Setelah kegagalan DC dalam Man of Steel (2013) yg babak belur dihujani kritikan , Superman v Batman (2016) yang juga bernasib tak lebih baik, kali ini DC tak menyerah untuk mengejar Marvel. Aquaman diharapkan sebagai balas dendam DC untuk para pencemooh. Sayangnya, kegagalan imajinasi James Wan yang diplot sebagai sutradara menjadikan DC kembali tenggelam dalam penyakit Syndrome Marvel Imitasi.
Ekspetasi apa yang diharapkan kepada Aquaman? film yang berdurasi dua jam, 23 menit ini terasa seperti perjalanan panjang menuju kuburan dan DC menjadikan Aquaman sebagai batu nisan yang megah dengan iring2an para peziarah menyanyikan lagu kematian.
Nama nama besar seperti Jason Mamoa, Nicole Kidman, Amber Heard, Patrick Wilson, Wiliem Dafoe dan masih banyak lagi tak mampu menyelamatkan Aquaman dalam penderitaannya. Barangkali beginilah jadinya ketika Sutradara spesialis Horor Thriller dipaksa naik kelas mengurusi komik. Ibarat dokter spesialis kulit melakukan operasi jantung. Malpraktek..
James Wan meninggalkan kerusakan yang parah karena ketidakmampuannya menghadirkan fantasi Atlantis yang indah, alih alih melakukan itu, James Wan justru menghancurkan Atlantis dalam metafora yang banal. Upaya besarnya memunculkan dunia bawah laut agar hidup dan berwarna justru tersesat dalam pemilihan kostum: lihat saja: kostum tentara atlantis seperti kostum pahlawan super Jepang tahun 90an. Kampungan!
Dengan biaya 160 juta dollar seharusnya DC mampu menampilkan visual efek yang membawa penonton masuk lebih jauh, bukan malah terseok-seok oleh scenario yang berantakan, dialog yang membosankan dan pemilihan karakter yang tidak representative membuat kerja keras DC untuk mengejar Marvel menjadi sia sia.
Awalnya ada sedikit harapan ketika film dimulai dengan dongeng… seorang penjaga mercusuar (Temura Morisson) menemukan putri atlantis yang terluka dipantainya. Putri Atlanna yang diperankan artis senior Nicole Kidman melarikan diri dari perjodohan yang tidak diinginkannya. Singkat cerita mereka jatuh cinta, menikah lalu melahirkan seorang anak yang diberi nama Arthur. Dengan darah campuran atlantis dan manusia permukaan membuat Arthur sangat special. Sayangnya, tidak ada gambaran signifikan tentang masa kecil Arthur selain plot singkat bagaimana dia mampu berkomunikasi dengan Hiu di Aquarium besar, juga flash back ketika Kulko melatih kemampuannya. Tentu saja, itu tidak cukup.
Gue menyaksikan benturan keras antara mitos atlantis versus fantasi futuristic membentang sepanjang film. Dua jam yang melelahkan. Narasi gagal itu coba ditutupi dengan kisah tentang ambisi raja Orm (Patrick Wilson) untuk menguasai dunia dengan keinginannya melakukan perang terbuka terhadap manusia di permukaan. Raja Orm yang juga adik tiri Aquaman begitu membenci dunia atas karena ulah mereka mengotori laut dan menghancurkan ekosistem. Sebuah kritik yang bagus sebenarnya. Kritik tersebut kurang dieksploitasi oleh James Wan.
Kehadiran Black Manta sosok yang hidup dengan dendam ayahnya, diperankan Yahya Abdul Mateen II. Jelas sekali, DC merencanakan pertarungan antara Aquaman vs Black Manta di masa depan. Sayangnya, tidak dijelaskan bagaimana awal hubungan Raja Orm dan Black Manta dalam berkonspirasi membenturkan dunia bawah dan dunia permukaan.
Kemunculan Mera calon Ratu Atlantis yang melihat masa depan dunia bawah laut ditangan Aquaman terasa sangat dipaksakan. Mengingat.. dalam beberapa adegan, Mera menyindir Arthur sebagai orang yang tidak bisa berpikir. Sudah bisa ditebak, dengan siapa Aquaman akan berakhir ranjang pernikahan?
Adegan ketika mereka mengejar trisula kuno raja pertama Atlantis hingga ke gurun sahara lalu berlanjut ke dasar bumi dan menemukan ratu Atlanna yang ternyata masih hidup adalah adegan terbaik difilm ini. Sayang nya.. Sekali lagi.. inti bumi yang harusnya divisualisasikan pada level tinggi harus dipersingkat dengan pertarungan Aquaman melawan penjaga trisula.
Jika ada yang bertanya.. apa itu Aquaman? Maka gue akan jawab.. Aquaman adalah contoh ketergesa-gesaan yang fatal ketika sebuah perusahaaan berambisi mengejar kompetitornya dan membuat uang tiket bioskop menjadi sia sia.
Artikel Terkait
film
- Review Film Captain Marvel: Ketika Perempuan Menjadi Penyelamat Alam Semesta.
- Blackkklansman: Klu Klux Klan, Piala Oscar dan Rasisme
- Review Film: Bumblebee: Sebuah Anomali dari delusi futuristic menjadi Human Psikologic
- Review Film: Widows 2018: Tamparan pada Kesombongan politik kulit putih lewat nyanyian para wanita teraniaya
Discussion
- Review Film Captain Marvel: Ketika Perempuan Menjadi Penyelamat Alam Semesta.
- Blackkklansman: Klu Klux Klan, Piala Oscar dan Rasisme
- Review Film: Widows 2018: Tamparan pada Kesombongan politik kulit putih lewat nyanyian para wanita teraniaya
- Review Film Mortal Engines 2018: Visualisasi Klasik Perang Kelas di era Post Apocalyptik Pasca Digital
- Dalam Pertempuran Cebong versus Kampret, saya memilih menjadi Nyamuk.
- The Reason Why We Should Support Ahok? (letter from Martian Ambassador to Martian Foreign Minister)
- In The Heart of The Sea
- Ketika Jack Sparrow dikalahkan lapak DVD bajakan
- Quavadis Ateisme
- Apakah Negara telah begitu perkasa hingga menjadi Tuhan dan berhak menentukan hidup-mati manusia?
- DISCUSSION
Resensi
- The Dirt : Motley Crue dan mereka yg sudah selesai.
- Review Film Captain Marvel: Ketika Perempuan Menjadi Penyelamat Alam Semesta.
- Blackkklansman: Klu Klux Klan, Piala Oscar dan Rasisme
- Review Film Glass 2019: Trilogi ini diakhiri dengan cara yg keterlaluan, Anti Klimaks!
- ESCAPE ROOM: FILM BAGUS NAMUN GAGAL SEJAK ADEGAN PEMBUKA
- Review Film: Bumblebee: Sebuah Anomali dari delusi futuristic menjadi Human Psikologic
- Review Film: Widows 2018: Tamparan pada Kesombongan politik kulit putih lewat nyanyian para wanita teraniaya
- Review Film Mortal Engines 2018: Visualisasi Klasik Perang Kelas di era Post Apocalyptik Pasca Digital
- Dalam Pertempuran Cebong versus Kampret, saya memilih menjadi Nyamuk.
- Spotlight: Film Mainstream paling Nekat yang menyentil Vatikan.
- Review Film September Dawn: Kisah Gereja Mormon dan Keberagaman Kita
- In The Heart of The Sea
- Reviews Film The Stanford Prison Experiment: Ketika Prilaku Manusia Diubah Oleh Kekuasaan
- Resensi Film The Longest Ride: Bahkan Nicholas Sparks memungut cinta di-Black Mountain
- Resensi Film Interstellar: "ketika sumber daya alam menjadi langka, peradaban bumi terancam mundur dan masyarakat agraris diambang kehancuran"
- Resensi Film: John Wick "Keanu Reeves memang ditakdirkan untuk menjadi keren!"
- Resensi Film: Left Behind "Film ini menegaskan kebangkrutan Nicolas Cage "
- Resensi Film: FURY "Perang adalah Neraka"
- Resensi Film: A Walk Among The Tombstones
- Resensi Film Dracula Untold "terkadang pahlawan adalah mereka yang dihujat seperti setan"
- Resensi Film: Annabelle "ini bukan film horor, tapi lebih konyol dari film drama"
- Resensi Film: The Maze Runner
- Resensi Film: Good People
- Perempuan-Perempuan Dalam Kerajaan Rock
0 komentar:
Post a Comment