleh KIH, dan dinegara ini tidak ada partai atau orang diparlemen yang terang-terangan mengaku menolak hukuman mati. Hanya LSM-LSM yang itupun menjadi ambigu karena dicurigai dibiayai asing. Banyak pemikiran konservatif bercokol diparlemen. Oleh karena partai partai yang berkuasa diparlemen adalah oposisi pemerintah maka dengan eksekusi ini, PKS, PPP, PAN dan lain sebagainya akan mendukung karena sejalan dengan garis partai mereka. Mengingat PDIP, partai asal presiden Jokowi berkesan ‘menjauh’ maka Jokowi membutuhkan dukungan oposisi demi menciptakan stabilitas politik dalam negeri. Itu penting demi memuluskan  program dipemerintahanya. Oposisi sudah tidak bisa lagi menghembuskan isu bahwa Jokowi antek asing. Para haters Jokowi ditingkat bawah tidak bisa lagi menuduh dia lembek, lemah atau yang sejenisnya. Dan yang paling penting bagi presiden Jokowi, dia menunjukan bahwa dia lebih berani dari rezim SBY.

Kesimpulannya, secara politis isu hukuman mati telah dimenangkan oleh presiden Jokowi tapi gagal dimainkan dengan baik oleh Tony Abbott. This is politics. Tidak ada batasan didalamnya, didalam negeri maupun didunia internasional semua kasus, semua peristiwa punya hitung-hitungan. Dan akhirnya muncul pertanyaaan. Apakah eksekusi mati terpidana narkoba telah dijadikan komoditi politik atau tidak? Silahkan simpulkan sendiri.

*noted, maaf jika ini jadi berbeda dari tulisan - tulisan sebelumnya. ini pertama kali saya menulis soal politik dan hubungan internasional